Pengertian Landasan Filosofis Pendidikan
Ada dua istilah yang terlebih dahulu perlu kita kaji dalam rangka
memahami pengertian landasan pendidikan, yaitu istilah landasan dan istilah
pendidikan.
Landasan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:260) istilah
landasan diartikan sebagai alas, dasar, atau tumpuan. Adapun istilah landasan
sebagai dasar dikenal pula sebagai fundasi. Mengacu kepada pengertian
tersebut, kita dapat memahami bahwa landasan adalah suatu alas atau dasar
pijakan dari sesuatu hal; suatu titik tumpu atau titik tolak dari sesuatu hal; atau
suatu fundasi tempat berdirinya sesuatu hal.
Berdasarkan sifat wujudnya terdapat dua jenis landasan, yaitu: (1) landasan
yang bersifat material, dan (2) landasan yang bersifat konseptual. Contoh
landasan yang bersifat material antara lain berupa landasan pacu pesawat
terbang dan fundasi bangunan gedung. Adapun contoh landasan yang bersifat
konseptual antara lain berupa dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila dan UUD
RI Tahun 1945; landasan pendidikan, dsb.
Dari contoh di atas telah Anda ketahui bahwa landasan pendidikan
tergolong ke dalam jenis landasan yang bersifat konseptual. Selanjutnya, mari
kita kaji lebih lanjut pengertian landasan yang bersifat konseptual tersebut.
Landasan yang bersifat konseptual pada dasarnya identik dengan asumsi, yaitu
suatu gagasan, kepercayaan, prinsip, pendapat atau pernyataan yang sudah
dianggap benar, yang dijadikan titik tolak dalam rangka berpikir (melakukan
suatu studi) dan/atau dalam rangka bertindak (melakukan suatu praktek).
Menurut Troy Wilson Organ, “asumsi dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu:
aksioma, postulat, dan premis tersembunyi” (Redja Mudyahardjo, 1995).
- Aksioma adalah asumsi yang diterima kebenarannya tanpa perlu pembuktian,
atau suatu pernyataan yang kebenarannya diterima secara universal. Contoh:
“dalam hidupnya manusia tumbuh dan berkembang”. Terhadap pernyataan
ini tidak akan ada orang yang menyangkal kebenarannya, sebab
kebenarannya dapat diterima secara universal tanpa perlu dibuktikan lagi.
- Postulat yaitu asumsi yang diterima kelompok orang tertentu atas dasar
persetujuan. Contoh: “Perkembangan individu ditentukan oleh faktor
hereditas maupun oleh faktor pengaruh lingkungannya (pengalaman)”.
Asumsi ini disetujui/diterima benar oleh kelompok orang tertentu, tetapi
tentu saja ditolak oleh kelompok orang lainnya yang menyetujui asumsi
bahwa perkembangan individu sepenuhnya ditentukan oleh faktor hereditas
saja, atau oleh faktor pengaruh lingkungan saja.
- Premis Tersembunyi yaitu asumsi yang tidak dinyatakan secara tersurat
yang diharapkan dipahami atau diterima secara umum. Premis tersembunyi
biasanya merupakan premis mayor dan premis minor dalam silogisme yang
tidak dinyatakan secara tersurat, dalam hal ini pembaca atau pendengar
diharapkan melengkapinya. Contoh: Armin perlu dididik (dinyatakan).
Dalam pernyataan ini terdapat premis tersembunyi yang tidak dinyatakan,
yaitu semua manusia perlu dididik (premis mayor), dan Armin adalah
manusia (premis minor). maka kesimpulanya seperti pernyataan di atas
adalah Armin perlu dididik.
Filosofis, berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas suku kata
philein/philos yang artinya cinta dan sophos/Sophia yang artinya kebijaksanaan,
hikmah, ilmu, kebenaran. Secara maknawi filsafat dimaknai sebagai suatu
pengetahuan yang mencoba untuk memahami hakikat segala sesuatu untuk
mencapai kebenaran atau kebijaksanaan. Untuk mencapai dan menemukan
kebenaran tersebut, masing-masing filosof memiliki karakteristik yang berbeda
antara yang satu dengan lainnya. Demikian pula kajian yang dijadikan obyek
telaahan akan berbeda selaras dengan cara pandang terhadap hakikat segala
sesuatu.
Pendidikan. Sebagaimana telah dikemukakan dalam pendahuluan, hakikat
pendidikan tiada lain adalah humanisasi. Tujuan pendidikan adalah terwujudnya
manusia ideal atau manusia yang dicita-citakan sesuai nilai-nilai dan normanorma
yang dianut. Contoh manusia ideal yang menjadi tujuan pendidikan
tersebut antara lain: manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME,
berakhlak mulia, sehat, cerdas, terampil, dst. Sebab itu, pendidikan bersifat
normatif dan mesti dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat hal di atas,
pendidikan tidak boleh dilaksanakan secara sembarang, melainkan harus
dilaksanakan secara bijaksana. Maksudnya, pendidikan harus dilaksanakan
secara disadari dengan mengacu kepada suatu landasan yang kokoh, sehingga
jelas tujuannya, tepat isi kurikulumnya, serta efisien dan efektif cara-cara
pelaksanaannya. Implikasinya, dalam pendidikan, menurut Tatang S (1994)
mesti terdapat momen berpikir dan momen bertindak. Secara lebih luas dapat
dikatakan bahwa dalam rangka pendidikan itu (Redja M; 1994), terdapat
momen studi pendidikan dan momen praktek pendidikan. Momen studi
pendidikan yaitu saat berpikir atau saat mempelajari pendidikan dengan tujuan
untuk memahami/menghasilkan sistem konsep pendidikan. Contoh: mahasiswa
UPI sedang membaca buku Landasan Filosofis Pendidikan. Para guru sedang
melakukan konferensi kasus untuk mencari pemecahan masalah bagi murid B
yang sering membolos, dsb. Momen praktek pendidikan yaitu saat
dilaksanakannya berbagai tindakan/praktek pendidikan atas dasar hasil studi
pendidikan, yang bertujuan membantu seseorang atau sekelompok orang
(peserta didik) agar mencapai tujuan pendidikan. Contoh: Berdasarkan hasil
konferensi kasus, Pak Agus membimbing siswa B agar menyadari kekeliruannya
dan memperbaiki diri sehingga tidak membolos lagi. Ibu Ani sedang melatih
para siswanya agar dapat memecahkan soal-soal matematika, dsb. Coba Anda
berikan contoh-contoh lainnya yang tergolong studi pendidikan dan contoh-contoh
lainnya yang tergolong praktek pendidikan.
Landasan Filosofis Pendidikan. Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa landasan filosofis pendidikan adalah asumsi filosofis yang
dijadikan titik tolak dalam rangka studi dan praktek pendidikan. Sebagaimana
telah Anda pahami, dalam pendidikan mesti terdapat momen studi pendidikan
dan momen praktek pendidikan. Melalui studi pendidikan antara lain kita akan
memperoleh pemahaman tentang landasan-landasan pendidikan, yang akan
dijadikan titik tolak praktek pendidikan. Dengan demikian, landasan filosofis
pendidikan sebagai hasil studi pendidikan tersebut, dapat dijadikan titik tolak
dalam rangka studi pendidikan yang bersifat filsafiah, yaitu pendekatan yang
lebih komprehensif, spekulatif, dan normatif.
Jenis-jenis Landasan Pendidikan
Asumsi-asumsi yang menjadi titik tolak dalam rangka pendidikan berasal
dari berbagai sumber, dapat bersumber dari agama, filsafat, ilmu, dan hukum
atau yuridis. Berdasarkan sumbernya jenis landasan pendidikan dapat
diidentifikasi dan dikelompokkan menjadi:
- landasan religius pendidikan,
- landasan filosofis pendidikan,
- landasan ilmiah pendidikan, dan
- landasan
hukum/yuridis pendidikan.
Landasan Filosofis Pendidikan. Landasan filosofis pendidikan adalah
asumsi-asumsi yang bersumber dari filsafat yang menjadi titik tolak dalam
pendidikan. Ada berbagai aliran filsafat, antara lain: Idealisme, Realisme,
Pragmatisme, Pancasila, dsb. Landasan filosofis pendidikan tidaklah satu
melainkan ragam sebagaimana ragamnya aliran filsafat. Sebab itu, dikenal
adanya landasan filosofis pendidikan Idealisme, landasan filsofis pendidikan
Pragmatisme, dsb. Contoh: Penganut Realisme antara lain berpendapat bahwa
“pengetahuan yang benar diperoleh manusia melalui pengalaman dria”.
Implikasinya, penganut Realisme mengutamakan metode mengajar yang
memberikan kesempatan kepada para siswa untuk memperoleh pengetahuan
melalui pengalaman langsung (misal: melalui observasi, praktikum, dsb.) atau
pengalaman tidak langsung (misal: melalui membaca laporan-laporan hasil
penelitian, dsb).
Selain tersajikan berdasarkan aliran-alirannya, landasan filosofis
pendidikan dapat pula disajikan berdasarkan tema-tema tertentu. Misalnya
dalam tema: “Manusia sebagai Animal Educandum” (M.J. Langeveld, 1980),
Man and Education” (Frost, Jr., 1957), dll.
Berbeda dengan landasan filsafat Pendidikan, Landasan ilmiah pendidikan
adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari disiplin ilmu tertentu yang menjadi
titik tolak dalam pendidikan. Sebagaimana Anda ketahui terdapat berbagai
disiplin ilmu, seperti: psikologi, sosiologi, ekonomi, antropologi, sejarah,
biologi, dsb. Sebab itu, ada berbagai jenis landasan ilmiah pendidikan, antara
lain: landasan psikologis pendidikan, landasan sosiologis pendidikan, landasan
biologis pendidikan, landasan antropologis pendidikan, landasan historis
pendidikan, landasan ekonomi pendidikan, landasan politik pendidikan, dan
landasan fisiologis pendidikan.
Landasan Hukum/Yuridis Pendidikan. Landasan hukum/yuridis
pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari peraturan perundangan
yang berlaku, yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Contoh: Di dalam
UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan:
“Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar” (Pasal 6); “Setiap warga Negara yang berusia 6
tahun dapat mengikuti program wajib belajar” (Pasal 34). Implikasinya, Kepala
Sekolah Dasar atau panitia penerimaan siswa baru di SD harus memprioritaskan
anak-anak (pendaftar) berusia tujuh tahun untuk diterima sebagai siswa
daripada anak-anak yang baru mencapai usia enam tahun. Karena itu, panitia
penerimaan siswa baru perlu menyusun daftar urut anak (pendaftar)
berdasarkan usianya, baru menetapkan batas nomor urut pendaftar yang akan
diterima sesuai kapasitas yang dimiliki sekolah.
Upaya mengidentifikasi dan mengelompokkan jenis-jenis landasan
pendidikan, di samping dapat dilakukan berdasarkan sumbernya (sebagaimana
telah Anda pahami dari uraian di atas), dapat pula dilakukan berdasarkan sifat isi
dari asumsi-asumsinya. Berdasarkan sifat isi asumsi-asumsinya, landasan
pendidikan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
- landasan deskriptif
pendidikan dan
- landasan preskriptif pendidikan.
Landasan deskriptif pendidikan adalah asumsi-asumsi tentang kehidupan
manusia sebagai sasaran pendidikan apa adanya (Dasein) yang dijadikan titik
tolak dalam rangka pendidikan. Landasan deskriptif pendidikan umumnya
bersumber dari hasil riset ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu, sebab itu
landasan deskriptif pendidikan disebut juga landasan ilmiah pendidikan atau
landasan faktual pendidikan. Landasan deskriptif pendidikan antara lain
meliputi: landasan psikologis pendidikan, landasan biologis pendidikan,
landasan sosiologis pendidikan, landasan antropologis pendidikan, dsb. Adapun
landasan preskriptif pendidikan adalah asumsi-asumsi tentang kehidupan
manusia yang ideal/diharapkan/dicita-citakan (Das Sollen) yang disarankan
menjadi titik tolak studi pendidikan dan/atau praktek pendidikan. Landasan
preskriptif pendidikan antara lain meliputi: landasan filosofis pendidikan,
landasan religius pendidikan, dan landasan yuridis pendidikan.
Fungsi Landasan Pendidikan
Suatu gedung dapat berdiri tegak dan kuat apabila dinding-dindingnya,
atapnya, dsb. didirikan dengan bertumpu pada suatu landasan (fundasi) yang
kokoh. Apabila landasannya tidak kokoh, apalagi jika gedung itu didirikan
dengan tidak bertumpu pada fundasi atau landasan yang semestinya, maka
gedung tersebut tidak akan kuat untuk dapat berdiri tegak. Mungkin gedung itu
miring dan retak-retak, sehingga akhirnya runtuh dan berantakan. Demikian pula
pendidikan, pendidikan yang diselenggarakan dengan suatu landasan yang
kokoh, maka prakteknya akan mantap, benar dan baik, relatif tidak akan terjadi
kesalahan-kesalahan yang dapat merugikan, sehingga praktek pendidikan
menjadi efisien, efektif, dan relevan dengan kebutuhan individu, masyarakat
dan pembangunan.
Contoh: Dalam praktek pendidikan, para guru antara lain dituntut agar
melaksanakan peranan sesuai semboyan “tut wuri handayani”. Untuk itu, para
guru idealnya memahami dan meyakini asumsi-asumsi dari semboyan tersebut.
Sebab jika tidak, sekalipun tampaknya guru tertentu berbuat “seperti”
melaksanakan peranan sesuai semboyan tut wuri handayani, namun perbuatan
itu tidak akan disadarinya sebagai perbuatan untuk tut wuri handayani bagi para
siswanya. Bahkan kemungkinan perbuatan guru tersebut akan lebih sering
bertentangan dengan semboyan tersebut. Misalnya: guru kurang menghargai
bakat masing-masing siswa; semua siswa dipandang sama, tidak memiliki
perbedaan individual; guru lebih sering mengatur apa yang harus diperbuat
siswa dalam rangka belajar, guru tidak menghargai kebebasan siswa; dll. Guru
berperan sebagai penentu perkembangan pribadi siswa, guru berperan sebagai
pembentuk prestasi siswa, guru berperan sebagai pembentuk untuk menjadi
siapa para siswanya di kemudian hari. Dalam contoh ini, semboyan tinggal
hanya sebagai seboyan. Sekalipun guru hapal betul semboyan tersebut, tetapi
jika asumsi-asumsinya tidak dipahami dan tidak diyakini, maka perbuatan
dalam praktek pendidikannya tetap tidak bertitik tolak pada semboyan tadi, tidak
mantap, terjadi kesalahan, sehingga tidak efisien dan tidak efektif.
Sebaliknya, jika guru memahami dan meyakini asumsi-asumsi dari
semboyan tut wuri handayani (yaitu: kodrat alam dan kebebasan siswa), maka ia
akan dengan sadar dan mantap melaksanakan peranannya. Dalam hal ini ia akan
relatif tidak melakukan kesalahan. Misalnya: guru akan menghargai dan
mempertimbangkan bakat setiap siswa dalam rangka belajar, sekalipun para
siswa memiliki kesamaan, tetapi guru juga menghargai individualitas setiap
siswa. Guru akan memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mengatur
diri mereka sendiri dalam rangka belajar, guru menghargai kebebasan siswa.
Guru membimbing para siswa dalam rangka belajar sesuai dengan kecepatan
dan kapasitas belajarnya masing-masing, dll. Pendek kata, dengan bertitik tolak
pada asumsi kodrat alam dan kebebasan yang dimiliki setiap siswa, maka
perbuatan guru dalam praktek pendidikannya bukan untuk membentuk prestasi
belajar tanpa mempertimbangkan bakat atau kecepatan dan kapasitas belajar
masing-masing siswa; bukan untuk membentuk siswa agar menjadi siapa
mereka nantinya sesuai kehendak guru belaka; melainkan membimbing para
siswa dalam belajar sehingga mencapai prestasi optimal sesuai dengan bakat,
minat, kecepatan dan kapasitas belajarnya masing-masing; memberikan
kesempatan/kebebasan kepada siswa untuk mengembangkan diri sesuai dengan
kodrat alamnya masing-masing melalui interaksi dengan lingkungannya, dan
berdasarkan sistem nilai tertentu demi terwujudnya tertib hidupnya sendiri dan
tertibnya hidup bersama. Guru hanya akan “mengatur” atau mengarahkan siswa
ketika siswa melakukan kesalahan atau salah arah dalam rangka belajarnya.
Berdasarkan uraian di atas, jelas kiranya bahwa asumsi atau landasan
pendidikan akan berfungsi sebagai titik tolak atau tumpuan bagi para guru
dalam melaksanakan praktek pendidikan.
Ada berbagai jenis landasan pendidikan yang perlu kita kaji, antara jenis
landasan pendidikan yang satu dengan jenis landasan pendidikan yang lainnya
akan saling melengkapi. Dalam rangka mempelajari landasan pendidikan, akan
ditemukan berbagai asumsi yang mungkin dapat kita sepakati. Di samping itu,
mungkin pula ditemukan berbagai asumsi yang tidak dapat kita sepakati karena
bertentangan dengan keyakinan atau pendapat yang telah kita anut. Namun
demikian, hal yang terakhir ini hendaknya tidak menjadi alasan sehingga kita
tidak mau mempelajarinya. Sebab semua itu justru akan memperluas dan
memperjelas wawasan kependidikan kita. Hanya saja kita mesti pandai memilah
dan memilih mana yang harus ditolak dan mana yang seharusnya diterima serta
kita anut. Ini adalah salah satu peranan pelaku studi landasan pendidikan, yaitu
membangun landasan kependidikannya sendiri. Landasan pendidikan yang
dianut itulah yang akan berfungsi sebagai titik tolak dalam rangka praktek
pendidikan dan/atau studi pendidikan lebih lanjut.