Penggunaan Teknologi Informasi Komunikasi Dan Dampaknya Dalam Dunia Pendidikan

Penggunaan Teknologi Informasi Komunikasi Dan Dampaknya Dalam Dunia Pendidikan 
Dunia pendidikan sangat diuntungkan dari kemajuan teknologi informasi karena memperoleh manfaat yang luar biasa. Mulai dari eksplorasi materi-materi pembelajaran berkualitas seperti literatur, jurnal, dan buku, membangun forum-forum diskusi ilmiah, sampai onsultasi/diskusi dengan para pakar di dunia, semua itu dapat dengan mudah dilakukan dan tanpa mengalami sekat-sekat karena setiap individu dapat melakukannya sendiri. Dampak yang sedemikian luas tersebut telah memberikan warna atau wajah baru dalam sistem pendidikan dunia, yang dikenal dengan berbagai istilah e-learning, distance learning, online learning, web based learning, computer-based learning, dan virtual class room, dimana semua terminologi tersebut mengacu pada pengertian yang sama yakni pendidikan berbasis teknologi informasi.

Sudah selayaknya lembaga-lembaga pendidikan yang ada segera memperkenalkan dan memulai penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai basis pembelajaran yang lebih mutakhir. Hal ini menjadi penting mengingat penggunaan teknologi informasi merupakan salah satu faktor penting yang memungkinkan kecepatan transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik, generasi bangsa ini secara lebih luas. Dalam konteks yang lebih spesifik, dapat dikatakan bahwa kebijakan penyelenggaraan pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat harus mampu memberikan akses pemahaman dan penguasaan teknologi mutakhir yang luas kepada peserta didik.

Program pembangunan pendidikan yang terpadu dan terarah berbasis teknologi paling tidak akan memberikan multiplier effect dan nurturant effect terhadap hampir sisi pembangunan pendidikan. Sehingga IT berfungsi untuk memperkecil kesenjangan penguasaan teknologi mutakhir khususnya dalam dunia pendidikan. Pembangunan pendidikan berbasis teknologi informasi setidaknya memberikan dua keuntungan:
1. sebagai pendorong komunitas pendidikan (termasuk guru) untuk lebih apresiatif dan proaktif dalam memaksimalkan potensi pendidikan.
2. memberikan kesempatan luas kepada peserta didik memanfaatkan setiap potensi yang ada dapat diperoleh dari sumber-sumber yang tidak terbatas 

Makalah ini akan membahas sisi-sisi perubahan di dalam dunia pendidikan khususnya pada proses pembelajaran dengan adanya kemajuan teknologi informasi serta tinjauan dampak positif dan negatif yang ditimbulkannya.

Pesatnya perkembangan teknologi informasi, khususnya internet memungkinkan pengembangan layanan informasi yang lebih baik dalam institusi pendidikan. Di lingkungan perguruan tinggi, pemanfaatan teknologi informasi diwujudkan dalam suatu sistem yang disebut electronic university (e-university). Pengembangan e-university bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan, sehingga perguruan tinggi dapat memberi layanan informasi yang lebih baik kepada komunitasnya, baik di dalam maupun di luar perguruan tinggi tersebut melalui internet. Layanan pendidikan lain yang bisa dilaksanakan melalui internet yaitu dengan menyediakan materi kuliah secara online dan materi kuliah tesebut dapat diakses oleh siapa saja yang membutuhkan, sehingga memberikan informasi bagi yang sulit mendapatkannya karena kendala ruang dan waktu.

Pada tingkat pendidikan menengah implikasi teknologi informasi sudah dilakukan. Rata-rata penggunaan internet sebagai fasilitas tambahan telah menjadi kurikulum yang diajarkan dan termasuk dalam kurikulum. Teknologi informasi sudah mulai digunakan menjadi media database utama bagi nilai-nilai, kurikulum, siswa, guru atau yang lainnya. Prospek untuk masa depan penggunaan teknologi informasi di tingkat pendidikan menengah semakin cerah, selain untuk melayani institusi pendidikan secara khusus, juga untuk dunia pendidikan secara umum di Indonesia.

Pengembangan dan penerapan teknologi informasi juga bermanfaat untuk pendidikan dalam kaitannnya dengan peningkatan kualitas pendidikan nasional Indonesia. Kondisi geografis Indonesia dengan sekian banyak pulau yang terpencarpencar dan relief permukaan buminya yang tidak bersahabat maka penerapan teknologi informasi sangat tepat digunakan dalam dunia pendidikan. Teknologi informasi diandalkan menjadi fasilitator utama untuk pemerataan pendidikan di Indonesia dengan kemampuan pembelajaran jarak jauh tidak terpisah oleh ruang, jarak dan waktu. Untuk pencapaian daerah-daerah yang sulit tentunya penerapan teknologi informasi dilakukan dengan tepat di Indonesia. Adapun manfaat teknologi informasi bagi bidang pendidikan yang lain adalah:
1. akses ke perpustakaan
2. akses ke pakar
3. melakukan kuliah/pembelajaran online
4. menyediakan layanan informasi akademi dan administrasi suatu institusi pendidikan
5. menyediakan fasilitas mesin pencari data
6. menyediakan fasilitas diskusi
7. menyediakan fasilitas direktori alumni ke sekolah
8. menyediakan fasilitas kerjasama

Pada proses pembelajaran di kelas, pemanfaatan teknologi informasi dapat digunakan dalam berbagai modus. Misalnya:
a. Virtual Experiment. Demonsrsi dengan bantuan teknologi informasi ini digunakan untuk menampilkan suatu kegiatan eksperimen di depan kelas. Maksud dari virtual eksperiment disini adalah suatu kegiatan laboratorium yang dipindahkan di depan komputer. Anak bisa melakukan beberapa eksperimen dengan memanfaatkan software virtual eksperimen misalnya Crocodile Clips.

Metode ini bisa digunakan jika kita tidak mempunyai laboratorium IPA yang lengkap atau digunakan sebelum melakukan eksperimen yang sesungguhnya. Pada kegiatan ini guru dapat membuat suatu film cara-cara melakukan suatu kegiatan misalnya cara melakukan pengukuran dengan mikrometer yang benar atau mengambil sebagian kegiatan yang penting. Sehingga dengan cara ini siswa bisa diarahkan untuk melakukan kegiatan yang benar atau mengambil kesimpulan dari kegiatan tersebut. Cara lain adalah memanfaatkan media internet, kita bisa menampilkan animasi yang berhubungan dengan materi yang kita ajarkan (meskipun tidak semuanya tersedia).

b. Kelas virtual; Maksud kelas virtual di sini adalah siswa belajar mandiri yang berbasiskan web, misalnya menggunakan moodle. Bentuk kelas maya yang telah di kembangkan di sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas teknologi informasi.

Pada kelas maya ini siswa akan mendapatkan materi, tugas dan test secara online 
Sebagai guru akan memperoleh kemudahan dalam memeriksa tugas dan menilai hasil ujian siswa. Terutama hasil ujian siswa akan dinilai secara otomatis. Sebenarnya banyak bentuk pemanfaatan teknologi informasi lainnya yang dapat digunakan untuk membantu siswa dalam proses belajar mengajar. Tetapi semua itu tergantung kepada kita bagaimana cara memanfaatkannya.

Kehadiran teknologi informasi menjadi titik cerah yang diharapkan mampu memberi sumbangan berarti dalam peningkatan mutu pendidikan, saat ini mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Laporan tahunan Human Development Index UNDP tahun 2004 menempatkan Indonesia pada posisi 111 dari 175 negara. Adapun hasil survai tentang kualitas pendidikan di Asia yang dilakukan oleh PERC (The Political and Economic Risk Century) Indonesia berada pada posisi 12 atau terendah. Salah satu integrasi teknologi informasi ke dalam dunia pendidikan adalah elearning atau electronic learning. Saat ini e-learning mulai menarik perhatian banyak pihak, baik dari kalangan akademik, profesional, perusahaan maupun industri. Di institusi pendidikan tinggi misalnya, e-learning telah membuka cakrawala baru dalam proses belajar mengajar. Sedangkan di lingkungan industri e-learning dinilai mampu membantu proses dalam meningkatkan kompetensi pegawai atau sumber daya manusia.

Dari dunia akademis metode pembelajaran ini sudah banyak diterapkan dan dikembangkan. Contoh penerapan e-learning di kampus ITB, IPB, UI, Universitas Hasanuddin, Universitas Negeri Malang dan masih banyak lagi baik negari maupun swasta semua telah menggunakan teknologi informasi.

E-learning pada hakikatnya adalah bentuk pembelajaran konvensional yang dituang dalam format digital dan disajikan malalui teknologi informsi. E-learning diciptakan seolah-olah peserta didik belajar secara konvensional, hanya saja dipindahkan ke dalam sitem digital melalui internet. Keunggulan-keunggulan e-learning adalah efisiensi dalam penggunaan waktu dan ruang. Seperti telah dijelaskan pendidikan berbasis teknologi informasi cenderung tidak lagi tergantung pada ruang dan waktu. Tak ada halangan berarti untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar lintas daerah bahkan lintas negara melalui e-learning. Dengan e-learning pengajar dan siswa tidak lagi selalu harus bertatap muka dalam kelas pada waktu yang bersamaan.

Dengan sifatnya yang tidak tergantung pada ruang dan waktu, e-learning memiliki keunggulan lain yakni memungkinkan akses ke pakar yang tak terhalang wakatu dan tidak memerlukan biaya mahal. Seornag pelajar di daerah dapat belajar langsung dari pakar di pusat melalui fasilitas internet chatting atau mengakomodir suara dan bahkan gambar realtime. Dengan e-learning sekolah-sekolah dengan mudah dapat melakukan kerjasama saling menguntungkan melalui progarm kemitraan. Dengan demikian sekolah yang lebih maju dapat membantu sekolah yang belum maju sehingga dapat diupayakan adanya pemerataan mutu pendidikan. Satu hal lagi keunggulan elearning tentunya adalah ketersediaan informasi yang melimpah dari sumber-sumber di seluruh dunia. Dengan menggunakan internet sebagai media pembelajaran akan didapatkan sumber informasi untuk pengayaan materi yang jumlahnya sangat tak terbatas.

Model pembelajaran e-learning dengan segala keunggulannya akan sangat membantu dunia pendidikan di Indonesia, e-learning dapat menjadi alternatif cara peningkatan mutu pendidikan Indoneia dan melakukan upaya pemerataan di seluruh wilayah Indoensia. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa penyebaran mutu pendidikan di Indonesia belum merata. Ada kesenjangan cukup jauh antara satu wilayah dengan wilayah lain. Pendidikan di pulau Jawa dan Sumatera atau Indoensia bagian barat cenderung lebih maju dri Indoensia bagian timur. Kesenjangan seperti ini haruslah mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. E–learning dapat menjadi solusi kreatif bagi pemerintah Karena masih diperlukan pengembangan, maka masih diperlukan fokus perhatian akan e-learning, khususnya dari sisi regulasi, perlu diamati sudah seberapa jauh peranan regulasi dari pemerintah atau departemen terkait dalam mendukung terealisasinya dukungan e-learning dalam proses pendidikan di Indonesia, hingga sat ini Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasarl 31 dan SK Mendiknas No.107/U/2001 tentang Pendidikan Tinggi Jarak Jauh (PTJJ) di mana secara lebih spesifik undang-undang ini mengijinkan penyelenggara pendidikan di Indonesia untuk melaksanakan pendidikan melalui cara PTJJ dengan memanfaatkan teknologi infomrsi Regulasi diperlukan untuk melindungi minat belajar masyrakat dari malpraktek penyelenggaaan pendidikan. Selain itu juga menyiapkan rambu-rambu dalam pengembangan e-learning seselanjutnya, dan tidak hanya untuk melindungi dari malpraktek tetapi juga untuk mengantisipasi tantangan masa depan e-learning. 

Teknologi Informasi dalam Kurikulum Persekolahan
Saat ini komputer bukan lagi merupakan barang mewah, alat ini sudah digunakan di berbagai bidang pekerjaan seperti halnya pada bidang pendidikan. Pada awalnya komputer dimanfaatkan di sekolah sebagai penunjang kelancaran pekerjaan bidang administrasi dengan memanfaatkan software Microsoft word, excel dan access.

Dengan masuknya materi teknologi informasi di dunia persekolahan dengan mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), maka peranan komputer sebagai salah satu komponen utama dalam teknologi informasi mempunyai posisi yang sangat penting sebagai salah satu media pembelajaran.

Kurikulum untuk Mata Pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi mempunyai visi agar siswa dapat dan terbiasa menggunakan perangkat teknologi informasi secara tepat dan optimal untuk mendapatkan dan memproses informasi dalam kegiatan belajar, bekerja, dan aktifitas lainnya sehingga siswa mampu berkreasi, mengembangkan sikap imaginatif, mengembangkan kemampuan eksplorasi mandiri, dan mudah beradaptasi dengan perkembangan baru di lingkungannya. Selanjutnya melalui mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi diharapkan siswa dapat terlibat pada perubahan pesat dalam kehidupan yang mengalami penambahan dan perubahan dalam penggunaan beragam produk teknologi informasi dan komunikasi.

Siswa menggunakan perangkat teknologi informasi untuk mencari, mengeksplorasi, menganalisis, dan saling tukar informasi secara efisien dan efektif. Dengan demikian siswa akan dengan cepat mendapatkan ide dan pengalaman dari berbagai kalangan. Penambahan kemampuan siswa karena penggunaan teknologi informasi akan mengembangkan sikap inisiatif dan kemampuan belajar mandiri, sehingga siswa dapat memutuskan dan mempertimbangkan sendiri kapan dan dimana penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi secara tepat dan optimal, termasuk apa implikasinya saat ini dan dimasa yang akan datang.

Mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi pada jenjang pendidikan menengah mencakup penguasaan keterampilan komputer, prinsip kerja berbagai jenis peralatan komunikasi dan cara memperoleh, mengolah dan mengkomunikasikan informasi. Materi ini sekaligus dimaksudkan sebagai bekal bagi peserta didik untuk beradaptasi dengan dunia kerja dan perkembangan dunia termasuk pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.

Arah Pengembangan Teknologi Informasi
Perkembangan teknologi informasi telah memberikan pengaruh terhadap dunia pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran. Menurut Rosenberg (2001), dengan berkembangnya penggunaan TIK ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran yaitu:
(1) dari pelatihan ke penampilan,
(2) dari ruang kelas ke di mana dan kapan saja,
(3) dari kertas ke “on line” atau saluran,
(4) fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja,
(5) dari waktu siklus ke waktu nyata.

Komunikasi sebagai media pendidikan dilakukan dengan menggunakan mediamedia komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail, dsb. Interaksi antara guru dan siswa tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut. Guru dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan siswa. Demikian pula siswa dapat memperoleh informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui cyber space atau ruang maya dengan menggunakan komputer atau internet. Hal yang paling mutakhir adalah berkembangnya apa yang disebut “cyber teaching” atau pengajaran maya, yaitu proses pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan internet. Istilah lain yang poluper saat ini ialah e-learning yaitu satu model pembelajaran dengan menggunakan media teknologi komunikasi dan informasi khususnya internet.

Satu bentuk produk teknologi informasi adalah internet yang berkembang pesat di penghujung abad 20 dan di ambang abad 21. Kehadirannya telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap kehidupan umat manusia dalam berbagai aspek dan dimensi. Internet merupakan salah satu instrumen dalam era globalisasi yang telah menjadikan dunia ini menjadi transparan dan terhubungkan dengan sangat mudah dan cepat tanpa mengenal batas-batas kewilayahan atau kebangsaan. Melalui internet setiap orang dapat mengakses ke dunia global untuk memperoleh informasi dalam berbagai bidang dan pada glirannya akan memberikan pengaruh dalam keseluruhan perilakunya. Dalam kurun waktu yang amat cepat beberapa dasawarsa terakhir telah terjadi revolusi internet di berbagai negara serta penggunaannya dalam berbagai bidang kehidupan. Keberadaaninternet pada masa kini sudah merupakan satu kebutuhan pokok manusia modern dalam menghadapi berbagai tantangan perkembangan global. Kondisi ini sudah tentu akan memberikan dampak terhadap corak dan pola-pola kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Dalam kaitan ini, setiap orang atau bangsa yang ingin lestari dalam menghadapi tantangan global, perlu meningkatkan kualitas dirinya untuk beradaptasi dengan tuntutan yang berkembang. Teknologi informasi telah mengubah wajah pembelajaran yang berbeda dengan proses pembelajaran tradisional yang ditandai dengan interaksi tatap muka antara guru dengan siswa baik di kelas maupun di luar kelas. Dalam tulisan itu, secara ilustratif disebutkan bahwa di masa-masa mendatang isi tas anak sekolah bukan lagi buku-buku dan alat tulis seperti sekarang ini, akan tetapi berupa:
1. komputer notebook dengan akses internet tanpa kabel, yang bermuatan materimateri belajar yang berupa bahan bacaan, materi untuk dilihat atau didengar, dan dilengkapi dengan kamera digital serta perekam suara, 
2. Jam tangan yang dilengkapi dengan data pribadi, uang elektronik, kode sekuriti untuk masuk rumah, kalkulator, dsb.
3. Videophone bentuk saku dengan perangkat lunak, akses internet, permainan, musik, dan 
4. alat-alat musik,
5. alat olah raga, dan
6. bingkisan untuk makan siang.

Hal itu menunjukkan bahwa segala kelengkapan anak sekolah di masa itu nanti berupa perlengkapan yang bernuansa internet sebagai alat bantu belajar. Meskipun teknologi informasi komunikasi dalam bentuk komputer dan internet telah terbukti banyak menunjang proses pembelajaran anak secara lebih efektif dan produktif, namun di sisi lain masih banyak kelemahan dan kekurangan.

Dari sisi kegairahan kadang-kadang anak-anak lebih bergairah dengan internetnya itu sendiri dibandingkan dengan materi yang dipelajari. Dapat juga terjadi proses pembelajaran yang terlalu bersifat individual sehingga mengurangi pembelajaran yang bersifat sosial.

Dari aspek informasi yang diperoleh, tidak terjamin adanya ketepatan informasi dari internet sehingga sangat berbahaya kalau anak kurang memiliki sikap kritis terhadap informasi yang diperoleh. Bagi anak-anak sekolah dasar penggunaan internet yang kurang proporsional dapat mengabaikan peningkatan kemampuan yang bersifat manual seperti menulis tangan, menggambar, berhitung, dsb. Dalam hubungan ini guru perlu memiliki kemampuan dalam mengelola kegiatan pembelajaran secara proporsional dan demikian pula perlunya kerjasama yang baik dengan orang tua untuk membimbing anakanak belajar di rumah masing-masing.

Lingkungan pembelajaran yang di masa lalu berpusat pada guru telah bergesar menjadi berpusat pada siswa. Secara rinci dapat digambarkan sebagai berikut:

Dari Educational Technology ke arah Instructional Technology

Dari Educational Technology ke arah Instructional Technology 
Teknologi Pembelajaran merupakan suatu bidang studi tersendiri dan merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang terpisah. Selama bertahun-tahun bidang Teknologi Pembelajaran menjalankan fungsinya sebagai profesi dan telah menghasilkan sejumlah teori tersendiri. Perkembangan bidang Teknologi Pembelajaran telah diakui secara luas. Meski masih terdapat isu berkaitan dengan ’kematangan disiplin Teknologi Pembelajaran’ ini. Banyak asumsi yang mengatakan bahwa dalam kawasan teknologi pembelajaran. 

Pada awalnya tidak ada seorang pun yang tahu siapa yang pertama kali menciptakan istilah/ungkapan teknologi pendidikan, namun teori dan praktek teknologi pendidikan berkembang sejalan dengan teknologi informasi. Mengacu kepada buku yang dikembangkan oleh Januszewski (2001) menyatakan bahwa pada awalnya terdapat tiga gagasan pokok yang mempengaruhi terhadap pembentukan teknologi pendidikan, yaitu: Rekayasa, Sains, dan Pendidikan Audi visual. Saettler seorang sejarawan teknologi pendidikan pada tahun 1920 mendokumentasikan sumber/asal ungkapan tersebut. 

Teknologi pendidikan dalam perkembangannya tidak asli dikembangkan oleh dunia pendidikan, namun banyak sekali pengadopsian istilah baik dari militer maupun dunia industri pada saat itu. Misalnya dapat dicontohkan pada tahun 1940an, dimana perang dunia ke-II terjadi banyak sekali media-media yang dikembangkan oleh militer sebagai upaya memberikan pelatihan kepada warga yang ingin bekerja membantu pemerintah melawan penjajah. Hal ini mengilhami dunia pendidikan dengan berasumsi bahwa media yang dikembangkan dapat membantu memecahkan masalah dalam belajar, sehingga dapat memudahkan siswa belajar, bahkan siswa dapat belajar secara individual dengan menggunakan media tersebut. 

Teknologi pendidikan adalah teori dan praktek dalam merancang, mengembangkan, memanfaatkan, mengelola, serta mengevaluasi suatu proses dan sumber belajar. Konsep ini dikembangkan oleh AECT sebagai pembaharuan dari definisi sebelumnya. 

Teknologi pendidikan memiliki tiga gagasan utama yang memberikan kontribusi terhadap rumusan definisi teknologi pendidikan sebagai teori. Tiga ide tersebut menunjukkan “pergesan konsep” atau “ reorientasi konsep” terhadap pandangan utama bidang kajian itu. Untuk memahami bagaimana membedakan definisi teknologi pendidikan dari pandangan utama kajian audiovisual, seseorang harus memahami dasar pemikiran yang mendukungnya. 

Tiga gagasan utama yang diidentifikasi dalam rasionalisasi terhadap definisi itu ialah: (1) penggunaan suatu konsep “proses” dari pada konsep “produk”; (2) penggunaan istilah “message” dan “mediainstrumentation” dari material dan organisasi; dan (3) pengenalan unsur tertentu dari teori komunikasi dan belajar. (Januszewski : 2001, h. 19). 

Memahami ketiga pergesaran konsep dan bagaimana ketiganya berperan terhadap satu sama lainnya, adalah penting sekali untuk memahami gagasan teknologi pendidikan pada tahun 1963. 

Banyak faktor yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan cara pandang tentang teknologi pendidikan, tetapi diyakini ada dua hal yang paling mempengaruhi, yaitu: (1) teknologi adalah semata-mata suatu proses (Finn dalam Janszweski: 2001, h. 79) dan (2) komunikasi adalah suatu proses. Pendapat bahwa teknologi sebagai suatu proses, merupakan esensi dari definisi pertama teknologi pendidikan. Karena terdapat empat keuntungan dalam menggambarkan teknologi pendidikan sebagai proses: (1) Menggunakan istilah proses penekanan utamanya adlah bahwa pandangan proses teknologi pendidikan melebihi pada pandangan tentang hasil; (2) Menggunakan istilah proses menjadi dasar definisi teknologi pendidikan dalam kegiatan praktisi, sehingga dapat di observasi dan di verifikasi; (3) Istilah proses dapat digunakan untuk menggambarkan kawasan teknologi pendidikan sebagai teori, bidang, dan profesi; (4) Pengorganisasian proses mengimplikasikan adanya penggunaan penelitian dan teori sebagi pendukung pada ide teknologi pendidikan sebagai profesi. Teknologi Pembelajaran Kajiannya teknologi pembelajaran menjadi lebih menarik ketika kita tahu apa yang membedakan antara teknologi pendidikan dengan teknologi pembelajaran. Alangkah baiknya jika kita mengenal terlebih dahulu beberapa definisi teknologi pembelajaran yang dikemukakan beberapa ahli, selain tentu saja yang dikeluarkan AECT. 

The Commission on Instructional Technology mendefinisikan teknologi pembelajaran dalam dua cara: yaitu 1) sebagai media yang lahir dari hasil revolusi komunikasi yang dapat digunakan untuk pembelajaran misalnya buku teks dan papan tulis. 2) sebagai cara perancangan yang sistematik dalam menyampaikan, dan mengevaluasi proses belajar mengajar secara total dalam pola tujuan pembelajaran khusus, berdasarkan pada penelitian belajar dan komunikasi manusia, dan juga kombinasi antara sumber belajar manusia dan bukan manusia yang akan membawa pada pembelajaran lebih efektif. 

Teknologi pembelajaran adalah “sebuah usaha dengan atau tanpa mesin, yang tersedia atau yang dimanfaatkan, untuk memanipulasi lingkungan individu sehingga diharapkan dapat terjadi perubahan perilaku atau hasil belajar yang lain. (Knezevich & Eye, dalam Anglin 2001) 

David Engler, orang yang belajar tentang teknologi pembelajaran, mengatakan bahwa IT dibedakan ke dalam dua bagian, “pertama dan yang paling umum, bahwa teknologi pembelajaran diartikan sebagai sebuah perangkat keras- seperti TV, gambar bergerak, audiotape dan disket, buku teks, papan tulis, dll. Kedua dan yang lebih signifikan diartikan sebagai proses yang dilakukan dengan melakukan penelitian tentang ilmu behavioral dalam masalah pembelajaran.

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan tentang teknologi pendidikan dan teknologi pembelajaran, memiliki konsep yang berbeda. Penulis definisi tahun 1977 menggambarkan bahwa terdapat hubungan antara teknologi pembelajaran dengan teknologi pendidikan, yaitu pemahaman dan kerangka kerja teori. Teknologi pembelajaran merupakan bagian dari teknologi pendidikan. 

Contoh dari konsep teknologi pendidikan adalah mencakup ke dalam pemecahan masalah di setiap aspek yang berhubungan dengan masalah belajar manusia. Sedangkan konsep teknologi pembelajaran mencakup pada pemecahan masalah dimana belajar merupakan hal yang memiliki tujuan dan sifatnya terkontrol. 

Perbedaan lain dari kedua istilah tersebut sedikitnya memiliki dua pengembangan konsep yang kompleks yang juga diambil dari definisi tahun 1977, yaitu : 
1. Definisi konsep tahun 1977 tentang teknologi pendidikan disebut sebagai proses, yang digambarkan oleh teknologi pendidikan sebagai teori, atau bidang, atau profesi. 

2. Konsep sistem dimasukkan melalui pernyataan definisi awal di dalam keseluruhan konsep pendukung utama yang dijabarkan secara deskriptif dan preskriptif.

Landasah Historis Perkembangan Teknologi Pembelajaran

Landasah Historis Perkembangan Teknologi Pembelajaran 
Istilah teknologi pendidikan pada awalnya tidak ada yang tahu siapa yang menemukan istilah tersebut, namun dalam perkembangannya teknologi pendidikan berkembang sangat cepat, hal ini dikarenakan adanya tuntutan dalam upaya memecahkan masalah manusia belajar. Perkembangan teknologi pendidikan tentu tidak terlepas dari perkembangan pembelajaran yang sangat mempengaruhinya. 

Pada tahun 1963 definisi formaal teknologi pendidikan disetujui dan dkembangkan oleh DAVI [Komisi Definisi dan Terminologi pada Departemen Pembelajaran Audio-Visual] yang didukung oleh TDP [Proyek Pengembangan Teknologi], dari definisi tersebut memperlihatkan adanya pengaruh sains, rancang-bangun, dan gerakan pendidikan AV. Definisi tersebut, oleh DAVI yang bekerja sama dengan NEA [Asosiasi Pendidikan Nasional] pada tahun 1963 dipublikasikan dengan pengertian sebagai berikut: ”Komunikasi audiovisual merupakan cabang dari teori dan praktek pendidikan terutama pada disain dan penggunaan pesan yang mengendalikan proses belajar. Usaha tersebut yaitu: (a) studi yang menyangkut kelemahan dan kekuatan yang relatif dan unik baik pesan yang bergambar maupun tidak bergambar, yang mungkin dikerjakan dalam proses belajar untuk tujuan lain; dan (b) penyusunan dan sistematisasi pesan yang disampaikan manusia dan instrumen dalam lingkungan pendidikan. Usaha tersebut meliputi perencanaan, produksi, seleksi, manajemen, dan penggunaan komponen dan keseluruhan sistem pembelajaran. Tujuan praktisnya merupakan efisiensi penggunaan setiap metode dan media komunikasi yang dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan seluruh potensi peserta didik” (Ely, 1963, dalam Anglin 1991)

Dari pengertian tersebut memiliki makna bahwa dalam pendidikan tidak terlepas dari sebuah rancangan pesan seperti apa yang akan disampaikan kepada peserta didik dalam upaya mengendalikan dan membantu peserta didik selama proses belajar. Dalam hal ini juga dapat dipastikan bahwa teknologi pendidikan merupakan sistem, karena memiliki komponen-komponen yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam setiap pelaksanaan pembelajaran. 

Pada tahun 1965 konvensi DAVI yang ditetapkan di Milwauke, Wisconsin, dalam diskusi formal membahas tentang perubahan nama, dan pada tahun 1970 organisasi secara resmi mengubah namanya menjadi Asosiasi Teknologi Komunikasi dan Teknologi bidang Pendidikan (AECT). Bagaimanapun istilah ini lebih dikenal dengan istilah yang dipendekan yaitu Teknologi Pendidikan. Perubahan identitas ini terjadi disamping fakta bahwa sebutan organisasi juga mencakup istilah “Komunikasi Pendidikan”. Walaupun para penulis definisi tahun 1963 mempertimbangkan suatu perubahan sederhana dan mendukung untuk adanya perubahan definisi yang baru. Banyak pernyataan yang melukiskan karakteristik suatu profesi pada saat definisi ditulis tahun 1963, namun orang menggunakan tulisan Finn (1963). Ketika bidang AV dianggap sebagai cikal-bakal yang memungkinkan sebagai status profesional, Finn mengidentifikasikan enam karakteristik pada suatu profesional: 

Pada tahun 1972 Kenneth Silber memperkenalkan sebuah sistem yang mengkombinasikan ide tentang “open classroom movement” dengan penerapan teknologi pendidikan, dalam hal ini Heinich dan Silber memandang bahwa peran guru harus lebihh mengarah pada fungsi “fasilitator” yang memberikan berbagai kemudahan dalam membantu siswa untuk belajar. 

Dari pemahaman di atas, dapat di disimpulkan bahwa terdapat tiga konsep pokok yang ada dalam definisi teknologi pendidikan tahun 1972 yang menjadikannya ciri khas, ketiga konsep pokok ini kemudian disebbut dengan iistlah bidang atau kawasan, yaitu : (1) Sumber belajar dengan lingkup yang luas, meliputi materi, alat (tools/equipment), manusia, dan lingkungan. (2) Belajar individual atau personal, yaitu pembelajaran yang penekanannya pada belajar secara personal dengan bantuan bahan ajar yang daat memenuhi kebutuhan siswa misalnya dengan menggunakan bahan ajar pengajaran berprograma (programmed instruction). (3) Pendekatan sistem, yaitu bahwa pembelajaran merupakan sebuah sistem yang harus ditempuh oleh siswa, misalnya dalam pengajaran berprograma ada beberapa tahapan yang harus dilalui siswa dalam memahami materi. Pendekatan system pada umumnya meliputi: penilaian kebutuhan, pemilihan solusi, pengembangan sasaran, analisis tugas, dan content sesuai dengan tujuan. 

Pada tahun 1977 AECT mengubah definisi teknologi pendidikan dari pengertian teknologi pendidikan adalah sebuah bidang yang tercakup didalamnya bagaimana mempermudah manusia belajar melalui identifikasi sistematis, pengembangan, organisasi, dan pemanfaatan sumber belajar secara maksimal melalui manajemen proses. (Ely, 1972. 

Januszweski 2001) menjadi lebih kompleks, yaitu proses terintegrasi yang meliputi orang, prosedur, ide, alat dan organisasi, untuk menganalisis masalah-masalah serta merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi dan mengelola solusi terhadap masalah-masalah yang muncul, termasuk ke dalam setiap aspek belajar manusia. Dalam teknologi pendidikan, pemecahan masalah mengambil bentuk seluruh sumber-sumber belajar yang dirancang, dipilih, digunakan, atau ketiganya digunakan untuk belajar; sumber-sumber ini di identifikasi sebagai pesan, orang, materi, alat, teknik, dan setting. 

Definisi resmi tentang teknologi pendidikan dapat dipandang sebagai usaha untuk membawa sedikit fragmen dari teori, teknik, dan sejarah dalam literatur AV terhadap suatu pernyataan koheren yang akan mengejar “kemiskinan berfikir” yang ditandai gerakan pendidikan AV. Pengembangan komunikasi AV (kemudian teknologi pendidikan) sebagai suatu teori yang menambahkan “isi intelektual” menjadi praktek AV. Praktek profesional diperkuat ketika komisi menggabungkan konsep komunikasi AV dengan orientasi proses bidang teknik intelektual baru yang menjadi landasan teori. 

Perubahan definisi teknologi pendidikan terjadi lagi pada tahun 1994 dengan mengubah istilah teknologi pendidikan menjadi teknologi pembelajaran. AECT menjelaskan definisi teknologi pembalajaran adalah teori dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan penilaian terhadap proses dan sumber sumber belajar. 

Sebagai perbandingan mengenai definisi teknologi pendidikan, berikut pendapat dari beberapa ahli teknologi pendidikan. Menurut Collier et el., dalam Anglin menyatakan bahwa teknologi pendidikan, meliputi aplikasi sistem, teknik untuk mengembangkan proses belajar manusia. Yang memiliki empat karakteristik, yaitu: definisi tujuan untuk mencapai hasil belajar siswa; aplikasi prinsip-prinsip belajar untuk menganalisis dan merestruktur mata pelajaran yang akan dipelajari; memilih dan menggunakan media yang tepat untuk menyampaikan materi; dan menggunakan metode yang tepat untuk menilai penampilan siswa untuk mengevaluasi efektivitas mata pelajaran atau materi.

Sedangkan Silverman mengembangkan dua konsep tentang teknologi pendidikan adalah hubungan antara prosedur dan alat dengan konstruksi teknologi pendidikan, yang berfokus pada analisis masalah belajar, membangun dan menyeleksi instrumen evaluasi, serta memproduksi teknik dan alat, semuanya ini untuk mencapai lulusan yang optimal. ( Silverman, dalam Anglin :1991 p.4 ).

Etika, Moral, Nilai Dan Norma

Etika, Moral, Nilai Dan Norma 
a. Pengertian Etika
Sebelum membahas lebih dalam mengenai etika, moral, nilai dan norma dalam kancah Aparatur Negara dan Pegawai Negeri Sipil perlu dibahas terlebih dahulu beberapa pengertian Etika, Moral, Nilai dan Norma.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini dimana dengan semakin derasnya arus informasi sehingga tidak ada lagi batasan antara satu negara dengan negara lainnya. Dampak ini juga sangat dirasakan dalam penerapan etika, sehingga seringkali terdengar pelanggaran hak azasi manusia dan penyalagunaan wewenang dan tanggungjawab.

Walaupun demikian dalam melaksanakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus tetap ditegakkan nilai-nilai yang secara normatif harus tetap dijaga keberadaannya.

Istilah dan pengertian etika secara kebahasaan/etimologi, berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Biasanya etika berkaitan erat dengan perkataan moral yang berasal dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghin­dari hal-hal tindakan yang buruk.

Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. 

Pengertian moralitas adalah pedoman yang dimiliki setiap individu atau kelompok mengenai apa yang benar dan salah berdasarkan standar moral yang berlaku dalam masyarakat.

Disamping itu etika dapat disebut juga sebagai filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang tindakan manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak, berdasarkan norma-norma tertentu.

Moralitas dipertanyakan tampak (tangible) dalam perilaku tidak jujur dan tidak tampak (intangible) dalam pikiran yang bertentangan dengan hati nurani dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan. Moralitas yang dengan sengaja menentang hati nurani adalah soal integritas, yaitu keteguhan hati untuk berpendirian tetap mempertahankan nilai-nilai baku. 

Jadi pengertian etika dan moralitas memiliki arti yang sama sebagai sebuah sistem tata nilai tentang bagaimana manusia harus tetap mempertahankan hidup yang baik, yang kemudian terwujud dalam pola tingkah laku/perilaku yang konstan dan berulang dalam kurun waktu, yang berjalan dari waktu kewaktu sehingga menjadi suatu kebiasaan.

Berbeda lagi antara etika dengan etiket, seperti telah dibahas etika adalah berarti moral sedangkan etiket berarti sopan santun, walaupun keduanya menyangkut perilaku manusia secara normatif yaitu memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang diperbolehkan dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.

Pengertian etiket dan etika sering dicampuradukkan, padahal ke­dua istilah tersebut terdapat arti yang berbeda, walaupun ada per­samaannya. Istilah etika sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah berkaitan dengan moral (mores), sedangkan kata etiket adalah ber­kaitan dengan nilai sopan santun, tata krama dalam pergaulan formal. 

Persamaannya adalah mengenai perilaku manusia secara normatif yang etis. Artinya memberikan pedoman atau norma-norma tertentu yaitu bagaimana seharusnya seseorang itu melakukan perbuatan dan tidak melakukan sesuatu perbuatan.Istilah etiket berasal dari Etiquette (Perancis) yang berarti dari awal suatu kartu undangan yang biasanya dipergunakan semasa raja-raja di Perancis mengadakan pertemuan resmi, pesta dan resepsi un­tuk kalangan para elite kerajaan atau bangsawan. 

Pendapat lain mengatakan bahwa etiket adalah tata aturan sopan santun yang disetujui oleh masyarakat ter­tentu dan menjadi norma serta panutan dalam bertingkah lake sebagai anggota masyarakat yang baik dan menyenangkan

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diberikan beberapa arti dari kata “etiket”, yaitu : 
1. Etiket (Belanda) secarik kertas yang ditempelkan pada kemasan barang-barang (dagang) yang bertuliskan nama, isi, dan sebagainya tentang barang itu.
2. Etiket (Perancis) adat sopan santun atau tata krama yang perlu selalu diperhatikan dalam pergaulan agar hubungan selalu baik.

Beberapa perbedaan yang mendasar antara etika dan etiket :

Selain ada persamaannya, dan juga ada empat perbedaan antara etika dan etiket, yaitu secara umum­nya sebagai berikut:
1. Etika adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai pertimbangan niat baik atau buruk sebagai akibatnya. Etiket adalah menetapkan cara, untuk melakukan perbuatan be­nar sesuai dengan yang diharapkan. 
2. Etika adalah nurani (bathiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang sesungguhnya timbul dari kesadaran dirinya. Etiket adalah formalitas (lahiriah), tampak dari sikap luarnya pe­nuh dengan sopan santun dan kebaikan. 
3. Etika bersifat absolut, artinya tidak dapat ditawar-tawar lagi, kalau perbuatan baik mendapat pujian dan yang salah harus mendapat sanksi.Etiket bersifat relatif, yaitu yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan daerah tertentu, tetapi belum tentu di tempat daerah lainnya. 

Etika berlakunya, tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang hadir. Etiket hanya berlaku, jika ada orang lain yang hadir, dan jika tidak ada orang lain maka etiket itu tidak berlaku.

b. Macam-macam Etika
Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya. Termasuk di dalamnya membahas nilai­-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam etika (Keraf: 1991: 23), sebagai berikut:

Etika Deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya. Da-pat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertin­dak secara etis.

Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika Normatif merupakan norma-norma yang da­pat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan meng­hindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.

Dari berbagai pembahasan definisi tentang etika tersebut di atas dapat diklasifikasikan menjadi tiga (3) jenis definisi, yaitu sebagai berikut:
· Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia. 
· Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan baik buruknya perilaku manusia dalam kehi­dupan bersama. Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologik. 
· Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup informasi, menganjurkan dan merefleksikan. Definisi etika ini lebih bersifat informatif, direktif dan reflektif. 

c. Fungsi Etika
Etika tidak langsung membuat manusia menjadi lebih baik, itu ajaran moral, melainkan etika merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan pelbagai moralitas yang membingungkan. Etika ingin menampilkan ketrampilan intelektual yaitu ketrampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis. Orientasi etis ini diperlukan dalam mengabil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme. Pluralisme moral diperlukan karena:
· pandangan moral yang berbeda-beda karena adanya perbedaan suku, daerah budaya dan agama yang hidup berdampingan;
· modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur dan nilai kebutuhan masyarakat yang akibatnya menantang pandangan moral tradisional;
· berbagai ideologi menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan, masing-masing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup.

Etika secara umum dapat dibagi menjadi etika umum yang berisi prinsip serta moral dasar dan etika khusus atau etika terapan yang berlaku khusus. Etika khusus ini masih dibagi lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Etika sosial dibagi menjadi:
(1) Sikap terhadap sesama;
(2) Etika keluarga
(3) Etika profesi misalnya etika untuk pustakawan, arsiparis, dokumentalis, pialang informasi
(4) Etika politik
(5) Etika lingkungan hidup , serta
(6) Kritik ideologi Etika adalah filsafat atau pemikiran kritis rasional tentang ajaran moral sedangka moral adalah ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dsb. Etika selalu dikaitkan dengan moral serta harus dipahami perbedaan antara etika dengan moralitas.

a. Pengertian Moral
Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik.

‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.

Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat pada sekelompok manusia. Ajaran moral mengajarkan bagaimana orang harus hidup. Ajaran moral merupakan rumusan sistematik terhadap anggapan tentang apa yang bernilai serta kewajiban manusia.

Etika merupakan ilmu tentang norma, nilai dan ajaran moral. Etika merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai 5 ciri khas yaitu bersifat rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif (tidak sekadar melaporkan pandangan moral melainkan menyelidiki bagaimana pandangan moral yang sebenarnya).

b. Moralitas
Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat di antara sekelompok manusia. Adapun nilai moral adalah kebaikan manusia sebagai manusia. Norma moral adalah tentang bagaimana manusia harus hidup Supaya menjadi baik sebagai manusia. Ada perbedaan antara kebaikan moral dan kebaikan pada umumnya. Kebaikan moral merupakan kebaikan manusia sebagai manusia sedangkan kebaikan pada umumnya merupakan kebaikan manusia dilihat dari satu segi saja, misalnya sebagai suami atau isteri, sebagai pustakawan.

Moral berkaitan dengan moralitas. Moralitas adala sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau sopan santun. Moralitas dapat berasal dari sumber tradisi atau adat, agama atau sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa sumber. Etika dan moralitas Etika bukan sumber tambahan moralitas melainkan merupakan filsafat yang mereflesikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai lima ciri khas yaitu rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif. Rasional berarti mendasarkan diri pada rasio atau nalar, pada argumentasi yang bersedia untuk dipersoalkan tanpa perkecualian. Kritis berarti filsafat ingin mengerti sebuah masalah sampai ke akar-akarnya, tidak puas dengan pengertian dangkal. Sistematis artinya membahas langkah demi langkah. Normatif menyelidiki bagaimana pandangan moral yang seharusnya. Etika dan agama

Etika tidak dapat menggantikan agama. Orang yang percaya menemukan orientasi dasar kehidupan dalam agamanya. Agama merupakan hal yang tepat untuk memberikan orientasi moral. Pemeluk agama menemukan orientasi dasar ehidupan dalam agamanya. Akan tetapi agama itu memerlukan ketrampilan etika agar dapat memberikan orientasi, bukan sekadar indoktrinasi. Hal ini disebabkan empat alasan sebagai berikut:
1. Orang agama mengharapkan agar ajaran agamanya rasional. Ia tidak puas mendengar bahwa Tuhan memerintahkan sesuatu, tetapu ia juga ingin mengertimengapa Tuhan memerintahkannya. Etika dapat membantu menggali rasionalitas agama.
2. Seringkali ajaran moral yang termuat dalam wahyu mengizinkan interpretasi yang saling berbeda dan bahkan bertentangan.
3. Karena perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan masyarakat maka agama menghadapi masalah moral yang secara langsung tidak disinggung-singgung dalam wahyu. Misalnya bayi tabung, reproduksi manusia dengan gen yang sama.
4. Adanya perbedaan antara etika dan ajaran moral. Etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional semata-mata sedangkan agama pada wahyunya sendiri. Oleh karena itu ajaran agama hanya terbuka pada mereka yang mengakuinya sedangkan etika terbuka bagi setiap orang dari

a. Pengertian Nilai
Untuk memahami pengertian nilai secara lebih dalam, berikut ini akan disajikan sejumlah definisi nilai dari beberapa ahli.

“Value is an enduring belief that a specific mode of conduct or end-state of existence is personally or socially preferable to an opposite or converse mode of conduct or end-state of existence.” (Rokeach, 1973)

“Value is a general beliefs about desirable or undesireable ways of behaving and about desirable or undesireable goals or end-states.” (Feather, 1994 hal. 184)

“Value as desireable transsituatioanal goal, varying in importance, that serve as guiding principles in the life of a person or other social entity.” (Schwartz, 1994)

Lebih lanjut Schwartz (1994) juga menjelaskan bahwa nilai adalah (1) suatu keyakinan, (2) berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu, (3) melampaui situasi spesifik, (4) mengarahkan seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku, individu, dan kejadian-kejadian, serta (5) tersusun berdasarkan derajat kepentingannya. 

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, terlihat kesamaan pemahaman tentang nilai, yaitu (1) suatu keyakinan, (2) berhubungan dengan cara bertingkah laku dan tujuan akhir tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya.

Pemahaman tentang nilai tidak terlepas dari pemahaman tentang bagaimana nilai itu terbentuk. Schwartz berpandangan bahwa nilai merupakan representasi kognitif dari tiga tipe persyaratan hidup manusia yang universal, yaitu :
1. kebutuhan individu sebagai organisme biologis; 
2. persyaratan interaksi sosial yang membutuhkan koordinasi interpersonal; 
3. tuntutan institusi sosial untuk mencapai kesejahteraan kelompok dan kelangsungan hidup kelompok (Schwartz & Bilsky, 1987; Schwartz, 1992, 1994). 

Jadi, dalam membentuk tipologi dari nilai-nilai, Schwartz mengemukakan teori bahwa nilai berasal dari tuntutan manusia yang universal sifatnya yang direfleksikan dalam kebutuhan organisme, motif sosial (interaksi), dan tuntutan institusi sosial (Schwartz & Bilsky, 1987). Ketiga hal tersebut membawa implikasi terhadap nilai sebagai sesuatu yang diinginkan. 

Schwartz menambahkan bahwa sesuatu yang diinginkan itu dapat timbul dari minat kolektif (tipe nilai benevolence, tradition, conformity) atau berdasarkan prioritas pribadi / individual (power, achievement, hedonism, stimulation, self-direction), atau kedua-duanya (universalism, security). Nilai individu biasanya mengacu pada kelompok sosial tertentu atau disosialisasikan oleh suatu kelompok dominan yang memiliki nilai tertentu (misalnya pengasuhan orang tua, agama, kelompok tempat kerja) atau melalui pengalaman pribadi yang unik (Feather, 1994; Grube, Mayton II & Ball-Rokeach, 1994; Rokeach, 1973; Schwartz, 1994).

Nilai sebagai sesuatu yang lebih diinginkan harus dibedakan dengan yang hanya ‘diinginkan’, di mana ‘lebih diinginkan’ mempengaruhi seleksi berbagai modus tingkah laku yang mungkin dilakukan individu atau mempengaruhi pemilihan tujuan akhir tingkah laku (Kluckhohn dalam Rokeach, 1973). ‘Lebih diinginkan’ ini memiliki pengaruh lebih besar dalam mengarahkan tingkah laku, dan dengan demikian maka nilai menjadi tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.

Sebagaimana terbentuknya, nilai juga mempunyai karakteristik tertentu untuk berubah. Karena nilai diperoleh dengan cara terpisah, yaitu dihasilkan oleh pengalaman budaya, masyarakat dan pribadi yang tertuang dalam struktur psikologis individu (Danandjaja, 1985), maka nilai menjadi tahan lama dan stabil (Rokeach, 1973). Jadi nilai memiliki kecenderungan untuk menetap, walaupun masih mungkin berubah oleh hal-hal tertentu. Salah satunya adalah bila terjadi perubahan sistem nilai budaya di mana individu tersebut menetap (Danandjaja, 1985).

b. Tipe Nilai (Value Type)
Penelitian Schwartz mengenai nilai salah satunya bertujuan untuk memecahkan masalah apakah nilai-nilai yang dianut oleh manusia dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe nilai (value type). Lalu masing-masing tipe tersebut terdiri pula dari sejumlah nilai yang lebih khusus. Setiap tipe nilai merupakan wilayah motivasi tersendiri yang berperan memotivasi seseorang dalam bertingkah laku. Karena itu, Schwartz juga menyebut tipe nilai ini sebagai motivational type of value.

Dari hasil penelitiannya di 44 negara, Schwartz (1992, 1994) mengemukakan adanya 10 tipe nilai (value types) yang dianut oleh manusia, yaitu :
1. Power. Tipe nilai ini merupakan dasar pada lebih dari satu tipe kebutuhan yang universal, yaitu transformasi kebutuhan individual akan dominasi dan kontrol yang diidentifikasi melalui analisa terhadap motif sosial. Tujuan utama dari tipe nilai ini adalah pencapaian status sosial dan prestise, serta kontrol atau dominasi terhadap orang lain atau sumberdaya tertentu. Nilai khusus (spesific values) tipe nilai ini adalah : social power, authority, wealth, preserving my public image dan social recognition.

2. Achievement. Tujuan dari tipe nilai ini adalah keberhasilan pribadi dengan menunjukkan kompetensi sesuai standar sosial. Unjuk kerja yang kompeten menjadi kebutuhan bila seseorang merasa perlu untuk mengembangkan dirinya, serta jika interaksi sosial dan institusi menuntutnya. Nilai khusus yang terdapat pada tipe nilai ini adalah : succesful, capable, ambitious, influential.

3. Hedonism. Tipe nilai ini bersumber dari kebutuhan organismik dan kenikmatan yang diasosiasikan dengan pemuasan kebutuhan tersebut. Tipe nilai ini mengutamakan kesenangan dan kepuasan untuk diri sendiri. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : pleasure, enjoying life.

4. Stimulation. Tipe nilai ini bersumber dari kebutuhan organismik akan variasi dan rangsangan untuk menjaga agar aktivitas seseorang tetap pada tingkat yang optimal. Unsur biologis mempengaruhi variasi dari kebutuhan ini, dan ditambah pengaruh pengalaman sosial, akan menghasilkan perbedaan individual tentang pentingnya nilai ini. Tujuan motivasional dari tipe nilai ini adalah kegairahan, tantangan dalam hidup. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : daring, varied life, exciting life. 

5. Self-direction. Tujuan utama dari tipe nilai ini adalah pikiran dan tindakan yang tidak terikat (independent), seperti memilih, mencipta, menyelidiki. Self-direction bersumber dari kebutuhan organismik akan kontrol dan penguasaan (mastery), serta interaksi dari tuntutan otonomi dan ketidakterikatan. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : creativity, curious, freedom, choosing own goals, independent.

6. Universalism. Tipe nilai ini termasuk nilai-nilai kematangan dan tindakan prososial. Tipe nilai ini mengutamakan penghargaan, toleransi, memahami orang lain, dan perlindungan terhadap kesejahteraan umat manusia. Contoh nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : broad-minded, social justice, equality, wisdom, inner harmony.

7. Benevolence. Tipe nilai ini lebih mendekati definisi sebelumnya tentang konsep prososial. Bila prososial lebih pada kesejahteraan semua orang pada semua kondisi, tipe nilai benevolence lebih kepada orang lain yang dekat dari interaksi sehari-hari. Tipe ini dapat berasal dari dua macam kebutuhan, yaitu kebutuhan interaksi yang positif untuk mengembangkan kelompok, dan kebutuhan organismik akan afiliasi. Tujuan motivasional dari tipe nilai ini adalah peningkatan kesejahteraan individu yang terlibat dalam kontak personal yang intim. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : helpful, honest, forgiving, responsible, loyal, true friendship, mature love.

8. Tradition. Kelompok dimana-mana mengembangkan simbol-simbol dan tingkah laku yang merepresentasikan pengalaman dan nasib mereka bersama. Tradisi sebagian besar diambil dari ritus agama, keyakinan, dan norma bertingkah laku. Tujuan motivasional dari tipe nilai ini adalah penghargaan, komitmen, dan penerimaan terhadap kebiasaan, tradisi, adat istiadat, atau agama. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : humble, devout, accepting my portion in life, moderate, respect for tradition.

9. Conformity. Tujuan dari tipe nilai ini adalah pembatasan terhadap tingkah laku, dorongan-dorongan individu yang dipandang tidak sejalan dengan harapan atau norma sosial. Ini diambil dari kebutuhan individu untuk mengurangi perpecahan sosial saat interaksi dan fungsi kelompok tidak berjalan dengan baik. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : politeness, obedient, honoring parents and elders, self discipline.

10. Security. Tujuan motivasional tipe nilai ini adalah mengutamakan keamanan, harmoni, dan stabilitas masyarakat, hubungan antar manusia, dan diri sendiri. Ini berasal dari kebutuhan dasar individu dan kelompok. Tipe nilai ini merupakan pencapaian dari dua minat, yaitu individual dan kolektif. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : national security, social order, clean, healthy, reciprocation of favors, family security, sense of belonging.

c. Struktur Hubungan Nilai
Selain adanya 10 tipe nilai ini, Schwartz juga berpendapat bahwa terdapat suatu struktur yang menggambarkan hubungan di antara nilai-nilai tersebut. Untuk mengidentifikasi struktur hubungan antar nilai, asumsi yang dipegang adalah bahwa pencapaian suatu tipe nilai mempunyai konsekuensi psikologis, praktis, dan sosial yang dapat berkonflik atau sebaliknya berjalan seiring (compatible) dengan pencapaian tipe nilai lain. Misalnya, pencapaian nilai achievement akan berkonflik dengan pencapaian nilai benevolence, karena individu yang mengutamakan kesuksesan pribadi dapat merintangi usahanya meningkatkan kesejahteraan orang lain. Sebaliknya, pencapaian nilai benevolence dapat berjalan selaras dengan pencapaian nilai conformity karena keduanya berorientasi pada tingkah laku yang dapat diterima oleh kelompok sosial.

Pencapaian nilai yang seiring satu dengan yang lain menghasilkan sistem hubungan antar nilai sebagai berikut :
1) Tipe nilai power dan achievement, keduanya menekankan pada superioritas sosial dan harga diri 
2) Tipe nilai achievement dan hedonism, keduanya menekankan pada pemuasan yang terpusat pada diri sendiri 
3) Tipe nilai hedonism dan stimulation, keduanya menekankan keinginan untuk memenuhi kegairahan dalam diri 
4) Tipe nilai stimulation dan self-direction, keduanya menekankan minat intrinsik dalam bidang baru atau menguasai suatu bidang 
5) Tipe nilai self-direction dan universalism, keduanya mengekspresikan keyakinan terhadap keputusan atau penilaian diri dan pengakuan terhadap adanya keragaman dari hakekat kehidupan 
6) Tipe nilai universalism dan benevolence, keduanya menekankan orientasi kesejahteraan orang lain dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi 
7) Tipe nilai benevolence dan conformity, keduanya menekankan tingkah laku normatif yang menunjang interaksi intim antar pribadi 
8) Tipe nilai benevolence dan tradition, keduanya mengutamakan pentingnya arti suatu kelompok tempat individu berada 
9) Tipe nilai conformity dan tradition, keduanya menekankan pentingnya memenuhi harapan sosial di atas kepentingan diri sendiri 
10) Tipe nilai tradition dan security, keduanya menekankan pentingnya aturan-aturan sosial untuk memberi kepastian dalam hidup 
11) Tipe nilai conformity dan security, keduanya menekankan perlindungan terhadap aturan dan harmoni dalam hubungan sosial 
12) Tipe nilai security dan power, keduanya menekankan perlunya mengatasi ancaman ketidakpastian dengan cara mengontrol hubungan antar manusia dan sumberdaya yang ada. 

Berdasarkan adanya tipe nilai yang sejalan dan berkonflik, Schwartz menyimpulkan bahwa tipe nilai dapat diorganisasikan dalam dimensi bipolar, yaitu :
1) Dimensi opennes to change yang mengutamakan pikiran dan tindakan independen yang berlawanan dengan dimensi conservation yang mengutamakan batasan-batasan terhadap tingkah laku, ketaatan terhadap aturan tradisional, dan perlindungan terhadap stabilitas. Dimensi opennes to change berisi tipe nilai stimulation dan self direction, sedangkan dimensi conservation berisi tipe nilai conformity, tradition, dan security. 

2) Dimensi yang kedua adalah dimensi self-transcendence yang menekankan penerimaan bahwa manusia pada hakekatnya sama dan memperjuangkan kesejahteraan sesama yang berlawanan dengan dimensi self-enhancement yang mengutamakan pencapaian sukses individual dan dominasi terhadap orang lain. Tipe nilai yang termasuk dalam dimensi self-transcendence adalah universalism dan benevolence. Sedangkan tipe nilai yang termasuk dalam dimensi self-enhancement adalah achievement dan power. Tipe nilai hedonism berkaitan baik dengan dimensi self-enhancement maupun openness to change

Hubungan Nilai Dan Tingkah Laku
Di dalam kehidupan manusia, nilai berperan sebagai standar yang mengarahkan tingkah laku. Nilai membimbing individu untuk memasuki suatu situasi dan bagaimana individu bertingkah laku dalam situasi tersebut (Rokeach, 1973; Kahle dalam Homer & Kahle, 1988). Nilai menjadi kriteria yang dipegang oleh individu dalam memilih dan memutuskan sesuatu (Williams dalam Homer & Kahle, 1988). Danandjaja (1985) mengemukakan bahwa nilai memberi arah pada sikap, keyakinan dan tingkah laku seseorang, serta memberi pedoman untuk memilih tingkah laku yang diinginkan pada setiap individu. Karenanya nilai berpengaruh pada tingkah laku sebagai dampak dari pembentukan sikap dan keyakinan, sehingga dapat dikatakan bahwa nilai merupakan faktor penentu dalam berbagai tingkah laku sosial (Rokeach, 1973; Danandjaja, 1985). 

Mengacu pada BST, nilai merupakan salah satu komponen yang berperan dalam tingkah laku : perubahan nilai dapat mengarahkan terjadinya perubahan tingkah laku. Hal ini telah dibuktikan dalam sejumlah penelitian yang berhasil memodifikasi tingkah laku dengan cara mengubah sistem nilai (Grube dkk., 1994; Sweeting, 1990; Waller, 1994; Greenstein, 1976; Grube, Greenstein, Rankin & Kearney, 1977; Schwartz & Inbar-Saban, 1988). 

d. Fungsi Nilai
Fungsi utama dari nilai dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Nilai sebagai standar (Rokeach, 1973; Schwartz, 1992, 1994), fungsinya ialah:
· Membimbing individu dalam mengambil posisi tertentu dalam social issues tertentu (Feather, 1994). 
· Mempengaruhi individu untuk lebih menyukai ideologi politik tertentu dibanding ideologi politik yang lain. 
· Mengarahkan cara menampilkan diri pada orang lain. 
· Melakukan evaluasi dan membuat keputusan. 
· Mengarahkan tampilan tingkah laku membujuk dan mempengaruhi orang lain, memberitahu individu akan keyakinan, sikap, nilai dan tingkah laku individu lain yang berbeda, yang bisa diprotes dan dibantah, bisa dipengaruhi dan diubah. 

2) Sistim nilai sebagai rencana umum dalam memecahkan konflik dan pengambilan keputusan (Feather, 1995; Rokeach, 1973; Schwartz, 1992, 1994). Situasi tertentu secara tipikal akan mengaktivasi beberapa nilai dalam sistim nilai individu. Umumnya nilai-nilai yang teraktivasi adalah nilai-nilai yang dominan pada individu yang bersangkutan.

3) Fungsimotivasional. Fungsi langsung dari nilai adalah mengarahkan tingkah laku individu dalam situasi sehari-hari, sedangkan fungsi tidak langsungnya adalah untuk mengekspresikan kebutuhan dasar sehingga nilai dikatakan memiliki fungsi motivasional. Nilai dapat memotivisir individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu (Rokeach, 1973; Schwartz, 1994), memberi arah dan intensitas emosional tertentu terhadap tingkah laku (Schwartz, 1994). Hal ini didasari oleh teori yang menyatakan bahwa nilai juga merepresentasikan kebutuhan (termasuk secara biologis) dan keinginan, selain tuntutan sosial (Feather, 1994; Grube dkk., 1994).

Nilai Sebagai Keyakinan (Belief) 
Dari definisinya, nilai adalah keyakinan (Rokeach, 1973; Schwartz, 1994; Feather, 1994) sehingga pembahasan nilai sebagai keyakinan perlu untuk memahami keseluruhan teori nilai, terutama keterkaitannya dengan tingkah laku. Nilai itu sendiri merupakan keyakinan yang tergolong preskriptif atau proskriptif, yaitu beberapa cara atau akhir tindakan dinilai sebagai diinginkan atau tidak diinginkan. Hal ini sesuai dengan definisi dari Allport bahwa nilai adalah suatu keyakinan yang melandasi seseorang untuk bertindak berdasarkan pilihannya (dalam Rokeach, 1973). Robinson dkk. (1991) mengemukakan bahwa keyakinan, dalam konsep Rokeach, bukan hanya pemahaman dalam suatu skema konseptual, tapi juga predisposisi untuk bertingkah laku yang sesuai dengan perasaan terhadap obyek dari keyakinan tersebut.

Dalam Rokeach (1973) dikatakan, sebagai keyakinan, nilai memiliki aspek kognitif, afektif dan tingkah laku dengan penjelasan sebagai berikut:
1) Nilai meliputi kognisi tentang apa yang diinginkan, menjelaskan pengetahuan, opini dan pemikiran individu tentang apa yang diinginkan. 
2) Nilai meliputi afektif, di mana individu atau kelompok memiliki emosi terhadap apa yang diinginkan, sehingga nilai menjelaskan perasaan individu atau kelompok terhadap apa yang diinginkan itu. 
3) Nilai memiliki komponen tingkah laku, artinya nilai merupakan variabel yang berpengaruh dalam mengarahkan tingkah laku yang ditampilkan. 

Pemahaman nilai sebagai keyakinan, tidak dapat dipisahkan dari model yang dikembangkan Rokeach pertama kali pada tahun 1968, yang disebut Belief System Theory (BST). Grube dkk. (1994) menjelaskan bahwa BST adalah organisasi dari teori yang menjelaskan dan mengerti bagaimana keyakinan dan tingkah laku saling berhubungan, serta dalam kondisi apa sistem keyakinan dapat dipertahankan atau diubah. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam BST, tingkah laku merupakan fungsi dari sikap, nilai dan konsep diri.

Menurut Grube, Mayton, II & Rokeach (1994), BST merupakan suatu kerangka berpikir yang berupaya menjelaskan adanya organisasi antara sikap (attitude), nilai (value), dan tingkah laku (behavior). Menurut teori ini, keyakinan dan tingkah laku saling berkaitan. Keyakinan-keyakinan yang dimiliki individu terorganisasi dalam suatu dimensi sentralitas atau dimensi derajat kepentingan. Suatu keyakinan yang lebih sentral akan memiliki implikasi dan konsekuensi yang besar terhadap keyakinan lain. Jadi perubahan suatu keyakinan yang lebih sentral akan memberikan dampak yang lebih besar terhadap tingkah laku dibandingkan pada keyakinan-keyakinan lain yang lebih rendah sentralitasnya. Urutan keyakinan menurut derajat sentralitasnya adalah self-conceptions, value, dan attitude.

Sikap (attitude) adalah keyakinan yang menempati posisi periferal/tepi atau paling rendah sentralitasnya dalam BST. Sikap merupakan suatu organisasi dari keyakinan-keyakinan sehari-hari tentang obyek atau situasi. Jumlah sikap yang dimiliki individu dapat berhubungan dengan banyak obyek atau situasi yang berbeda-beda. Karenanya seseorang dapat memiliki sikap yang ribuan jumlahnya. Mengingat sikap adalah keyakinan yang periferal, maka perubahan sikap hanya memiliki pengaruh yang terbatas pada tingkah laku. 

Nilai (value) adalah keyakinan berikutnya yang lebih sentral. Nilai melampaui suatu obyek dan situasi tertentu. Nilai memegang peranan penting karena merupakan representasi kognitif dari kebutuhan individu di satu sisi dan tuntutan sosial di sisi lain.

Konsep diri (self-conceptions) adalah keyakinan sentral dari BST. Menurut Rokeach (dalam Grube, Mayton, II & Rokeach, 1994) konsep diri adalah keseluruhan konsepsi individu tentang dirinya yang meliputi organisasi semua kognisi dan konotasi afektif yang berupaya menjawab pertanyaan "Siapa diri saya ini?". Semua keyakinan lain dan tingkah laku terorganisasi di sekeliling konsep diri dan berupaya menjaga konsep diri yang positif.

Jadi, perubahan pada satu komponen BST, akan menyebabkan perubahan pada komponen lain termasuk tingkah laku. Berbeda dengan sikap, nilai adalah keyakinan tunggal yang mengatasi obyek maupun situasi. Karenanya, perubahan nilai lebih dimungkinkan akan menyebabkan perubahan komponen lainnya dibandingkan yang lain.

Pengukuran Nilai 
Selama ini pengukuran nilai didasarkan kepada hasil evaluasi diri yang dilaporkan oleh individu ke dalam suatu skala pengukuran (mis. Rokeach value survey, Schwartz value survey). Evaluasi diri membutuhkan pemahaman kognitif maupun afektif terhadap diri sendiri, termasuk untuk membedakan antara nilai ideal normatif dan nilai faktual yang ada saat ini. Sejalan dengan hal ini, Schwartz, Verkasalo, Antonovsky dan Sagiv (1997) melihat hubungan antara respon terhadap social desirability dan skala nilai berdasarkan pelaporan diri. Mereka membuktikan bahwa terjadi bias pada pengukuran nilai yang mengandung aspek social desirability tinggi, yaitu pada tipe nilai hedonism, stimulation, self-direction, achievement dan power. Jadi pengukuran nilai yang menggunakan skala pelaporan diri pada penelitian yang banyak dipengaruhi aspek social desirability seperti dalam penelitian ini (mis. t

Cara lain yang digunakan untuk mengetahui nilai individu adalah dengan teknik wawancara. Teknik ini telah digunakan oleh Rokeach (1973) untuk menggali nilai-nilai apa saja yang dimiliki seseorang. Ia melakukan wawancara dengan para responden yang dimintanya untuk menjawab pertanyaan tentang nilai apa yang menjadi tujuan akhir mereka. 

Berdasarkan teori yang telah diuraikan sebelumnya, nilai-nilai seseorang akan tampak dalam beberapa indikator :
1) Berkaitan dengan definisi nilai sebagai cara bertingkah laku dan tujuan akhir tertentu, maka indikator pertama adalah pernyataan tentang keinginan-keinginan, prinsip hidup dan tujuan hidup seseorang. 

2) Indikator berikutnya adalah tingkah laku subyek dalam kehidupannya sehari-hari. Nilai berpengaruh terhadap bagaimana seseorang bertingkah laku, memberi arah pada tingkah laku dan memberi pedoman untuk memilih tingkah laku yang diinginkan. Jadi tingkah laku seseorang mencerminkan nilai-nilai yang dianutnya. Dari tingkah laku dapat dilihat apa yang menjadi prioritasnya, apa yang lebih diinginkan oleh seseorang. 

3) Fungsi nilai adalah memotivasi tingkah laku. Seberapa besar seseorang berusaha mencapai apa yang diinginkannya dan intensitas emosional yang diatribusikan terhadap usahanya tersebut, dapat menjadi ukuran tentang kekuatan nilai yang dianutnya. 

4) Salah satu fungsi dari nilai adalah dalam memecahkan konflik dan mengambil keputusan. Dalam keadaan-keadaan dimana seseorang harus mengambil keputusan dari situasi yang menimbulkan konflik, nilainya yang dominan akan teraktivasi. Jadi, apa keputusan seseorang dalam situasi konflik tersebut dapat dijadikan indikator tentang nilai yang dianutnya. 

5) Fungsi lain dari nilai adalah membimbing individu dalam mengambil posisi tertentu dalam suatu topik sosial tertentu dan mengevaluasinya. Jadi apa pendapat seseorang tentang suatu topik tertentu dan bagaimana ia mengevaluasi topik tersebut, dapat menggambarkan nilai-nilainya. 

a. Pengertian Norma
Di dalam kehidupan sehari-hari sering dikenal dengan istilah nor­ma-norma atau kaidah, yaitu biasanya suatu nilai yang mengatur dan memberikan pedoman atau patokan tertentu bagi setiap orang atau masyarakat untuk bersikap tindak, dan berperilaku sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama. Patokan atau pedoman tersebut sebagai norma (norm) atau kaidah yang merupa­kan standar yang harus ditaati atau dipatuhi (Soekanto: 1989:7).

Kehidupan masyarakat terdapat berbagai golongan dan aliran yang beraneka ragam, masing-masing mempunyai kepentingan sendiri, akan tetapi kepentingan bersama itu mengharuskan adanya ketertiban dan keamanan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk peraturan yang disepakati bersama, yang mengatur tingkah laku dalam masyarakat, yang disebut peraturan hidup.Untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan kehidupan de­ngan aman, tertib dan damai tanpa gangguan tersebut, maka diperlu­kan suatu tata (orde=ordnung), dan tata itu diwujudkan dalam “aturan main” yang menjadi pedoman bagi segala pergaulan kehidupan sehari-hari, sehingga kepentingan masing-masing anggota masyarakat terpelihara dan terjamin. Setiap anggota masyarakat mengetahui “hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan tata peraturan”, dan tata itu lazim disebut “kaedah” (bahasa Arab), dan “norma” (bahasa Latin) atau ukuran-ukuran yang menjadi pedoman, norma-norma tersebut mempunyai dua macam menurut isinya, yaitu:
1. Perintah, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk ber­buat sesuatu oleh karena akibatnya dipandang baik. 
2. Larangan, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibatnya dipandang tidak baik.Artinya norma adalah untuk memberikan petunjuk kepada ma­nusia bagaimana seseorang hams bertindak dalam masyarakat serta perbuatan-perbuatan mana yang harus dijalankannya, dan perbuatan-perbuatan mana yang harus dihindari (Kansil, 1989:81). 

Norma-norma itu dapat dipertahankan melalui sanksi-sanksi, yaitu berupa ancaman hukuman terhadap siapa yang telah melanggarnya. 

Tetapi dalam ke­hidupan masyarakat yang terikat oleh peraturan hidup yang disebut norma, tanpa atau dikenakan sanksi atas pelanggaran, bila seseorang melanggar suatu norma, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat dan sifatnya suatu pelanggaran yang terjadi, misalnya sebagai berikut:

  • Mengangkat gagang telepon setelah di ujung bunyi ke tiga kalinya serta mengucapkan salam, dan jika mengangkat telepon sedang berdering dengan kasar, maka sanksinya dianggap “intrupsi” ada­lah menunjukkan ketidaksenangan yang tidak sopan dan tidak menghormati si penelepon atau orang yang ada disekitarnya. 
  • Orang yang mencuri barang milik orang lain tanpa sepengetahu­an pemiliknya, maka sanksinya cukup berat dan bersangkutan dikenakan sanksi hukuman, baik hukuman pidana penjara mau­pun perdata (ganti rugi). 
Kemudian norma tersebut dalam pergaulan hidup terdapat empat (4) kaedah atau norma, yaitu norma agama, kesusilaan, kesopanan dan hukum . Dalam pelaksanaannya, terbagi lagi menjadi norma-norma umum (non hukum) dan norma hukum, pemberlakuan norma-norma itu dalam aspek kehidupan dapat digolongkan ke dalam dua macam kaidah, sebagai berikut:

1. Aspek kehidupan pribadi (individual) meliputi: 
Kaidah kepercayaan untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan yang beriman. 
Kehidupan kesusilaan, nilai moral, dan etika yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi demi tercapainya kesucian hati nu-rani yang berakhlak berbudi luhur (akhlakul kharimah). 

2. Aspek kehidupan antar pribadi (bermasyarakat) meliputi: 
Kaidah atau norma-norma sopan-santun, tata krama dan etiketdalam pergaulan sehari-hari dalam bermasyarakat (pleasantliving together). 
Kaidah-kaidah hukum yang tertuju kepada terciptanya ke­tertiban, kedamaian dan keadilan dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat yang penuh dengan kepastian atau ketenteraman (peaceful living together).Sedangkan masalah norma non hukum adalah masalah yang cu­kup penting dan selanjutnya akan dibahas secara lebih luas mengenai kode perilaku dan kode profesi Humas/PR, yaitu seperti nilai-nilai mo­ral, etika, etis, etiket, tata krama dalam pergaulan sosial atau berma­syarakat, sebagai nilai aturan yang telah disepakati bersama, dihormati, wajib dipatuhi dan ditaati. 

Norma moral tersebut tidak akan dipakai untuk menilai seorang dokter ketika mengobati pasiennya, atau dosen dalam menyampaikan materi kuliah terhadap para mahasiswanya, melainkan untuk menilai bagaimana sebagai profesional tersebut menjalankan tugas dan ke­wajibannya dengan baik sebagai manusia yang berbudi luhur, juiur, bermoral, penuh integritas dan bertanggung jawab.Terlepas dari mereka sebagai profesional tersebut jitu atau tidak dalam memberikan obat sebagai penyembuhnya, atau metodologi dan keterampilan dalam memberikan bahan kuliah dengan tepat. Dalam hal ini yang ditekankan adalah “sikap atau perilaku” mereka dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai profesional yang diembannya untuk saling menghargai sesama atau kehidupan manusia.

Pada akhirnya nilai moral, etika, kode perilaku dan kode etik standard profesi adalah memberikan jalan, pedoman, tolok ukur dan acuan untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang akan dilakukan dalam berbagai situasi dan kondisi tertentu dalam mem­berikan pelayanan profesi atau keahliannya masing-masing. Peng­ambilan keputusan etis atau etik, merupakan aspek kompetensi dari perilaku moral sebagai seorang profesional yang telah memperhi­tungkan konsekuensinya, secara matang baik-buruknya akibat yang ditimbulkan dari tindakannya itu secara obyektif, dan sekaligus me­miliki tanggung jawab atau integritas yang tinggi. Kode etik profesi dibentuk dan disepakati oleh para profesional tersebut bukanlah di­tujukan untuk melindungi kepentingan individual (subyektif), tetapi lebih ditekankan kepada kepentingan yang lebih luas (obyektif).

Posisi Hukum Persaingan Usaha Dalam Sistem Hukum Nasional

Posisi Hukum Persaingan Usaha Dalam Sistem Hukum Nasional 
Di dalam fenomena persaingan usaha nasional selalu terdapat issue kondisi struktural ekonomi, issue prilaku pro-persaingan atau anti-persaingan dari para pelaku usaha nasional, serta issue kebijakan persaingan usaha nasional. Dalam issue pertama, perspektif ekonomi sangatlah menonjol, untuk issue yang kedua, perspektif ekonomi terkait dengan masalah motif ekonomi dari prilaku tersebut dan perspektif hukum akan membahas ada atau tidaknya aturan (code of conduct) dari prilaku tersebut, sedangkan issue yang ketiga, sangat menonjol perspektif hukumnya. Oleh karenanya, dalam pembahasan issue persaingan usaha pastinya akan terdapat perspektif ekonomi dan perspektif hukumnya. 

Dalam paper pengantar ini akan dibahas mengenai posisi hukum persaingan usaha di dalam sistem hukum nasional Indonesia, hal ini ditujukan agar dapat diidentifikasi posisi hukum persaingan usaha di dalam pembidangan hukum nasional sehingga pembaca tidak terperangkap pada paradigma pembidangan hukum yang telah usang. Pembidangan hukum yang membagi-bagi permasalahan hukum secara rigid pada bidang hukum publik (hukum negara (tata negara dan administrasi negara) dan hukum pidana) dan hukum perdata (private). 

Pembidangan hukum tersebut tidak mengenal adanya bidang hukum yang merupakan kombinasi di antaranya. 

Kemudian Bab ini akan pula membahas secara umum mengenai eksistensi dan issue di seputar Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat “UU No. 5 / 1999”) yang sampai saat ini dianggap sebagai hukum payung dan paling komprehensif yang mengatur issue persaingan usaha di Indonesia. Selanjutnya akan dibahas pula secara umum mengenai peraturan hukum lain yang juga memiliki substansi persaingan usaha. Untuk peraturan hukum lain ini akan dapat dilihat bahwa ada peraturan hukum yang substansinya pro-persaingan dan ada pula yang anti persaingan. Jikalau peraturan hukum yang anti persaingan tersebut memiliki tingkat yang setara dengan “undang-undang” maka peraturan hukum tersebut jelas kontra produktif terhadap UU No. 5 tahun 1999 karena dapat saja berlaku prinsip “lex specialist derogat lex generalist”. Namun bila aturan hukum tersebut berada di bawah tingkat “undang-undang” maka dapat berlaku prinsip bahwa “hukum di atasnya mengatasi hukum di bawahnya”. Oleh karenanya sebagaimana pula diungkapkan secara implisit dalam peralihan undang-undang ini, aturan hukum yang memiliki tingkat di bawah undang-undang bila itu kontradiktif dengan UU No. 5 / 1999 maka aturan hukum itu secara otomatis tidak berlaku lagi. 

Kebijakan Persaingan Usaha versus Hukum Persaingan Usaha. 
Terkait dengan prihal eksistensi kebijakan persaingan usaha yang memang kental perspektif hukumnya, perlu kiranya disinggung terlebih dahulu mengenai beda antara terminologi “kebijakan” (“policy”) dan “hukum” (“law”). 

Perbedaan pengertian antara terminologi “Kebijakan Persaingan Usaha” (yang dalam bahasa Inggrisnya diterjemahkan sebagai “Competition Policy”) dengan Hukum Persaingan Usaha 
(yang dalam bahasa Inggrisnya diterjemahkan sebagai Competition Law) pada dasarnya terletak pada keluasan lingkup pengertian dan bidang pembahasan dari kedua terminologi tersebut. Pengertian Kebijakan Persaingan Usaha (Competition Policy) melingkupi pula pengertian dari Hukum Persaingan Usaha (Competition Law) atau dengan kata lain bidang Hukum Persaingan Usaha merupakan salah satu cabang pembahasan dalam Kebijakan Persaingan Usaha. Sedang pengertian dan lingkup bidang dari Hukum Persaingan Usaha tidak melingkupi seluruh pengertian dan bidang dalam Kebijakan Persaingan Usaha.

Definisi Kebijakan Persaingan Usaha disamping melingkupi Hukum Persaingan Usaha, juga melingkupi perihal deregulasi, foreign direct investment, serta kebijakan lain yang ditujukan untuk mendukung persaingan usaha seperti pengurangan pembatasan kuantifikasi impor dan juga melingkupi aspek kepemilikan intelektual (intellectual property). Sehingga apabila di dalam laporan ini digunakan istilah “Kebijakan Persaingan Usaha” maka berarti termasuk pula di dalamnya “Hukum Persaingan Usaha”. 

Per se versus Rule of Reason.
Di dalam rezim pengaturan persaingan usaha terdapat dua pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan yang dikenal dengan istilah “per se” dan pendekatan yang kedua dikenal dengan “rule of reason”. Pada illegal per se (bahasa latin yang sama artinya dengan “dengan sendirinya” / “by itself” atau “in itself” dan not subject to interpretation) beberapa bentuk persaingan usaha seperti penetapan harga (price fixing) harus dianggap secara otomatis (dengan sendirinya) bertentangan atau melanggar dengan hukum karena aspek negatifnya dapat langsung terlihat atau diduga. Pendekatan pelarangan ini, penekanannya terletak pada unsur formal dari perbuatannya. Sehingga tidak diperlukan adanya klausula kausalitas di dalam pengaturannya seperti klausula “…mengakibatkan kerugian perekonomian dan atau pelaku usaha lain.” 

Sedangkan dengan “rule of reason”, beberapa bentuk tindakan persaingan usaha baru dianggap salah jika telah terbukti adanya akibat dari tindakan tersebut yang merugikan pelaku usaha lain atau perekonomian nasional secara umum. Dalam pendekatan rule of reason mungkin saja dibenarkan adanya suatu tindakan usaha yang meskipun anti-persaingan (misalnya tindakan merger yang menghasilkan dominasi satu pelaku usaha) tetapi menghasilkan suatu efisiensi yang menguntungkan konsumen atau perekonomian nasional pada umumnya. Atau sebaliknya suatu tindakan usaha dianggap salah karena meskipun ditujukan untuk efisiensi tetapi ternyata dalam prakteknya mengarah kepada penyalahgunaan posisi dominan yang merugikan pelaku usaha, konsumen, dan perekonomian nasional umumnya, seperti pada tindakan integrasi vertikal yang disertai dengan tindakan restriktif (menghasilkan barriers to entry). Oleh karenanya, penekanan pada rule of reson adalah unsur material dari perbuatannya. Dan pada rule of reason, tindakan restriktif tidak rasionil yang menjadi sasaran pengendaliannya dan penentuan salah tidaknya digantungkan kepada akibat tindakan usaha (persaingan) terkait terhadap pelaku usaha lain, konsumen dan atu perekonomian nasional pada umumnya. Maka dari itu untuk tindakan-tindakan tersebut dalam substansi pengaturannya dibutuhkan klausula kausalitas seperti di atas. 

Untuk negara berkembang seperti Indonesia dimana kondisi sumber daya manusia pelaksana hukumnya (termasuk otoritas pengawas persaingan usahanya) masih kurang baik (lack), direkomendasikan untuk lebih banyak menggunakan pendekatan “per se” ketimbang “rule of reason”. Hal ini karena pendekatan per se lebih sederhana dalam proses pembuktiannya ketimbang rule of reason.

Namun begitu tindakan-tindakan yang terkait dengan masalah struktur perusahaan seperti merger, konsolidasi, dan akuisisi serta integrasi vertikal yang memang memiliki unsur tujuan efisiensi tetap diperlukan pendekatan rule of reason ketimbang perse. 

Sebagai catatan ciri utama undang-undang Amerika Serikat yang dikembangkan dalam penerapan Article 1 Sherman Act adalah pendekatan larangan per se. Sementara prinsip pokok untuk menilai perilaku anti kompetitifnya adalah rule of reason.

Sebelum prihal aspek hukum dari persaingan usaha dibahas lebih jauh memang perlu kiranya dicapai suatu pemahaman bersama berkaitan dengan posisi hukum persaingan usaha dalam wacana sistem hukum nasional Indonesia Perlu dicatat bahwa pesatnya dinamika bidang ekonomi nasional, tidak dapat dipungkiri telah pula memacu pula perkembangan bidang hukum yang merupakan “rule of the game” dari kegiatan ekonomi. Berbagai perangkat hukum di bidang ekonomi sebelum ini yang berbasis kepada KUH Perdata dan KUH Dagang serta KUH Pidana yang nota bene merupakan peninggalan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang berkiblat kepada mahzab Eropa Kontinental tidak lagi mampu mengakomodasi permasalahan dari dinamika kegiatan ekonomi yang ada. Oleh karenanya kecenderungan penyusunan berbagai produk peraturan perundangundangan yang khusus (lex specialist) di bidang ekonomi tidak lagi dapat terbendung. 

Kekhasan yang sangat menonjol dari produk perundang-undangan yang khusus ini adalah kondisi karakteristik substansialnya dimana telah terlingkupinya seluruh aspek dari bidangbidang hukum yang selama ini dikenal (hukum perdata dan hukum publik) di dalam sistem hukum nasional. Sehingga sebagian pakar hukum Indonesia menyatakan bahwa pembidangan hukum yang selama ini dianut (hukum perdata dan hukum publik) dalam sistem hukum nasional sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan. Pada akhirnya, masih sebagian pakar hukum tadi, kini pembidangan hukum seharusnya didasarkan pembidangan dari kegiatan yang terkait, misalnya untuk kegiatan di bidang ekonomi maka bidang hukumnya adalah hukum ekonomi. Untuk itu layak dicermati pendapat para pakar hukum di bawah ini. 

Sunaryati Hartono berpendapat bahwa:
"Kalau metode penelitian dan penyajian mata kuliah hukum dagang (lama) bersifat perdata murni, maka hukum ekonomi Indonesia telah memerlukan metode penelitian dan penyajian yang inter-disipliner dan transnasional. Interdisipliner, karena: 
- Hukum Ekonomi Indonesia tidak hanya bersifat hukum perdata, tetapi juga berkaitan erat dengan hukum Administrasi Negara, Hukum Antar Wewenang, Hukum Pidana bahkan juga tidak mengabaikan Hukum Publik Internasional dan Hukum Perdata Internasional. 
- Hukum Internasional Ekonomi Indonesia memerlukan landasan pemikiran bidang-bidang non-hukum seperti filsafat, ekonomi, sosiologi, administrasi pembangunan, ilmu wilayah, ilmu lingkungan dan bahkan juga futurologi." 

Sri Redjeki Hartono berpendapat bahwa luasnya bidang kajian hukum ekonomi membuatnya mampu mengakomodasikan dua aspek hukum sekaligus sebagai suatu kajian yang komprehensif. Dua aspek hukum itu meliputi aspek hukum publik maupun aspek hukum perdata. Oleh karenanya hukum ekonomi dapat mengandung berbagai asas hukum yang bersumber dari kedua aspek hukum tersebut yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Agus Brotosusilo berpendapat bahwa pembidangan hukum dalam bidang publik dan perdata seperti sekarang tidak dapat dipertahankan lagi, karena dalam kenyataannya kini hampir tidak ada bidang kehidupan yang terlepas dari campur tangan negara. Dengan demikian untuk keperluan pengkajian ilmiah, bidang hukum dapat dibedakan sebagai berikut: 
(1) Hukum Tata Negara. 
(2) Hukum Administrasi Negara. 
(3) Hukum Pribadi. 
(4) Hukum Harta Kekayaan: 
(a) Hukum Benda: 
i. Hukum Benda Tetap. 
ii. Hukum Benda Lepas. 

(b) Hukum Perikatan: 
i. Hukum Perjanjian. 
ii. Hukum Penyelewengan Perdata. 
iii. Hukum Perikatan lainnya. 

(c) Hukum Hak Imateriel. 
(5) Hukum Keluarga. 
(6) Hukum Waris.
(7) Hukum Pidana 

Masing masing bidang hukum terdiri dari hukum ajektif (formil) dan hukum substantif (materiel). Pembedaan tersebut di atas bukan merupakan pengkotak-kotakkan, karena seringkali suatu sikap-tindak melibatkan lebih dari satu bidang hukum. Hal ini terjadi karena semakin banyak aspek-aspek kehidupan bersama yang diatur oleh hukum. Perkembangan tersebut menimbulkan berbagai spesialisasi baru di bidang hukum. Misalnya saja, dikenal adanya: hukum lingkungan, hukum kependudukan, hukum kedokteran, hukum kesehatan dan sebagainya. Ciri-ciri bentuk hukum baru seperti ini tampak sangat nyata di bidang hukum ekonomi, yaitu seringkali bidang hukum baru ini tidak secara ketat mengikuti pembidangan. 

Suatu bidang spesialisasi hukum kadang-kadang mencakup beberapa bidang tata hukum sekaligus. 
Sesuai dengan pandangan-pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa memang hukum ekonomi memiliki dimensi baik hukum publik dan hukum perdata (privat). Oleh karena hukum persaingan usaha merupakan bagian dari hukum ekonomi maka dapat dikatakan pula bahwa hukum persaingan usaha juga memiliki dimensi bidang hukum tata negara (lembaga dan instansi resmi, pusat dan daerah seperti eksistensi Departemen dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan eksistensi Komisi Pengawas Persaingan Usaha); hukum administrasi negara (pelaksanaan peranan kelembagaan tersebut); bidang hukum perdata (seperti eksistensi perjanjian dan kontrak di dalam kasus-kasus persaingan usaha); dan ada bidang pidananya (sanksi pidana dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1999), sebagaimana terlihat dalam skema lingkaran di bawah ini.

Skema Lingkaran Hukum Persaingan Usaha.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam kerangka sistem hukum nasional, hukum persaingan usaha sebagai bagian dari hukum ekonomi tidak hanya berdimensi hukum perdata saja tapi lebih luas lagi yaitu melikupi hukum publik (hukum negara dan pidana).

Undang-undang No. 5 / 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Di bawah ini dipaparkan secara ringkas substansi dari UU No. 5 / 1999 sebagaimana berikut. 
a. Larangan terhadap dua atau lebih pelaku usaha untuk melakukan perjanjian yang bersubstansi: 
• Praktek Oligopoli (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasai produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 4). 
• Penetapan Harga (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk: menetapkan harga (kecuali dalam usaha patungan atau berdasar undang-undang); diskriminasi harga; membuat harga di bawah harga pasar; atau melarang penjualan kembali dengan harga yang lebih rendah dari harga yang ditetapkan, Pasal 5-8). 
• Pembagian wilayah pemasaran (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menetapkan wilayah pemasaran atau alokasi pasar sehingga dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 9). 
• Pemboikotan (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama atau menolak untuk menjual produk pelaku usaha lain, Pasal 10)
• Kartel (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 11). 
• Trust (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk membentuk gabungan perusahaan dengan tetap mempertahankan kelangsungan perusahaan masing-masing dengan tujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran sehingga dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 12). 
• Oligopsoni (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasai pasokan agar dapat mengendalikan harga yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 13). 
• Integrasi Vertikal (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasai rangkaian produksi berkelanjutan yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan merugikan masyarakat, Pasal 14). 
• Perjanjian Tertutup (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih yang berisi syarat bahwa penerima pasokan hanya akan memasok atau tidak akan memasok produk tersebut kepada pelaku usaha lain; harus bersedia membeli produk lainnya dari pemasok; atau mengenai harga atau potongan harga yang akan diterima bila bersedia membeli produk lain atau tidak membeli produk yang sama dari pelaku usaha lain, Pasal 15). 
• Perjanjian denga Pihak Luar Negeri (perjanjian dengan pelaku usaha luar negeri yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 16). 

b. Larangan terhadap suatu kegiatan atau tindakan sebagai berikut: 
• Monopoli (pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan pemasaran yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 17). 
• Monopsoni (pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 18). 
• Penguasaan Pasar (dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, sendiri atau bersama yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berupa: menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama; atau menghalangi konsumen untuk bertransaksi dengan pelaku usaha tertentu; atau membatasi peredaran dan penjualan produk; atau melakukan diskriminasi (Pasal 19); melakukan jual rugi untuk menyingkirkan pesaing (Pasal 20); dengan curang menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya (Pasal 21)). 
• Persekongkolan (dilarang melakukan tender kolusif (Pasal 22), bersekongkol mendapatkan rahasia perusahaan pesaing (Pasal 23), bersekongkol untuk menghambat produksi dan atau pemasaran pesaing (Pasal 24)). 

c. Penyalahgunaan Posisi Dominan: 
• Dilarang menggunakan posisi dominan secara langsung maupun tidak untuk menetapkan syarat perdagangan guna menghalangi konsumen; membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau menghambat pesaing memasuki pasar bersangkutan. Pasal 25. 
• Jabatan rangkap (dilarang merangkap jabatan direktur/komisaris di dua perusahaan atau lebih bila perusahaan lainnya; berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau memiliki keterkaitan dalam bidang dan jenis usaha; secara bersama menguasai pangsa pasar; yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat), Pasal 26. 
• Pemilikan saham (dilarang pemilikan saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis apabila mengakibatkan satu atau sekelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar; atau dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar), Pasal 27. 

Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan (dilarang bila dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dan ada kewajiban notifikasi bila mengakibatkan penguasaan aset atau nilai tertentu), Pasal 28 dan 29. 

d. Undang-undang ini menetapkan pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang memiliki kewenangan yang signifikan untuk tidak hanya mengawasi pelaksanaan undang-undang ini tetapi juga untuk melakukan tugas penilaian perjanjian, kegiatan usaha, penyalahgunaan posisi dominan, melakukan tindakan berdasar kewenangan, memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah serta berwenang untuk menerima laporan, penelitian, penyelidikan, memanggil pelaku usaha dan saksi, meminta keterangan institusi pemerintah, memutuskan dan menjatuhkan sanksi administratif yang berkaitan dengan kasus dugaan pelanggaran undang-undang ini. Pasal 30-37. 

e. Undngan-undang ini juga menetapkan suatu tata cara khusus dalam penanganan perkara persaingan usaha. Dan terdapat ketentuan acara khusus bagi lembaga peradilan dalam menangani kasus persaingan usaha seperti ditiadakannya upaya banding ke Pengadilan Tinggi yang ada adalah upaya kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan Pengadilan Negeri atas kasus persaingan usaha. Pasal 38-46.