Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Perusahaan yang diaudit oleh KAP Big 5 dan KAP Non Big

Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Perusahaan yang diaudit oleh KAP Big 5 dan KAP Non Big 
Perkembangan zaman yang begitu pesat semakin mendorong pemilik/manajemen perusahaan untuk mengembangkan usahanya dengan strategi bisnis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Salah satu caranya adalah dengan penggabungan beberapa usaha. Dengan penggabungan beberapa usaha, diharapkan perusahaan-perusahaan itu dapat meningkatkan pangsa pasar, diversifikasi usaha, atau meningkatkan integrasi vertikal dari aktivitas operasional yang ada dan sebagainya.

Pada dasarnya penggabungan usaha merupakan bentuk penggabungan satu perusahaan dengan perusahaan lain dalam rangka mendapatkan pengendalian atas aktiva maupun operasional. Bentuk penggabungan usaha yang sering dilakukan dalam dua dekade terakhir ini adalah merger dan akuisisi di mana strategi ini dipandang sebagai salah satu cara untuk mencapai beberapa tujuan yang lebih bersifat ekonomis dan jangka panjang (Lani Dharmasetya dan Vonny Sulaimin,2009).

Menurut data statistik Bursa Efek Jakarta-berganti nama menjadi Bursa Efek Indonesia-antara tahun 1995-1997 (sebelum terjadinya krisis moneter pada Juli 1997), jumlah perusahaan yang go public tercatat kurang lebih sebanyak 259 perusahaan. Sebanyak 57 perusahaan yang melakukan penggabungan usaha. Pada pasca krisis moneter tahun 2000 sampai dengan pertengahan tahun 2008, penggabungan usaha dilakukan oleh lebih 40 perusahaan (Lani Dharmasetya dan Vonny Sulaimin,2009). Bentuk penggabungan usaha yang sering dilakukan dalam dua dekade terakhir ini adalah merger dan akuisisi di mana strategi ini dipandang sebagai salah satu cara untuk mencapai beberapa tujuan yang lebih bersifat ekonomis dan jangka panjang (Lani Dharmasetya dan Vonny Sulaimin,2009).

Merger dan akuisisi menjadi trend bisnis di tahun 1990-an di Amerika Serikat yang dimulai di tahun 1992. Sejak tahun 1992 perusahaan yang melakukan merger dan akuisisi terus meningkat, bahkan jika dibandingkan antara tahun 1996 dan 1995 peningkatan merger dan akuisisi meningkat hingga 67% (Sotensen,2000). Demikian pula di Indonesia dengan adanya peraturan perundang-undangan yang mempermudah masuknya investor asing, merger dan akuisisi, maka pelaksanaan merger dan akuisisi meningkat (Saiful,2003).

Berdasarkan laporan yang diterbitkan KPMG (Klynveld Peat Marwick Goerdeler) International, yaitu salah satu perusahaan jasa profesional terbesar di dunia dan juga merupakan salah satu anggota The Big Four Auditors nilai transaksi merger dan akuisisi pada tahun 2007 diperkirakan mencapai US$3,79 triliun. Pada semester kedua tahun 2007 mencatat rekor baru dimana secara global transaksi merger mencapai US$1,65 triliun atau meningkat 90% dibanding periode yang sama pada tahun 2006. Hal ini menunjukkan masih tingginya aktivitas merger dan akuisisi di kalangan pelaku perusahaan (Lani Dharmasetya dan Vonny Sulaimin, 2009:2)

Dalam pelaksanaan merger dan akuisisi terdapat suatu kondisi yang mendukung adanya tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan pengakuisisi. Pada situasi perusahaan pengakuisisi ingin melakukan merger dan akusisi dengan cara pembayaran lewat saham, pihak manajemen perusahaan pengakuisisi cenderung akan berusaha untuk meningkatkan nilai laba perusahaannya. Tujuannya adalah selain ingin menunjukkan earnings power perusahaan agar dapat menarik minat perusahaan target untuk melakukan akuisisi juga untuk meningkatkan harga saham perusahaannya (Lani Dharmasetya dan Vonny Sulaimin, 2009:16)

Ada alasan mendasar mengapa manajer perusahaan melakukan manajemen laba. Harga pasar saham suatu perusahaan secara signifikan dipengaruhi oleh laba, risiko, dan spekulasi. Oleh sebab itu, perusahaan yang labanya selalu mengalami kenaikan dari periode ke periode secara konsisten akan mengakibatkan risiko perusahaan ini mengalami penurunan lebih besar dibandingkan prosentase kenaikan laba. Hal inilah yang mengakibatkan banyak perusahaan yang melakukan pengelolaan dan pengaturan laba sebagai salah satu upaya untuk mengurangi risiko.

Erickson dan Wang (1999) dalam Hastutik (2006) menyatakan bahwa kecenderungan adanya praktik manajemen laba menjelang merger dan akuisisi bertujuan untuk meningkatkan harga sahamnya sebelum stock merger agar dapat mengurangi biaya pembelian perusahaan target. Keputusan manajemen perusahaan yang memilih untuk melakukan manajemen laba dengan cara income increasing accruals akan membawa konsekuensi terhadap kinerja perusahaan yang akan mengalami suatu kenaikan pada periode sesudahnya.

Alasan perusahaan lebih tertarik memilih merger dan akuisisi sebagai strateginya daripada pertumbuhan internal adalah karena merger dan akuisisi dianggap jalan cepat untuk mewujudkan tujuan perusahaan di mana perusahaan tidak perlu memulai dari awal suatu bisnis baru. Merger dan akuisisi juga dianggap dapat menciptakan sinergi, yaitu nilai keseluruhan perusahaan setelah merger dan akuisisi yang lebih besar daripada penjumlahan nilai masing-masing perusahaan sebelum merger dan akuisisi. Selain itu merger dan akuisisi dapat memberikan banyak keuntungan bagi perusahaan antara lain peningkatan kemampuan dalam pemasaran, riset, skill manjerial, transfer teknologi, dan efisiensi berupa penurunan biaya produksi (Hitt,2002).

Perubahan-perubahan yang terjadi setelah perusahaan melakukan merger dan akuisisi biasanya akan tampak pada kinerja perusahaan dan penampilan finansialnya. Pasca merger dan akuisisi kondisi dan posisi keuangan perusahaan mengalami perubahan dan hal ini tercermin dalam laporan keuangan perusahaan yang melakukan merger dan akuisisi. Untuk menilai bagaimana keberhasilan merger dan akuisisi yang dilakukan, dapat dilihat dari kinerja perusahaan setelah melakukan merger dan akuisisi terutama kinerja keuangan baik bagi perusahaan pengakuisisi maupun perusahaan diakuisisi. Dasar logika dari pengukuran berdasar akuntansi adalah bahwa jika skala bertambah besar ditambah dengan sinergi yang dihasilkan dari gabungan aktivitas-aktivitas yang simultan, maka laba perusahaan juga semakin meningkat sehingga kinerja perusahaan pasca merger dan akuisisi seharusnya semakin baik dibandingkan dengan sebelum merger dan akuisisi.

Penelitian-penelitian terdahulu telah membuktikan adanya manajemen laba dalam beberapa kasus. Rahman dan Bakar (2002) seperti yang dikutip oleh Kusuma dan Udiana Sari (2003) telah membuktikan adanya manajemen laba melalui discreationary accrual pada perusahaan pengakuisisi sebelum merger dan akuisisi di Malaysia pada tahun sebelum akuisisi. Sementara Erickson dan Wang (1999) dalam Hastutik (2006) menunjukkan bahwa perusahaan pengakuisisi melakukan manajemen laba pada periode sebelum merger dan mengidentifikasi bahwa tingkat income increasing earnings management berhubungan positif dengan ukuran merger.

Kusuma dan Sari (2003) melakukan penelitian terhadap perusahaan yang melakukan kegiatan merger dan akuisisi di BEJ selama periode 1997-2002. Dalam penelitian tersebut diperoleh sebanyak 39 perusahaan sebagai sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan model jones, pada periode sebelum merger dan akuisisi tidak terdapat indikasi adanya manajemen laba.

Di Inggris, Meeks (1997) dan Kumar (1984) dalam Hadiningsih (2007) meneliti pengaruh merger terhadap profitabilitas perusahaan yang melakukan merger. Penelitian itu membuktikan adanya penurunan profitabilitas yang signifikan setelah tiga tahun dan lima tahun dengan menggunakan laba operasi. Adanya perbedaan antara teori dengan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ada hal yang terjadi yang memicu terjadinya penurunan kinerja perusahaan.

Payamta dan Sektiawan (2004) meneliti pengaruh merger dan akusisi terhadap kinerja perusahaan manufaktur selama 2 tahun sebelum dan 2 tahun sesudah merger dan akuisisi, yang diproksikan melalui return saham dan rasio keuangan. Hasil penelitan menunjukkan tidak adanya perbedaan kinerja yang signifikan untuk periode sebelum dan sesudah merger dan akuisisi baik dari return saham maupun rasio keuangan, penelitian ini dikonfirmasi oleh Sadi’yah (2005) dan Rosana (2005).

Hayati (2004) meneliti kasus akuisisi dengan memproksikan kinerja perusahaan melalui 10 rasio keuangan selama 2 tahun sebelum dan 2 tahun setelah akuisisi, hasilnya seluruh sampel menunjukkan penurunan kinerja keuangan setiap akhir tahun setelah merger dan akuisisi. Penelitian ini dikonfirmasi oleh Dewi (2004) dengan rasio keuangan yang berbeda.

Ravenscraft dan Sherer (1998) (dalam Wulandari, 2005) melakukan penelitian terhadap profitabilitas sebelum merger perusahaan target dan hasil operasinya setelah merger. Penelitiannya dilakukan terhadap perusahaan manufaktur di Amerika Serikat yang melakukan merger sebelum periode 1957-1977. Hipotesis yang dilakukan dalam penelitian mereka ada dua, yaitu bahwa perusahaan target tidak mendapat laba dan bahwa merger memperbaiki profitabilitasnya secara rata-rata. Profitabilitas sebelum merger di ukur dengan rasio laba operasi (sebelum bunga dan pajak serta biaya luar usaha) terhadap asset pada akhir periode, sedangkan profitabilitas setelah merger di ukur dengan tiga rasio yaitu: 1) rasio laba operasi, 2) rasio operasi laba penjualan, 3) rasio arus kas. Dari hipotesis pertama tidak dapat dibuktikan karena ketiadaan dukungan statistik, sedangkan pada hipotesis kedua disimpulkan bahwa tidak terdapat kenaikan yang signifikan terhadap profitabilitas setelah merger.

Kristiani dan Kwie (1999) meneliti bagaimana pengaruh akuisisi terhadap kinerja perusahaan akuisitor. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui kinerja perusahaan yang melakukan akuisisi, membandingkan kinerja akuisitor pada tahun sebelum terjadinya akuisisi dengan periode sebelumnya. Kinerja perusahaan akuisitor di ukur dengan rasio keuangan, yang meliputi: rasio likuiditas, rasio aktivitas, rasio leverage, rasio profitabilitas dan pergerakan harga saham setelah akuisisi. Ditemukan bahwa perusahaan akuisitor mengalami penurunan rasio likuiditas, aktivitas, profitabilitas, dan Indeks Harga Saham Gabungan mengalami kenaikan rasio leverage.

Dari hasil-hasil penelitian diatas diperoleh adanya perbedaan hasil penelitian (research gap) yang dilakukan oleh para peneliti. Research gap yang telah dipaparkan diatas dapat dijadikan permasalahan dalam penelitian ini. Dengan melihat hasil penelitian tersebut, maka dapat dibuat pertanyaan penelitian sebagai berikut:
  1. Apakah telah terjadi tindakan manajemen laba pada perusahaan pengakuisisi sebelum perusahaan tersebut melaksanakan kegiatan merger dan akuisisi?
  2. Apakah terdapat perbedaan kinerja keuangan perusahaan pengakuisisi pada saat sebelum dan sesudah merger dan akuisisi?
Tujuan dalam penelitian ini adalah (1) membuktikan bahwa telah terjadi tindakan manajemen laba pada perusahaan pengakuisisi sebelum melakukan merger dan akuisisi. (2) membuktikan bahwa terdapat perbedaan kinerja keuangan perusahaan pengakuisisi sebelum dan sesudah merger dan akuisisi.

Praktek manajemen laba dapat ditinjau dari dua perspekstif yang berbeda, yaitu perspektif etika bisnis dan teori akuntansi positif. Dari kacamata etika, dapat dianalisis sebab-sebab manajer melakukan manajemen laba, sementara itu dari kacamata teori akuntansi positif dapat dianalisis dan diidentifikasikan sebagai bentuk praktek manajemen laba yang dilakukan oleh manajer perusahaan. Esensi dari pendekatan moral atau etika adalah pencapai keseimbangan antara kepentingan individu (manajer) dengan kewajiban terhadap pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan kepentingan principal dan akhirnya menjadi insentif bagi manajer untuk melakukan manajemen laba.

Perilaku manajemen laba dapat dijelaskan melalui Positive Accounting Theory dan Agency Theory. Watts dan Zimmerman (1986) dalam Halim dkk. (2005:119) mengusulkan tiga hipotesis yang dapat dijadikan dasar pemahaman tindakan manajemen laba yaitu sebagai berikut. (1) Hipotesis Program Bonus (Bonus Plan Hypotesis). Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer pada perusahaan yang menerapkan program bonus lebih cenderung untuk menggunakan metode atau prosedur-prosedur akuntansi yang akan menaikkan laba periode mendatang ke periode berjalan. (2) Hipotesis Perjanjian Utang (Debt Covenant Hypotesis). Hipotesis ini menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity besar atau menghadapi kesulitan utang, maka manajer perusahaan akan cenderung menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan laba. (3) Hipotesis Kos Politis (Political Cost Hypotesis). Hipotesis ini menyatakan bahwa semakin besar biaya politik yang dihadapi suatu perusahaan maka manajer cenderung untuk menangguhkan laba berjalan ke masa yang akan datang. Biaya politik muncul sebagai akibat dari profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat menarik perhatian media dan konsumen.

Manajemen laba adalah tindakan yang dilakukan oleh pihak manajemen dengan menaikkan atau menurunkan laba yang dilaporkan dari unit yang menjadi tanggung jawabnya yang tidak mempunyai hubungan dengan kenaikan atau penurunan profitabilitas dalam jangka panjang.

Perbedaan pemahaman terhadap manajemen laba mendorong semakin berkembangnya model empiris yang digunakan untuk mengidentifikasi akivitas rekayasa manajerial ini. Secara umum ada 3 kelompok model empiris manajemen laba yang diklasifikasikan atas dasar basis pengukuran yang digunakan, yaitu (Sulistyanto, 2008) :
  • Model berbasis akrual merupakan model yang menggunakan discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba. Model manajemen laba ini dikembangkan oleh Healy (1985), De Angelo (1986), Jones (1991), serta Dechow, Sloan dan Sweeney (1995).
  • Model yang berbasis specific accruals, yaitu pendekatan yang menghitung akrual sebagai proksi manajemen laba dengan menggunakan item laporan keuangan tertentu dari industri tertentu pula. Model ini dikembangkan oleh Mc Nichols dan Wilson (1988) Petroni (1992), Beaver dan Engel (1996), Beneish (1997), serta Beaver dan Mc Nichols (1998).
  • Model distribution of earnings dikembangkan oleh Burgatler dan Dichey (1997),Degeorge, Patel, dan Zechauser (1999), serta Myers dan Skinner (1999). 
Sejauh ini hanya model berbasis agregate accruals yang diterima secara umum sebagai model yang memberikan hasil paling kuat dalam mendeteksi manajemen laba. Model berbasis aggregate accruals yang digunakan adalah Modified Jones Model. Model tersebut dikembangkan oleh Dechow, Sloan, dan Sweeney (1995). Komponen total accruals dalam Modified Jones Model dapat dipisahkan menjadi 2, yaitu discretionary accruals dan non discretionary accruals. Discretionary accruals merupakan komponen total accruals yang berasal dari rekayasa manajerial dengan memanfaatkan kebebasan dan fleksibelitas dalam menentukan nilai estimasi pada metode akuntansi. Misalnya, kebebasan dalam menentukan estimasi nilai residu dalam penyusutan aktiva tetap dan estimasi nilai persentase piutang tidak tertagih. Sementara itu, non discretionary accruals merupakan komponen total accruals yang diperoleh secara alami dari pencatatan akuntansi dengan mengikuti standar akuntansi yang diterima secara umum (Sulistyanto, 2008) 

Beberapa hal yang memotivasi seorang manajer untuk melakukan manajemen laba antara lain (1) bonus scheme, (2) debt covenant, (3) political motivation, (4) taxation motivation, (5) pergantian CEO, dan (6) initial public offering (Scott, 2000:352)

1. Alasan bonus (bonus scheme)
Adanya asimetri informasi mengenai keuangan perusahaan menyebabkan pihak manajemen dapat mengatur laba bersih untuk memaksimalkan bonus mereka.

2. Kontrak utang jangka panjang (debt covenant)
Semakin dekat perusahaan kepada kreditur, maka manajemen akan cenderung memilih prosedur yang dapat “memindahkan” laba periode mendatang ke periode berjalan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami kegagalan dalam pelunasan utang.

3. Motivasi politik (political motivation)
Perusahaan besar yang menguasai hajat hidup orang banyak akan cenderung menurunkan laba untuk mengurangi visibilitasnya, misalnya dengan menggunakan praktik atau prosedur akuntansi, khususnya selama periode dengan tingkat kemakmuran yang tinggi.

4. Motivasi pajak (taxation motivation)
Salah satu insentif yang dapat memicu manajer untuk melakukan rekayasa laba adalah untuk meminimalkan pajak atau total pajak yang harus dibayarkan perusahaan.

5. Pergantian CEO (chief executive officer)
Banyak motivasi yang muncul saat terjadi pergantian CEO. Salah satunya adalah pemaksimalan laba untuk meningkatkan bonus pada saat CEO mendekati masa pensiun.

6. IPO (initial public offering)
Perusahaan yang baru pertama kali menawarkan harga pasar, sehingga terdapat masalah bagaimana menetapkan nilai saham yang ditawarkan. Oleh karena itu, informasi laba bersih dapat digunakan sebagai sinyal kepada calon investor tentang nilai perusahaan, sehingga manajemen perusahaan yang akan go public cenderung melakukan manajemen laba untuk memperoleh harga lebih tinggi atas saham yang akan dijualnya.

Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) dalam pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK No. 22, 2007) mendefinisikan penggabungan usaha sebagai bentuk penyatuan dua perusahaan atau lebih yang terpisah menjadi satu entitas ekonomi karena satu perusahaan menyatu dengan perusahaan lain ataupun memperoleh kendali atau kontrol atas aktiva dan operasi perusahaan lain.

Adapun beberapa teori yang dapat menjelaskan motivasi yang melatarbelakangi terjadinya suatu penggabungan usaha (Lani Dharmasetya dan Vonny Sulaimin, 2009) antara lain:

a. Teori efisiensi
Menurut teori ini, merger dapat meningkatkan efisiensi, karena akan menjadikan sinergi yang secara sederhana diartikan sebagai 2+2=5, yaitu konsep dalam ilmu ekonomi yang mengatakan gabungan faktor-faktor yang komplementer akan menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda.

b. Teori diversifikasi
Dengan memiliki bidang usaha yang beraneka ragam, maka suatu perusahaan dapat menjaga stabilitas pendapatannya.

c. Teori kekuatan pasar
Keinginan untuk meningkatkan pangsa pasar (market share) juga dapat menjadi salah satu motivasi terjadinya suatu merger. Penggabungan dua atau lebih perusahaan yang sebelumnya saling bersaing menjual produk yang sama, secara teoritis akan meningkatkan penguasaan pangsa pasar secara berlipat ganda.

d. Teori keuntungan pajak
Keuntungan di bidang perpajakan melalui pengurangan kewajiban pembayaran pajak dapat menjadi motivasi yang melatarbelakangi suatu merger.

e. Teori undervaluation
Penilaian harta yang lebih rendah dari harga sebenarnya pada suatu perusahaan akan mendorong minat perusahaan lainnya untuk menggabungkan perusahaan yang pertama ke dalam perusahaannya melalui merger.

f. Teori prestise
Meskipun sulit untuk diterima secara logika, namun kenyataannya banyak merger dilakukan bukan karena motivasi ekonomis, melainkan karena motivasi ingin meningkatkan prestise.

Kinerja keuangan suatu perusahaan dapat diartikan sebagai prospek atau masa depan, pertumbuhan,dan potensi perkembangan yang baik bagi perusahaan. Informasi kinerja keuangan diperlukan untuk menilai perubahan potensial sumber daya ekonomi, yang mungkin dikendalikan di masa depan dan untuk memprediksi kapasitas produksi dari sumber daya yang ada (Barlian, 2003). Pimpinan perusahaan atau manajemen sangat berkepentingan terhadap laporan keuangan yang telah di analisis, karena hasil tersebut dapat dijadikan sebagai alat dalam pengambilan keputusan lebih lanjut untuk masa yang akan datang. Dengan menggunakan anĂ¡lisis rasio, berdasarkan data dari laporan keuangan, akan dapat diketahui hasil-hasil finansial yang telah di capai di waktu-waktu yang lalu, dapat diketahui kelemahan-kelemahan yang dimiliki perusahaan, serta hasil-hasil yang di anggap cukup baik.

Gaughan (1996), mengidentifikasikan rasio-rasio keuangan yang secara signifikan memberikan perbedaan kinerja keuangan perusahaan setelah merger dan akuisisi, yaitu :
1. Rasio Profitabilitas (profitability ratio)
Adalah rasio-rasio yang menunjukkan keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan. Meliputi antara lain: · Net Profit Margin (NPM)

Yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat kembalian keuntungan bersih terhadap penjualan bersihnya. · Return on Asset (ROA) 

Yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimiliki.

2. Rasio Aktivitas (activity ratio)
Adalah rasio-rasio yang dimaksudkan untuk mengukur kemampuan atau efisiensi perusahaan dalam memanfaatkan aktiva yang dimilikinya atau perputaran (turn over) dari aktiva-aktiva tersebut. Meliputi antara lain:
· Total Asset Turnover (TATO)
Yaitu rasio yang menunjukkan seberapa efektifnya perusahaan menggunakan total asetnya. Merger adalah salah satu bentuk absorsi/penyerapan yang dilakukan oleh satu perusahaan terhadap perusahaan yang lain. Jika terjadi merger antara perusahaan A dan perusahaan B, maka pada akhirnya hanya akan ada satu perusahaan saja, yaitu perusahaan A atau B. Pada sebagian besar kasus merger, perusahaan yang memilki ukuran yang lebih besar yang dipertahankan hidup dan tetap mempertahankan nama dan status hukumnya, sedangkan perusahaan yang berukuran lebih kecil atau perusahaan yang dimerger akan menghentikan aktivitas atau dibubarkan sebagai badan hukum (Lani Dharmasetya dan Vonny Sulaimin, 2009: 10)

Bentuk lain dari penyatuan perusahaan adalah pengambilalihan perusahaan, yang sering disebut dengan akuisisi. Pada akuisisi, masing-masing perusahaan, baik perusahaan yang mengambil alih maupun perusahaan yang diambil alih tetap mempertahankan aktivitasnya, identitasnya, dan kedudukannya sebagai perusahaan yang mandiri. Praktik akuisisi melahirkan hubungan induk perusahaan (perusahaan yang mengambil alih) dan anak perusahaan (perusahaan yang diambil alih) (Lani Dharmasetya dan Vonny Sulaimin, 2009:11)

Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian diatas maka hipotesis yang dapat diajukan sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian ini adalah :
H1 : Terdapat praktik manajemen laba yang dilakukan perusahaan pengakuisisi dengan cara menaikkan nilai akrual (income increasing accrual) sebelum merger dan akuisisi. H2 : Terdapat perbedaan kinerja keuangan yang di ukur dengan total asset turnover, net profit margin, dan return on asset sebelum dan setelah merger dan akuisisi.

Penelitian Peran Inovasi Difusi Faktor pada Sukses Implementasi Enterprise Resource Planning Sistem

Meneliti Peran Inovasi Difusi Faktor pada Sukses Implementasi Enterprise Resource Planning Sistem 
Penerapan teknologi ERP pada organisasi umumnya dipandang sebagai suatu hal yang sangat sulit dan kompleks sehingga menyebabkan manajemen puncak dan user enggan untuk mengimplementasikan ERP (Razmi et al., 2009). Fenomena yang menarik saat implementasi ERP di organisasi, bahwa keberhasilan ditentukan oleh key user (tim implementasi proyek) yang didukung oleh manajemen puncak dan user (Amoako and Gyampah, 2004). Penelitian yang dilakukan Wu dan Wang (2007) mengungkapkan bahwa produk ERP; layanan konsultan dan kontraktor; pengetahuan dan perbaikan; merupakan faktor sukses implementasi ERP yang diukur untuk menentukan kepuasan key user. Wu dan Wang mengusulkan untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap pengaruh key user dalam mencapai keberhasilan implementasi ERP. Berdasarkan penjelasan diatas banyak perusahaan yang ingin menerapkan ERP, namun perusahaan masih kesulitan untuk mengetahui bagaimana cara implementasi ERP yang efektif, terutama pada efektifitas tim proyek dalam mengerjakan implementasi (Wu and Wang, 2007). 

Efektifitas tim proyek pada implementasi ERP sangat dipengaruhi oleh kepatuhan, loyalitas, partisipasi dan moral dari karyawan untuk tetap berkomitmen bagi perusahaan. Penelitian Olorunniwo, et al., (2006) menyatakan adanya pengaruh positif tangible, responsivenees, knowledge and recovery terhadap kualitas layanan kerja dan berdampak pada OCB. sikap perilaku karyawan yang dilakukan dengan sukarela, dengan tulus, dengan senang hati tanpa harus diperintah dan dikendalikan oleh perusahaan akan memberikan pelayanan dengan baik yang menurut Organ et al. (2006) perilaku tersebut dikenal dengan istilah organizational citizenship behavior (OCB). Penelitian Huang, et.al., (2004) menyatakan terdapat hubungan positif antara job satisfaction terhadap variabel support perusahaan dan support perusahaan memiliki pengaruh positif terhadap OCB yang dapat meningkatkan profit perusahaan. 

Semakin lama implementasi ERP akan berakibat pada peningkatan biaya yang relatif besar bagi perusahaan. Implementasi program ERP terdapat dua tipe pengguna yaitu key user dan end user, dimana key user merupakan orang yang berada dalam tim proyek, dan dapat melakukan perubahan secara langsung pada prosedur kerja di bagian/departemennya. Key user dipilih dari departemen yang terkait pada operasinya, biasanya selalu berhubungan dengan proses bisnis dan memiliki pengetahuan lebih di area kerjanya dan umumnya manager departemen, sedangkan end user merupakan pengguna dari hasil perancangan ERP yang dikembangkan oleh key user. Key user juga akan melakukan spesialisasi pada bagian-bagian sistem ERP dan berlaku sebagai pelatih, pendidik, advisors, help-desk resources, dan sebagai agen untuk end user (Wu dan Wang, 2007). End user hanya memiliki spesifikasi pengetahuan dari parts pada sistem yang perlu end user kerjakan. Dengan demikian, peran key users sangat penting untuk keberhasilan sistem akhir karena dapat menentukan kecepatan proses implementasi dan hasil implementasi ERP yang baik. Persoalannya sampai saat ini masih terdapat perusahaan yang belum mengintegrasikan sistem informasi dalam pengelolaan organisasinya. Selama ini dalam prosesnya perusahaan-perusahaan tersebut hanya didukung oleh aktivitas individual pada lokasi kerja masing-masing (Warta Ekonomi, 2002). Realitas ini dapat menyebabkan mudah terjadinya kesalahpahaman dalam komunikasi data antara lokasi kerja satu dengan lokasi kerja lainnya. Tiap individu akan menyampaikan data pada lokasi kerjanya sendiri-sendiri, yang bisa jadi terdapat perbedaan mendasar dalam penyampaian data, sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk koordinasi dalam penyediaan data dibandingkan dengan perusahaan yang telah mengintegrasikan fungsi-fungsinya. 

Beberapa perusahaan manufaktur mulai melakukan identifikasi key business driver yang digunakan dalam rencana implementasi ERP, antara lain: 
  • Pertumbuhan dan perkembangan lingkungan bisnis yang cepat di Indonesia dan menghadapi highly customer demand. 
  • Perlunya memiliki bisnis proses yang terintegrasi untuk mendukung bisnis proses yang terbaik dan pengendalian manajemen yang efektif. 
  • Laporan keuangan yang akurat, absah, dan proses tutup buku bulanan yang lebih cepat. 
  • Proses penentuan biaya setiap produk yang lebih akurat untuk menghilangkan harga pembelian yang bervariasi. 
  • Integrasi rantai pasok yang didukung dengan ketersediaan data dan informasinya di sistem komputer. 
  • Menghindari ketidaksesuaian perencanaan produksi dengan perencanaan bahan baku dari rantai pasok.
Perusahaan manufaktur juga sudah merasakan dampak dari implementasi ERP yakni mempermudah analisis dan pengambilan keputusan, membuat proses bisnis dan sistem informasi menjadi terpadu, meningkatkan kontrol dan mempermudah proses perencanaan, dapat menurunkan inventori hingga 40% serta memperbaiki tingkat layanan pada pelanggan.

Implementasi ERP pada perusahaan di Indonesia mempunyai harapan untuk mempercepat proses bisnis, meningkatkan efisiensi, dan meraup pendapatan yang lebih besar. Persoalannya pada saat implementasi terdapat banyak faktor yang dapat menggagalkan proses tersebut. Faktor-faktor ini merupakan masalah yang dihadapi antara lain; pertama, manajemen tidak menyediakan proyek tim yang terbaik pada proyek implementasi menyangkut kompetensi anggota tim, kredibilitas dan kreativitas tim proyek, kepemimpinan tim yang efektif, komitmen tim, tanggung jawab tim, jumlah tim yang memadai, tanggungjawab yang tumpang tindih pada tim, pendekatan kerja yang kurang jelas, tujuan yang tidak dipahami oleh tim proyek (Warta Ekonomi, 2002).

Penerapan berbagai solusi elektronik bisnis yang dikenal dengan istilah e-business di Indonesia mulai berkembang sejak tahun 2002. Divisi keuangan merupakan bagian yang paling banyak terkait dengan aplikasi ini. Pertengahan tahun 2002 kalangan pengusaha Indonesia yakin bahwa menggunakan teknologi e-business dapat membenahi kinerja perusahaan khususnya, yang terkait dengan upaya mengefisiensikan kinerja operasional perusahaan (Warta ekonomi, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Warta Ekonomi memperlihatkan bahwa sekitar 54,2% perusahaan yang menjadi responden sudah menerapkan berbagai aplikasi/solusi e-business diantaranya enterprise resources planning, supply chain management dan customer relationship management. Dari riset yang sama, 31 perusahaan dari 33 perusahaan sebagai sampel (93,9%) menyatakan bahwa departemen yang paling banyak terkait dengan aplikasi e-business adalah divisi keuangan. Posisi berikutnya ditempati masing-masing aplikasi untuk bidang pemasaran dan produksi. Hasil survey tersebut juga menyebutkan industri manufaktur tercatat paling banyak menggunakan aplikasi/solusi e-business yakni sebesar 41,9%. 

Penelitian yang dilakukan oleh Schneider et al, (2005) untuk menjaga suatu daya saing organisasi menghadapi persaingan yang semakin kompetitif maka perlu diterapkan OCB pada perusahaan seperti pada gambar 1 berikut:

Gambar  Pemahaman Organisasi Terhadap Layanan yang Berikan

Peningkatan daya saing perusahaan dibangun dengan meningkatkan kinerja perusahaan. Kinerja perusahaan dapat ditingkatkan dengan implementasi teknologi enterprise resources planning yang berhasil pada perusahaan. Sarkis dan Gunasekaran (2003) menyatakan bahwa ERP dapat meningkatkan daya saing global suatu perusahaan, karena dapat meningkatkan efisiensi pada bagian operasional perusahaan. Implementasi ERP sangatlah kompleks karena membutuhkan banyak biaya dan waktu yang harus dikeluarkan oleh perusahaan mulai dari tahap sebelum dan sesudah implementasi. Kesiapan perusahaan dalam mengimplementasikan ERP sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan implementasi (Kallunki, et al., 2010).

Mashari et al. (2003) menyatakan bahwa manfaat ERP tidak dapat sepenuhnya disadari kecuali jika batasan kuat dan mekanisme rekonsiliasi ditentukan secara teknik dan organisasi berdasarkan prinsip dari orientasi proses. Dianjurkan untuk pengukuran dilakukan dalam perspektif berimbang, dan penyediaan informasi yang berguna dan dapat membuat proses pengambilan keputusan serta membantu menyampaikan tujuan perusahaan. Melalui tindakan ini diharapkan bisnis lebih kompetitif. Kondisi ini merefleksikan pentingnya ke depan penggunaan sistem ERP dibentuk berdasar pada prinsip manajemen proses bisnis. Hal ini disebabkan proses implementasi murni teknologi dan tidak ada integrasi antar departemen sehingga kurang penting bagi manajer operasi perusahaan (Chien et. al., 2007). Integrasi data pada ERP sangat dibutuhkan oleh perusahaan, maka proses dan fungsi serta tahap-tahap implementasi ERP di perusahaan ditentukan oleh tim proyek yang terdiri atas manajemen puncak, IT Staff dan key users dan dibantu oleh end user (Wu & Wang 2007). 

Manajemen puncak memiliki fungsi dalam menjelaskan tujuan implementasi ERP dan mendukung secara penuh integrasi sistem (Umble, et al., 2003). Sedangkan IT staff mempunyai peran dalam melakukan pemilihan software dan hardware ERP yang didukung penuh oleh manajemen perusahaan. IT Staff akan melakukan list terhadap fungsi-fungsi software dan hardware ERP, kemudian menuliskan kandidat ERP yang cocok dengan perusahaan sesuai dengan proses-proses pada perusahaan yang disampaikan oleh Key users. IT staff, key users dan manajemen melakukan kolaborasi dan diskusi untuk memutuskan jenis software dan hardware yang akan digunakan (Umble, et al., 2003). 

Penelitian Mashari et al., (2003); menyatakan bahwa perubahan budaya yang dibangun melalui OCB dan struktural organisasi mempunyai pengaruh positif terhadap proyek tim. Komitmen pembelajaran di organisasi perusahaan yang disebut dengan group cohesian berpengaruh positif terhadap kesuksesan implementasi ERP, karena adanya proses pembelajaran karyawan dalam perusahaan termasuk key user. Zang et al., (2005) mengemukakan budaya organisasi dalam hal profesionalisme karyawan terhadap pekerjaan dan tanggung jawab, serta komunikasi antara karyawan dan manajemen secara terbuka dan transparan berpengaruh secara positif karena dapat mempercepat proses implementasi ERP. Zang et al., (2005) juga mengungkapkan budaya organisasi yang memasukkan data dengan benar dan cepat, serta integrasi data antar departemen telah berjalan dengan baik tanpa konflik berpengaruh secara positif dalam percepatan proses implementasi ERP. Penelitian Soja (2006) menyatakan bahwa komposisi tim proyek yang terdiri atas orang-orang yang mempunyai kualifikasi dan pengetahuan tentang ERP serta keterlibatan secara aktif anggota tim proyek berpengaruh positif terhadap percepatan desain proses implementasi ERP. Pada penelitian Amoako & Gyampah (2007) mengemukakan bahwa perubahan desain bisnis yang sesuai dalam penggunaan teknologi ERP berpengaruh positif terhadap intensitas kerja key user dalam implementasi ERP.

Wu & Wang (2007) mengemukakan kepuasan key user mempunyai pengaruh signifikan terhadap teknologi product ERP yang terdiri atas kebenaran informasi data yang dihasilkan product ERP, keandalan sistem informasi konsisten yang dihasilkan oleh product ERP, waktu respon yang cepat dihasilkan product ERP, kelengkapan informasi yang dihasilkan product ERP, kesetabilan sistem utuk memudahkan customize, auditing dan pengendalian sistem, serta komunikasi data melalui integrasi antar departemen di perusahaan. Hasil penelitian Zhang et al., (2005) menunjukkan bahwa paket ERP software suitability berpengaruh positif terhadap user satisfaction dan individual impact, karena dapat mengurangi proses customize dan berakibat pada pengurangan waktu serta biaya yang dikeluarkan agar sesuai dengan ketetapan proses pada perusahaan. 

Berbeda dengan hasil penelitian Wu & Wang (2007) dan Zhang et al., (2005), menurut Bradford & Florin (2003 tidak ada pengaruh technical compatibility technology ERP terhadap kepuasan kerja maupun efektifitas key user pada hardware dan software ERP. Penelitian Bueno & Salmeron (2008) mengemukakan bahwa saran-saran dari key user berpengaruh positif terhadap keberlangsungan teknologi ERP. Pada penelitian yang sama dikatakan bahwa pendidikan key user berpengaruh positif pada efektifitas penggunaan teknologi ERP. Choi et. al., (2007) menyatakan bahwa pengalaman dan sikap keinginan belajar key user berpengaruh positif dalam efektifitas kerjanya dalam penggunaan teknologi ERP. Penelitian Xue et al (2005) menyatakan bahwa laporan dan data tabel berpengaruh positif terhadap isu-isu secara teknik pada product ERP. Studi yang dilakukan pada perusahaan kosmetik dan perusahaan teknologi bangunan yang mengalami kesulitan dalam menentukan bentuk format laporan pada bagian keuangan dan akutansi perusahaan karena tidak sesuai dengan bentuk laporan perusahaan dan standard untuk laporan ke pemerintahan China.

Bradford & Florin (2003) mengemukakan bahwa businees process re-engineering berpengaruh terhadap kinerja perusahaan dan tidak signifikan. Sedangkan penelitian Sun et al., (2005) menyatakan bahwa prosedur proses yang didalamnya terdapat persetujuan, dokumentasi, integrasi dan proses desain berpengaruh dalam mencapai tujuan perusahaan secara umum dan biaya perusahaan serta waktu perencanaan yang semakin cepat. Zang et al., (2005) mengatakan bahwa design process berpengaruh positif terhadap pencapaian kinerja perusahaan dan berdampak pada percepatan implementasi ERP yang berimplikasi terhadap biaya implementasi dan 

Bradford & Florin (2003) mengemukakan bahwa technical compability technology ERP tidak berpengaruh terhadap kinerja organisasi. Menurut Sun et al., (2005), hardware, software, manajemen sistem dan hubungan data yang masuk pada teknologi ERP akan meningkatkan tujuan perusahaan secara umum terutama pada biaya perusahaan. Zang et al., (2005) mengemukakan bahwa software teknologi ERP berpengaruh positif terhadap pencapaian kinerja perusahaan terutama pada pengurangan biaya, sistem proses yang terintegrasi, waktu proses yang lebih cepat. Sementara penelitian Amoako & Gyampah (2007) menyebutkan fakta penggunaan teknologi ERP akan berpengaruh positif terhadap intensitas kerja karyawan yang akhirnya meningkatkan kinerja perusahaan dalam pelayanan pelanggan.

Penelitian sebelumnya masih melakukan eksplorasi terhadap komitmen manajemen puncak untuk membentuk OCB guna dapat mendukung implementasi ERP, belum ada penekanan terhadap karakteristik dari manajemen puncak. Tanpa OCB diterapkan pada perusahaan maka masih berfokus pada kemampuan personil karyawan, interaksi personil karyawan, pemahaman bahasa pada personil karyawan. Namun setelah adanya implementasi OCB maka akan terdapat proses komunikasi yang terus menerus antara karyawan di dalam perusahaan. Penelitian ini memfokuskan kepada key user yang merupakan tim proyek dan memiliki area bisnis proses di perusahaan. Penelitian ini akan menjawab 2 pertanyaan secara garis besar yakni pertama faktor kritis apa saja yang diperhatikan saat implementasi ERP pada kelima perusahaan. Kedua bagaimana tahap-tahap implementasi ERP pada kelima perusahaan manufaktur Jawa Timur.

TAHAP IMPLEMENTASI TEKNOLOGI ERP (ENTERPRISE RESOURCES PLANNING).
Implementasi teknologi ERP harus melewati beberapa tahap yang berbeda. Tidak ada garis batas yang jelas diantara tahap-tahap tersebut karena suatu tahap akan dimulai walaupun tahap sebelumnya belum selesai. Tahap-tahap dalam pengimplementasian ERP adalah sebagai berikut: tahap awal penyeleksian program ERP, evaluasi paket program ERP, tahap perencanaan proyek, analisa gap antara program dengan kondisi nyata perusahaan, businees process reengineering, customize konfigurasi sistem, implementasi pelatihan tim proyek (key user), running process dan validasi system (data management), going live, pelatihan End-User atau pemakai akhir oleh key user, post-implementation (strong of product ERP).

Sumber: Leon 2005

Tahap-tahap implementasi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2, mungkin terlihat sangat linear dan berbeda antara satu tahap dengan tahap yang lain. Dalam kenyataannya, secara keseluruhan dalam sebuah implementasi yang aktual tahap-tahap tersebut sangat menyatu. Banyak kasus, perusahaan berhasil mengimplementasikan dalam unit bisnis berbeda, modul berbeda ataupun lokasi berbeda. 

EVALUASI AWAL
Perusahaan memutuskan untuk menggunakan sistem ERP, dimulai dengan pencarian paket ERP yang sempurna, tetapi ada ratusan penjual ERP -dari semua ukuran dan bentuk- yang mengklaim bahwa mereka mempunyai solusi yang ideal. Analisa semua paket ERP perlu dilakukan untuk menghasilkan keputusan bukan solusi yang tepat karena membutuhkan waktu yang tidak sedikit, jadi lebih baik untuk membatasi jumlah paket untuk dievaluasi dan kurang dari lima paket ERP. Hal ini selalu lebih baik daripada melakukan analisa semua paket ERP. Perusahaan seharusnya melakukan tahap awal pengevaluasian untuk membatasi jumlah paket yang akan dievaluasi oleh komite. Hal ini, karena tidak semua paket ERP sama dan memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri. Proses awal pengevaluasian akan mengeliminasi paket yang tidak cocok untuk diterapkan dalam proses bisnis perusahaan. Pemilihan dapat dilakukan dengan melihat literatur dari produk, dibantu oleh konsultan eksternal dapat mengetahui apakah paket yang digunakan oleh perusahaan tersebut cocok digunakan dalam perusahaan. Lebih baik mencari tahu bagaimana paket yang berbeda berjalan pada lingkungan yang mirip dengan perusahaan kita.

Dalam waktu yang relatif pendek, setiap paket ERP yang ada dapat meningkatkan pengalaman dan kesempatan bagi seseorang untuk bekerja dalam bidang bisnis yang lebih spesifik yang menciptakan sistem yang dapat melakukan segmen bisnis dengan sukses. Hal ini secara umum dapat diterima karena paket ERP lebih kuat pada area tertentu daripada yang lain, dan masing-masing mencoba untuk menambah area fungsional dimana mereka merasa kurang. Sebagai contoh, PeopleSoft kuat pada bidang Human Resource tetapi kurang dalam bidang manufaktur. Baan, dalam sejarah sebaliknya kuat di bidang manufaktur daripada bidang keuangan.

Perusahaan yang berkembang pada saat paket ERP sedang ditingkatkan, mendapatkan pengalaman pada saat pengimplementasian. Feedback dari pengguna, dan kebutuhan untuk masuk kedalam pasar market yang baru serta tekanan dari para pesaing memaksa ERP untuk mendefinisikan kembali dan memperluas ruang lingkup dari aktivitas dan fungsional dari produk mereka. Konsep-konsep tersebut telah diperluas dan fungsi-fungsi baru diperkenalkan, ide bagus telah diambil dari yang lain dan seterusnya. Setiap paket ERP tetap memiliki sejarah yang menunjukkan tipe bisnis apa yang cocok dalam penerapan paket tersebut. Ketika membuat sebuah analisa, maka akan menjadi ide bagus untuk menyelidiki asal mula paket yang berbeda. 

Saat ini sebagian besar paket ERP dapat menyediakan hampir semua bisnis dan sektor pelayanan. Suatu kesalahan apabila mengatakan bahwa sistem itu pada awalnya dikembangkan untuk proses manufaktur, yang sekarang tidak dapat untuk menyediakan kebutuhan dari sektor bisnis yang lain, seperti pengembangan software. Sistem ini telah diubah secara keseluruhan dan didesain ulang untuk menyediakan kebutuhan dari sektor bisnis yang berbeda. Namun demikian harus tetap diingat bahwa banyak paket ERP yang tetap baik dalam beberapa area, meskipun mereka juga baik dalam menyediakan kebutuhan dari sektor yang lain. Sekali memilih beberapa paket setelah tahap penyeleksian, kita dapat memulai proses evaluasi yang lebih detail.

EVALUASI PAKET.
Proses penyeleksian atau evaluasi adalah salah satu tahap yang paling penting dalam implementasi ERP, karena paket yang pilih akan menentukan kesuksesan maupun kegagalan dari proyek. Hal ini dikarenakan sistem ERP melibatkan investasi yang besar, maka setelah paket dibeli, bukan pekerjaan yang mudah untuk melakukan perubahan paket. Langkah pertama tidak boleh gagal, karena untuk seterusnya akan gagal, sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan dapat diminimalisir.

Faktor yang paling penting yang harus diingat ketika menganalisis paket yang berbeda bahwa tidak satupun dari paket ERP sempurna. Pemikiran bahwa tidak ada paket yang sempurna harus dipahami oleh semua orang untuk membuat sebuah keputusan dalam tim. Sasaran dari proses seleksi adalah bukan untuk mengidentifikasi sebuah paket yang dapat memenuhi setiap kebutuhan, melainkan menemukan sebuah paket yang cukup fleksibel untuk memenuhi kebutuhan perusahaan. Dengan kata lain, software tersebut dapat digunakan untuk memperoleh sebuah ‘barang yang cocok’ atau mungkin juga dilakukan pemilihan konsultan lokal dalam membangun sistem ERP pada perusahaan agar lebih fleksibel.

Sekali paket yang dievaluasi telah teridentifikasi, maka perusahaan membutuhkannya untuk membangun penyeleksian kriteria sehingga evaluasi dari semua paket berada dalam skala yang sama. Untuk memilih sistem mana yang terbaik, perusahaan harus mengidentifikasi sistem yang mampu memenuhi kebutuhan bisnis perusahaan, sesuai dengan profil bisnis perusahaan, serta mengidentifikasi pelatihan bisnis dari perusahaan. Sulit mendapatkan sebuah sistem yang diimplementasikan persis seperti bisnis perusahaan yang ada saat ini, akan tetapi bertujuan untuk mendapatkan sebuah sistem yang memiliki jumlah perbedaan paling sedikit. Sistem ERP menggunakan teknologi informasi untuk mendapatkan sebuah keuntungan kompetitif, beberapa poin penting yang harus diingat ketika mengevaluasi software ERP adalah sebagai berikut: fungsional yang cocok dengan proses bisnis perusahaan, derajat integrasi diantara berbagai komponen dalam sistem ERP, fleksibilitas dan skala, kompleksitas, kesesuaian bagi pemakai, implementasi yang cepat, kemampuan untuk mendukung rencana dan pengendalian, teknologi yang meliputi hardware (server), database yang independen, keamanan, mudah melakukan penyesuaian sistem, dukungan infrastuktur, total biaya, termasuk biaya pelatihan, implementasi, perawatan, dan kebutuhan akan hardware.

Hal ini akan lebih baik apabila membentuk suatu penyeleksian atau pengevaluasian oleh tim yang akan melakukan proses evaluasi. Tim ini meliputi orang-orang dari berbagai departemen, top management, dan konsultan (ahli dalam bidang paket). Pemilihan tim seharusnya dipercayakan dengan tugas pada masing-masing orang di tiap perusahaan tersebut. Ahli paket atau konsultan dapat bertindak sebagai mediator, atau menjelaskan masalah pro dan kontra dari setiap paket. 

FASE PERENCANAAN PROYEK
Fase ini adalah fase untuk mendesain proses implementasi yang dijelaskan secara detail bagaimana untuk memutuskan suatu rencana implementasi, waktu menjadwalkan, dan batas waktu penyelesaian proyek. Prosedur-prosedur dapat diidentifikasi, serta analisa tugas-tugas yang harus dikerjakan untuk membuat bisnis proses. Sumber daya organisasi akan digunakan untuk proses implementasi dan orang-orang tertentu akan ditunjuk manajemen puncak untuk memimpin implementasi (key user). Anggota tim implementasi (key user) akan dipilih dan dialokasikan pada tugas masing-masing. Fase ini akan memutuskan kapan memulai suatu proyek, bagaimana menjalankannya, dan kapan proyek ini bisa diselesaikan. 

Fase ini juga merencanakan apa yang akan dilakukan dalam masalah ketidakpastian, bagaimana untuk memonitor kemajuan implementasi, dan tindakan apa yang harus dilakukan ketika ada suatu penyimpangan. Rencana proyek ini umumnya dilakukan oleh tim komite, dan dipimpin oleh seorang team leader pada setiap grup implementasi. Komite tersebut akan bertemu secara periodik (selama keseluruhan implementasi lifecycle) untuk meninjau ulang kemajuan dan perkembangan di masa mendatang.

ANALISA GAP
Analisa gap adalah fase paling krusial untuk kesuksesan pengimplementasian ERP. Secara sederhana, fase ini adalah proses dimana perusahaan menciptakan model yang komplit dan bagaimana keadaan nyata perusahaan saat ini, dan kemana arah yang ingin dicapai di masa akan datang. Pada analisa gap ini untuk mendesain suatu model yang dapat mengantisipasi perbedaan antara kenyataan di operasional perusahaan dengan paket ERP, serta dapat mengurangi gap secara fungsional. Hal itu telah diperkirakan untuk paket ERP yang terbaik hanya 80% menyediakan kebutuhan fungsional perusahaan. Sisanya 20% kebutuhan ini diperlukan BPR (Business Process Reengineering) pada perusahaan sehingga gap yang ada dapat diminimalkan serta tidak berpengaruh pada operasional perusahaan (Leon, 2005) . Salah satu dari usaha yang paling baik, diperlukan untuk mengubah dan mendesain bisnis proses yang baru agar cocok dengan paket ERP. 

REKAYASA SISTEM
Rekayasa merupakan fase yang memperhitungkan peranan manusia. Dalam pengaturan implementasi ERP, rekayasa memiliki 2 konotasi yang berbeda. Konotasi yang pertama, adalah versi kontroversialnya, dimana penggunaan ERP untuk membantu usaha pengimplementasian. Eksekutif level atas telah dilibatkan pada tahap rekayasa ini, dan pembelian paket ERP ini bertujuan untuk mengurangi jumlah karyawan secara signifikan. Pada setiap implementasi akan melibatkan tanggung jawab pekerjaan, seperti proses menjadi lebih otomatis dan efisien. ERP seharusnya menyebabkan adanya perubahan bisnis, tetapi tidak membahayakan pekerjaan karyawan.

Konotasi kedua, dari kata rekayasa dalam ERP (biasa dikenal Business Process Reengineering (BPR)), mengacu pada desain model implementasi ERP. Pencapaian BPR untuk implementasi ERP ada 2 bagian yang dipisahkan, tetapi lekat hubungannya, yaitu implementasi teknis dan implementasi proses bisnis. Pencapaian BPR menitikberatkan pada elemen manusia. Pencapaian ini umumnya memerlukan waktu yang lama, peningkatan biaya dan perluasan proyek. BPR tidak dapat mengabaikan faktor manusia dalam pengimplementasian yang mengakibatkan perubahan secara signifikan. Pergeseran pasar ERP berfokus pada kalangan menengah, dan pengimplementasiannya menjadi semakin peka terhadap biaya. 

KONFIGURASI ERP 
Konfigurasi ERP adalah fungsi utama dari pengimplementasian ERP agar proses implementasi dapat berjalan dengan baik, maka bisnis proses harus dimengerti dan dipetakan sebagai solusi yang cocok dengan keseluruhan tujuan perusahaan. Tetapi perusahaan tidak perlu menghentikan proses operasional ketika proses pemetaan berlangsung. Paket ERP dapat dijadikan sebagai prototipe untuk suatu simulasi bisnis proses yang aktual dalam perusahaan. Prototipe mempertimbangkan secara seksama uji coba untuk menjadi model dalam kontrol lingkungan. Konsultan ERP bersama-sama dengan tim proyek (key user) melakukan pengaturan dan uji coba, mereka berusaha untuk memecahkan masalah dan tidak bisa dipisahkan dengan BPR sebelum proses implementasi berjalan.

Pengaturan sistem pada perusahaan tidak hanya dilihat dari kekuatan bisnis proses perusahaan, namun juga kelemahannya. Hal ini penting untuk menjaga agar perusahaan sukses dalam implementasi ERP dan sesuai dengan paket ERP, dimana gap dalam fungsi tidak muncul. Perusahaan perlu tahu proses mana yang harus diubah dalam proses implementasi. Penjual paket ERP secara konstan bekerja keras untuk menurunkan biaya pengaturan. Strategi yang sekarang digunakan meliputi automasi dan konfigurasi awal untuk menciptakan suatu sistem yang otomatis dan terintegrasi penuh misalnya dalam mengambil data hasil produksi di perusahaan manufaktur Jawa Timur dilakukan secara otomatis oleh mesin dan diintegrasikan dengan sistem komputer yang kemudian secara otomatis entry data ke sistem ERP.

Industri ERP saat ini didorong untuk mengembangkan pasar jangka menengah untuk mengurangi biaya paket ERP sehingga perusahaan menengah merasa dapat mengimplementasikan ERP. Dengan menciptakan modul ERP yang belum disesuaikan untuk beberapa industri contohnya software perusahaan pakan ternak diciptakan untuk perusahaan pakan ternak sehingga kebutuhan untuk penyesuaian manual dikurangi, yang menyebabkan biaya turun. 

IMPLEMENTATION TEAM (KEY USER) 
Pada saat yang sama dengan penyesuaian berlangsung, tim implementasi proyek dilatih, bukan untuk menggunakan sistem, namun bagaimana untuk mengimplementasikannya. Fase ini merupakan fase dimana perusahaan melatih pekerjanya untuk mengimplementasikan yang nantinya menjalankan sistemnya. Penjual ERP dan konsultan yang disewa akan berakhir setelah implementasi selesai. Namun untuk perusahaan agar dapat berdiri sendiri dalam menjalankan sistem ERP, harus memiliki tim dalam yang dapat mengawasi beragam situasi yang disebut dengan key user. Hal ini sangat penting bagi perusahaan untuk memilih pekerja yang memiliki kemampuan yang tepat, orang yang memiliki keinginan untuk berubah, belajar hal baru dan tidak takut pada teknologi dan pengetahuan fungsional yang baik.

UJI COBA
Fase ini merupakan fase dimana kita berusaha untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan sistem, karena kita melakukan uji coba kasus yang nyata. Sistem ERP disesuaikan dengan tujuan proses yang diinginkan oleh perusahaan. Salah satu contohnya adalah untuk melihat data banyaknya user masuk ke sistem, bagaimana mengidentifikasi bila user memasukkan data yang salah, hacker yang mencoba untuk masuk ke area yang terlarang dan sebagainya. Kasus tes ini harus didesain spesifik untuk menemukan kelemahan dalam sistem dan kelemahan ini harus diperbaiki sebelum dijalankan.

GOING LIVE
Pada sisi teknis, pengerjaan hampir selesai karena konversi data selesai, database dapat dijalankan; dan pada sisi fungsional, prototype telah disesuaikan penuh dan dites dan siap dioperasikan. Sistem secara resmi diumumkan dioperasikan, walau tim implementasi telah mencobanya dan berjalan sukses untuk beberapa waktu. Namun sekali sistem ’hidup’, sistem yang lama dibuang, dan sistem yang baru digunakan untuk bisnis proses perusahaan.

PELATIHAN PEMAKAI (END-USER)
Fase ini merupakan fase dimana pengguna yang sesungguhnya dari sistem dilatih untuk menggunakan sistem. Fase ini dimulai sebelum sistem dihidupkan. Pekerja yang akan menggunakan sistem baru diidentifikasi. Kemampuan mereka sekarang dicatat dan berdasarkan tingkat kemampuan mereka, dipisah menjadi beberapa kelompok. Lalu, tiap kelompok dilatih sistem yang baru. Pelatihan ini sangat penting karena kesuksesan sistem ERP ada di tangan pengguna terkahir. Jadi pelatihan ini harus memberikan gambaran keseluruhan dari sistem dan bagaimana tindakan individual akan mempengaruhi sistem keseluruhan. Sebagai tambahan untuk topik umum, tiap pekerja dilatih sesuai jabatan atau tugas yang akan dijalankannya nanti setelah sistem dioperasikan. Adalah kebiasaan manusia untuk menolak perubahan, juga beberapa orang takut dengan komputer dan teknologi baru lainnya. 

Realitas ini menunjukkan akan selalu ada hambatan dalam perubahan ini. Faktor lain adalah tidak semua orang akan sukses dalam melakukan perubahan. Manajemen perusahaan harus memperhatikan dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk menghindari kegagalan. Pelatihan pengguna akhir lebih penting dan jauh lebih sulit (karena kebanyakan pengguna takut akan perubahan) daripada pelatihan tim implementasi. Perusahaan memulai melakukan fase ini secara serius karena kebanyakan implementasi gagal karena kesalahan pengguna terakhir.

POST-IMPLEMENTATION
Salah satu faktor yang harus diperhatikan juga adalah fase setelah implementasi yang sangat kritis. Setelah implementasi selesai, penjual dan konsultan akan pergi. Untuk mencapai keuntungan sistem ERP, sangat penting sistem dapat diterima secara menyeluruh. Harus ada cukup pekerja yang terlatih untuk mengatasi masalah yang mungkin muncul. Harus ada orang di dalam perusahaan memiliki kemampuan teknikal untuk membuat peningkatan yang diperlukan sistem dan ketika dibutuhkan. Sistem harus diperbaharui ketika ada versi baru atau teknologi baru yang diperkenalkan. Dalam konteks ini, perusahaan harus berpikir keuntungan dari peningkatan yang baru ini. Karena dengan adanya pembaharuan atau peningkatan, akan banyak aspek lainnya seperti pelatihan pengguna yang harus diperhitungkan. Daripada memperbaharui ketika versi yang baru muncul dari penjual, perusahaan harus pertama-tama menganalisa biaya dan keuntungannya.

Organisasi setelah melakukan implementasi ERP akan membutuhkan aturan-aturan dan kemampuan yang berbeda dibandingkan dengan sistem sebelumnya. Secara minimum semua orang yang menggunakan sistem harus dilatih pada pekerjaan mereka, bagaimana mereka berhubungan dengan proses bisnis dan bagaimana traksaksi berjalan ke seluruh perusahaan ketika mereka menekan tombol. Pelatihan ini tidak akan berhenti; ini merupakan proses berjalan; orang baru akan selalu masuk, dan fungsional baru akan selalu masuk dalam organisasi.

Proyek implementasi sistem ERP membutuhkan banyak sumber daya dan perhatian. Bagaimanapun juga, organisasi hanya mendapatkan nilai maksimum dari inputnya jika adopsi berjalan suskses dan sistem digunakan efektif.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini mengamati proses implementasi di tiga perusahaan manufaktur yang berbeda di Jawa Timur. Peneliti menentukan obyek penelitian yang mau turut serta dalam penelitian ini. Peneliti melakukan pengamatan langsung ke perusahaan dan melakukan proses wawancara dengan meminta penjelasan cara-cara implementasi ERP. Penentuan obyek dengan memilih perusahaan yang bersedia untuk memberikan jawaban dan menyediakan waktu. Kelima perusahaan telah menerapkan ERP secara berkesinambungan dengan waktu yang cukup lama dalam proses implementasi ERP. Data penelitian ini juga dilakukan dengan proses memberikan kuisioner yang akan diisi sebagai bahan dasar peneliti mengetahui secara garis besar mengenai proses implementasi ERP. 

Kuesioner ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang lengkap dari key user di perusahaan. Kuesioner yang dibuat bersifat terbuka dan setiap kuisioner hanya diisi oleh salah satu key users di perusahaan sehingga satu kuisioner untuk satu perusahaan dan peneliti melakukan wawancara secara mendalam dan langsung melakukan observasi/tinjauan ke lapangan untuk mengetahui implementasi teknologi ERP.

Akuntabilitas Instansi Pemerintah Dalam Sistem Administrasi Negara

Akuntabilitas Instansi Pemerintah Dalam Sistem Administrasi Negara 
Dengan semakin maju dan terbukanya sistem informasi dewasa ini, isu-isu atau berita apa pun semakin mudah diketahui oleh masyarakat di sudut-sudut terpencil bahkan di seantero dunia. Isu-isu tersebut dapat berupa persoalan kehidupan manusia sendiri, lingkungan, sosial, politik, ekonomi, atau yang berkatian dengan masyarakat (publik), dan sebagainya. 

Isu-isu kemasyarakatan yang berhubungan dengan kepentingan publik umumnya menjadi isu yang selalu mendapat perhatian masyarakat, karena sifatnya yang berhubungan langsung dengan kepentingan manusia sebagai bagian dari masyarakat (publik). Misalnya, tentang buruknya pelayanan dari instansi pemerintah. Untuk Indonesia buruknya pelayanan pemerintah terhadap publik sudah terkenal di dunia (Indonesia termasuk negara dengan peringkat korupsi No. 3 di dunia). Menurut Komisi Ombudsman Nasional periode Januari-Juli 2005, kasus pelanggaran layanan publik 54% di antaranya dilakukan oleh pejabat publik dan penegak hukum. Selain itu, hal yang paling banyak dikeluhkan masyarakat adalah penyimpangan prosedur, tindakan tidak adil dari pejabat tertentu, dan melalaikan kewajiban.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka pada web suplemen ini akan dibahas mengenai akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dalam sistem administrasi negara, melalui pembahasan:
  • Aturan-aturan yang mendukung terselenggaranya pemerintahan yang baik
  • Kondisi administrasi negara saat ini
  • Operasionalisasi akuntabilitas dalam sistem administrasi pemerintahan
  • Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi akuntabilitas
  • Faktor-faktor yang menghambat terlaksananya akuntabilitas
  • Partisipasi Publik dalam Memantau Kinerja Instansi Pemerintah

Aturan-aturan yang mendukung terselenggaranya pemerintahan yang baik
Mengemukanya tuntutan dari masyarakat terhadap kualitas layanan publik yang disampaikan secara langsung atau pun tidak langsung, telah membuat pemerintah concern terhadap tuntutan tersebut. Respon pemerintah diwujudkan melalui TAP MPR No.XI.MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Pada masa Kabinet Reformasi/pemerintahan BJ Habibie, juga telah ada upaya pemerintah untuk mengadakan reformasi administrasi publik dengan dikeluarkan Inpres No.7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Inpres ini diinstruksikan kepada semua pejabat pemerintah di tingkat eselon II ke atas untuk membuat perencanaan strategis dan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.

Beberapa peraturan perundangan yang telah dihasilkan selama ini, dengan dua contoh yang telah dikemukakan di atas, kesemuanya adalah upaya yang dilakukan untuk menciptakan suatu tatanan kepemerintahan yang baik, melalui administrasi pemerintahan yang ditunjang konsep transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Penerapan konsep ini akan membawa konsekuensi terhadap perlunya perubahan di beberapa segmen atau subsistem administrasi negara. Misalnya perbaikan pada sistem pertanggungjawaban. Di beberapa daerah, DPRD dan masyarakat menuntut keterbukaan dan akuntabilitas yang penuh terhadap manajemen pemerintahan di daerah. Akuntabilitas tersebut dituntut agar pengelolaan berbagai program benar-benar efektif. Jadi tidak hanya output dari program saja, akan tetapi juga outcome atau bahkan dampak positif dari program itu harus dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa kinerja instansi pemerintah dalam mengelola program atau dalam menetapkan kebijakan-kebijakannya serta melakukan pelayanan-pelayanan harus dapat diukur. Oleh karena itu, Inpres No. 7/1999 sangat relevan dalam usaha untuk memenuhi tuntutan itu, yaitu instansi pemerintah harus menyediakan sistem pengukuran kinerja agar dapat memantau, mengendalikan, dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan-kebijakan dan program-program. Dengan demikian, semua instansi pemerintah harus membangun sistem itu dan mengimplementasikannya secara bertahap dan mengembangkan terus menerus agar dapat digunakan untuk mengelola kinerja instansinya sendiri.

Dalam rangka mentransform instansi pemerintah yang tanpa akuntabilitas menjadi instansi pemerintah yang memiliki akuntabilitas perlu perubahan-perubahan mendasar. Perubahan itu antara lain, perubahan budaya kerja dan budaya organisasi, metode, dan teknik pengelolaan program dan kegiatan, struktur organisasi dan kelembagaan, serta perubahan-perubahan lainnya yang perlu dilakukan guna mencapai tujuan-tujuan strategis yang telah ditetapkan.

Kondisi administrasi negara saat ini
Kondisi administrasi negara Indonesia saat ini, belum sepenuhnya berorientasi pada kepentingan publik. Hal ini dapat kita nilai dari banyaknya kritik yang dialamatkan pada instansi pemerintah, entah itu mengenai manajemennya, pelayanannya, ataupun organisasinya. Semua kritik dan keluhan yang disampaikan kebanyakan bermuara pada aparatur yang bertugas, mulai dari tingkat atas sampai bawah. 

Di tengah era keterbukaan, arus informasi yang beredar dan masuk dalam arena publik, akan begitu cepat mendapat respon dari masyarakat, baik positif atau pun negatif. Respon positif, merupakan ukuran keberhasilan administrasi publik dalam menjalankan kinerjanya, respon negatif melambangkan ketidakberhasilan administrasi publik dalam menjalankan amanat yang diembannya. Respon-respon yang disampaikan oleh publik, dalam sekejap dapat beredar di mana-mana, entah di surat kabar, televisi, radio, atau pun alat komunikasi lain seperti handphone misalnya. Sehingga kesalahan ataupun ketidaknyamanan yang dirasakan rakyat akibat kinerja yang buruk dari intansi pemerintah (administrator negara), dalam sekejap dapat beredar di seluruh Indonesia, bahkan mungkin seantero jagad. Adanya peringkat Indonesia sebagai negara terkorup no.4 di dunia membuktikan hal itu. 

Menurut Arie Soelendro, tanda-tanda yang memperlihatkan kurang cakapnya administrator negara dalam menjalankan tugasnya, antara lain:
1. terjadinya tingkat korupsi yang tinggi
2. merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap instansi pemerintah
3. ketiadaan good governance
4. adanya instansi pemerintah dengan programnya yang tidak beroperasi secara efisien dan efektif
5. ketertinggalan di bidang ekonomi

Selanjutnya Arie Soelendro mengatakan, ada dua faktor penting yang terkait dengan kondisi administrasi negara saat ini. Pertama, faktor sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan menyangkut tatanan, elemen-elemen dari sistem administrasi, prosedur atau mekanisme kerja, peralatan, sarana dan prasarana pelayanan publik. Pengembangan sistem administrasi perlu mendapat perhatian yang besar. Hal ini disebabkan begitu pentingnya pembangunan dan pengembangan sistem, baik dari segi kelembagaannya, prosedur, mekanisme koordinasi dan sinkronisasi, yang harus ditujukan pada pembangunan tata kepemerintahan yang baik. Oleh karena itu, pembangunan sistem administrasi baik dalam skala mikro maupun makro perlu diarahkan pada terciptanya good governance. Sejalan dengan itu, perbaikan administrasi negara tidak lepas dari perbaikan di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Semua prasyarat yang harus dipenuhi untuk menciptakan kepemerintahan yang baik harus diwujudkan. Prasyarat itu antara lain, penciptaan iklim yang memprioritaskan mekanisme pasar yang berkeadilan, kepastian hukum, pemakaian praktek-praktek yang terbaik di bidang administrasi, menyediakan sistem insentif yang sepadan agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan sehat, serta membuka partisipasi publik dalam merumuskan kebijakan public.

Kedua, faktor manusianya sebagai pelaku yang menjalankan sistem administrasi tersebut. Bertahun-tahun lamanya pendekatan yang dipakai dalam sistem administrasi pemerintahan adalah command and control, perencanaan terpusat, kewenangan dan pembagian kekuasaan yang juga terpusat, serta budaya pelaku pejabat pemerintah yang lebih superior terhadap masyarakat yang dilayani. Walaupun sudah banyak anjuran dan himbauan dari ara pejabat tinggi pemerintahan bahwa pejabat pemerintah dan pegawai negeri adalah abdi negara, namun demikian ternyata tidak mudah untuk mengubah dengan cepat pejabat pemerintah dan pegawai negeri untuk supaya benar-benar berorientasi melayani masyarakat. Jika mungkin bahkan lebih jauh lagi instansi pemerintah bukan hanya melayani saja tetapi lebih memberi kewenangan kepada masyarakat untuk mengatur dan menolong dirinya sendiri.

Usaha-usaha dalam menciptakan salah satu fungsi administrasi publik sebagai suatu jenis jasa pelayanan yang berorientasikan kepada pasar perlu diperkenalkan. Iklim yang memungkinkan pelayanan yang dilakukan oleh suatu instansi pemerintah bersaing dengan pelayanan yang dilakukan swasta juga perlu diciptakan. Usaha-usaha ini memang masih dianggap sebagai ancaman bagi para pegawai negeri dan pejabat pemerintahan, dari pada sebagai peluang perbaikan kondisi administrasi pemerintahan saat ini. Kebijakan yang telah digariskan oleh Presiden dalam berbagai kesempatan bahwa diperlukan peran masyarakat yang lebih besar dalam melakukan pembangunan perlu didukung oleh semua pihak. Kebijakan realokasi sumber daya manusia dan sumber daya lainnnya untuk menciptakan kondisi pasar yang sehat agaknya perlu mendapat dukungan dari semua pihak.

Sistem insentif yang sepadan dan pengegakan hukum yang jelas sehingga mewujudkan kepastian hukum dan rasa keadilan perlu segera dilakukan sesuai dengan kemampuan kita. Sistem insentif yang sepadan ini akan menumbuhkan kader-kader pegawai dan pejabat pemerintahan yang profesional. Sedangkan kepastian hukum akan membuka mata dan telinga semua orang bahwa perlakuan terhadap pelanggaran hukum dan kejahatan telah jelas. Sehingga orang yang salah akan pasti dihukum, dan orang yang bekerja baik akan mendapat penghargaan.

Berdasarkan hasil riset di negara maju para ahli memperkirakan bahwa pembangunan sistem harus merupakan usaha yang lebih besar yaitu sekitar 85% sedangkan pembangunan unsur manusianya 15% saja. Angka-angka itu tidaklah penting, yang lebih penting lagi adalah bahwa perbaikan-perbaikan sistem perlu mendapat porsi yang besar dengan tidak mengabaikan perbaikan faktor manusianya.

Operasionalisasi akuntabilitas dalam sistem administrasi pemerintahan
Ketertinggalan sistem administrasi negara selama ini dianggap sebagai salah satu penyebab kendala pembangunan. Dalam rangka menciptakan iklim yang menunjang untuk melancarkan pembangunan di berbagai sektor, pemerintah berusaha saling mengisi, dan saling melengkapi dalam satu kesatuan langkah dengan mengadakan kebijakan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan dapat dipercaya, yaitu dengan dikeluarkannya Inpres No.7 Tahun 1999 yang berisi peningkatan sistem administasi pemerintahan dengan pembuatan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah oleh setiap instansi pemerintah atau unit kerja.

Dengan dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, perihal otonomi daerah yang mengharuskan pemerintah daerah baik di tingkat kabupaten, kota ataupun tingkat propinsi harus bisa mengelola daerahnya masing-masing baik di dalam pencarian dana maupun pemanfaatan dana tersebut. Demikian halnya pemerintah pusat baik di tingkat departemen, menteri negara, maupun lembaga pemerintah lainnya harus bisa mengelola dan mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan di dalam bentuk laporan akuntabilitas kinerja.

Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia, UUD 1945 beserta kesiapan rancangan perubahannya agar sejalan dengan perkembangan kebutuhan bangsa, dinamika dan tuntutan reformasi dengan tetap memelihara kesatuan persatuan bangsa serta sesuai dengan jiwa dan semangat pembukaan UUD 1945. UUD 1945 telah mengatur fungsi lembaga negara. 

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Akuntabilitas
Lingkungan yang mempengaruhi akuntabilitas suatu entitas meliputi lingkungan internal dan eksternal yang merupakan faktor-faktor yang membentuk, memperkuat, atau memperlemah efektifitas pertanggungjawaban entitas atau wewenang dan tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya. Di antara faktor-faktor yang relevan dengan akuntabilitas instansi pemerintah antara lain meliputi:
a. falsafah dan konstitusi negara
b. tujuan sasaran pembangunan nasional
c. ilmu pengetahuan dan teknologi
d. ideology politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
e. Ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur akuntabilitas serta penegakan hukum yang memadai
f. Tingkat keterbukaan pengelolaan
g. Sistem manajemen birokrasi
h. Misi, tugas pokok dan fungsi, serta program pembangunan yang terkait
i. Jangkauan pengendalian.

Faktor-faktor yang Menghambat terlaksananya akuntabilitas
Berbagai hal diperkirakan dapat menyebabkan mengapa akuntabilitas kinerja instansi pemerintah tersebut tidak berjalan dengan baik,dapat disimak pada penjelasan berikut: 

Low Literacy percentage
Dalam populasi yang kurang peduli terhadap hak-haknya dan masalah-masalah sosial, cenderung memberikan toleransi yang tinggi terhadap lack of accountability, malpractice, nepotisme, sogok menyogok, dan korupsi. Semakin kurang rasa saling tolong menolong di antara anggota dan kelompok masyarakat suatu society akan semakin tinggi rasa tidak peduli pada tingkat penyelenggaraan pemerintah. Setiap individu sibuk memikirkan diri sendiri tanpa menghiraukan kesengsaraan orang lain sehingga lupa pada berbagai kekurangan dalam penyelenggaraan tugas pemerintah yang akan mengurangi akuntabilitas.

Poor Standard of Living
Pegawai dengan standar gaji yang kurang, memiliki kecenderungan untuk berusaha keras mencari penghasilan tambahan agar dapat menghidupi keluarganya. Dalam kondisi yang demikian ini, setiap usaha pemenuhan kebutuhan hidup tersebut dianggap normal-normal saja bahkan dinilai wajib.

Kemiskinan, kelangkaan, dan job insecurity memicu orang untuk menganggap normal bukan hanya korupsi akan tetapi juga sogok menyogok. Tidak seperti di negara lain yang sudah maju, standar gaji sudah dimaksimalkan setara dengan kebutuhan untuk menopang kehidupannya dan keluarganya. Pegawai dengan standar gaji di bawah kebutuhan minimum cenderung mencari penghasilan tambahan. Hal ini mengakibatkan terabaikannya akuntabilitas dan mendorong malpraktek administrasi publik. 

General decline in the moral values
Sikap hidup yang materialistis dan kosumerisme mendorong lack of accountability. Sikap moral sangat menentukan dalam usaha membedakan antara nilai-nilai baik dan buruk. Sikap konsumerisme yang terbentuk dalam suatu masyarakat dapat mengurangi/menurunkan moral dan tanggung jawab pegawai pemerintah pada public yang seharusnya dilayani. Hal inilah yang mendorong pegawai untuk mencari uang/penghasilan melalui cara-cara yang tidak wajar bahkan seringkali merugikan pihak-pihak yang lain.

A policy of live and let live
Dengan terjadinya penurunan nilai-nilai moral, maka manusia akan semakin mudah melakukan hal-hal yang melanggar aturan. Yang terjadi adalah mereka saling berlomba mencari keuntungan masing-masing dan mengabaikan kepentingan nasional yang lebih besar. Akibat yang lebih lanjut adalah dengan terabaikannya hak-hak publik untuk mengetahui kebijakan pemerintah serta implementasinya dalam perspektif akuntabilitas.

Cultural factors
Budaya yang berkembang dalam masyarakat di mana para pejabat pemerintah lebih mendahulukan pelayanan terhadap keluarga dan kerabat daripada publik merupakan budaya yang tidak mendukung akuntabilitas. Hal-hal yang demikian ini mendorong suburnya suasana korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kondisi budaya bangsa yang kurang baik biasanya banyak didukung dengan buruknya kondisi perekonomian mereka. Walaupun para pejabat tersebut sudah cukup berada, namun kerap kali hal ini masih terjadi. Hal ini disebabkan karena masih kuatnya budaya kemiskinan yang melekat pada sebagian besar bangsa tersebut sehingga mereka saling berebutan dan tidak menyukai antrian dalam mendapatkan sesuatu.

Government monopoly
Dalam kondisi di mana sumber daya tersentralisasi di tangan pemerintah dan setiap keputusan publik menjadi kewajiban pemerintah sendiri, mengakibatkan penumpukkan tanggung jawab sehingga sulit mengelola, memantau, dan mengevaluasinya. Birokrasi yang terlalu besar dan berbelit-belit telah mengurangi pelaksanaan akuntabilitas. Pada negara dengan sistem sentralisasi penuh, akuntabilitas tidak diperlukan karena masyarakat tidak diikutsertakan dalam penentuan kebijak-kebijakan public. Masyarakat hanya menjadi penonton dan kadang kala menjadi pelenkap penderita dalam kegiatan-kegiatan pemerintah.

Deficiencies in the accounting system
Buruknya sistem akuntansi merupakan salah satu faktor penyebab tidak dapat diperolehnya informasi yang handal dan dapat dipercaya untuk dipergunakan dalam penerapan akuntabilitas secara penuh. Akuntabilitas memerlukan dukungan sistem informasi akuntansi yang memadai untuk terselenggaranya pelaporan yang baik. Kelemahan ini meliputi sistem informasi yang tidak memadai dan tidak dapat diandalkan, sistem internal control dan internal check yang tidak memadai, manajemen yang tidak professional dan tidak kompeten.

Lack of will in enforcing accountability
Hal ini merupakan hasil langsung dari sikap pasif para pegawai yang tidak acuh terhadap kepentingan akuntabilitas. Hal ini juga disebabkan oleh live and let live policy. Hal ini diakibatkan para pejabat yang seharusnya melakukan tindakan koreksi atas penyimpangan juga telah banyak menumpuk kesalahan-kesalahan besar sehingga mana mungkin dia melaksanakan akuntabilitas yang akan membuka semua tindakan dan kegiatan mereka sehingga akan bermuara pada penghancuran dirinya sendiri.

Birocratic secrecy
Pemerintah yang melakukan control sangat ketat terhadap media massa, ekonomi, dan pemberitaan akan menjadikan suasana unaccountable pada penyelenggaraan pemerintahan karena tidak ada yang diberikan keleluasaan untuk melakukan tindakan korektif atas praktek-praktek penyelenggaraan pemerintah. Dalam kondisi demikian, masyarakat tidak berani mengeluarkan pendapat sehingga para pejabat pemerintahan akan leluasa melakukan kesalahan-kesalahan.

Conflict in perspective and inadequate institusional linkage
Dengan terlalu tingginya birocracy secrecy di sector public, akan mengakibatkan sulit melakukan review terhadap program-program sector public, dan akan sulit juga menentukan siapa sebenarnya yang diwajibkan untuk mempertanggungjawabkannya. Informasi mengenai apa yang ditargetkan dan bagaimana realisasinya biasanya tidak tersedia sehingga sulit untuk mengetahui capaian kinerjanya suatu instansi pemerintah.

Quality of officers
Kualitas pejabat/petugas mencakup dua permasalahan dalam akuntabilitas. Pertama, dengan besarnya jumlah capital yang terjadi untuk membiayai semua program pemerintah, maka dibutuhkan juga jumlah pegawai pemerintah yang banyak. Namun sayangnya kualitas yang rendah tersebut telah menyebabkan masalah serius terutama pemborosan, inefisiensi, dan tidak berjalannya akuntabilitas. Masalah yang kedua, adalah material yang tersedia kurang menunjang efisiensi dan tidak mendorong motivasi para birokrat sebagai akibat kurang tersedianya fasilitas diklat dan peningkatan profesionalisme.

Technological obsolescence and inadequate surveillance system
Tidak tersedianya teknologi yang dapat mendukung kelancaran kerja merupakan faktor penghambat yang cukup serius bagi terselenggaranya akuntabilitas. Teknologi yang telah usang, terutama teknologi informasi sehingga sulit untuk mendapatnya informasi yang akurat, tepat, handal, dan dapat dipercaya, akan sangat merugikan pelaksanaan akuntabilitas.

Colonial heritage
Suatu negara yang pernah dijajah selama minimal 40 atau 50 tahun sangat sulit untuk melakukan perubahan praktek-praktek pemerintahan yang autokratik sebagaimana telah dipraktekkan oleh penjajahnya dahulu. Kondisi pentabuan mengemukakan pendapat pada masa penjajahan biasanya akan terus biasanya akan terus dipraktekan oleh negara tersebut terutama oleh penguasanya. Masyarakat tidak diperkenankan untuk melakukan control dan mengetahui sejauh mana pelaksanaan kegiatan pemerintahan. Hal ini telah membawa dampak buruk terhadap penyelengara akuntabilitas.

Defecs in the laws concerning accountability
Kelemahan hukum yang paling mendasar adalah pernyataan di mana seseorang dianggap tidak bersalah sebelum dapat dibuktikan bahwa dia memang bersalah. Sedangkan untuk membuktikan apakah seseorang itu bersalah atau tidak sangat sulit dan memerlukan tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Inilah yang sering terjadi di pengadilan di mana yang bersalah menjadi bebas karena keahliannya menyembunyikan. Hal ini telah mendorong tidak diselenggarakannya akuntabilitas. Pembuktian terbalik mungkin dapat mengatasi kelemahan ini.

Crisis Environtment
Instabilitas politik telah menciptakan rasa tidak aman dan ketidakpastian. Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat merasa ketakutan dan tidak menghiraukan akuntabilitas. Para birokrat mungkin akan segera minta pengunduran diri sebagai wujud rasa kekhawatiran yang tinggi atas situasi dan kondisi yang berkembang.

Demikianlah, hal-hal yang dianggap memberi peluang terjadinya mal practice dalam administrasi negara. Apakah dengan semua kondisi itu, tidak ada jalan ke luar untuk menjadikan administrasi negara berkembang kea rah yang lebih baik, walaupun tahap demi tahap? Plumptre T (1981) dalam artikelnya Perspective Accountability in The Public Sector memberikan tuntunan untuk mencapai keberhasilan akuntabilitas yaitu:

1. Exemplary Leadership
Pemimpin yang sensitif, responsif, dan accountable akan transparan kepada bawahannya maupun masyarakat, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut dia akan memerlukan akuntabilitas yang dipraktekan mulai dari tingkat yang paling bawah. Suasana yang kondusif ini sangat menguntungkan bagi terselenggaranya akuntabilitas di instansi pemerintah tersebut.

2. Public Debate
Sebelum kebijakan yang besar disyahkan seharusnya diadakan public debate terlebih dahulu untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Dengan demikian akan jelas apa yang akan dicapai dan bagaimana indicator kinerja yang harus dicapai organisasi di depan public. Masyarakat akan memberikan banyak masukan bagi keberhasilan program-program tersebut mengingat setiap kebijakan pemerintah pada umumnya mempunyai dampak sosial. Semakin besar kebijakan pemerintah akan semakin besar pula dampak sosial yang akan diakibatkannya.

3. Coordination
Koordinasi yang baik antara semua instansi pemerintah akan sangat baik bagi tumbuh kembangnya akuntabilitas. Koordinasi memang mudah untuk diungkapkan akan tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan mengingat hal tersebut seringkali mengganggu/merugikan kepentingan suatu instansi pemerintah. Dengan kata lain, koordinasi sangat sulit dilaksanakan karena adanya conflict of interes di antara pihak-pihak yang berkoordinasi.

4. Autonomy
Instansi pemerintah dapat melaksanakan kebijakan menurut caranya sendiri yang paling menguntungkan, paling efisien, dan paling efektif bagi pencapaian tujuan organisasi. Otonomi yang dimaksudkan adalah pada teknis pelaksanaan kebijakan, namun diusahakan agar masih tetap terpadu dengan kebijakan nasional. Otonomi jangam sampai mengurangi koordinasi dan keberhasilan tujuan nasional.

5. Explicitness and clarity
Standar evaluasi kinerja harus diungkapkan secara nyata dan jelas sehingga dapat diketahui secara jelas apa yang harus diakuntabilitaskan. Dengan jelasnya ukuran/indicator kinerja suatu instansi pemerintah/program pemerintah maka akan sulit untuk menilai tingkat keberhasilan suatu instansi pemerintah. Kurangnya transparansi akan mengurangi eksistensi akuntabilitas.

6. Legitimacy and acceptance
Tujuan dan makna dari akuntabilitas harus dikomunikasikan secara terbuka kepada semua pihak sehingga standar dan aturannya dapat diterima oleh semua pihak. Standar pada umumnya merupakan kesepakatan di antara masyarakat untuk menjadi patokan bagi pengukuran tingkat keberhasilan ataupun kegagalan setiap instansi pemerintah.

7. Negotiation
Harus dilakukan negosiasi nasional mengenai perbedaan-perbedaan tujuan dan sasaran, tanggung jawab dan kewenangan setiap instansi pemerintah. Penentuan siapa yang bertanggung jawab atas suatu kegiatan dan siapa yang terkait dengan kegiatan dan siapa yang terkait dengan kegiatan tersebut perlu dinegosiasikan.

8. Educational campaign and publicity
Perlu dibuatkan pilot project pelaksanaan akuntabilitas yang kemudian dikomunikasikan kepada seluruh masyarakat sehingga akan dapat diperoleh ekspektasi mereka dan bagaimana tanggapan mereka mengenai hal tersebut. Penerimaannya masyarakat akan suatu hal yang baru akan banyak dipengaruhi oleh pemahaman masyarakat pada hal baru tersebut. Tanpa pengetahuan yang komprehensif akan membawa pada penerimaan yang bias.

9. Feedback and evaluation
Agar akuntabilitas dapat terus menerus ditingkatkan dan disempurnakan maka perlu diperoleh informasi untuk mendapatkan umpan balik dari para pembaca.penerima akuntabilitas serta dilakukan evaluasi perbaikannya.

10. Adaptation and recycling
Perubahan yang terjadi di masyarakat akan mengakibatkan perubahan dalam akuntabilitas. Sistem akuntabilitas harus secara terus menerus tanggap terhadap setiap perubahan yang terjadi di masyarakat.

Partisipasi Publik dalam Memantau Kinerja Instansi Pemerintah
Untuk memantau kinerja instansi pemerintah, selain menggunakan mekanisme yang telah disebutkan di atas, ada cara lain yang cukup efektif yaitu dengan memberdayakan partisipasi publik. Pada pembahasan berikut ini akan dibahas tentang pembentukan lembaga-lembaga akuntabilitas yang dapat mendukung terciptanya good governance.

Diamond (1998) menyebutkan bahwa untuk menghadapi kasus korupsi yang endemis diperlukan adanya tiga macam lembaga akuntabilitas yaitu, akuntabilitas horizontal, akuntabilitas vertical, dan akuntabilitas eksternal.

Lembaga akuntabilitas horizontal meliputi hokum dan peraturan perundang-undangan, badan anti korupsi, ombudsman, audit public, dan system peradilan. Hukum dan peraturan perundang-undangan harus secara tegas melarang segala bentuk KKN dan penyalahgunaan dana-dana Negara dengan ancaman hukuman yang berat. Peraturan perundang-undangan juga harus mampu mengendalikan pejabat pemerintah dan menggiring agar mereka mau mengumumkan seluruh kekayaannya sebelum menjabat sampai selesai masa jabatannya. Badan anti korupsi melakukan pemantauan secara terus menerus atas perilaku para pejabat termasuk mengamati dan meneliti kekayaan mereka, sedangkan kantor ombudsman bertugas menerima dan meneliti keluhan masyarakat tentang penyalahgunaan kekuasaan pejabat. Audit public harus dilakukan baik atas rekening pribadi maupun terhadap laporan keuangan instansi pejabat yang bersangkutan. Sedangkan lembaga peradilan harus dapat bekerja secara independent untuk memeriksa dan memutus kasus-kasus KKN yang muncul.

Lembaga akuntabilitas vertical menurut Diamond meliputi akuntabilitas pemilu dan media massa yang bebas dan independent. Dikatakan bahwa pemilu yang jujur dan adil dapat menjadi alat vital untuk mengantisipasi dan mengendalikan KKN sedangkan pemilu yang curang dan diwarnai politik uang akan mempermudah bagi terjadinya berbagai KKN. Begitu juga media massa harus dapat bekerja independent dan bebas agar masyarakat dapat mengerti secara jelas tentang apa yang terjadi di instansi-instansi pemerintahan. Dalam koneks lembaga akuntabilitas vertical ini diperlukan juga tumbuhnya LSM-LSM karena LSM merupakan pendorong bagi tumbuhnya masyarakat madani dan pengawas bagi akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.

Adapun lembaga akuntabilitas eksternal menurut Diamond biasanya dibutuhkan di negara-negara sedang berkembang yang bentuknya bisa berupa pengamatan secara cermat dan dukungan oleh lembaga-lembaga internasional. Dalam kaitan ini disarankan oleh Diamond agar dunia usaha dan donor-donor dari luar dapat memiliki lembaga internasional yang dapat menerima laporan permintaan suap atau tindakan lain yang berbau KKN dari pejabat-pejabat pemerintah suatu Negara.

Dari berbagai bentuk lembaga akuntabilitas yang dipetakan oleh Diamond, maka untuk mengundang partisipasi public dalam menegakan akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan guna menciptakan good governance maka perlu diadakan:

1. Pers yang bebas dan independent
Pemerintah bersama masyarakat harus bersama-sama menciptakan iklim yang kondusif bagi kehidupan pers yang bebas dan independent sebab dari dunia pers yang seperti itulah masyarakat dapat berpartisipasi untuk menegakkan akuntabilitas kinerja lembaga pemerintahan. Pemerintah harus membuka akses yang luas bagi pers untuk memperoleh informasi dari instansinya tentang pelaksanaan tugas-tugasnya, pers harus menginformasikannya kepada masyarakat secara jujur, dan masyarakat pun harus dapat menyampaikan pandangan-pandangan dan kritiknya melalui pers yang bebas dan independent tersebut.

Pada era Orde Baru pemasungan atas kebebasan pers dilakukan oleh pemerintah secara sistematis sehingga masyarakat sulit berpartisipasi secara maksimal melalui lembaga ini. Namun setelah rezim Orde Baru jatuh dan pemerintah tidak lagi melakukan pengekangan terhadap pers mulai tumbuh pula gejala anarki di mana tekanan atas kebebasan pers kemudian datang dari masyarakat yang cenderung anarkis. Jika dulu tekanan atas kebebasan per situ datang dari pemerintah maka setelah era reformasi lembaga pers dan para wartawan mendapat tekanan dari kelompok-kelompok masyarakat yang ingin menyelesaikan sendiri terhadap pemberitaan yang tidak disenangi, contoh kasus Tempo (Ada Tommy di Tenabang), pengeroyokan terhadap kantor indopos oleh kelompok Hercules. Keadaan yang demikian bukan saja tidak kondusif bagi hadirnya partisipasi masyarakat untuk menegakkan akuntabilitas tetapi juga mengancam proses demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Oleh sebab itu pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat, terutama yang mempunyai ormas atau parpol, harus segera mengatasi gejala yang mulai meresahkan.

2. Pembentukan Jaringan Ombudsman
Badan Ombudsman Nasional yang kini telah dibentuk oleh pemerintah perlu diperluas dalam bentuk jaringan sampai ke daerah-daerah di mana terdapat instansi pemerintah. Lembaga Ombudsman (Komisi Ombudsman Nasional) yang sekarang ada pada tingkat nasional dirasa belum cukup untuk melibatkan partisipasi public menjaga tegaknya akuntabilitas kinerja instansi pemerintah yang jaringannya sudah sangat luas. Idealnya jaringan lembaga Ombudsman itu seimbang dengan jaringan instansi pemerintah yang ada di seluruh wilayah negara Indonesia.

Masyarakat dapat menggunakan lembaga ombudsman ini menyampaikan laporan dan pengaduan-pengaduan jika ada pelanggaran atau penyalahgunaan kekuasaan oleh instansi pemerintah, bahkan meskipun baru berupa sinyalemen. Lembaga ombudsman ini kemudian harus meneliti dan mendalami setiap laporan dan pengaduan yang masuk untuk kemudian melakukan langkah berupa pelaporan kepada aparat yang berwajib maupun aparat yang berwenang. Hal-hal yang bisa ditolerir dan dipandang sekedar kesalahan prosedur administrative yang ringan dapat disampaikan oleh lembaga ombudsman kepada pimpinan instansi yang bersangkutan agar dilakukan pelurusan, sedangkan pelanggaran atau penyalahgunaan kekuasaan yang berat bertedensi melanggar hukum terus dilaporkan oleh lembaga ombudsman kepada pihak yang berwajib untuk diproses secara hukum. Di sinilah letak arti penting bagi gagasan pembentukan jaringan lembaga ombudsman sampai ke daerah-daerah.

3. Penguatan DPR/DPRD yang responsive dan proaktif
Partisipasi masyarakat juga dapat diundang melalui adanya DPR/DPRD yang responsive dan proaktif dengan anggota-anggota yang dipilih secara bebas dan langsung oleh rakyat. DPR/DPRD yang terbuka, aspiratif, dan proaktif akan dapat dengan mudah berkomunikasi dengan dan menyerap aspirasi masyarakat. DPR/DPRD harus membuka pintu lebar-lebar bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan pengaduan atas apa yang dilakukan oleh berbagai instansi pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Bahkan DPR/DPRD perlu secara proaktif melakukan dengar pendapat tentang masalah-masalah yang muncul berkaitan dengan tugas-tugas instansi pemerintah tanpa harus menunggu permintaan masyarakat.

4. Penguatan LSM-LSM
Partisipasi dalam penegakkan akuntabilitas kinerja pemerintahan dapat juga digalakkan atau dikuatkan melalui LSM-LSM yang bekerja untuk mendorong dilakukannya akuntabilitas oleh instansi pemerintahan. LSM-LSM tersebut dapat menggalang kekuatan masyarakat untuk memaksa instansi pemerintah bersikap transparan dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dalam menggalang kekuatan masyarakat untuk berpartisipasi itu LSM dapat melakukan kerjasama secara sinergis dengan pers, DPR, ombudsman, lembaga-lembaga internasional maupun di antara LSM-LSM itu sendiri. Akan menjadi lebih baik manakala berbagai LSM yang tergabung dalam berbagai asosiasi melakukan kerjasama untuk memberikan desakan kuat terhadap instansi pemerintah agar melaksanakan tugasnya dengan akuntabilitas yang benar-benar baik.