Ilmu Arkeologi dan Perkembangannya

Ilmu Arkeologi dan Perkembangannya 
Masalah yang dihadapi oleh arkeologi adalah hakekatnya sebagai ilmu yang memiliki obyek yang berkenaan dengan fenomena yang berkembang untuk masa tertentu atau bersifat historis. Seperti halnya dengan ilmu astro fisika, biologi evolusioner, tektonik lempengan dalam geologi, ilmu yang demikian ini tidak dapat diingkari berhadapan dengan obyek studi yang sangat fragmentaris. Hal itu disebabkan oleh karena obyek studinya hanya merupakan peninggalan fisik yang tidak sengaja ditinggalkan. Tambahan pula, peninggalan itu pun hanyalah merupakan peninggalan yang tahan terhadap proses pelapukan alami, sehigga dapat sampai kepada peneliti masa kini. Dengan demikian maka apa yang sampai pada kita sesungguhnya adalah materi tanpa makna. Adapun makna yang dimaksudkan di sini adalah makna penyebab terjadinya atau dalam hal arkeologi makna sebagai yang dimaksudkan oleh pembuat ataupun pemakainya dahulu.

Menghadapi keadaan obyek studi yang demikian itu maka tidaklah mengherankan apabila tujuan arkeologi pada pertamanya adalah rekonstruksi. Tujuan arkeologi tidak bisa lain dari rekonstruksi oleh karena di samping jarak waktu, ahli arkeologi juga dipisahkan oleh perbedaan kebudayaan dengan obyek studinya. Peninggalan fisik kebudayaan yang diteliti oleh peneliti sangat berlainan dari kebudavaan ahli arkeologi itu sendiri. Sebagai akibat dari tujuan ilmu ini adalah timbulnya permasalahan epistemologis. Masalah pertama adalah sejauh mana makna tadi dapat direkonstruksikan dari peninggalan kebudayaan fisiknya. Adapun masalah keduanya adalah bagaimana ahli arkeologi dapat melakukan rekonstruksi itu. Dengan lain perkataan, dengan metode apa rekonstruksi itu dapat dilaksanakan.

Makalah ini akan berupaya mengemukakan berbagai usaha yang telah dilaksanakan untuk menjawab permasalahan yang bersifat epistemologis tadi. Pendekatan ini dilaksanakan atas dasar pemikiran bahwa ulasan yang dikemukakan merupakan pengungkapan upaya arkeologi untuk memantapkan dirinya sebagai ilmu. Masalah ini dianggap penting terutama agar para ahli arkeologi dapat ikut secara sadar menjaga wibawa keilmuannya dalam melakukan rekonstruksi. Kesadaran yang dimaksudkan adalah menyadari bahwa, sebagaimana yang telah diutarakan di atas, ditinjau dari hakekat data, ditinjau dari sudut keilmuan serta dengan demikian juga metodenya, arkeologi memiliki berbagai keterbatasan. Dengan demikian maka sebagai akibat dari kesadaran akan keterbatasan metodenya, maka ahli arkeologi kemudian akan dapat mengupayakan cara untuk menanggulanginya. Melalui upaya yang demikian ini maka peninggalan kebudayaan fisik yang terkumpul berkat berbagai penggalian yang telah dilaksanakan dapat direkonstruksikan, sehingga pengetahuan kita tentang kebudayaan masa lalu akan dapat bertambah dengan cepat. Pada gilirannya dari sudut arkeologi itu sendiri, kesadaran ini akan dapat mengembangkan arkeologi sebagai ilmu.

Hakekat Data Arkeologi
Sebagaimana yang telah diutarakan di atas, obyek arkeologi adalah peninggalan kebudayaan fisik. Melalui kebudayaan fisik ini ahli arkeologi memperoleh informasi tentang kebudayaan masa lalu. Selanjutnya, berdasarkan atas informasi ini ahli arkeologi melakukan rekonstruksi kebudayaan yang meninggalkan informasi itu. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa rekonstruksi sesuatu kebudayaan yang telah musnah dilaksanakan melalui peninggalan informasinya yang kebetulan sampai kepada kita. Kiranya perlu ditekankan di sini dua hal. Hal pertama adalah bahwa tiap kebudayaan memiliki ciri masing-masing yang berbeda antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain. Demikian pula halnya, kebudayaan yang telah musnah yang menjadi obyek penelitian arkeologi berbeda dengan kebudayaan ahli arkeologi yang meneliti kebudayaan itu. Hal kedua adalah penggunaan kata kebetulan oleh karena memang informasi tentang kebudayaan yang sampai kepada ahli arkeologi untuk diteliti itu tidak diciptakan sebagai informasi yang dengan sengaja ditinggalkan oleh para pendukungnya. Kita semua mengetahui bahwa peninggalan fisik itu sampai kepada kita dalam bentuk artefak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ahh arkeologi menghadapi artefak dari sebuah kebudayaan yang sama sekali asing dari kebudayaannya sendiri.

Kondisi data arkeologi sebagaimana yang diutarakan di atas menimbulkan dua permasalahan, yaitu masalah epistemologis dan masalah metodologis. Masalah epistemologis yang dihadapi oleh ahli arkeologi adalah bahwa di dalam menghadapi informasi tentang kebudayaan yang telah punah dan yang tercipta di masa lalu, tanpa dapat ia hindari, haruslah ia perlakukan melalui pengetahuan dan berdasarkan sudut pandang kebudayaannya sendiri dari masa kini. Proses berpikir yang demikian inilah yang kemudian disebut sebagai archaeological reasoning.

Sebagai akibat dari data yang demikian ini maka archaeological reasoning terhadap data terjadi seperti berikut. Kebudayaan yang telah punah itu dapat dianggap sebagai fakta yang bersifat historis atau fakta yang telah tiada lagi (sebuah historical facts). Pada hakekatnya fakta atau kebudayaan yang telah punah inilah yang oleh ahli arrkeologi itu hendak direkonstruksikan. Namun demikian fakta historis ini meninggalkan records dalam hal ini archaeological records, dalam wujud artefak. Selanjutnya ahli arkeologi, sesuai dengan pengetahuan pengalaman dan kemampuannya, melakukan observasi dan analisis terhadap records ini. Observasi dan analisis itu dilakukannya berdasarkan kebudayaannya sendiri serta bukan berdasarkan kebudayaan yang meninggalkan records tadi. Mengapa hal ini terjadi demikian, oleh karena ahli arkeologi tidak dapat meneliti kebudayaan yang telah menjadi sebuah historical fact. Dengan demikian maka ahli arkeologi hanya dapat mengkajinya melalui archaeological records tadi. Konsekuensi lebih lanjut adalah bahwa hasil observasi dan analisis ahlli arkeologi itu, yang secara teknis dikenal sebagai data sesungguhnya merupakan ciptaan peneliti. Hal ini lagi-lagi disebabkan oleh karena observasi dan analisis terhadap records itu dilaksanakan pada masa kini, berdasarkan kebudayaan peneliti dan ilmu arkeologi mutakhir, walaupun records itu sendiri berasal dari kebudayaan masa lalu. Keadaan inilah yang seringkali terlupakan oleh para peneliti dan yang sejak dekade 80-an diingatkan kembali berkat timbulnya perhatian pada masalah teori dan yang pada gilirannya mengangkat permasalahan yang bersifat epistemologis. Dengan demikian maka data arkeologi itu berupa deskripsi tentang pola-pola yang ditampakkan dari teknik tipologi, klasifikasi dan diperlakukan sebagai contemporary fact. Akhirnya ahli arkeologi melakukan rekonstruksi melalui data ini. Atau dengan lain perkataan merekonstruksikan historical fact melalui contemporary fact.

Aspek lain dari hakekat data arkeologi, masih dalam kaitan dengan rekonstruksi, adalah dari namanya sebagai kebudayaan materi atau fisk Nama ini mengandung dua unsur yaitu materi dan kebudayaan. Unsur materi jelas menunjukkan kaitannya dengan alam, yaitu menyangkut bahan dengan apa artefak itu dibuat. Melalui materi ini arkeologi berhubungan dengan ilmu pengetahuan alam, seperti masalah penentuan waktu, analisis dan sebagainya. Makalah ini tidak akan membahas hal-hal yang berkenaan dengan masalah yang demikian ini. Adapun masalah yang akan menjadi perhatian adalah aspek yang kedua yaitu masalah kebudayaan. Sebagaimana diketahui, kebudayaan materi terciptakan sebagai akibat perbuatan manusia. Namun demikian perbuatan ini bukanlah merupakan perbuatan yang asal-asalan tanpa tujuan dan maksud tertentu, melainkan perbuatan yang dilandasi oleh konsep dan makna tertentu. Sebagai akibatnya maka perbuatan itu pun dilaksanakan dalam pola-pola yang baku oleh pendukung suatu kebudayaan. Dengan sendirinya kebudayaan materi yang dihasilkan oleh perbuatan berpola itu pun tercermin dalam wujudnya sebagai kebudayaan materi. Walaupun kebudayaan yang menghasilkannya telah musnah, dan dengan demikian ikut pula hilang konsep-konsep dan makna yang menghasilkannya, namun pola-pola tersebut tetap membayang dalam kebudayaan materi. Kaitan antar artefak dari berbagai tipe apakah yang diketemukan dalam lapisan dan pit, dalam situs maupun wilayah, dalam pekuburan maupun landscapes, tanpa terkecuali masih mempertahankan sisa.-sisa pola perbuatan budaya yang menciptakannya. Kenyataan di atas juga tetap berlaku walaupun kebudayaan materi, atau yang lebih tepat artefak itu, pada waktu sampai kepada ahli arkeologi telah mengalami banyak pengaruh perubahan, baik sebagai akibat alam maupun olah manusia dan bahkan oleh ahli arkeologi sendiri pada waktu melakukan pengggalian atau ekskavasi. Selanjutnya tergantung kepada kemampuan ahli arkeologi sendiri dalam menemukan dan mendeskripsikan pola-pola tersebut. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pola-pola tersebut pada waktu penciptaannya dikendalikan oleh konsep-konsep tertentu. Namun demikian perlu diingat bahwa konsep yang abstrak ini tidak dapat dilihat, baik pada waktu kebudayaan itu masih hidup, apalagi pada waktu telah musnah dan menjadi peninggalan kebudayaan materi. Dengan demikian maka, melalui kebudayaan materi, ahli arkeologi hanya dapat menemukan kembali pola-pola tersebut. Selanjutnya rekonstruksi konsep yang mendasari pelaksanaan dan pewujudannya didasarkan atas interpretasi terhadap pola-pola tersebut. Apabila kita boleh meminjarn istilah antropologi, maka penemuan kembali pola-pola itu adalah etik, sedangkan yang dicoba untuk direkonstruksikan itu adalah emik-nya.

Mengingat bahwa konsep yang diupayakan untuk direkonstruksi itu bersifat abstrak sehingga tidak dapat diamati melalui peninggalan kebudayaan materi, maka ada sementara ahli arkeologi yang berpendapat bahwa rekonstruksi sebagaimana yang dimaksudkan itu tidaklah mungkin dilaksanakan. Rekonstruksi ahli arkeologi hanyalah mungkin dicapai sampai tingkat etik saja. Atas dasar ini maka dalam makalah ini akan disampaikan pengembangan dan penerapan teori dalam arkeologi yang mencoba mengatasi kemandegan metodologi tadi. Teori itu adalah hermeneutik dan semiotik.

Hermeneutik
Dasar dari pengembangan teori hermeneutik ini adalah bahwa kebudayaan materi merupakan bagian dari perwujudan budaya dan makna konseptual. Dengan demikian maka dimungkinkan bagi ahli arkeologi untuk menjangkau pengertian yang lebih jauh dari sekedar tentang penggunaan fisik dan terbatas pada obyek penelitian saja, melainkan sampai kepada makna simbolisnya yang lebih bersifat abstrak. Dalam hal ini upaya untuk menggali makna konseptual dad kebudayaan materi dapat dibandingkan dengan interpretasi terhadap suatu bahasa, karena proses mengerti itu berkaitan dengan penggalian makna dari bahasa yang berwujud fisik atau materi. Sebagaimana halnya bahasa perwujudan makna simbolis ini diatur oleh peraturan-peraturan dan kesepakatan khusus, serta berdasarkan sebuah sistem tertentu. Sistem itulah yang membedakan satu kebudayaan satu dari kebudayaan lainnya. Walaupun sistem itu membedakan kebudayaan yang satu dari yang lain, namun tidak ditentukan oleh masalah-masalah yang bersifat ekonomis, biologis dan fisik. Atas dasar inilah maka perbandingan dengan masalah penerjemahan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain dengan interpretasi dari kebudayaan yang satu dari kebudayaan yang lain dilaksanakan. Ahli arkeologi bekerja dalam kerangka makna yang dimilikinya dan dengan demikian berhadapan dengan kebudayaan yang ditelitinya yang memiliki kerangka makna berbeda bahkan mungkin sama sekali berlainan oleh karena diwujudkan melalui ketentuan dan pengaturan yang berbeda pula. Atas dasar itu maka upaya untuk mengungkapkan makna simbolis itu dapat dibandingkan dengan proses penerjemahan, hanya dalam hal ini penerjemahan itu dilakukan dari kebudayaan yang diteliti ke kebudayaan peneliti. Perlu pula dicatat bahwa ahli arkeologi sesungguhnya memiliki dua kerangka makna, yaitu kerangka makna yang diperoleh dari ilmunya dan kerangka makna yang terwujud dari kebudayaannya.

Bagaimana penerjemahan itu dapat dilaksanakan didasari atas tiga pengertian. Pertama perlakuan bahwa kebudayaan materi diciptakan dengan maksud tertentu dalam sebuah kerangka makna konseptual. Walaupun Kebudayaan materi itu diciptakan dan penggunannya diatur dalam satu kerangka makna konseptual tertentu, namun kebudayaan materi yang sama dapat pula diberi makna konseptual lain melalui berbagai cara. Atas dasar ini maka di dalam memperlakukan kebudayaan materi kita harus membedakan antara makna dari fungsi. Adapun yang dimaksudkan dengan fungsi adalah jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh ahli arkeologi seperti “apa maksud pemberian bentuk benda seperti itu?” “Mengapa bangunan tempat tinggal, istana misalnya, dibuat dari bahan yang mudah rusak sedangkan candi dibangun dengan mempergunakan bahan yang tahan lama dari batu kali”.

Mudah dimengerti bahwa fungsi-fungsi tersebut tidak dapat mengungkapkan makna konseptualnya, oleh karena mungkin ada makna-makna konseptual yang tidak diketahui oleh pembuat atau penggunanya. Makna ini, misalnya, menjawab pertanyaan apa konsep yang melatar belakangi wujud sebuah candi. Makna konseptual yang demikian ini pun mungkin tidak dikenali oleh pendiri maupun pengguna candi. Dengan demikian maka terhadap makna ini pun perlu dibedakan makna yang tidak dikenali dan makna yang tidak dimaksudkan. Makna yang tidak dikenali menyangkut makna yang tidak dikenali atau secara samar-samar disadari seperti misalnya kebiasaan menata dan membersihkan kamar tidur atas dasar ketentuan kebudayaan Jawa yang “melarang” orang lain memasuki kamar tidur, misalnya. Makna yang tidak dimaksudkan. Makna yang demikian adalah ketidakpastian dari pihak pencipta atau pengguna suatu obyek bahwa orang lain akan memberikan makna yang sama dengannya terhadap obyek yang sama. Kemungkinan yang demikian ini dapat terjadi oleh karena orang lain dapat menghubungkan obyek tersebut dengan kerangka makna yang lain sehingga memberikan makna yang berbeda. Dalam, kaitannya dengan kebudayaan materi, obvek itu telah terpisah dari pencipta atau penggunanya. Hal ini terlebih-lebih lagi dapat terjadi sebagai akibat dari pemisahan oleh waktu yang lebih lama atau tempat yang lebih jauh, sehingga obyek itu dapat diberi berbagai makn tergantung dari penempatannya dalam berbagai konteks. Sebagai contoh sebuah candi, misalnya, yang maksud pendirian sesungguhnya belum diketahui, namun sekarang diberi makna sebagai makam, bukan makam dan seterusnya.

Kedua pengertian bahwa kebudayaan materi harus dipelajari dalam konteks. Hal ini berarti bahwa makna simbolis artefak-artefak tertentukan dalam konteksnya. Dengan demikian maka ahli arkeologi haruslah terlebih dahulu merumuskan konteks itu terlebih dahulu di dala mana obyek penelitiannya memiliki hubungan yang mempengaruhi pemberian maknanya agar ia dapat mengetahui makna pada waktu obyek itu diciptakan. Adapun yang dimaksudkan dengan konteks adalah keseluruhan lingkungan yang relevan. Konteks sebuah obyek arkeologi (apakah itu sebuah situs atau kebudayaan) adalah semua hubungan yang relevan dengan maknanya. Hubungan yang dimaksudkan adalah hubungan dinamis antara obyek dengan konteksnya. Sebagai akibat dari penempatan obyek ke dalam konteks, maka konteks itu sendiri akan mengalami perubahan. Dengan demikian terdapat hubungan dialektis antara obyek dengan konteks dan teks dengan konteks. Sebagai akibat dari hubungan dialektis ini maka konteks memberi makna kepada obyek dan sekaligus juga mendapatkan makna dari obyek.

Ketiga adalah bahwa kebudayaan materi merupakan sesuatu yang aktif dan tidak pasif. Apa yang dimaksudkan dengan pernyataan ini adalah bahwa kebudayaan materi tidaklah tercipta sebagai produk sampingan perilaku manusia. Hal ini disebabkan oleh karena semua tindakan manusia merupakan tindakan yang kreatif dan interpretatif. Sebagai akibatnya maka makna tidak tampak dengan sendirinya, demikian pula tidak dapat secara pasif dimengerti, melainkan harus secara aktif dibangun pengertiannya.

Pada dasarnya cara para ahli arkeologi melakukan interpretasi terhadap makna konseptual adalah melalui konsep yang ada di kepalanya. Apabila seorang ahli menemukan sebuah pola, yang menyerupai sebuah bangunan, maka ia akan memulai analisisnya dengan konsep yang ada di kepalanya. Selanjutnya, konsep bangunan yang masih dapat dikatakan netral ini akan dikembangkan lebih lanjut, karena konsep netral itu dapat diarahkan sebagai bangunan suci, rumah, atau gudang dan seterusnya. Pengembangan ini akan menentukan analisis selanjutnya.

Apabila kita dapat menerima kenyataan ini, maka tugas ahli arkeologi adalah bagaimana ia dapat mencapai pengertian yang sedekat mungkin dengan makna konseptual tadi. Untuk ini ia harus tetap berangkat dari konsep bahwa kebudayaan materi selalu harus ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek materi dan aspek kebudayaan.

Semiotik
Teori semiotik diterapkan dalam arkeologi, juga didasarkan atas anggapan bahwa sepanjang sejarahnya, manusia menciptakan perkakas bagi keperluan hidupnya tetapi juga sistem simbol. Semiotik, kadang-kadang juga disebut semiologi, sesungguhnya merupakan ilmu tentang tanda. Atas dasar itu, maka perlu terlebih dahulu dikemukakan apa yang dimaksudkan dengan tanda dalam semiotik. Konsep tentang tanda ini dapat dibagi dalam tiga unsur.

Sebuah tanda adalah sesuatu yang memiliki arti tentang sesuatu bagi seseorang, di setiap kesempatan atau tindakan. Dengan demikian tanda ini memiliki arti dalam hubungannya dengan orang atau tanda lain- Setiap obyek atau fenomena hanya dapat diungkapkan melalui tanda lain yang merupakan “interpretan” dari tanda yang pertama. Tanda mewakili obyeknya, mengacu pada obyeknya namun hanya berarti melalui “interpretan”.

Fungsi tanda dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu semiologi komunikasi dan semiologi representasi. Fungsi tanda dalam semiologi komunikasi adalah sebagai sarana atau wahana komunikasi. Pada fungsi yang kedua tanda merupakan pengganti dan berfungsi sebagai kognitif. Contoh dari kedua fungsi ini adalah bahasa. Menurut semiologi bahasa dan instrumen, dalam sejarah manusia, berkembang tidak saja sejajar melainkan juga saling berhubungan, karena keduanya merupakan ekspresi dari ungkapan peradaban yang sama.

Semua wujud tanda memiliki ciri-ciri modus perwujudannya masing-masing: tanda yang mewujud sebagai materi, sebagai produksi, dan sebagai resepsi. Dalam pengertian ini tanda merupakan produksi, sesuatu yang dengan sengaja diciptakan. Sebagai akibatnya, maka tanda memiliki wujud materi dan menjadi obyek, antara lain ilmu pengetahuan, sehingga dapat dianalisa.

Aspek lain dari obyek yang diakibatkan oleh hakekatnya yang demikian itu adalah bahwa walaupun obyek itu dengan sengaja diciptakan, namun arti obyek itu terbuka lebar bagi “interpretan”nya. Kenyataan ini tidak menutup kemungkinan bahwa arti yang diberikan oleh “interpretan” menjadi berbeda, dari apa yang dimaksudkan oleh penciptanya.

Bagaimana teori tentang tanda itu, dapat dikembangkan dalam arkeologi. Untuk ini dapat memasukinya melalui pernyataan Leslie A. White, ahli antropologi, yang mengatakan bahwa pada dasarnya manusia merupakan mahluk simbolis dan bukan mahluk rasional, yang menciptakan simbol dan sekaligus juga alat-alat. Simbol menjadi sama mandiri dan sama produktifnya dengan alat-alat. Atas dasar ini dapat dibentuk teori tentang proses-proses simbolik. Sejarah peradaban manusia telah menujukkan, bahwa manusia melalui penciptaan alat-alat secara berhasil telah menaklukkan dunianya. Keadaan yang sama berlaku pula pada simbol. Berbekal simbol-simbol yang diciptakannya, peradaban manusia manata pengalamannya dan kemudian menghadapi dunianya di dalam dan melalui simbol tersebut. Atas dasar ini maka manusia, melalui fungsi simbol sebagai mediasi dan sekaligus juga wahana untuk menjaga jarak antara dirinya dengan dunianya seperti halnya dengan alat-alat, dapat tidak saja membuat proyeksi ke masa lalu melainkan juga ke masa depan.

Sebagaimana yang telah berulangkali dikemukakan di muka, penerapan dan pengkaitan semiotik dengan arkeologi secara teoretis adalah juga dimulai dari hakekat data. Ditinjau dari sudut semiotik, data dapat dikaji dari dua sisi, yaitu dari data itu sendiri dan dari ahli arkeologi. Ilmu pengetahuan pada umumnya sesungguhnya tidak mengenal adanya data empiris yang betul-betul murni. Setiap datum senantiasa terkait dengan hipotesa teoretis, oleh karena data itu sebagian merupakan hasil observasi dan sebagian reproduksi sebagaimana yang telah diutarakan. Sementara itu, dari fihak ahli arkeologi yang melakukan observasi juga dipengaruhi oleh kebudayaannya, termasuk di dalamnya ilmunya. Pengaruh yang demikian ini juga dapat diamati pada ilmu pengetahuan kemanusiaan, yang dihadapkan pada masalah yang timbul sebagai akibat dari peranan peneliti sebagai observer dan analis yang menciptakan data kemanusiaan. Arkeologi sebagaimana halnya dengan ilmu kamanusiaan yang bekerja berdasarkan bekas atau jejak yang ditinggalkan oleh pencipta atau penggunanya sebagai obyek penelitiannya. Selanjutnya dalam melaksanakan pengkajian terhadap bukti-bukti kemanusiaan, ia berhadapan dengan data yang homogen dengan persepsinya. Ia mencoba untuk mengerti dan kemudian mereproduksi data yang telah ia olah sesuai dengan pengetahuannya. Dengan demikian maka dalam banyak hal, pada, dasarnya pengertian tentang obyek berkaitan erat dan sangat tergantung pada pengetahuan subyek.

Sebagaimana yang telah berulangkali disampaikan, di dalam menghadapi obyek kultural, subyek yang juga kultural secara jelas sangat berperan dalam penciptaan data, serta dalam pemilihan fakta. Masalah yang timbul adalah seberapa besar pengaruh peran tersebut terhadap arkeologi sebagai ilmu. Adapun yang menjadi permasalahan adalah yang bersifat ontologis dan yang bersifat metodologis. Permasalahan pertama berkenaan dengan pertanyaan apakah ada sebuah obyek penelitian arkeologi yang dapat dipisahkan dari subyek kultural yang mempelajarinya. Ditinjau dari permasalahan ontologis ini, maka obyek arkeologi, yang sebagaimana dikatakan di atas terutama berwujud jejak atau bekas, tidaklah mengandung permasalahan yang bersifat epistemologis dalam arti apakah obyek kultural yang tercipta tadi obyektif atau tidak. Dalam ilmu budaya, khususnya dalam perspektif semiologi tentang bentuk-bentuk simbolik, maka kedudukannya menjadi jelas, bahwa jejak dan bekas itu benar-benar ada dalam arti pada kedudukannya yang netral dan sebagai apa adanya. Kedudukan ontologis yang demikian ini memberikan kesempatan bahwa obyek dapat dianalisis tidak hanya berdasarkan persepsi dan pengetahuan subyek kultural saja. Secara metodologis kesempatan untuk melakukan analisis secara tidak terbatas ini dimungkinkan oleh faktor-faktor yang berkenaan dengan “keberadaan secara berlapis” bekas dan jejak. Adapun yang dimaksudkan dengan lapis di sini adalah lapisan analisis, yaitu jejak sebagai lapisan pertama yang bersifat materi, diperlakukan sebagai obyek bagi berbagai analisis awal yang tergantung pada model-model yang dipergunakan. Walaupun demikian, perlu kiranya diingat bahwa jejak pada tingkat material sesungguhnya telah merupakan hasil dari aktivitas dan reproduksi dari subyek kultural. Adapun yang dimaksudkan di sini adalah bahwa jejak tadi mungkin diketemukan melalui ekskavasi dan direproduksi dalam bentuk deskripsi. Peringatan yang lain adalah bahwa konfigurasi yang diungkapkan sebagai hasil analisis pada jejak lapis materi tidak dengan sendirinya mencerminkan konfigurasi dari kegiatan sosial atau budaya dari mereka yang meninggalkan jejak-jejak itu. Pada gilirannya, konfigurasi tadi juga memberikan kesempatan untuk melakukan dimensi analisis yang baru.

Dengan demikian maka kemungkinan penerapan teori semiotik dalam arkeologi adalah kira-kira sebagai berikut. Pertama pada lapis pertama, ahli arkeologi menghadapi data untuk mencoba mengerti dan kemudian merekonstruksikan fenomena. Kedua adalah analisis terhadap lapis netral. Dari records ini ahli arkeologi melakukan identifikasi, klasifikasi, dan mengungkapkan pola atau konfigurasi, untuk kemudian menyajikannya dalam bentuk model simbolis. Terakhir adalah pengungkapan makna terhadap berbagai konfigurasi itu. Jejak-jejak itu dapat diungkapkan maknanya hanya dalam hubungannya dengan kegiatan yang dilakukan oleh mereka yang meninggalkan jejak-jejak itu.

Strukturisme Dalam Ilmu Sejarah

Strukturisme Dalam Ilmu Sejarah 
Sejumlah ahli sejarah lain mencoba mengatasi serangan dari postmodernisme itu dengan upaya menegakkan kembali teori korespondensi dalam ilmu sejarah. Dengan kata lain, mereka berupaya untuk mencari cara-cara yang bisa menjamin realitas sepenuhnya dalam ilmu sejarah, bukan sekedar kaitan atau korelasi saja. Inilah yang oleh sementara ahli disebut sebagai pendekatan "strukturis". Patut dikemukakan di sini bahwa pendekatan strukturis tidak sama dengan pendekatan struktural yang bersumber pada aliran An'nals dari Prancis atau sosiologi Talcott Parson.

Kalangan ahli sejarah strukturis samasekali meninggalkan pendekatan empiris dalam ilmu sejarah dan memanfaatkan teori-teori sosiologi tertentu, khususnya konsep-konsep "emergency" dan "agency", untuk mengembangkan suatu pendekatan strukturis. Pendekatan ini mengacu pada cara kerja ("structure of reasoning") dalam ilmu-ilmu alam, tetapi disesuaikan dengan ilmu sejarah dimana data hanya dapat diperoleh dari peninggalan-peninggalan dari masa lampau (sumber sejarah).

Dikatakan mirip dengan ilmu-ilmu alam karena pertama-tama realitas yang dicari bukan keseluruhan realitas (yang hanya diketahui oleh Tuhan), tetapi hanya apa yang dinamakan "causal factors" atau "causal mechanism" yang tidak kasat mata (unobservable). Seperti halnya dalam alam, fenomena dapat disaksikan oleh panca indra manusia (observable), tetapi sebab-sebab terjadinya fenomena itu tidak kasat mata (unobeservable). Di dunia ini benda-benda jatuh ke bawah (fenomena, observable), tetapi causal mechanism-nya, yaitu grafitas, tidak kasat mata (unobservable); suara dari radio dapat didengar, atau gambar pada televisi dapat dilihat, tetapi medan magnetik yang menyebabkannya tidak dapat ditangkap oleh pancaindra (unobservable).

Demikian pula pendekatan strukturis bertujuan menampilkan realitas dalam bentuk causal factors yang tidak tertangkap oleh pancaindra. Fenomena-fenomena seperti pemberontakan, revolusi, perubahan sosial, dsb. dapat ditangkap melalui pancaindra, karena terkandung dalam sumber sejarah yang dapat dibaca dan dipelajari. Tetapi sebab-musababnya tidak muncul secara empiris dalam sumber sejarah, karena tersembunyi dalam struktur sosial yang unobservable itu. Secara teoritis terdapat interaksi antara manusia (individu atau kelompok) dan struktur sosial dimana mereka' berasal. Maka untuk menampilkan causal factor yang unobservable itu seorang sejarawan yang mendapat datanya dari sumber sejarah harus menggunakannya untuk menganalisa struktur sosial agar dapat menampilkan interaksi antara manusia yang konkrit (observable) dan struktur sosial yang tidak kasat mata itu (unobservable).

Pengertian struktur sosial yang unobservable dalam pendekatan ini berasal dari sosiologi realis. Struktur sosial bukanlah kumpulan manusia yang kongkret (agregasi), tetapi suatu unit yang memiliki ciri-ciri umum yang bersifat "emergence" berupa peran-peran, aturan-aturan, pola interaksi, dan pemikiran (mentalite). Tetapi berbeda dengan sosiologi pada umumnya, menurut pendekatan strukturis, perubahan sosial tidak disebabkan oleh struktur sosial lainnya (kriminalitas yang meningkat disebabkan pengangguran yang meningkat), tetapi perubahan struktural justru disebabkan tindakan-tindakan kongkret dan observable dari manusia (individu atau kolektfitas) yang dengan sengaja mengubah peran, aturan, interaksi berdasarkan pemikiran tertentu. Pendekatan strukturis bertujuan menjelaskan perubahan dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang modern.

Pemikiran, pandangan, wawasan manusia kongkret yang menjadi anggota suatu kelompok sosial tertentu, seperti juga dikemukakan dalam pendekatan empiris, terkandung dalam sumber sejarah, yang -dalam pendekatan strukturis disebut sebagai "expressed intentions". Causal factors yang diperoleh melalui analisa teoretis atas sumber sejarah itu dapat diuji kembali kebenarannya pada "expressed intentions" lain. Dengan demikian, seperti halnya dalam ilmu-ilmu alam, teori-teori sejarah memiliki kemampuan prediksi.

Sebab-musabab dalam metodologi strukturis itu memiliki ciri-ciri universal yang dapat dirumuskan dalam bentuk wacana. Namun hakekat ilmu sejarah sebagai "ilmu yang mempelajari manusia dalam waktu" (Marc Bloch), menyebabkan para ahli sejarah menyadari betul bahwa unsur perubahan senantiasa menentukan penjelasannya tentang peristiwa-peristiwa. Sebab itu perbedaan-perbedaan waktu dan tempat juga membatasi rumusan causal factors. Inilah perbedaan lainnya antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu alam.

Contoh-contoh dari pendekatan strukturis ini bisa kita temukan
umpamanya dalam karya-karya dari Max Weber dan Norbert Elias (sosiolog),
Mandelbaum dan Le Roy Ladurie (ahli sejarah) Cliffort Geertz (antropolog),
dan masih banyak lagi (Lloyed 1993). 

Kalau dibandingkan antara kedua pendekatan tersebut di atas (empiris dan strukturis), maka harus dikatakan, bahwa di Indonesia pendekatan empiris lebih menonjol dibandingkan dengan pendekatan strukturis. Hasil historiografi empiris sesungguhnya bisa dibedakan antara karya-karya sejarah yang diskriptlf dan yang anarkis. Di Indonesia diskripsi atau interpretasi terutama digunakan oleh para penulis sejarah yang "amatir" (bukan profesional) dan hasilnya bisa kita saksikan dalam toko-toko buku, baik yang menggunakan peristiwa sebagai unit, atau hidup manusia maupun struktur sosial. Banyak sekali karya-karya jenis ini yang berupa biografi atau otobiografi yang bermunculan dalam tahun-tahun yang lalu. Diantaranya ada yang dapat dikatakan cukup baik, seperti karya A.M. Nasution, baik yang unit diskripsinya adalah suatu peristiwa, atau hidup manusia (otobiografi), maupun struktur sosial (perang kemerdekaan).

Kita dapat mengajukan keberatan-keberatan metodologis mengenai karya-karya tersebut di atas. Antara lain mengenai sumber sejarahnya yang tidak selalu jelas atau dikemukakan secara gamblang, atau kesaksian lisan yang tidak menggunakan cara-cara oral history yang baik. Selain itu tentunya kebenaran fakta sering harus diragukan, bahkan tidak lengkapnya uraian mengenai suatu peristiwa atau struktur sosial menyebabkan terjadinya distorsi dan sebab itu tidak memenuhi persyaratan teori kebenaran sejarah.

Kalangan akademisi, terutama Prof. Sartono dari UGM dan mereka yang dipromisikannya sebagai doktor, bisa digolongkan sebagai ahli sejarah profesional yang menggunakan analisis dalam penelitiannya, baik untuk menjelaskan suatu peristiwa, kehidupan manusia, ataupun struktur sosial. Para pelopor dalam pendekatan ini (yang oleh Sartono dinamakan pendekatan multi-dimensional) lebih banyak tertarik pada peristiwa-peristiwa yang digolongkan sebagai "collective action". Dalam perkembangan lanjut perubahan sosial juga menarik perhatian mereka, salah satu contohnya adalah disertasi mengenai menak Sunda. Tetapi terutama para ahli sejarah ekonomi yang karya-karyanya bermunculan sejak awal 1990-an menaruh perhatian pada perubahan sosial, cq perubahan ekonomi.

Pendekatan strukturis belum banyak menarik perhatian kalangan akademisi di Indonesia. Sampai kini baru beberapa disertasi dan monografi yang menjurus kepada metodologi ini, dengan mengikuti jejak-jejak Norbert Elias atau Charles Tilly. Diharapkan dalam masa mendatang lebih banyak ahli sejarah menaruh minat pada pendekatan ini.

Teori Korelasi Dalam Kebenaran Sejarah

Teori Korelasi Dalam Kebenaran Sejarah 
C.Behan Mc.Cullagh sebagian besar menerima kritik yang dilontarkan postmodernisme kepada pendekatan empiris-naratif dalam ilmu sejarah . Dalam hal ini ia menyalahkan "correspondence theory of truth" dalam pendekatan sejarah empiris itu, seolah-olah empiris dalam suatu peristiwa, seperti biografi atau struktur sosial, mengacu pada kebenaran yang obyektif (realitas). McCullagh menggantikan teori korespondensi yang dipakai dalam ilmu eksatta diganti dengan teori korelasi ("correlation theory of truth") dalam ilmu sejarah. Teori korespondensi berpendapat bahwa apa yang diungkapkan dalam historiografi empiris itu sama benar dengan kenyataan, sedangkan teori korelasi lebih hati-hati dan mengatakan bahwa apa yang diungkapkan dalam histioriografl empiris itu tidak sama benar dengan kenyataan, tetapi ada kaitannya dengan kenyataan (korelasi).

Berdasarkan teori korelasi kebenaran sejarah itu, Mc.Cullan membantah pandangan dalam doktrin postmodernisme, dan mencoba membuktikan melalui penelitian historiografis, bahwa para ahli sejarah, khususnya yang menggunakan pendekatan naratifisme, dapat mengungkapkan kebenaran (realitas) berdasarkan sumber sejarah (dokumen, arsip, kesaksian lisan) karena memiliki cara-cara tertentu (metode sejarah) untuk menilai teks atau dokumen, dan cara-cara tertentu untuk menjelaskannya (diskripsi atau analisis). Bahkan cara yang digunakan ahli sejarah untuk membuat inferensi (inference) atau menarik kesimpulan dari dokumen bisa obyektif, karena pada dasarnya tindakan-tindakan manusia di masa lampau dialami juga oleh manusia masa kini.

McCullagh bisa menerima pendapat postmodernisme bahwa para ahli sejarah terikat pada kondisi budaya mereka. Namun hal itu tidak harus menghasilkan relativisme budaya dalam historiografi. Ahli sejarah selalu menjelaskan fakta sejarah melalui generalisasi yang bersifat diskriptif, interpretatif ataupun melalui teori-teori kausalitas tertentu. Generaliasi-generaliasi dan teori-teori itu senantiasa bisa diubah-ubah agar lebih mencerminkan realitas.

Dengan demikian metode sejarah dan historiografi bisa juga menjamin bahwa apa yang disampaikan melalui bahasa dalam bentuk naratif itu bukan sekedar "language game" tetapi memiliki kaitan (korelasi) dengan kenyataan. Kemampuan akademik para ahli sejarah itulah yang menjamin bahwa historiografi tidak terjerumus dalam relativisme budaya, dan tetap memiliki kadar realitas yang cukup tinggi.

Ilmu Sejarah dan Post Modernisme

Ilmu Sejarah dan Post Modernisme 
Istilah postmodernisme pertama kali dimunculkan oleh Jean-Francois Lyotard dan Roland Barthes. Postmodernisme sesungguhnya muncul sebagai reaksi atas "common-sense thinking" dalam kritik sastra. Kritik itu pada awalnya ditujukan pada wacana-wacana moralistik yang menganggap pandangannya sendiri sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat dibantah tanpa dikenakan sangsi. Kritik postmodernisme itu kemudian berkembang menjadi kritik terhadap pandangan universalisme yang terkandung dalam suatu sistem budaya tertentu (Barat) dalam kritik sastra. Masalahnya adalah bahwa doktrin ini kemudian juga dianggap berlaku dalam wacana-wacana ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu teoretis, ilmu-ilmu sosial maupun ilmu sejarah.

Doktrin postmodernisme bersumber pada teori linguistik dari Ferdinand Saussure yang berpendapat, bahwa bahasa hanyalah "signifier" (petunjuk) pada "signified" (yang ditunjuk). Kata, dalam teori tersebut, tidak mengacu pada kebenaran atau realitas, tetapi hanya pada suatu "konsep"." Kata-kata dengan demikian samasekali tidak mengacu pada realitas, dan arti kata-kata baru terungkap dalam hubungan-hubungannya dengan kata-kata lain dalam bahasa yang bersangkutan. Berkaitan dengan teori itu postmodernisme beranggapan bahwa semua wacana, seperti dikatakan Jean-Francoise Lyotard, hanyalah "language game", dan sebab itu kebenaran atau obyektifitas (realitas) tidak terungkap di dalamnya. Dalam ilmu sejarah itu berarti bahwa historiografi hanyalah permainan kata-kata, "language game". Para sejarawan yang terpengaruh oleh doktrin tersebut, seperti Hayden White umpamanya, berkeyakinan bahwa dalam historiografi tidak bisa dibedakan antara fiksi dan kenyataan. Bahkan bagi para sejarawan yang tergolong dalam "New Historicisme", tidak ada perbedaan hakiki antara historiografi dan teks biasa; keduanya sama karena hanyalah "language game" tanpa mengandung kebenaran mengenai kenyataan.

Masalahnya, seperti dikatakan ahli filsafat ilmu C. Morris adalah. bahwa postmodernisme tidak membedakan antara wacana ilmiah pada satu pihak yang didasarkan pada observasi, inferensi logis atas evidensi faktual yang mendasari eksplanasi, dan pada pihak lain, "bahasa yang digunakan untuk menciptakan dunia fiktif, imajiner atau poetis," dimana persyaratan ilmiah tersebut diatas tidak ada (Morris: 1997: 5,6). Postmodernisme menyanggah kemampuan ilmu pengetahuan mengajukan kebenaran dengan mengatakan, bahwa kebenaran dalam ilmu pengetahuan hanyalah suatu cara untuk melegitimasi kedudukan seorang pakar, dan bahwa kebenaran ilmiah lebih banyak ditentukan oleh ideologi yang dominan pada saat tertentu.

Dengan kata lain, postmodernisme tidak mempertimbangkan bahwa setiap cabang ilmu memiliki prosedur untuk menentukan kausalitas yang mengacu pada kebenaran atau realitas; postmodernisme sengaja melupakan bahwa setiap cabang ilmu memiliki apa yang oleh C.Lloyed disebut sebagai "structure of reasoning". Apa yang pada awalnya sesungguhnya muncul hanya sebagai suatu upaya menyempurnakan kritik sastra itu, kini makin gencar dikembangkan oleh berbagai ahli dalam berbagai cabang ilmu. Postmodernisme beranggapan bahwa doktrinnya relevan bagi semua cabang ilmu atau wacana, karena semua cabang ilmu menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya.

Maka tidak mengherankan kalau kini muncul berbagai usaha untuk menegakkan kembali keabsahan ilmiah dan menegakkan kembali nilai-nilai tentang kebenaran ilmiah. Gerakan ini terutama muncul karena berkembangnya aliran realisme dalam filsafat ilmu sejak tahun-tahun 1980-an seperti yang terkandung dalam tulisan-tulisan dari Rom Harre, Dudley Shapere, Roy Bhaskar, dan sebagainya. Realisme filosofis juga sekaligus membantah keabsahan historis materialisme dalam ilmu sejarah.

Berikut ini akan saya kemukakan dua buah sanggahan mengenai postmoderisme dalam ilmu sejarah, yang pertama khusus menyangkut .pendekatan empiris dalam ilmu sejarah dan yang kedua menyangkut pendekatan strukturis. Yang pertama berasal dari seorang ahli filsafat ilmu, yaitu C. Behan Mc. Cullagh, dan yang kedua berasal dari seorang ahli sejarah ekonomi, yaitu C. Lloyed. Tetapi sebelumnya patut dikemukakan terlebih dahulu bentuk postmodernisme yang merasuk dalam ilmu sejarah.

Postmodernisme paling jelas nampak dalam pendekatan empiris dalam ilmu sejarah, pendekatan yang paling umum di kalangan para ahli sejarah. Pendekatan empiris dalam ilmu sejarah itu (baik yang bersifat diskriptif maupun yang menggunakan berbagai teori kausalitas) paling mudah disusupi oleh doktrin postmodemisme karena pada dasarnya modus komunikasi pendekatan ini adalah kisah atau naratif. Pendapat postmodemisme, bahwa semua ilmu tidak terkecuali hanyalah "language game" sangat mudah mempengaruhi pendekatan empiris dalam ilmu sejarah yang mengandalkan natarif.

Behan McCullagh, seorang ahli filsafat ilmu, memperlihatkan pengaruh post-modernisme dalam tiga aspek dari ilmu sejarah, yaitu (a) metode sejarah yang digunakan ahli sejarah, (b) pengaruh budaya pada ahli sejarah, dan (c) penggunaan bahasa oleh ahli sejarah.

Pertama mengenai metode sejarah. Seperti diketahui, ilmu sejarah sesungguhnya tidak mempelajari masa lampau, tetapi ilmu sejarah mempelajari sumber sejarah atau peninggalan dari masa lampau seperti dokumen-dokumen, arsip dan kesaksian lisan. Khususnya mengenai pendekatan empiris dalam ilmu sejarah, penjelasan tentang suatu peristiwa, riwayat hidup atau struktur sosial, bertumpu pada uraian mengenai motivasi atau "intention" dari pelaku sejarah yang diyakini menjadi dasar dari tindakan tokoh sejarah yang bersangkutan.

Kalangan post-modernisme berpendapat, bahwa motivasi atau intention yang tercantum dalam dokumen sejarah, tidak mengacu pada kenyataan atau realitas karena pandangan tokoh sejarah dalam sumber sejarah hanyalah gambaran yang berkaitan dengan konsep-konsep budaya yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Sumber sejarah hanyalah teks-teks berupa "language game" yang tidak mencerminkan kenyataan. Kenyataan pada dasarnya tidak dapat diungkapkan melalui sumber sejarah, dan menurut postmodernisme tidak perlu. Demikian pun historiografi atau hasil karya sejarah hanyalah teks-teks yang tidak mengandung kebenaran.

Dengan kata lain, menurut postmodernisme karya sejarah hanyalah teks yang didasarkan pada teks, atau "language game" yang didasarkan para "language game".

Kedua mengenai dampak budaya dalam ilmu sejarah. Postmodernisme berpendapat bahwa setiap ahli sejarah mau tidak mau dipengaruhi oleh konsep-konsep tertentu yang berasal dari sistem budaya masing-masing ahli sejarah. Dengan demikian, menurut doktrin itu, kesimpulan yang diambil ahli sejarah dari sumber sejarah yang digunakannya (inferensi) sudah diwarnai oleh konsep-konsep budaya tertentu. Ini berarti penjelasan mengenai suatu peristiwa, biografi atau struktur sosial bisa berbeda-beda dari sejarawan yang satu dan sejarawan lain, sejalan dengan perbedaan-perbedaan budaya para ahli sejarah itu. Dengan demikian, sekali lagi menurut postmodernisme, historiografi tidak mengandung kebenaran realitas, dan sebab itu historiografi mengandung unsur relativisme budaya.

Ketiga mengenai bahasa. Menurut para penganut postmodernis, seperti Roland Barthes (ahli filsafat ilmu) pengaruh teori linguistik dari Saussure jelas menonjol dalam hal ini. Seperti dikemukakan di atas, menurut Suassure, "kata-kata samasekali tidak mengacu pada hal-hal yang terdapat dalam dunia [kenyataan] tetapi hanya mengacu pada konsep-konsep, dan bahwa makna dari kata-kata atau konsep-konsep itu seluruhnya terkandung dalam hubungan-hubungannya dengan kata-kata lain dalam bahasa yang bersangkutan". Kata "coklat", menurut Saussure, "bukanlah suatu konsep yang otonom yang mengacu pada ciri-ciri independen, tetapi merupakan suatu istilah dalam sistem istilah warna yang didefinisikan oleh hubungan-hubungannya dengan istilah-istilah lain yang membatasinya" (McCullan 1998: 37). Karena historiografi juga menggunakan kata-kata, maka menurut teori tersebut, historiografi juga tidak mengandung kebenaran (realitas), tetapi mengungkapkan suatu peristiwa yang maknanya terkandung dalam hubungan-hubungan antara kata-taka yang bersangkutan dalam suatu sistem bahasa.

Paradigma Baru Perkembangan Teori Dalam Ilmu Sejarah Dan Arkeologi

Paradigma Baru Perkembangan Teori Dalam Ilmu Sejarah Dan Arkeologi 
Dari sudut epistemologi, perkembangan sejarah dan arkeologi sebagai ilmu, apa yang selama ini dikenali sebagai titik lemah dalam arti dianggap sebagai kurang “ilmiah”adalah masalah data dan interpretasi. Sejarah dan Arkeologi dipandang sebagai sebuah ilmu yang sangat subyektif. Pengukuran kadar keilmiahan di sini didasarkan kepada tolok ukur keilmiahan ilmu-ilmu eksakta atau ilmu pengetahuan alam, yaitu dalam hal ke-obyektifannya. Ilmu pengetahuan yang tidak obyektif dianggap tidak dapat memenuhi ketentuan sebagai ilmu pengetahuan serta kemudian dianggap sebagai bukan ilmu, sehingga hasil penelitiannya pun dipandang kurang bersifat ilmiah. Sesungguhnya masalah ini bukanlah merupakan masalah sejarah dan arkeologi sebagai ilmu saja, melainkan telah menjadi masalah di lingkungan ilmu-ilmu budaya pada umumnya.

Sebagaimana diketahui ilmu-i1mu budaya memiliki manusia sebagai obyek studinya sehingga atas dasar itu disebut pula sebagai ilmu kemanusiaan. Secara sangat mudah dapat dikenali bahwa ilmu-ilmu yang dianggap tidak ilmiah tadi sesungguhnva merupakan ilmu-ilmu yang obyek studi dan subyeknya sama, yaitu manusia. Atas dasar inilah maka ilmu-ilmu yang demikian ini di pandang sebagai ilmu yang bersifat subyekif Sebaliknya oleh karena obyek studi ilmu-ilmu eksakta adalah benda (obyek) yang sama sekali berlainan dengan peneliti atau subyek studi. Atas dasar itu pulalah maka limu-ilmu eksakta dikenal sebagai ilmu yang bersifat obyektif. 

Upaya yang dilakukan oleh para ahli ilmu budaya ada dua arah. Arah yang pertama adalah mencoba untuk menerapkan metoda ilmu eksakta dalam penelitian mereka. Upaya ini di dalam arkeologi dikenal sebagal “new archaeology”, yang diupayakan oleh ahli arkeologi Amerika. Aliran ini merupakan penganut yang mengembangkan teori bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya hanya memiliki satu metode saja. Sebaliknya, upaya yang kedua menganut faham bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan itu terdiri dari dua jenis ilmu, oleh karena keduanya masing-masing mengembangkan “scholarship”nya sendiri. Ilmu kemanusiaan mengembangkan metode “mengerti”sedangkan ilmu eksakta metode “menerangkan”.

Suatu penelitian ilmiah memiliki peranan yang sangat penting dalam mencari kebenaran dan merupakan sebuah pemikiran kritis. Penelitian dalam ilmu-ilmu sosial, sama halnya dengan penelitian pada umumnya merupakan suatu proses yang terus menerus yang dilakukan secara kritis dan terorganisasi untuk melakukan analisa, memberikan penjelasan dan interpretasi terhadap fenomena sosial yang mempunyai hubungan yang kait-mengkait.

Peneliti ilmu sosial walaupun berpijak pada metode ilmiah, tetapi beberapa ciri khas yang ada di dalam masing-masing bidang ilmu, menyebabkan si peneliti dituntut memiliki ketrampilan yang khas pula dan harus didukung oleh kerangka teori dan analitik yang berbeda dalam menganalisa interaksi antar fenomena disebabkan kompleksnya fenomena-fenomena yang diteliti. Masalah-masalah sosial yang mudah berubah dan sulit diukur mengakibatkan kurangnya kemampuan melakukan prediksi, tidak se-eksak prediksi dalam ilmu alam.

Penggunaan metode kuantitatif yang telah baku dan lazim dipakai dalam penelitian ilmu-ilmu alam ternyata tidak cukup mampu mengungkapkan dan mendeskripsikan fenomena-fenomena sosial yang ada dalam masyarakat karena variabel-variabelnya sulit untuk diukur. Bidang ilmu humaniora yang mencakup bidang hukum, antropologi, sastra, linguistik, filsafat, sejarah, merupakan bidang ilmu yang “kurang cocok” bila dipakai pendekatan kuantitatif.

Oleh karena itu akhir-akhir ini dengan perkembangan teori-teori sosial yang lebih menekankan dan melebihkan unsur makna dalam ”human action” dan “interaction” sebagai determinan utama eksistensi kehidupan bermasyarakat, berkembang teori-teori yang berparadigma baru dengan konsekuensi metodologinya yang hendak lebih mengkaji aksi-aksi individu dengan makna-makna simbolik yang direfleksikannya akan lebih kualitatif daripada kuantitatif.

Menurut kaum interaksionis ini, realita kehidupan itu, sesungguhnya hanya eksis dalam alam makna yang simbolik sehingga sulit ditangkap lewat pengamatan dan pengukuran begitu saja dari luar melalui beberapa indikator yang cuma tampak di permukaan, melainkan realita sosial hanya mungkin “dipahami serta ditangkap” lewat pengalaman dan penghayatan-penghayatan internal para subyek pelaku yang berpartisipasi dalam interaksi setempat.

Metode kuantitatif yang merupakan metode klasik dan konvensional yang semula efektif terbukti untuk meneliti fenomena alam yang kemudian dipinjam oleh ilmu-ilmu sosial ternyata tidak banyak membantu. mengungkapkan pola-pola dalam tatanan perilaku dan kehidupan manusia serta kurang mampu mengungkapkan nilai, ide, makna dan keyakinan yang “individualized” dan studi-studi sosial yang kian banyak bersifat lintas-kultural. Hal tersebut mengingat pula metode kuantitatif yang “theory testing” untuk meneliti dan memecahkan masalah-masalah yang dikonsepkan pada tingkat analisis yang makro sebagai realitas empiris.

Bidang ilmu humaniora yang hendak meneliti tatanan perilaku dan kehidupan manusia yang merupakan makna aksi individu dan interaksi-interaksi antara individu, dianjurkan dan untuk banyak dicoba menggunakan metode kualitatif yang paradigma teoretik dan rancangan metodologiknya amat berbeda dengan metode kuantitatif. Mengingat kehidupan manusia saat ini sudah semakin demokratik dan “people centered”, maka metode kualitatif dikembangkan untuk mengkaji kehidupan manusia dalam kasus-kasus terbatas namun mendalam dan menyeluruh dan juga dikembangkan untuk mengungkapkan gejala-gejala kehidupan masyarakat seperti apa yang terpersepsi oleh warga-warga masyarakat itu sendiri dan dari kondisi mereka yang tak tercampuri oleh pengamat peneliti. Selain dari itu metode kualitatif tidak menganjurkan dikembangkannya perspektif konseptual dari sudut amatan para peneliti.

Humaniora adalah bidang ilmu yang memiliki objek manusia sebagai human being dalam masyarakat yang mencakup disiplin-disiplin ilmu antara lain Hukum, Politik, Antropologi, Sosiologi, Perilaku Kesehatan, Linguistik, Sastra, Filologi, Seni, Pendidikan, Sejarah, dan Filsafat. Dengan demikian yang diteliti adalah hal-hal yang lebih menekankan pada aspek budaya manusia sebagai bagian dari masyarakat. Oleh karena itu cakupan kajian ilmu-ilmu humaniora adalah tentang ekspresi dan aktualisasi yang terwujud dalam perilaku, sikap, orientasi, nilai, norma, tata makna, pandangan hidup, spiritualitas, etika dan estetika. Dengan demikian tema-tema penelitian yang dapat dikembangkan di bidang ini antara lain berkisar tentang perubahan sosial, dampak sosial pembangunan, kontinuitas dan perubahan dalam masyarakat, etos kerja, dan respons masyarakat terhadap berbagai perubahan, dan sebagainya.

Apa yang hendak dikemukakan dalam makalah ini adalah bagaimana arkeologi mengembangkan dirinya menjadi salah satu ilmu di antara ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dalam upayanya ini, mau tidak mau yang harus dikembangkan adalah teorinya. Atas dasar ini maka akan diungkapkan beberapa teori yang mendasari pengembangan itu. Teori tersebut akan mencakup dua aspek, yaitu teori yang berkenaan dengan hakekat data arkeologi, dan teori yang berkenaan dengan bagaimana data itu diperlakukan sesuai dengan hakekatnya. Teori yang kedua itu berkenaan dengan teori interpretasi data.

Berbicara mengenai masa datang adalah berbicara mengenai arah gejala yang nampak di masa kini yang diperkirakan akan berkelanjutan di masa datang. Ilmu sejarah di masa kini sedang mengalami krisis yang diperkirakan akan berkelanjutan di masa datang. Krisis yang dimaksud adalah pengaruh post-modernisme dalam historiografi termasuk metodologi sejarah.

Krisis dalam ilmu sejarah tersebut, yang juga terdapat dalam ilmu-ilmu lainnya itu, nampaknya akan berkelanjutan dalam masa mendatang terutama karena globalisasi yang akan menjadi ciri utama masa datang itu. Doktrin postmodernisme yang menegakan relativitas budaya itu menyebabkan keabsahan ilmu sebagai wacana yang menampilkan kebenaran mengenai kenyataan nampaknya akan makin terancam.

Di sini saya akan membahas ciri-ciri pokok dari relativisme budaya yang sedang mengancam ilmu sejarah itu, dan mencoba menampilkan masalah itu dalam historiografi Indonesia masa kini.

Pengertian Dan Perkembangan Globalisasi

Pengertian Dan Perkembangan Globalisasi 
Perkembangan teknologi elektronik dan satelit telah menghantarkan kondisi bangsa-bangsa di dunia seperti bergerak dengan kecepatan tinggi dan tanpa batas. Informasi yang dua puluh tahun lalu memerlukan proses berhari-hari untuk sampai dari satu negara ke negara lain, kini hanya memerlukan waktu beberapa menit atau mungkin hanya beberapa detik saja. Seakan- akan dunia ini hampir tidak memiliki batas, dunia seperti menciut, mengecil, jarak dan waktu menjadi sangat pendek dan singkat. Keadaan tersebut diistilahkan sebagai globalisasi. Pengertian Global menurut (http://kamusbahasaindonesia.org) berarti (1) secara umum dan keseluruhan; secara bulat; secara garis besar; (2) bersangkut paut, mengenai, meliputi seluruh dunia.

Dengan menghubungkan kedua pengertian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena kompleks, yang meliputi berbagai macam kecenderungan dan tren di bidang ekonomi, social, budaya dan teknologi yang terjadi secara umum di seluruh dunia yang dapat melibatkan beberapa rangkaian kejadian dan penyebab kejadian baik dalam waktu yang singkat maupun dalam waktu yang berkesinambungan. Beberapa contoh yang berkaitan dengan golbalisasi

1. Prakarsa Indonesia untuk membentuk pasukan perdamaian negara-negara ASEAN yang didasari semangat untuk menciptakan stabilitas dan keamanan Asia Tenggara, kabarnya ditolak oleh Thailand, Singapore dan Filipina karena dinilai tidak sesuai dengan kepentingan Amerika Serikat. Untuk kongkretnya, bisa merugikan hubungan bilateral Amerika Serikat dalam bidang militer dan pertahanan dengan Filipina, Singapore dan Thailand.

2. Dalam skema global kaum Hawkish di Washington, justru menekankan betul perlunya menggalang kekuatan militer yang efektif di kawasan Asia Tenggara untuk melawan RRC sebagai pesaing potensialnya di masa depan, maka prinsip non-blok dalam menciptakan sistem keamanan dan pertahanan di Asia Tenggara, dipandang oleh kaum Hawkish sebagai gagasan dan langkah strategis yang tidak menguntungkan skema hegemoni global Amerika.

Perkembangan Globalisasi 
Dalam era globalisasi sekarang ini semua bangsa akan dihadapkan pada berbagai macam tantangan yang serius dan amat mendasar, utamanya berkaitan dengan kompetisi yang berdimensi global. Kompetisi global tersebut mensyaratkan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas dan berwawasan keunggulan. Sumber daya manusia yang berkualitas dan berwawasan keunggulan itu merupakan faktor determinan dalam persaingan antarbangsa. Dalam era globalisasi dapat dipastikan akan terjadi perubahan-perubahan mendasar di berbagai segi kehidupan yang gejalanya sudah mulai nampak dan telah dapat kita rasakan sekarang ini. 

Perubahan lingkungan strategis yang ditandai oleh kecenderungan globalisasi yang berlangsung secara intensif, akseleratif, melanda semua bangsa di dunia. Proses globalisasi serupa itu dipacu oleh kemajuan di bidang teknologi informasi, transportasi, dan perdagangan bebas. Proses tersebut membawa dampak langsung terhadap berbagai bidang kehidupan, bukan saja ekonomi tetapi juga sosial, budaya, dan politik. 

Karena globalisasi digerakkan oleh dua kekuatan utama yaitu teknologi dan perdagangan, maka daya saing itu akan sangat bergantung pada (1) kemampuan kita untuk menguasai teknologi dengan basis ilmu pengetahuan yang kuat, dan (2) kemampuan kita dalam membangun kelembagaan ekonomi yang efisien.

Kedua hal tersebut secara imperatif menjadi faktor yang menentukan dalam usaha memenangkan kompetisi global. Dengan demikian, upaya untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) merupakan agenda pembangunan di masa depan, yang teramat penting dan mendesak untuk mendapatkan prioritas. Globalisasi juga akan mengakibatkan perubahan dalam aspek sosial budaya. Pergaulan antarbangsa dalam era globalisasi ini menyebabkan terjadinya interaksi dan persentuhan nilai-nilai budaya di antara berbagai bangsa yang beraneka ragam yang tidak bisa dihindari. Melalui interaksi tersebut akan terbuka peluang untuk saling menyerap nilai-nilai budaya asing antara satu dengan yang lainnya, sehingga terjadi proses adaptasi nilai-nilai budaya yang dibawa oleh masing-masing bangsa.

Adaptasi budaya asing tersebut bisa bermakna negatif dan positif sekaligus. Ia akan bermakna negatif bilamana masyarakat Indonesia hanya menyerap nilai-nilai budaya asing yang tidak selaras dengan nilai-nilai budaya bangsa sendiri. Kecenderungan sikap materialistik, konsumeristik, hedonistik, individualistik, atau sekularistik adalah contoh yang negatif. Untuk menghadapinya, kita perlu memperkuat jati diri sebagai bangsa dan memperkukuh etika dan landasan moralitas masyarakat. Di pihak lain, adaptasi juga bisa bermakna positif bila mendorong masyarakat dan bangsa Indonesia untuk mengejar kemajuan. Misalnya etos kerja, semangat berkompetisi, sikap kemandirian, disiplin, penghargaan terhadap waktu dan sebagainya.

Dalam era globalisasi juga ada potensi melemahnya keutuhan negara terutama bagi negara-negara yang dibentuk atas dasar ikatan primordial seperti etnik dan agama. Bahkan John Naisbitt membuat sinyalemen bahwa masa depan negara-bangsa yang dibentuk atas dasar kesatuan berbagai macam etnik itu sangat mungkin akan memudar, mengalami disintegrasi, dan kemudian akan kembali kepada identitas primordial semula. Dalam bahasa Naisbitt, tribalisme itu akan berkembang ketika nasionalisme (baca: negara-bangsa) dianggap tidak penting lagi. Dalam konteks Indonesia, sebagai negara-bangsa yang sangat majemuk baik dari segi etnis, agama, budaya, dan adat istiadat, tentu saja masalah ini tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, semua elemen sosial yang ikut membentuk negara kesatuan RI dituntut untuk berupaya memperkuat dan mengukukuhkan keutuhan bangsa ini

Ilmu Dan Teori Komunikasi

Ilmu Dan Teori Komunikasi 
1. Komunikasi Adalah Fundamental
Dalam kehidupan manusia, komunikasi memegang peranan penting. Setiap aktivitas manusia tidak bisa dilepaskan dari unsur komunikasi. Manusia dapat membuat beberapa perbedaan yang esensial manakala berkomunikasi dengan pihak lain, baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. 

Komunikasi adalah cara berhubungan satu dengan lainnya, bagimana suatu hubungan terbentuk, bagaimana cara seseorang memberikan kontribusi sebagai anggota keluarga, kelompok, komunitas, organisasi dan masyarakat secara luas membutuhkan suatu komunikasi. Dengan demikian, komunikasi menjadi hal yang sangat fundamental dalam kehidupan manusia. 

2. Komunikasi Adalah Kompleksitas
Komunikasi adalah suatu aktifitas yang komplek. Hal Ini menunjukkan, kendati setiap orang mampu melakukannya, namun ternyata aktifitas komunikasi bukanlah suatu aktifitas yang mudah dan bisa dilakukan oleh semua orang secara baik dan efektif. Untuk mencapai kompetensi komunikasi, seseorang memerlukan understanding dan suatu keterampilan sehingga komunikasi yang dilakukan menjadi efektif. 

Ellen langer dalam Ruben & Stewart (2005:3) menyebut konsep mindfulness akan terjadi ketika seseorang memberikan perhatian pada situasi dan konteks, ia terbuka dengan informasi baru dan menyadari bahwa ada banyak perspektif di kehidupan ini.

3. Komunikasi Adalah Vitalitas 
Setiap individu memerlukan kemampuan dalam memahami situasi komunikasi, mengembangkan strategi komunikasi efektif, memerlukan kerjasama antara satu dengan yang lain, dan dapat menerima kehadiran ide-ide yang efektif melalui saluran komunikasi. 

Untuk mencapai kesuksesan dari suatu peran tertentu dalam mencapai kompetensi komunikasi antara lain melalui kemampuan secara personal dan sikap, kemampuan interpersonal, kemampuan dalam melakukan komunikasi oral dan tulisan dan lain sebagainya.

4. Komunikasi Adalah Kompetensi
Anggapan bahwa komunikasi hanyalah sesuatu yang bersifat common sense dimana setiap orang pasti mampu melakukannya adalah keliru. Sesungguhnya banyak yang tidak memilki ketrampilan berkomunikasi yang baik karena ternyata banyak pesan-pesan dalam komunikasi manusia itu yang disampaikan tidak hanya dalam bentuk verbal tetapi juga secara nonverbal. Karenanya, ada keterampilan komunikasi dalam bentuk tulisan dan oral, ada ketrampilan berkomunikasi secara interpersonal, ataupun secara kelompok sehingga dapat berkolaborasi sebagai anggota dengan baik, dan lain-lain. 

Kadang-kadang seseorang mengalami kegagalan dalam berkomunikasi. Banyak yang berpendidikan tinggi tetapi tidak memilki ketrampilan berkomunikasi secara baik dan memadai sehingga mengakibatkan kegagalan dalam berinteraksi dengan manusia lainnya. Dengan demikian, maka komunikasi adalah sesuatu yang membutuhkan kompetensi dan perlu dipelajari.

5. Komunikasi Adalah Populis 
Komunikasi adalah suatu bidang popular. Banyak bidang-bidang komunikasi modern sekarang ini yang memfokuskan pada studi tentang pesan, ada juga tentang hubungan antara komunikasi dengan bidang profesional lainnya, seperti bidang hukum, bisnis, informasi, pendidikan, maupun ilmu komputer, dan lainnya. 

Sebagai suatu disiplin ilmu sosial/perileku dan suatu seni, komunikasi bersifat multidisiplin, karena dapat diaplikasi dan berkaitan dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti Psikologi, Sosiologi, Antroplogi, Ilmu Politik, dan disiplin ilmu lainnya

Islamisasi Sains Dan Makna Strategis Da’wah Di Kampus

Islamisasi Sains Dan Makna Strategis Da’wah Di Kampus 
Dalam artikelnya yang berjudul A Struktural Theory of Imperialism, Johan Galtung yang terkenal dengan teori dependensi medianya. Teori dependensi media menjelaskan bahwa dunia terdiri dari negara maju yang disebut pusat, dan negara terbelakang yang disebut pinggiran (periferal). Hubungan keduanya menciptakan struktur dominasi dan melalui hubungan terjadi alih teknologi sekaligus transfer kultural. 

Dalam dunia media massa, baik cetak maupun elektronik, hubungan semacam itu tampak kasat mata, misalnya ketika Barat memberikan cap “fundamentalis” kepada Kaum Muslim Afghanistan yang meruntuhkan rezim boneka komunis di negerinya, dan dengan serta-merta pers di negara berkembang yang umumnya negeri muslim melansir serta mengikuti pula klaim Barat tersebut. Maka istilah yang semula sehat dan netral itu menjadi kotor disebabkan proses pencitraan yang tidak obyektif dari Barat, yang akhirnya fundamentalis berkonotasi “sejumlah orang Islam yang berjenggot, berkaffiyeh (berjilbab bagi wanitanya) dan sering menteror masyarakat Non-Muslim”.

Ilustrasi di atas paling tidak dapat memberikan kesahihan teori Galtung di muka tentang hubungan antara pusat dan pinggiran. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah apa sebabnya negeri-negeri Muslim sebagai negara berkembang mempunyai kecenderungan demikian? Apakah mereka merasa rendah diri ketika dihadapkan dengan peradaban Barat? Kalau ya, apa yang menjadi akar dari persoalan tersebut, sedangkan peradaban Barat pada dekade terakhir ini mengalami masa krisis? Apakah tidak salah, kita sebagai bagian dari umat Islam dunia menggambarkan Barat sebagai patron yang ideal dalam tata kehidupan di saat mereka sendiri sedang “sakit”?

KRISIS DI BARAT
Apa yang dimaksud dengan krisis dalam paragraf di atas secara pasti akan mengarah pada peradaban. Berbicara mengenai krisis peradaban, artinya berbicara mengenai krisis sains modern (Barat) dan penerapannya (teknologi). Karena sekalipun mungkin agak berlebihan, sains dan teknologi merupakan komponen dari sebuah peradaban. Ini berarti secara inheren sains dan penerapannya sendiri telah menjelaskan krisis yang melanda “dirinya”. Krisis global di negara modern telah menerpa kepada negara berkembang seperti pembangunan yang tidak berorientasi kepada lingkungan sehingga menyebabkan polusi, musim yang tidak menentu, berkembangnya fenomena anomie dalam masyarakat, dan fenomena destruktif lainnya yang merupakan representasi krisis peradaban.

Kalau kita mencoba mendaftar berbagai krisis tersebut maka akan didapatkan daftar yang cukup panjang. Sebagai ilustrasi adalah krisis lingkungan. Ekosistem alam kini berada dalam keadaan yang amat labil, karena banyak campur tangan manusia di dalamnya baik yang direncanakan ataupun tidak. Dampak umum rumah kaca akibat makin banyaknya gas CO2 hasil pembakaran bahan kabar fosil yang tidak hanya mengancam sebagian dunia tapi seluruh dunia. Belum lagi ditemukannya fakta bahwa lubang ozon bumi semakin memperlihatkan derajat ketipisannya yang mempengaruhi terhadap kesehatan masyarakat manusia di dunia termasuk di dalam hal ini semakin cepatnya pencairan es di wilayah kutub. (Gulsyani, 8-9).

Hal ini barangkali hanya sebagian kecil fakta yang dapat kita jadikan sampel, dalam dunia bioteknologi telah ditemukan teknik kloning, suatu teknik terbaru dalam mewujudkan obsesi manusia kontemporer untuk menciptakan manusia unggulan melalui benih unggulan pula. Mencermati realitas sosial semacam tadi, barangkali suatu hal yang relevan jika kita merenungkan pandangan Naquib Al-Attas bahwa: “... telah dan sedang terjadi semacam dominasi pemahaman kita tentang realitas oleh Barat yang sekular, karena itu pemahaman kita tentang realitas yang bersandar pada atau berangkat dari teori Barat sekular merupakan wujud nyata dari penjajahan intelektual”.

Pandangan semacam itu menunjukkan bahwa Naquib Al-Attas sebagai salah seorang penggagas Islamisasi Sains yang berkeinginan untuk membebaskan realitas dari penjajahan intelentual dan subyektivitas Barat, terutama yang menjelma dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dehumanistik, misalnya menjadikan masyarakat sebagai obyek rekayasa ekoomi politik kaum elit, eksploitasi alam yang tidak terkendali bahkan menjadikan manusia sebagai kelinci percobaan bagi studi-studi psiko-biologis.

TEKNOLOGI NEGARA BERKEMBANG SEBAGAI CONTOH AKTUAL
Teknologi yang secara sederhana merupakan penerapan sains adalah contoh aktual betapa masyarakat Muslim di Dunia Ketiga amat bergantung pada masyarakat Barat. Padahal teknologi yang diterapkan itu sendiri bukanlah merupakan kebutuhan utama dari masyarakat muslim seperti tadi.

Sebagaimana halnya sains, teknologi yang diimpor-pun tidaklah bebas nilai (netral). Hal ini sangat bertentangan dengan asumsi yang populer diterima masyarakat bahwa teknologi bersifat netral. Barangkali dari asumsi tersebutlah mengapa masyarakat Muslim dalam beberapa dasawarsa terakhir mengabaikan kebutuhan teknologis masyarakat Muslim yang sesuai dengan kebutuhan pasti mereka.

Keyakinan sifat baik teknologi ini begitu mendalam dan berpengaruh sehingga pengalaman selama tiga dasawarsa dalam kegagalan program bantuan teknologi dan akibat-akibat proyek alih teknologi yang merusakpun, tidak mampu meruntuhkannya. Dalam kasus alih teknologi misalnya tidak hanya menyebabkan negeri-negeri Muslim semakin tergantung pada negeri-negeri industri tetapi juga menimbulkan pengaruh yang merusak terhadap kebudayaan dan lingkungan Muslim. Perhatikan misalnya, pengaruh teknologi yang diterapkan di kota suci Makkah, Madinah, dan kawasan lain yang dipakai untuk ibadah haji. Pada dekade terakhir ini, lingkungan haji telah dirombak tanpa ampun, diputus dari akar-akar sejarahnya oleh semacam teknologi brutal yang didasarkan pada perusakan dan kekerasan lingkungan, suatu kenyataan yang memperlihatkan kurangnya perhatian akan nilai-nilai kultural dan concern spiritual. Alih teknologi yang sensitif pada lingkungan haji telah melahirkan situasi di mana untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam kita menghadapi destruksi fisik secara total salah satu bangunan yang paling dimuliakan, simbol dari nilai yang tak tergoyahkan. (Sardar, Ulumul Quran 1991 No. 8 Vol. II).

Dengan demikian tidak ada sesuatupun yang bebas nilai (netral) dalam sains dan teknologi. Mereka yang masih setia pada gagasan ini sesungguhnya hidup di dunia lain. Sains dan teknologi modern adalah produk sejarah dan kebudayaan yang khas Barat, dan senantiasa membawa nilai-nilai asli kebudayaannya kemanapun ia disebarkan. Bila kita mencoba merunut kembali sejarah keilmuan, maka akan didapatkan bahwa krisis yang terjadi hari ini di Barat pada hakikatnya bermuara pada pandangan dunia mengenai relasi antara Tuhan, manusia dan alam, Humanisme Barat misalnya yang berakar dari filsafat Yunani Kuno menganggap bahwa alam adalah entitas yang mesti dikuasai.

Filsafat Yunani Kuno menampilkan konsep tarik-menarik antara manusia dan dewa. Dewa yang dipersonifikasikan dengan fenomena alam, seperti: banjir, petir, hujan dan sebagainya mengalami kekalahan. Manusia bisa mengatasi segala rintangan alam (dewa). Dari sinilah keilmuan Barat diarahkan kepada upaya penaklukan alam, lebih ekstrim lagi karena merasa mampu menaklukan alam, akhirnya tidak percaya kepada Tuhan dan lahirlah konsep keunggulan ras, dalam hal ini ras kulit putih.

ISLAMISASI SAINS
Berdasarkan kerangka pikir tersebut, sangat wajar ketika banyak pemikir Muslim sejak dekade 1970-an yang mencoba menggagas Islamisasi Sains. Dalam perspektif mereka, sains dan teknologi yang ada hari ini sudah terkontaminasi oleh peradaban Barat yang sekular. Definisi yang jelas mengenai Islamisasi sains sebetulnya masih belum baku, bahkan menimbulkan kontroversi mengingat belum adanya kesepakatan pandangan terhadap terminologi tersebut. Untuk iti, istilah Islamisasi sains dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mengaitkan kembali sains dengan agama, yang berarti mengaitkan kembali hukum alam (sunatullah) dengan Al-Quran yang keduanya pada hakikatnya merupakan ayat-ayat keagungan Tuhan. (Bastaman, Ulumul Quran 1991 No. 8 Vo. II).

Menurut Hanna Djumhana Bastaman dalam artikelnya yang berjudul Islamisasi Sains dengan Psikologi sebagai Ilustrasi, ada beberapa bentuk pola pemikiran Islamisasi sains, yaitu seabagi berikut:
1. Similarisasi, yaitu menyamakan begitu saja konsep-konsep sains dengan konsep-konsep yang berasal dari agama, padahal belum tentu sama. Misalnya menganggap konsep ruh sama dengan jiwa, nafs al-ammarah, nafs al-lawwamah, dan nafs al-muthmainnah yang identik dengan id, ego, dan super ego dalam psikoanalisisnya Sigmund Freud. Penyamaan ini sebenarnya lebih tepat disebut similarisasi semu, yang dapat mengakibatkan biasnya sains dengan direduksinya agama ke taraf sains.

2. Paralelisasi yang menganggap adalanya kesejalanan antara konsep yang berasal dari Al-Quran dengan konsep yang dari sains karena kemiripan konotasinya. Misalnya menggap Perang Dunia III sejalan dengan kiamat, atau menjelaskan perjalanan Isra Mi’raj paralel dengan perjalanan ke ruang angkasa dengan menggunakan rumus fisika S=v,t. Paralelisasi sering digunakan sebagai scientific explanation atas kebenaran ayat-ayat Al-Quran dalam rangka menyiarkan Islam kepada komunitas tertentu.

3. Komplementasi yang menyatakan antara sains dan agama saling mengisi dan memperkuat satu sama lain tetapi masing-masing tetap mempertahankan eksistensinya tersendiri. Misalnya manfaat puasa Ramadhan untuk kesehatan yang dijelaskan dengan prinsip-prinsip dietary dalam ilmu medis.

4. Komparasi yang membandingkan konsep atau teori sains dengan konsep atau teori agama mengenai gejala-gejala yang sama, misalnya teori motivasi dari ilmu jiwa diperbandingkan dengan konsep motivasi yang dijabarkan dari aya-ayat Al-Quran.

5. Induktivikasi yang memiliki asumsi dasar dari teori-teori ilmiah yang didukung oleh temuan-temuan empiris dilanjutkan pemikirannya secara teoretis-abstrak ke arah pemikiran metafisik, kemudian dihubungkan dengan prinsip-prinsip agama (Al-Quran) mengenai hal tersebut. Contohnya, adanya keteraturan dan keseimbangan yang menakjubkan di alam semesta ini menyimpulkan adanya Hukum Maha Besar yang mengatur.

6. Verifikasi yang mengungkapkan hasil-hasil penelitian ilmiah yang menunjang dan membuktikan kebenaran Al-Quran. Misalnya penelitian mengenai efek dzikir kepada Allah terhadap ketenangan perasaan.

Keenam pola pemikiran tersebut tetap memberikan impresi adanya semacam pengkotakan antara sains dan agama atau ada semacam ikatan yang terputus (missing link) dalam pola pemikiran tersebut. Agama yang pada dasarnya bertolak dari iman dan wahyu serta bercorak metafisis tidak bisa secara tergesa-gesa disatukan dengan sains yang bertolak dari akal manusia serta coraknya yang empiris. Untuk itu, perlu “sesuatu” yang mampu memperantarai sains dan agama sehingga missing link itu dapat ditiadakan, paling tidak dapat dieliminasi.

Mengingat sains dan agama memiliki karakter yang khas, maka sesuatu yang diperlukan itu berupa pandangan filosofis atau metafisis. Bila itu dimasukkan dalam figura Islamisasi sains, maka pandangan filosofis tersebut bermakna Islamisasi terhadap ilmuwannya sendiri. Jadi bukan ilmunya sendiri yang di-Islamkan tetapi lebih utamanya “meng-Islamkan” dulu pandangan dunia (world-view) dari ilmuwannya. 

MAKNA STRATEGIS DA’WAH DI KAMPUS
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka yang dibutuhkan adalah bagaimana “meng-Islamkan” pandangan ilmuwan dan sangat disadari bahwa ilmuwan, cendekiawan, pakar, dan juga calon-calonnya yang ada di kampus, maka dengan kenyataan tersebut usaha “men-Islamkan” kampus merupakan upaya awal yang strategis untuk menyiapkan Islamisasi sains. Bagaimana melakukan usaha tersebut? Telah banyak usaha yang dilakukan oleh para muballigh, ustadz atau bahkan aktivis da’wah kampus untuk melakukan usaha “meng-Islamkan” atau da’wah di kampus. Namun berbagai upaya tersebut belum cukup karena masih dilakukan secara sporadis, volunteer dan kurang terorganisasi.

Kalau usaha da’wah hanya dilakukan dengan mentoring, halaqah ataupun ceramah-ceramah yang sifatnya sekilas sehingga hasilnyapun tidak optimal, apalagi jika masih digarap secara individual. Untuk itu ada beberapa upaya yang dapat dilakukan secara bersama dan bersinergi, yaitu:
1. Melakukan koordinasi dan penyamaan persepsi antar-aktivis da’wah di kampus sehingga memiliki pandangan yang positif terhadap sains dan teknologi serta memiliki landasan agama yang kuat.

2. Organisasi-organisasi kemasyarakatan yang besar semacam Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, ICMI, PERSIS dan sebagainya harus mulai memiliki concern dan perhatian khusus terhadap da’wah di kampus. Idealnya ormas-ormas tersebut mampu memfasilitasi sarana dan prasarana untuk pembinaan mahasiswa dalam bentuk pesantren mahasiswa dan lembaga lainnya yang mampu menjadi kawah candradimukanya kader-kader cendekiawan berwawasan ilmu keislaman dan kader-kader ulama yang cendekia.

3. Para cendekiawan dan ulama dituntut agar memberikan landasan-landasan agama yang kuat dan tepat untuk komunitas kampus dan juga dituntut untuk mulai menyebarkan ide-ide dan metodologi sains dan teknologi yang Islami.

Dengan ketiga solusi di atas maka kampus sebagai gudangnya cendekiawan dan calon cendekiawan akan memiliki nuansa Islami sehingga ilmu pengetahuan dan teknologinyapun akan bermanfaat bagi sekalian alam (rahmatan lil-‘alamien). Insya-Allah.

Teori-teori tentang Pembentukan Alam Raya

Teori-teori tentang Pembentukan Alam Raya 
A. Teori Kabut
Teori kabut dikemukakan oleh dua orang ilmuwan yaitu Imanuel Kant (1724-1804) seorang ahli filsafat bangsa Jerman dan Piere Simon LaPlace (1749-1827) ahli astronomi bangsa Perancis. Kant mengemukakan teorinya tahun 1755, sedangkan LaPlace mengemukakan pada tahun 1796 dengan nama Nebular Hypothes

Menurut Kant , pada awalnya alam raya merupakan gumpalan kabut ( nebula) yang mengandung debu dan gas, terutama gas helium dan hidrogen. Kabut bergerak dan berputar dengan kecepatan yang sangat lambat sehingga lama kelamaan suhunya menurun dan massanya terkonsentrasi. Kemudian perputaran nya menjadi lebih cepat sehingga membentuk sebuah cakram dengan massa terpusat di tengah-tengah cakram. Perputaran yang semakin cepat menyebabkan terbentuk cincin atau gelang-gelang gas yang memisahkan diri dari bagian luar cakram sehingga terbentuk suatu cakram yang

Menurut LaPlace, tata surya berasal dari kabut panas yang berpilin membentuk bola besar. Kemudian terjadi proses pendinginan dan pengkerutan sehingga bola mengecil membentuk cakram yang berputar makin cepat. Selanjutnya sebagian massa gas pada bagian luar cakram menjauh dari gumpalan intinya dan membentuk cincin-cincin. Cincin ini kemudian membentuk gumpalan padat sehingga terbentuklah planet-plenet dan satelit, sedangkan bagian massa gas yang ditinggalkan di bagian pusat piringan pada inti membentuk matahari.

mengandung sedikit kabut di bagian tengah dan beberapa lapis cincin di sekelilingnya. Cincin-cincin kemudian memadat dan membeku sehingga terbentuk planet-planet, sedangkan massa pada bagian pusat membeku membentuk matahari. (Penggambaran teori kabut menurut Kant)

Pada akhir abad ke-19 teori kabut disanggah oleh beberapa ahli seperti James Clerk-Maxwell yang memberikan kesimpulan bahwa, bila bahan pembentuk planet terdistribusi di sekitar matahari membentuk suatu cakram atau suatu piringan, maka gaya yang disebabkan oleh perbedaan perputaran (kecepatan anguler) akan mencegah terjadinya pembekuan planet.Pada abad ke-20 percobaan dilakukan untuk membuktikan terbentuknya cincin-cincin LaPlace, menunjukkan bahwa meadan magneat dan meadan listrik matahari telah merusak proses pembekuan batu-batuan. Jadi tidak ada alasan yang kuat untuk menyatakan bahwa cincin gas dapat mmeambeku membentuk planet.

B. Teori Bintang Kembar
Menurut teori bintang kembar, awalnya ada dua buah bintang yang berdekatan (bintang kembar), salah satu bintang tersebut meledak dan berkeping-keping. Akibat pengaruh gravitasi dari bintang kedua, maka keping-keping ini bergerak mengelilingi bintang tersebut dan berubah menjadi plnet-planet. Sedangkan bintang yang tidak meledak adalah matahari. Teori ini mempunyai kelemahan karena berdasarkan analisis matematis yang dilakukan oleh para ahli menunjukan bahwa momentum anguler dalam sistem tatasurya yang ada sekarang ini tidak mugkin dihasilkan oleh peristiwa tabrakan dua buah bintang.

C. Teori Ledakan Maha Dahsyat ( Big Bang)
Pendapat kaum materialis yang berlaku selama beberapa abad hingga awal abad ke -20 menyatakan, bahwa alam semesta memiliki dimensi tak terbatas, tidak memiliki awal, dan akan tetap ada untuk selamanya. Menurut pandangan ini yang disebut ”model alam semesta yang statis”, alam semesta tidak memiliki awal maupun akhir.

Dengan memberikan dasar bagi filosofi materialis, pandangan ini menyangkal adanya Sang Pencipta, dengan menyatakan bahwa alam semesta ini adalah kumpulan materi yang kostan, stabil , dan tidak berubah-ubah. Namun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi abad ke-20 menghancurkan konsep-konsep primitif seperti model-model alam yang stasis.

Pada awal abad ke-21 melalui sejumlah percobaan, pengamatan, dan perhitungan, fisika modern telah mencapai kesimpulan bahwa keseluruhan alam semesta, beserta dimensi materi dan waktu, muncul menjadi ada sebagai hasil dari suatu ledakan raksasa yang terjadi dalam sekejap. Peristiwa ini dikenal dengan Ledakan Maha Dahsyat ”Big Bang”, membentuk keseluruhan alam semesta sekitar 15 milyar tahun yang lalu. Jagat raya tercipta dari suatu ketiadaan sebagai hasil dari ledakan satu titik tunggal.Pada awalnya alam semesta ini berupa satu massa mahapadat. Massa mahapadat ini dapat dianggap satu atom mahapadat dengan ukuran maha kecil yang kemudian mengalami reaksi radioaktif dan akhirnya menghasilkan ledakan maha dahsyat .Kalangan ilmuwan modern menyetujui bahwa Big Bang merupakan satu-satunya penjelasan masuk akal dan yang dapat dibuktikan mengenai asal mula alam semesta dan bagaimana alam semesta muncul menjadi ada. Sebelum Big Bang, tak ada yang disebut sebagai materi. Dari kondisi ketiadaan, di mana materi , energi, bahkan waktu belumlah ada, dan yang hanya mampu diartikan secara metafisik, terciptalah materi, energi dan waktu.

Pandangan Tentang Pembentukan Alam Raya dari Berbagai Peradaban

Pandangan Tentang Pembentukan Alam Raya dari Berbagai Peradaban 
Pandangan dari bangsa Mesir Purba tentang alam raya, mereka percaya bahwa alam raya ini dikuasai dikuasai Dewi Langit Nut yang tubuhnya bertaburan bintang, memayungi alam raya sambil menopang langit agar tidak runtuh menekan bumi. Setiap malam Dia menelan matahari dan memuntahkannya di pagi hari. Di antara pagi dan malam hari matahari berlayar di langit dengan menggunakan perahu. Selain dewi Nut di bawahnya berkuasa Dewa Udara Syu, di bawah lagi ada Dewa bumi Geb.

Menurut pandangan bangsa Babilonia, mereka percaya bahwa bumi merupakan pusat alam semesta dan mereka beranggapan bumi sebagai suatu gunung yang berongga di bawahnya dan ditopang oleh suatu samudera. Angkasa melengkung di atas bumi , berdiri tegak di antara perairan abawah dan perairan atas samudra, yang kadang-kadang turun ke bumi berupa hujan.

Sewaktu ilmu pengetahuan modern mulai berkembang setelah Eropa kembali ke zaman Kabangkitan pada abad ke 17, pandangan orang mengenai asal usul kehidupan dibentuk oleah ajaran yang tearcantum dalam Perjanjian Lama pada Kitab Genesis.Dalam kitab ini memuat ajaran tentang bumi yang mirip dengan pandangan orang Babilonia. Bedanya bahwa di atas angkasa di langit ada suatu tempat yang disebut Surga yaitu tempat Tuhan Y ang Maha Esa bertakhta, sedangkan dibawah bumi terdapat suatu tempat yang disebut Neraka seperti gambar berikut ( Konsep Bumi berdasarkan kitab kejadian ).

Sebagian besar bangsa Yunani Kuno percaya bahwa bumi adalah pusat alam raya, Pada sekitar tahun 140 M muncul teori Ptolemaios tentang sistem tata surya di alam semesta yang didasari oleh konsep geosentrisme. Ia beranggapan bahwa bumi tetap pada tempatnya sedangkan bulan, merkurius, venus matahari, saturnus dan yupiter mengelilingi bumi dalam gerakan yang melingkar. Teori ini bertahan sampai akhir abad ke- 18, walau demikian sebelum abad ke-18 yaitu tahun 1543 telah muncul teori Heliosentrisme yang dikemukakan oleh Copernicus, Ia beranggapan bahwa matahari sebagai pusat tata surya yang dikelilingi oleh enam planet yang ketika itu baru diketahui yaitu merkurius, venus, bumi, mars, yupiter dan saturnus . Menurutnya ke enam planet tersebut mengitari matahari melewati lintasan berbentuk lingkaran. Namun terakhir berdasarkan hasil penelitian Johannes Kepler memperkuat teori Heliosentrisme dengan mengubah bentuk lintasan planet dari lingkaran menjadi elips.

Dengan majunya teknologi pembuatan teleskop, pada abad ke-18 astronom Inggris Sir William Herschel dapat melihat bentuk gugus bintang Bima Sakti serta mengamati bentuk-bentuk menyerupai awan yang terang di angkasa yang dinamakan Nebula. Pada tahun 1981 astronom Amerika Serikat Edwin Powell Hubble menyatakan bahwa Nebula yang diamati oleh Herschel adalah galaksi juga yang letaknya lebih jauh dari galaksi Bima Sakti.

Sekarang telah diketahui lebih dari seratus juta galaksi, yang masing-masing galaksi terdiri atas berjuta-juta bintang, masing-masing serupa dengan mmatahari. Dari galaksi Bima Sakti sendiri diketahui bahwa bintang-bintang yang terdapat di dalamnya termasuk matahari sekitar 100 milyard yang bertebaran dalam bentuk cakram, yang berdiameter 100 ribu tahun cahaya dan tebalnya 5 ribu tahun cahaya ( 1 tahun cahaya = 9,46 x 1012 km. Matahari kita salah satu anggota galaksi yang letaknya 50 ribu tahun cahaya dari pusat galaksi Bima Sakti, jadi Matahari bukan pusat alam raya juga bukan pusat galaksi Bima sakti. Letak tata surya kita bahkan hampir ditepi galaksi Bima sakti, sehingga dulu orang menyangka bahwa Bima Sakti itu lepas dari sistem tatasurya. Dalam kenyataannya tatasurya kita sebagai anggota galaksi Bima Sakti ikut berputar disekitar pusat cakram galaksi Bima Sakti dengan satu putaran penuh 250 juta tahun.

Alam Semesta Menurut Pandangan Islam

Alam Semesta Menurut Pandangan Islam 
A). KONSEP ALAM SEMESTA
Al Qur’an dapati kesimpulan yang cukup besar peluang kebenarannya bahwa sebenarnya seluruh kejadian di alam semesta ini, sudah terjadi dan kejadiannya mengikuti segala rencana dan konsep yang sudah tertera di dalam Al Qur’an. Gambaran jelasnya, bahwa semua proses alam semesta ini mengikuti dan mengekor pada segala yang tertuang dalam Al Qur’an, apakah diketahui atau tidak tabir rahasianya oleh manusia. 

Dengan kata lain, kejadian dunia ini adalah sebagai “cermin manifestasi” dan “kenyataan lahir” dari rencana Allah yang sebenarnya sudah diberitahukan kepada manusia lewat Al Qur’an, sebelum kejadian tersebut terjadi, dengan tidak ada tekanan apakah manusia mau atau tidak memahaminya guna mendapatkan takwil isyarat-Nya. 

Al Qur’an diturunkan bukan hanya kepada umat Islam, tetapi sebagai mediator menyampaikan pesan Tuhan Pencipta Alam kepada semua makhluk-Nya. Al Qur’an yang sedemikian sempurna ini memberi kabar dan cerita semua kejadian di alam semesta ini.

Kemukjizatan Al-Qur'an ditandai dengan keorisinilannya sejak diturunkan . Kitab suci ini juga tidak dapat ditandingi oleh siapa pun di dunia ini hingga akhir zaman. Ia tidak akan lekang dimakan pergeseran masa dan dapat diuji dari sudut mana pun juga. Sekarang pun, saat ilmu pengetahuan berkembang pesat, ternyata Al-Qur'an sanggup menjawab tantangan sains modern.

Salah satu hal yang membuat takjub para ilmuwan adalah adanya persesuaian antara konsep penciptaan alam semesta menurut Al-Qur'an dan sains (ilmu pengetahuan) modern. Dalam pandangan sains modern, pada awalnya alam semesta ini masih berupa kabut gas yang panas dan kemudian terpisah. Terpisahnya kabut gas ini merupakan proses awal terciptanya galaksi-galaksi. Dari pecahan-pecahan kabut gas tersebut selanjutnya melalui proses evolusi terbentuk milyaran matahari dengan planet-planetnya, termasuk bumi yang kita huni ini. Ilmuwan cerdas yang pertama kali mengemukakan teori di atas bernama Laplace dari Perancis dan Immanue Kant dari Jerman.

Meskipun demikian, ratusan tahun sebelum ilmuwan itu mengemukakan teorinya, Al-Qur'an telah menyebutkan secara gamblang. sebagaimana tertulis dalam Surat Al Anbiya ayat 30: "Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga yang beriman?"

Ayat tentang asal mula alam semesta dari kabut/nebula (QS 41/11).

Artinya : “11. Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa." Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati."

Teori alam semesta ini berasal dari kabut gas yang panas, dapat juga dibaca dalam surat Fushillat ayat 9-12.

Ada beberapa kesimpulan penting yang dapat kita petik dari ayat-ayat di atas,yaitu:
1. Disebutkan bahwa antara langit dan bumi (kosmos) semula merupakan satu kesatuan (ratg) lalu mengalami proses pemisahan (fatg). Perlu ditegaskan di sini, bahwa fatg dalam bahasa Arab artinya memisahkan dan ratg artinya perpaduan atau persatuan beberapa unsur untuk dijadikan suatu kumpulan yang homogen.
2. Disebutkan adanya kabut gas (dukhan) sebagai materi penciptaan kosmos.
3. Disebutkan pula bahwa penciptaan kosmos (alam semesta) tidak terjadi sekaligus,tetapi secara bertahap.

Apabila dikaitkan dengan sejumlah teori seputar terjadinya kosmos menurut sains modern, maka konsep penciptaan semesta yang tertera dalam Al-Qur'an tidak dapat disangkal lagi kebenarannya.

Adanya kumpulan kabut gas dan terjadinya pemisahan-pemisahan kabut gas tersebut atau dikenal dengan proses evolusi terbentuknya alam semesta, sudah dipaparkan secara jelas oleh Al-Qur'an jauh sebelum sains modern mengemukakannya.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah penjelasan tentang proses terciptanya alam semesta menurut ilmu pengetahuan modern.

Semula alam semesta ini terdiri dari satu kumpulan gas, yakni gas hidrogen dan sedikit helium yang berputar secara pelan. Itu terjadi pada zaman kuno, bermilyar-milyar tahun yang lalu. Kumpulan gas tersebut kemudian menjasi potongan-potongan yang sangat besar dan banyak. Ahli-ahli astrofisika (fisika bintang) memperkirakan tiap potongan tersebut besarnya satu milyar sampai seratus milyar kali dari matahari. Sedangkan besarnya matahari sekitar 300.000 kali dari bumi.

B). PROSES KEJADIAN ALAM SEMESTA
Allah swt telah mengatur semua proses penciptaan bumi. Dan Allah telah memberitahukan kepada umatnya mengenai penciptaan bumi dan alam semesta melalui Al-quran. Kitab suci umat islam inilah sumber dari segala macam ilmu pengetahuan.

Di dalamnya semua ilmu pengetahuan tertulis untuk membantu kita mencari pengetahuan dan terus mengimani isi-isinya. Dalam hal ini saya berupaya untuk sedikit menkaji mengenai ayat dalam al-quran yang membahas megenai penciptaan bumi. 

Dalam surat An Naaziat (79) ayat 27 – 33 menerangkan proses penciptaan bumi dan alam semesta. Dalam ayat tersebut tertulis bumi dan alam semesta tercipta dalam enam masa. Masih dalam perdebatan mengenai enam masa yang dimaksud. Entah itu enam tahun, enam hari, enam periode, ataupun enam tahapan. Dalam hal ini kami mencoba mengkaji enam masa yang dimaksud. Tulisan ini kami ambil dari berbagai sumber. 

Annaziat ayat 27 :

”Apakah kamu lebih sulit penciptaanya ataukah langit? Allah telah membinanya,(27)”
Dalam ayat tersebut dimulailah mengenai masa I penciptaan bumi. Pasa masa I ini dijelaskan mengenai penciptaaan langit. Dalam ilmu tata surya dikenal dengan istilah ”Teori Big Bang”. Teori Big Bang adalah salah satu teori ilmu pengetahuan yang menjelaskan perkembangan dan bentuk awal dari alam semesta. Teori ini menyatakan bahwa alam semesta ini berasal dari kondisi super padat dan panas, yang kemudian mengembang sekitar 13.700 juta tahun lalu. alam semesta pertama kali terbentuk dari ledakan besar. Bukti dari teori ini ialah gelombang mikrokosmik di angkasa dan juga dari meteorit. Awan debu (dukhan) yang terbentuk dari ledakan tersebut, terdiri dari hidrogen. Hidrogen adalah unsur pertama yang terbentuk ketika dukhan berkondensasi sambil berputar dan memadat. Bisa diaktakan awan dan langit yang kita lihat selama ini adalah bentuk pertama dari penciptaan bumi dan alam semesta.

Selanjutnya, angin bintang menyembur dari kedua kutub dukhan, menyebar dan menghilangkan debu yang mengelilinginya. Sehingga, dukhan yang tersisa berupa piringan, yang kemudian membentuk galaksi. Bintang-bintang dan gas terbentuk dan mengisi bagian dalam galaksi, menghasilkan struktur filamen (lembaran) dan void (rongga). Jadi, alam semesta yang kita kenal sekarang bagaikan kapas, terdapat bagian yang kosong dan bagian yang terisi.

Annaziat ayat 28 :
”Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya,(28)”
Ayat ini menerangkan masa II dari penciptaan bumi. Dua kata kunci dalam ayat ini adalah “meninggikan dan menyempurnakan”. Mengembang yang dimaksud adalah proses berkembangnya seluruh galaksi yang saling menjauh antar satu sama lain. Dan langit-langit menjadi semakin meninggi. Mengembangnya alam semesta sebenarnya adalah kelanjutan big bang.

Sedangkan kata ”menyempurnakan”, menunjukkan bahwa alam ini tidak serta merta terbentuk, melainkan dalam proses yang terus berlangsung. Misalnya kelahiran dan kematian bintang yang terus terjadi. Alam semesta ini dapat terus mengembang, atau kemungkinan lainnya akan mengerut.

Annaziat ayat 29 :

”Dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang (29)”

Memasuki masa III, di sini yang dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Allah SWT telah membuat siang-malam secara bergantian. Allah menjadikan malam yang gelap gulita dan menjadikan siang yang terang benderang. Dapat diartikan dalam ayat ini Matahari sebagai sumber cahaya dan bumi berputar mengelilinya. Karena perputaran bumi tersebut terjadilah siang dan malam.

Annaziat ayat 30 :

”Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya (30)” Di masa IV inilah mulai bumi terbentuk. dimulai dengan pembentukan superkontinen Pangaea di permukaan Bumi.

Annaziat ayat 31 :

“Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya(31)”
Pada ayat ini, dijelaskan mengenai masa V penciptaan bumi yaitu evolusi air. Ketika bumi terbentuk air belum ada. Air diperkirakan berasal dari komet yang menumbuk Bumi ketika atmosfer Bumi masih sangat tipis. Unsur hidrogen yang dibawa komet kemudian bereaksi dengan unsur-unsur di Bumi dan membentuk uap air. Uap air ini kemudian turun sebagai hujan yang pertama. setelah air terbentuk, kehidupan pertama berupa tumbuhan bersel satu pun mulai muncul di dalam air.

Annaziat ayat 32 :

“Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh, (32)”
Memasuki masa VI, atau masa terakhir, bumi mulai diisi dengan gunung-gunung yang terbentuk setelah penciptaan daratan, pembentukan air dan munculnya tumbuhan pertama. Gunung-gunung terbentuk dari interaksi antar lempeng ketika superkontinen Pangaea mulai terpecah.

Setelah terbentuk gunung, maka diciptakanlah hewan-hewan, dan manusia hingga sekarang ini. Dijelaskan dalam Annaziat ayat 33 :
”(semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu”.

Begitulah kira-kira proses penciptaan bumi. Banyak dari ayat-ayat dan surat lain yang menjelaskan mengenai penciptaan bumi. Namun saya hanya memfokuskan kepada surat Annaziat, ayat27-33. untuk lebih jelasnya bisa kaji bersama-sama kedepannya nanti.

Hikmah apa yang bisa petik?

1. Dalam surat Al baqarah ayat 2 dijelaskan:
”Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”
Sangat jelas di dalam al quran tidak keraguan seluruh isi di dalamnya. Semuanya isinya telah terbukti berdasarkan alam yang telah ada, dan juga melalui ilmu pengetahuan. jika kita terus berpegang teguh pada Al Quran insya Allah kita termasuk orang yang bertaqwa.

2. Al quran tidak hanya untuk sekadar di baca, namun diperlukan pengkajian lebih dalam mengenai segala macam isi-isinya. Di dalamnya terdapat segala macam ilmu pengetahuan yang bisa terus kita gali.

3. Segala sesuatu mengenai kehidupan di bumi ini, telah diatur oleh Allah SWT. Kita tinggal bertaqwa kepada Allah SWT agar diberikan petunjuk kebenaran dalam hidup ini.

Penemuan di bidang astronomi menyebabkan kosmologi terbagi dalam dua kelompok.:
1. Kelompok pertama beranggapan bahwa alam semesta ini statis, dari permulaan diciptakannya sampai sekarang ini tak berubah. 

2. Kelompok kedua dan yang paling diakui saat ini beranggapan bahwa alam semesta ini dinamis, bergerak atau beruba dan sampai saat ini masih terus mengembang/membesar.

Kelompok yang beranggapan bahwa alam semesta ini dinamis ditunjang oleh ilmu pengetahuan modern. Menurut teori evolusi, pengembangan seperti dibuktikan oleh adanya big bang, ditafsirkan bahwa alam semesta ini dimulai dengan satu ledakan dahsyat. Materi yang terdapat dalam alam semesta itu mula-mula berdesakan satu sama lain dalam suhu dan kepadatan yang sangat tinggi, sehingga hanya berupa proton, neutron, dan elektron, tidak mampu membentuk susunan yang lebih berat. Karena mengembang, maka suhu menurun sehingga proton dan neutron berkumpul membentuk inti atom. Kecepatan mengembang ini menentukan macam atom yang terbentuk.

Para ahli ilmu alam telah menghitung bahwa masa mendidih itu tidak lebih dari 30 menit. Bila kurang artinya mengembung lebih cepat, alam semesta ini akan didominir oleh unsur hidrogen. Apabila lebih dari 30 menit, berarti mengembung lambat, unsur berat akan dominan Selama 250 juta tahun sesudah ledakan dahsyat, energi sinar dominan terhadap materi, transformasi di antara keduanya bisa terjadi sesuai dengan rumus Einstein, E = mc2. Dalam proses pengembungan ini energi sinar banyak terpakai dan materi semakin dominan. Setelah 250 juta tahun maka masa dari materi dan sinar menjadi sama. Sebelum itu, tidak dibayangkan behwa materi larut dalam panas radiasi, seperti garam larut di air. Pada masa itu, setelah lewat 250 juta tahun, materi dan gravitasi dominan, terdapat differensiasi yang tadinya homogen. Bola-bola gas masa galaxi terbentuk dengan garis tengah kurang lebih 40.000 tahun cahaya dan masanya 200 juta kali massa matahari kita. Awan gas gelap itu kemudian berdifferensiasi atau berkondensasi menjadi bola-bola gas bintang yang berkontraksi sangat cepat. Akibat kontraksi atau pemadatan itu maka suhu naik sampai 20.000.000 derajat, yaitu threshold reaksi inti, dan bintang itupun mulai bercahaya.

Karena sebagian dari materi terhisap ke pusat bintang, maka planet dibentuk dari sisa-sisanya. Yaitu butir-butir debu berbenturan satu sama lain dan membentuk massa yang lebih besar, berseliweran di ruang angkasa dan makin lama makin besar sehingga terbentuk planet-planet ataupun benda angkasa lainnya selain bintang.

Diperkirakan proses pengembangan alam semesta tersebut masih berlangsung hingga saat ini. Dimana setiap galaksi satu dan galaksi lainnya saling berjauhan satu sama lain setiap waktunya. Proses ini akan terus berlangsung hingga akhir jaman, dimana alam semesta sudah tidak memiliki energi yang menopangnya lagi dan alam ini sudah mencapai batas akhir dari proses pengembangannya. Hingga akhirnya alam semesta ini runtuh. Tak bisa kita bayangkan kerusakan apa yang akan terjadi ketika bumi, planet yang menjadi rumah bagi manusia, tertimpa reruntuhan alam semesta yang tak terhingga besarnya.

C). HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM
Manusia dan alam mempunyai keterikatan yang kuat dimana keduanya mempunyai hak dan kewajiban antara satu dengan yang lain untuk menjaga keseimbangan alam. Hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan, atau antara tuhan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Manusia diperintahkan untuk memerankan fungsi kekhalifahannya yaitu kepedulian, pelestarian dan pemeliharaan. Berbuat adil dan tidak bertindak sewenang -wenang kepada semua makhluk sehingga hubungan yang selaras antara manusia dan alam mampu memberikan dampak positif bagi keduanya. Oleh karena itu manusia diperintahkan untuk mempelajari dan mengembangkan pengetahuan alam guna menjaga keseimbangan alam dan meningkatkan keimanan kepada Allah SWT. Itu merupakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. 

Dalam pelajaran ekologi manusia, kita akan dikenalkan pada teori tentang hubungan manusia dengan alam. Salah satunya adalah anthrophosentis. Di sana dijelaskan mengenai hubungan manusia dan alam. salah satu bentuknya adalah anthoposentris. dimana manusia menjadi pusat dari alam. maksudnya semua yang ada dialam ini adalah untuk manusia. Kalau dipikir-pikir emang benar sih. buat apa coba, ada sapi, ikan, padi, kalau bukan untuk makanan kita. buat apa ada kayu, batu, pasir, kalau bukan buat bangunan untuk manusia. buat apa ada emas, berlian kalau gak dipakai oleh manusia sebagai perhiasan.

Allah SWT. juga menjelaskannya dalam Al Qur’an, bahwa semua yang ada dialam ini memang sudah diciptakan untuk kepentingan manusia.

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (al baqarah: 29)

Tapi berbeda dengan anthoroposentris yang menempatkan manusia sebagai penguasa yang memiliki hak tidak terbatas terhadap alam, maka islam menempatkan manusia sebagai rahmat bagi alam.

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”(al anbiyaa’:107)

walaupun kita diberi kelebihan oleh Allah atas segala sesuatu di alam ini, tapi kelebihan itu tidak menjadikan kita sebagai penguasa atas alam dan isinya. Karena alam dan isinya tetaplah milik Allah. Kita hanya diberikan kekuasaan atas alam tersebut sebagai pengelola dan pemelihara, dan pemakmur.

Kemudia ketika kita berinteraksi dengan alam, tidak seperti paham antroposentris yang menghalalkan sebgala cara asal kebutuhan manusia terpenuhi, islam mengajarkan bahwa hak kita dalam memanfaatkan alam juga dibatasi oleh hak alam dan isinya itu sendiri.

“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (al an’am:141)” kita tidak boleh berlegih-lebihan dalam memanfaatkannya, sehingga menimbulkan kerusakan. seharusnya semua yang ada dialam ini kita jadikan sebagai sarana untuk berpikir akan kebesaran Allah SWT.

“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.(ar ra’du: 4)”

Ada fungsi utama manusia di dunia, yaitu 'abdun' dan khalifah Allah dibumi.Esensi dari 'abdun' adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan Allah, sedangkan esensi khalifah adalah tanggung jawab terhadap diri sendiri dan alam lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam.

Dalam kontek 'abdun', manusia menempati posisi sebagai ciptaan Allah.Posisi ini memiliki konsekuensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh terhadap penciptanya.Keengganan manusia menghambakan diri kepada Allah sebagai pencipta akan menghilangkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan Sang Pencipta berupa potensi yang sempurna yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya yaitu potensi akal.Dengan hilangnya rasa syukur mengakibatkan ia menghambakan diri kepada selain Allah termasuk menghambakan diri kepada selain Allah termasuk menghambakan diri kepada hawa nafsunya. Keikhlasan manusia menghambakan dirinya kepada Allah akan mencegah penghambaan manusia kepada sesama manusia termasuk pada dirinya.

Manusia diciptakan Allah dengan dua kecenderungan yaitu kecenderungan kepada ketakwaan dan kecenderungan kepada dan kecenderungan kepada perbuatan fasik.Sebagaimana firman Allah, faalhamaha fujuroha watakwaha.Artinya "maka Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia kefasikan dan ketakwaan".Dengan kedua kecenderungan tersebut Allah berikan petunjuk berupa agama sebagai alat manusia untuk mengarahkan potensinya kepada keimanan dan ketakwaan bukan pada kejahatan yang selalu didorong oleh nafsu amarah. Untuk itu Allah berfirman "wahadainahu najdaini"."Aku tunjukan kamu dua jalan".Akal memiliki kemampuan untuk memilih salah satu yang terbaik bagi dirinya.

Fungsi yang kedua sebagai Khalifah Allah di bumi, ia punya tanggung jawab untuk menjaga alam.Manusia diberikan kebebasan untuk memanfaatkan sumberdaya.Oleh karena itu perlu adanya ilmu dalam memanfaatkan sumberdaya agar tetap terdapat keseimbangan dalam alam.

Kerusakan alam lebih banyak disebabkan karena ulah manusia sendiri.Sebagaimana firman Allah dalam Qs.Arrum 41.

Artinya: “41. Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Untuk melaksanakan tanggung jawabnya, manusia diberikan keistimewaan berupa kebebasan untuk berkreasi sekaligus menghadapkan dengan tuntutan kodratnya sebagai makhluk psikofisik.Namun ia harus sadar akan keterbatasannya yang menuntut ketaatan dan ketundukan terhadap aturan Allah, baik dalam konteks ketaatan terhadap perintah beribadah secara langsung (fungsi sebagai abdun) maupun konteks ketaatan terhadap sunatullah (fungsi sebagai khalifah).Perpaduan antara tugas ibadah dan khalifah inilah yang akan mewujudkan manusia yang ideal yakni manusia yang selamat dunia akherat

Setelah kita mengetahui betapa tinggi perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan dan betapa Allah SWT mewajibkan kepada kaum muslimin untuk belajar dan terus belajar, maka Islampun telah mengatur dan menggariskan kepada ummatnya agar mereka menjadi ummat yang terbaik (dalam ilmu pengetahuan dan dalam segala hal) dan agar mereka tidak salah dan tersesat, dengan memberikan bingkai sumber pengetahuan berdasarkan urutan kebenarannya sebagai berikut : Al-Qur’an dan as-Sunnah : Allah SWT telah memerintahkan hamba-Nya untuk menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber pertama ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan keduanya adalah langsung dari sisi Allah SWT dan dalam pengawasannya, sehingga terjaga dari kesalahan, dan terbebas dari segala vested interest apapun, karena ia diturunkan dari Yang Maha Berilmu dan Yang Maha Adil. Sehingga tentang kewajiban mengambil ilmu dari keduanya, disampaikan Allah SWT melalui berbagai perintah untuk memikirkan ayat-ayat NYA dan menjadikan Nabi SAW sebagai pemimpin dalam segala hal.