Dasar-Dasar Teori Portofolio Dan Analisis Sekuritas

Dasar-Dasar Teori Portofolio Dan Analisis Sekuritas 
Investasi merupakan bentuk penundaan konsumsi sekarang untuk konsumsi mendatang. Secara umum investasi dikenal sebagai kegiatan untuk menanamkan harta ataupun modal baik pada aktiva riil maupun aktiva finansial pada suatu unit usaha atau pendanaan dengan maksud memperoleh keuntungan pada masa yang akan datang. 

Salah satu bentuk investasi yang mulai diminati individu sebagai pemodal adalah investasi saham melalui bursa. Biasanya investor lebih suka membeli saham perusahaan yang go publik, sebab saham perusahaan go publik sebagai komoditi investasi tergolong menjanjikan return yang tinggi tapi juga memiliki risiko tinggi karena sifat komoditinya yang sangat peka terhadap perubahan di bidang politik, ekonomi, moneter, kebijakan pemerintah, baik perubahan itu di luar negeri maupun di dalam negeri. 

Semakin banyaknya perusahaan yang menjadi emiten di pasar modal akan menimbulkan berbagai kombinasi saham yang bisa di pilih oleh investor dalam berinvestasi di pasar modal portofolio. Berdasarkan kenyataan bahwa pada umumnya investor tidak menginvestasikan seluruh dananya pada satu jenis saham tapi mereka melakukan diversifikasi saham yang bertujuan untuk mengurangi risiko yang ditanggung akibat dana yang diinvestasikan. 

Untuk mendapatkan keuntungan yang semaksimal mungkin maka analisis portofolio merupakan salah satu alat yang tepat untuk memperkecil resiko yang diterima dengan tujuan memaksimalkan profit dengan tingkat risiko yang sama diantara saham yang ada. Hasil dari analisis ini akan menentukan ketepatan dalam pengambilan keputusan investasi yang akan diambil oleh investor.

Return merupakan tujuan para investor dalam berinvestasi. Untuk memaksimalkan return yang diharapkan dengan tingkat risiko tertentu, biasanya para investor menyiasati dengan portofolio saham dan salah satu cara untuk mengurangi risiko investasi saham bisa dilakukan dengan melakukan diversifikasi kepemilikan saham, yaitu dengan mengkombinasikan berbagai saham dalam investasinya atau dengan membentuk portofolio. Karena pada dasarnya investor sangat menyukai investasi yang menghasilkan pengembalian yang tinggi, akan tetapi tidak begitu menyukai adanya risiko.

Adanya ketidak pastian di masa yang akan datang dapat mennyebabkan risiko dalam berinvestasi khususnya pada asset finansial yang selalu dipasarkan di bursa, hal tersebut diakibatkan aset finansial sangat peka terhadap perubahan baik perubahan dari dalam perusahaan yang mengeluarkan aset tersebut ataupun perubahan yang diakibatkan oleh keadaan pasar. Sehingga akan menimbulkan dua jenis risiko yaitu risiko sistemati dan risiko tidak sistematis, risiko sistematis biasanya dipengaruhi oleh keadaan pasar atau risiko ini akan dihadapi oleh semua asset yang listing di bursa sedangkan risiko tidak sistematis biasanya diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan perusahaan dan hanya menimpa pada perusahaan yang besanggkutan.

Dalam berinvestasi ada dua faktor yang paling dipertimbangkan oleh investor, yaitu tingkat pengembalian (return) dan risiko (risk). Dua faktor ini merupakan hal yang berlawanan, dalam arti invertor menyukai return yang tinggi dan tidak begitu menyukai risiko yang tinggi. Pada kenyataan terdapat hubungan yang alami antara besarnya pengembalian dan besarnya risiko, karena semakin besar pengembalian yang diharapkan maka akan semakin besar pula risiko yang akan dihadapi atau Tingkat pengembalian yang tinggi akan selalu diikuti dengan tingkat risiko yang tinggi pula.

Saham-saham yang masuk dalam kategori indeks LQ-45 merupakan kumpulan saham pilihan yang memenuhi kriteria-kriteria tertentu, yang termasuk ke dalam kriteria saham Indeks LQ-45 yaitu saham yang memenuhi kriteria ranking tinggi pada total transaksi, nilai transaksi, dan frekuensi transaksi. Kelompok saham yang termasuk dalam indek LQ-45 tidak bersifat tetap, setiap enam bulan sekali ada penetapan kembali saham yang memenuhi kriteria serta mengeliminasi saham yang tidak lagi memenuhi kriteria yang sudah ditetapkan. Posisi saham yang tereliminasi akan diisi oleh saham pada ranking berikutnya, dan setiap tiga bulan sekali ada evaluasi.

Agar investor mendapatkan pengembalian yang sesuai dengan harapan dengan risiko yang minimal. Investor harus dapat menentukan jenis saham yang mempunyai karakteristik searah dengan perubahan IHSG misalnya indeks saham LQ-45. Karakteristik saham yang termasuk dalam kategori indek LQ-45, adalah saham-saham yang cenderung stabil karena saham-saham tersebut termasuk saham-saham yang mudah diperjual-belikan baik dalam kondisi pasar lemah maupun kuat, dengan mudahnya saham-saham LQ-45 diperjual-belikan maka akan dapat menunjukkan suatu portofolio yang optimal.

Teori portofolio mempelajari dan menentukan kombinasi saham yang paling efisien terhadap sekumpulan saham untuk mengoptimalkan keuntungan yang diharapkan berkaitan dengan pencapaian tujuan investasi. Portofolio saham selain untuk menghindari risiko juga untuk memaksimalkan return. Hakikat dari pembentukan portofolio yang efisien dan optimal adalah untuk mengurangi risiko dengan cara diversifikasi saham, yaitu menempatkan sejumlah dana pada berbagai alternatif investasi yang berkorelasi negatif agar dana dapat menghasilkan pengembalian yamg optimal.

Untuk membentuk portofolio optimal dapat menggunakan beberapa model yaitu; model markowitzs, berdasarkan preferensi investor, adanya simpanan dan pinjaman bebas risiko, model indek ganda, dan model indek tunggal. Model markowitz berasumsikan mahwa waktu yang digunakan hanya satu priode, tidak ada biaya transaksi, preferensi infestor hanya didasarkan pada retun ekspektasi dan risiko. Berdasarkan preferensi infestor berasumsikan haya pada return ekspektasi dan risiko dari risiko secara implisit mempunyai fungsi utility yang sama. Berdasakan adanya pinjaman dan simpanan bebas risiko berasumsikan return yang sudah pasti karena varian returnnya sama dengan nol. Berdasarkan model indek tunggal model ini merupakan penyederhanaan model markowis. Model indek ganda mengasumsikan ada faktor selain IHSG yang dapat mempengaruhi terjadinya korelasi antar efek.

Model indeks tunggal (Single Index Model). Model indeks tunggal didasarkan pada pengamatan bahwa harga dari suatu sekuritas berfluktuasi searah dengan indeks pasar. Secara khusus dapat diamati bahwa kebanyakan saham cenderung mengalami kenaikan harga jika indeks harga saham naik, dan juga sebaliknya, yaitu jika indeks harga saham turun, kebanyakan saham mengalami penurunan harga. Hal ini menyarankan bahwa return-return dari sekuritas mungkin berkolerasi karena adanya reaksi umum (common response) terhadap perubahan-perubahan nilai pasar.

Asumsi model indeks tunggal mempunyai implikasi bahwa sekuritas-sekuritas bergerak bersama-sama bukan karena efek di luar pasar, melainkan karena mempunyai hubungan yang umum terhadap indeks pasar yang searah dengan perubahan IHSG. Model indeks tunggal ini dapat diterima dan mewakili kenyataan sesungguhnya bergantung dari seberapa besar asumsi-asumsi ini realistis.

Untuk mempermudah dan memperjelas ruang lingkup pembahasan maka penelitian ini akan dikhususkan pada saham-saham yang termasuk dalam kategori indeks LQ – 45, sebab saham-saham ini cenderung stabil dan aktif serta memiliki likuiditas yang tinggi, sehingga lebih mudah diperjual belikan baik dalam kondisi pasar lemah maupun kuat.

Terdapat banyak faktor yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam berinvestasi pada saham, terutama dalam pengambilan sebuah keputusan memilih saham yang baik. Keakuratan analisis terhadap penilaian resiko investasi sangat dipertaruhkan. Atas dasar permasalahan tersebut maka dalam penelitian ini diberikan judul : “Pembentukan Portofolio Optimal Pada saham Yang Tercatat Dalam Indeks LQ – 45”.

Strategi Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia

Strategi Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia 
Dalam era yang disebut sebagai pasca reformasi ini, beberapa tuntutan yang dikemukakan masyarakat akan tetap ada, terutama yang berkait dengan sektor-sektor yang belum tercapai pada masa reformasi. Sektor-sektor tersebut diantaranya adalah yang berkaitan dengan penegakan hukum, hak asasi manusia, dan pemberantasan korupsi, kolusi dan Nepotisme. Disamping itu juga akan selalu muncul tuntutan terhadap pemenuhan keadilan di bidang ekonomi. 

Politik hukum di Indonesia yang telah mengarahkan pembangunan hukum pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, tampaknya sudah sangat mendesak untuk direalisir dengan program yang nyata oleh Pemerintah. Namun yang patut mendapat perhatian, jangan sampai terjebak lagi dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi an sich, tanpa memerhatikan pemerataan ekonomi bagi masyarakat miskin, sebagaimana yang dilakukan pada era Orde Baru.

Cina sebagai macan asia yang menjadi salah satu Negara yang terkuat perkenomian di dunia telah melakukan reformasi hukum secara total, menciptakan hukum yang berbasis pada perekonomian sehingga hukum bisa memperlancar perekonomian dan menjawab semua masalah ekonomi yang ada. 

Since the beginning of the 1980s, rapid development of China’s system of vesting legislative power is inevitable. An important legal mechanism for a modern country to strengthen administration, this system of vesting legislative power also promotes development of the state, a reflection of the positive consequences of the re-establishment of China’s legal system and the restructuring of its economy.

Pemerintah Orde Baru menyelenggarakan pembangunan dengan mengultuskan pertumbuhan eknomi melalui pendekatan ekonomi gaya trickle dwon effect. Secara teoritis jika orang kaya meninvestasikan uangnya di sektor riil, infrastruktur dan pasar modal, maka akan ada kegiatan ekonomi yang bergulir dan menghidupi beragam bisnis yang lebih kecil, dan membuat persaingan dalam dunia bisnis berjalan dinamis, yang pada akhirnya harga akan terdesak turun sebagai konsekuensi persaingan yang sehat tersebut. Dengan penggunaan strategi tersebut, diharapkan konglomerat-konglomerat yang telah ‘dibesarkan’ oleh penguasa akan ‘meneteskan’ rezekinya pada masyarakat miskin, sehingga terjadi pemerataan ekonomi.

Pada saat itu, program pembangunan Indonesia banyak mendapat pujian dari dunia internasional, diantaranya meraih swasembada beras, dan keberhasilannya memacu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sehingga menjadi salah satu Negara Asia yang mendapat julukan ‘keajaiban Asia’. Disamping itu, lembaga keuangan dunia semacam World Bank dan IMF juga memuji keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia. 

Namun demikian, ternyata pertumbuhan ekonomi tinggi diperlihatkan oleh Pemerintah Soeharto tersebut merupakan window dressing yang digunakan untuk mengelabui mata dunia dan masyarakat Indonesia. Fundamental ekonomi yang digunakan untuk menopang pertumbuhan tinggi tersebut sebenarnya sangat ‘keropos’, hal ini disebabkan konglomerat dan dunia perbankan yang pada saat itu menjadi tulang punggung dan senantiasa mendapatkan keistimewaan dari pemerintah ternyata bukan entrepreneur dan banker dalam arti yang sebenarnya, tetapi mereka hanya rent seeking (pemburu rente) dan para penjarah kekayaan Negara, serta rakyat Indonesia. Akibatnya ‘tetesan’ rezeki ke masyarakat miskin yang kemudian akan berbuah kemakmuran dikonsepkan para arsitektur ekonomi ternyata tidak pernah terjadi.

Puncak dari semua permsalahan ini adalah ketika terjadinya krisis moneter tahun 1997, hal ini menunjukkan betapa rapuhnya perekonomian bangsa yang dibangun selama ini sehingga menuntut untuk dilakukannya reformasi, krisis ekonomi ini juga membawa imbas kepada krisis lainnya seperti krisis sosial, krisis politik dan krisis kepemimpinan di Inonesia, sebagaimana yang digambarkan oleh Harold Crouch:

Economic disruption brought great suffering to much of the population and contributed to regular outbreaks of social conflict, including several ethnic and religious clashes, in various part of the country. Long-standing separatist demands in aceh and irian Jaya gained increasing popular support and East Timor won its independence following a UN supervised referendum.

Konsekuensi demikian seharusnya sudah dapat diketahui dan diantisipasi ketika optik sejarah diarahkan pada kali pertama munculnya terminologi trickle dwon effect. Di Amerika, pada saat kepemimpinan Ronald Reagan, kebijakan ekonomi trickle dwon effect ini dikenal dengan Reaganomic atau supply side economics. Inti dari kebijakan ini adalah pengurangan pajak bagi orang-orang kaya, agar uangnya dapat diinvestasikan pada bisnis-bisnis yang mempunyai dampak luas.

Hal ini tidak jauh berbeda diikuti oleh Bill Clinton, dan selanjutnya Georgr W. Bush yang juga mengurangi pajak orang kaya pada awal 2001, yang mencakup pengurangan pajak untuk capital gain, pajak penghasilan dan pajak perusahaan. Pendekatan ekonomi semacam ini sebenarnya telah lama diterapkan di Amerika, yaitu sejak medio 1890-an dengan nama ‘horse an sparrow theory’. Teori ini menjelaskan bahwa ketika kita memberi makan kuda berupa gandum yang cukup, maka akan terdapat ceceran gandum yang dapat dinikmati oleh sekelompok burung gereja. Lalu mengapa hanya ‘ceceran gandum’ yang harus dibagikan, sementara jumlah burung gereja jauh lebih besar populasinya dibandingkan kuda. Inilah titik lemah konsep trickle dwon effect disektor pemerataan yang banyak menuai kritik dan mengalami pergeseran dalam kaitannya untuk mewujudkan Negara kesejahteraan. Namun kelemahan ini agaknya berhasil dimaksimalkan oleh entrepreneur gadungan dan bankir pemburu rente yang luput dari arahan konseptor ekonomi orde baru. Beragam keistimewaan dan kemudahan yang diberikan pemerintsh tidak berwujud dalam kesejahteraan rakyat sebagai konsekuensi dari efek tetesan yang dimaksud.

Pada saat itu hukum yang seharusnya digunakan untuk memandu sekaligus sebagai landasan bagi pelaku-pelaku ekonomi dalam menjalankan aktivitasnya tidak pernah mendapatkan perhatian atau bahkan dilecehkan keberadaannya. Hukum yang digunakan untuk mengatur aktivitas ekonomi adalah ‘hukum konglomerat’, maksudnya hanya konglomerat yang dekat dengan keluarga cendana yang mendapat berbagai fasilitas istimewa dan mengontrol aktivitas ekonomi di Indonesia.

Di era reformasi seperti sekrang ini, yaitu ketika masyarakat mempunyai komitmen untuk melakukan reformasi di bidang politik, ekonomi dan bidang hukum, kesalahan yang dilakukan pada masa lalu, ketika hokum senantiasa ditelantarkan, sebaiknya tidak terulang kembali. Untuk itu, tepat kiranya pada saat kondisi ekonomi Indonesia masih belum pulih seperti sekarang ini kita mulai memberikan skala prioritas utama pada pembangunan hokum ekonomi di Indonesia, agar bisa digunakan sebagai pondasi dan pemandu para pelaku-pelaku ekonomi untuk menjalankan aktivitasnya. Itulah sebabnya, pemerintah Indonesia tidak hanya harus memusatkan perhatian kepada pemulihan ekonomi, melainkan juga harus meletakkan dasar bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, lebih efisien dan lebih merata.

Untuk mencapai pembangunan hukum ekonomi yang berkualitas ‘reformasi’ untuk mendukung Visi Indonesia 2030 sekaligus juga konsisten dengan tujuan pembangunan hukum sebagaimana tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, pembangunan hukum dilakukan secara berkelanjutan, dengan tetap mengacu pada fundamental hukum.

Pembangunan hukum yang bersifat revolusioner, yaitu mengubah secara sadar dan mendasar system hukum ekonomi yang selama ini berkualitas ‘liberal’ dan dibawah kendali Negara-negara maju menjadi system hukum ekonomi yang berkualitas ‘kekeluargaan (ukhuwah) atau kerakyatan, sebagaimana tertuang dalam nilai-nilai Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945. System hukum ekonomi yang berkualitas ‘kekeluargaan’ atau ‘kerakyatan’, ini sebenarnya juga merupakan system hukum yang tidak sekedar mengandalkan pada rule of law tapi lebih menaruh perhatian pada rule of moral atau rule of justice. Sistem hukum tersebut kemudian diintegrasikan secara timbal balik dengan system ekonomi Pancasila.

Maka diperlukan sebuah penafsiran hukum yang mengarah pada penegakan hukum yang lebih menjunjung nilai moral dan nilai keadilan, tidak terpaku pada penegakan hukum yang kaku hanya pada undang-undang saja, tanpa memandang berani menafsirkan hukum demi terwujudnya keadilan. Indonesia sebagai Negara yang menganut positivism hukum, harus berani keluar dengan memberikan penafsiran-penafsiran yang luas demi terwujudnya keadilan. Menurut Richard A. Posner mengatakan bahwa A number of scholar believe that interpretation is the path to saving the law’s objectivity. 

Pembangunan hukum yang bersifat ‘revolusioner’ pernah juga dilakukan oleh Jepang pada tahun 1868, pada saat itu Kaisar Meiji mengeluarkan dokumen penting yang memuat kebijaksanaan dasar untuk mengubah Jepang Feodal menjadi Negara modern, seperti penghapusan wilayah-wilayah feodal ke dalam provinsi, sistem militer wajib, sistem pajak terpusat, serta penghapusan hak-hak feodal dan kelas prajurit. Dengan pendekatan ‘revolusioner’ diharapkan pencapaian Visi Indonesia 2030 dilandasi dan dituntun oleh suatu sistem hukum ekonomi yang bersumber dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta norma-norma yang hidup ditengah masyarakat (hukum adat dan hukum Islam).

Strategi pembangunan hukum ekonomi Indonesia perlu juga memerhatikan konsep pembangunan hukum ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic law development), yang melakukan pembangunan tidak lagi hanya sekedar melakukan ‘bongkar pasang’ pasal-pasal dalam suatu undang-undang atau pembuatan Undang-Undang baru saja, tetapi memerhatikan aspek yang lain.

Aspek-aspek yang dimaksud disini mencakup berbagai dimensi yang luas, yang secara mendasar dapat disarikan menjadi tiga anasir sebagai berikut: (1) structur, (2) substance, dan (3) legal culture. Ketiga aspek ini diambil dari pendapat Lawrence M. Freidman, yang mana pendapat ini sering dirujuk dalam berbagai penelitian dan kajian sistem hukum di Indonesia. Dengan demikian, hukum dapat berkembang sesuai dengan pola perkembangan ekonomi dan hukum dapat menjawab semua permasalahan ekonomi yang ada.

ARTIKEL YANG TERKAIT KLIK DI BAWAH INI

Reformasi Substansi Hukum Ekonomi

Pengertian Kemiskinan Menurut Para Ahli

Pengertian Kemiskinan Menurut Para Ahli
Hall dan Midgley (2004:14), menyatakan kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kondisi deprivasi materi dan sosial yang menyebabkan individu hidup di bawah standar kehidupan yang layak, atau kondisi di mana individu mengalami deprivasi relatif dibandingkan dengan individu yang lainnya dalam masyarakat

Menurut Friedmann, (1979: 101). kemiskinan didefenisikan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi (tidak terbatas pada) modal yang produktif atau assets (misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan, dan lainnya) sumber-sumber keuangan, organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan social untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang; pengetahuan, keterampilan yang memadai dan informasi yang berguna.

Syaifuddin (2007:32), membagi cara berpikir yang memandang kemiskinan sebagai gejala absolut; dan, sebagai gejala relatif. Cara berfikir (model) mengenai kemiskinan sebagai gejala absolut memandang kemiskinan sebagai kondisi serba berkekurangan materi, hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki sarana untuk mendukung kehidupan sendiri. Cara pandang relativistik ini terdiri atas dua cara pandang, yakni cara pandang (model) kebudayaan, dan cara pandang (model) Structural.

Secara umum definisi-definisi tentang kemiskinan di atas menggambarkan kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau suatu keluarga berada dalam keadaan kekurangan dan atau ketidaklayakan hidup menurut standar-standar tertentu, ketidakmampuan atau keterbatasan fisik manusia, ketiadaan atau kekurangan akses dalam memperoleh pelayanan minimal dalam berbagai bidang kehidupan, serta sulit atau kurang memperoleh akses dalam proses-proses pengambilan kebijakan.

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kemiskinan
Mankiw (1995:158). Dengan adanya pertumbuhan ekonomi berarti terdapat peningkatan produksi sehingga menambah lapangan pekerjaan yang pada akhirnya akan mengurangi kemiskinan. 

Sukirno (1999:25) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya (sufficient condition) ialah bahwa pertumbuhan tersebut efektif dalam mengurangi kemisknan. Artinya, pertumbuhan tersebut hendaknya menyebar disetiap golongan pendapatan, termasuk golongan penduduk miskin (growth with equity).

Syaifuddin (2007:35) mengatakan bahwa pertumbuhan pada sektor jasa di pedesaan menurunkan kemiskinan disemua sektor dan lokasi. Namun pertumbuhan jasa di perkotaan memberikan nilai elastisitas kemiskinan yang tinggi dari semua sector kecuali pertanian perkotaan. Selain itu pertumbuhan pertanian dipedesaan memberikan dampak yang besar terhadap penurunan kemiskinan disektor pertanian pedesaan, yang merupakan kontributor terbesar kemiskinan di Indonesia.

Pengertian Pertumbuhan Ekonomi Menurut Para Ahli

Pengertian Pertumbuhan Ekonomi Menurut Para Ahli
Pertumbuhan ekonomi menurut Kunarjo (2003:88) ”adalah situasi yang menggambarkan produk domestik bruto per kapita suatu negara yang mengalami peningkatan”. Para ekonom lainya seperti Nanga (2001:273) mengungkapkan ”secara umum, pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai peningkatan dalam kemampuan dari suatu perekonomian dalam memproduksi barang-barang dan jasa-jasa”.

Pertumbuhan ekonomi lebih menunjukkan pada perubahan-perubahan yang bersifat kuantitatif dan biasanya diukur dengan data produk domestik bruto GDP). Produk domestik bruto adalah total nilai pasar dari barang-barang akhir dan jasa-jasa yang dihasilkan di dalam suatu perekonomian selama kurun waktu tertentu (Nanga 2001:274). 

Pengertian pertumbuhan ekonomi harus dibedakan dengan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi hanyalah merupakan salah satu aspek saja dari pembangunan ekonomi yang lebih menekankan pada peningkatan output agregat khususnya output agregat per kapita. 

Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional.

Perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan apabila jumlah balas jasa riil terhadap penggunaan faktor-faktor produksi pada tahun tertentu lebih besar daripada tahun sebelumnya.

Indikator yang digunakan untuk menghitung tingkat Pertumbuhan Ekonomi
  • Tingkat Pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto)
  • Tingkat Pertumbuhan PNB (Produk Nasional Bruto)
Dalam praktek angka, PNB kurang lazim dipakai, yang lebih populer dipakai adalah PDB, karena angka PDB hanya melihat batas wilayah,terbatas pada negara yang bersangkutan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
faktor utama dari pertumbuhan ekonomi adalah (1) akumulasi modal (2) pertumbuhan penduduk, dan (3) kemajuan-kemajuan di bidang tekhnologi (Todaro, 1995:158). Pertumbuhan ekonomi dihasilkan dari interaksi-interaksi faktor-faktor produksi. Output barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perekonomian bergantung pada kuantitas input yang tersedia seperti kapital dan tenaga kerja, dan produktifitas dari input tersebut. 

Sukirno (2005:448) mengemukakan mengenai faktor-faktor yang akan menimbulkan pertumbuhan ekonomi:

1. Peranan sistem pasaran bebas. 
Sistem mekanisme pasar akan mewujudkan kegiatan ekonomi yang efesien dan pertumbuhan ekonomi yang teguh. Oleh sebab itu pemerintah tidak perlu melakukan kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa. Fungsi pemerintah perlulah dibatasi kepada menyedikan fasilitas-fasilitas yang menggalakkan perkembangan kegiatan pihak swasta, menyediakan infrastruktur, mengembangkan pendidikan dan menyediakan pemerintah yang efesien adalah beberapa langkah yang akan membantu pihak swasta.

2. Perluasan Pasar
Perusahaan-perusahaan melakukan kegiatan produksi dengan tujuan untuk menjualnya kepada masyarakat dan mencari untung. Semakin luas pasaran barang dan jasa, semakin tinggi tingkat produksi dan tingkat kegiatan ekonomi. Pentingnya juga pasaran luar negeri dalam mengembangkan kegiatan di dalam negeri.

3. Spesialisasi dan kemajuan tekhnologi
Perluasan pasar, dan perluasan kegiatan ekonomi yang digalakkannya, akan memungkinkan spesialisasi dalam kegiatan ekonomi. Seterusnya spesialisasi dan perluasan kegiatan ekonomi akan menggalakkan perkembangan tekhnologi dan produktivitas meningkat. Kenaikan produktivitas akan menaikkan pendapatan pekerja dan kenaikan ini akan memperluas pasaran. Keadaan ini akan mengembangkan spesialisasi. Siklus ini akan mengakibatkan perekonomian terus berkembang.

Akuntabilitas Instansi Pemerintah Dalam Bidang Pendidikan Di Era Otonomi Daerah

Akuntabilitas Instansi Pemerintah Dalam Bidang Pendidikan Di Era Otonomi Daerah 
Berakhirnya Era Orde Baru di Indonesia membawa banyak perubahan pada tatanan sosial-politik di negara ini. Perubahan tersebut tidak lepas dari semangat untuk terlepas dari sejarah uniformalisme Orde Baru. Dipahami bersama, bahwa pemerintah Orde Baru atas nama pembangunan mengedepankan tiga stabilitas negara, yaitu stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan. Demi mempertahankan ketiga stabilitas tersebut pemerintah Orde Baru melakukan berbagai upaya yang dampaknya pada penyeragaman berbagai aspek kehidupan bangsa, termasuk pendidikan.

Dalam dunia pendidikan, kita melihat bahwa pemerintah Orde Baru menerapkan sistem sentralisasi (centralized system). Hal ini berimplikasi pada kewenangan mutlak pemerintah pusat dalam pengelolaan berbagai aspek pendidikan, antara lain berupa sistem pendidikan, kurikulum, sumber daya manusia, pengadaan media dan sumber belajar, hingga anggaran pendidikan. Walhasil, pemerintah daerah dan institusi pendidikan tidak memiliki ruang untuk berkreasi dan berinovasi untuk mengembangkan pendidikan di lingkungannya masing-masing.

Sistem sentralisasi dalam dunia pendidikan di Indonesia berakhir seiring dengan berakhirnya Era Orde Baru. Ini menandakan betapa pendidikan tidak bisa terlepas dari dunia politik. Era Reformasi membuka lembaran baru pengelolaan pendidikan di Indonesia. Pada Era ini, kita mengenal sistem pendidikan yang desentralistik (decentralized system). Sistem ini mengurangi kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan, dan memberikan otoritas lebih beasr kepada pemerintah daerah hingga institusi pendidikan untuk menentukan masa depan anak-anak mereka.

Peralihan sistem ini, pada mulanya disambut dengan antusias, karena di samping sebagai bukti nyata keseriusan pemerintah pasca orde baru untuk mengelola negara secara bersama-sama dengan cara berbagi kewenangan, juga dipandang memberikan peluang para pemangku otoritas pendidikan di berbagai jenjang untuk berkreasi dan melakukan inovasi sesuai dengan kondisi lingkungannya. Dinas pendidikan daerah, yang dulu merupakan Kanwil Departemen Pendidikan, memiliki otoritas lebih besar untuk mengatur lembaga-lembaga pendidikan di daerahnya dalam berbagai aspeknya. Demikian juga halnya dengan lembaga-lembaga pendidikan, mereka memiliki otoritas yang lebih besar untuk menentukan apa yang harus diajarkan di sekolah-sekolah mereka.

Namun demikian, belakangan muncul rasa skeptis atas keberhasilan pengelolaan pendidikan dengan pola desentralisasi ini. Berbagai persoalan muncul sebagai dampak diberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pendidikan di wilayahnya. Bahkan Kepala Balitbang Kemendikbud mengemukakan bahwa “pelaksanaan otonomi pendidikan yang telah berlangsung lima tahun lebih kerap mengalami banyak hambatan dan permasalahan, yang berpotensi mengganggu efektivitas, efisiensi, dan profesionalisme pengelolaan pendidikan.” Pernyataan tersebut secara tegas menunjukkan bahwa penyelenggaraan otonomi pendidikan membawa sejumlah masalah serius yang perlu menjadi keprihatinan bersama. Tulisan ini mencoba mengidentifikasi berbagai keuntungan dan persoalan yang dijumpai dengan diberlakukannya otonomi pendidikan. Di bagian akhir akan disampaikan beberapa poin pemikiran yang perlu didskusikan lebih lanjut.

A. Mengapa Otonomi Pendidikan?
Desentralisasi bidang pendidikan, yang lazim juga disebut sebagai otonomi pendidikan, sebenarnya bukanlah kebijakan yang diambil tanpa landasan. Setidaknya ada tiga alasan utama mengapa desentralisasi pendidikan ini dilaksanakan di Indonesia.

Pertama adalah alasan psikologis. Seperti disebutkan di muka, kebijakan sentralisasi pendidikan yang dilakukan olehPemerintah Orde Baru menutup potensi kreativitas, inovasi dan bahkan kearifan lokal yang dimiliki oleh daerah. Di samping itu pemerintah daerah pun hampir tidak memiliki otoritas terhadap lembaga-lembaga pendidikan di wilayah mereka. Kedua hal ini seolah bukan masalah ketika Orde Baru berkuasa, tetapi menjadi persoalan ketika rezim Orde Baru berakhir. Sistem pendidikan yang sentralistik diduga telah menyebabkan mandulnya kreativitas dan inovasi para guru dan pengelola lembaga-lembaga pendidikan, karena semua rencana dan bahan pelajaran dibuat secara seragam oleh pemerintah pusat. Demikian juga, sistem tersebut telah menyebabkan hilangnya berbagai kearifan lokal dan kemampuan otoritas pendidikan dareha untuk memaksimalkan sumber daya setempat, karena mayoritas keputusan penting ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Meski tidak banyak muncul di permukaan ketika orde baru berkuasa, namun hal-hal di atas tetap terpendam dan menjadi keprihatinan banyak praktisi dan pemikir pendidikan. Mereka meyakini, bahwa meskipun sentralisasi pendidikan dalm batas-batas tertentu diperlukan untuk menjada persatuan, namun dalam beberapa hal menjadi kontra produktif, terutama karena penyeragaman. 

Ketika kekuasaan Orde Baru berakhir dan euforia reformasi menggejala di Indonesia, tuntutan untuk menyerahkan sebagian (besar) kebijakan, pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan kepada otoritas daerah dan lembaga pendidikan semakin menguat. Kritik terhadap sentralisasi pun semakin terbuka.

Kedua adalah alasan politis. Ini berkaitan erat dengan alasan psikologis di atas. Salah satu aspek politik adalah kekuasaan, termasuk di dalamnya kekuasaan atau kewenangan dalam pengelolaan pendidikan. Pada masa Orde Baru, otoritas pendidikan di daerah tetap di bawah kewenangan pemerintah pusat. Hal ini diwujudkan dengan adanya kantor-kantor wilayah departemen pendidikan di setiap propinsi dan kantor departemen pendidikan di setiap kabupaten/kota, yang merupakan bagian dari struktur pemerintah. Struktur ini menunjukkan bahwa berbagai kewenangan pendidikan, dari mulai penetapan kurikulum hingga pengangkatan kepala sekolah dan guru merupakan kewenangan pusat. 

Seiring dengan tuntutan untuk pendelegasian kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam hal penyelenggaraan pemerintahan, tuntutan untuk memberikan kewenangan dalam bidang pendidikan pun tidak terelakkan. Pemerintah daerah merasa perlu memiliki kewenangan lebih besar dalam hal kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan.

Ketiga, alasan hukum. Alasan hukum di sini lebih merupakan implikasi dari ketentuan yang telah ditetapkan. Karena alasan psikologis dan politis di atas, dipicu dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru, maka lahirlah Undang-Undang yang mengatur sekaligus memberi kekuasaan yang lebih besar pemerintahan daerah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara resmi mengakhiri sistem pemerintahan sentralistik yang memberikan kekuasaan teramat besar kepada pemimpin negara. Undang-Undang tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, yang kemudian direvisi dengan UU No. 12 tahun 2008 yang juga mengatur Pemerintahan Daerah. 

Beberapa Undang-Undang di atas merupakan landasan diberikannya kewenangan pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah. Kewenangan itu diberikan dengan pertimbangan antara lain bahwa pemerintah daerah lebih mengetahui kebutuhan pendidikan di daerah masing-masing, sehingga diharapkan dapat membuat program dan kebijakan yang secara langsung menyentuh kebutuhan pendidikan di daerah. Harapan lebih lanjutnya kemudia adalah terjadinya akselerasi pembangunan sektor pendidikan sebagai wahana penyiapan sumber daya manusia Indonesia masa depan.

Ketiga alasan di atas menunjukkan bahwa otonomi daerah, termasuk otonomi pengelolaan pendidikan, bukan semata-mata keinginan pihak tertentu, tetapi lebih merupakan kebutuhan sosiologis dan dorongan psikologis yang kuat dari masyarakat. Kelahiran Undang-Undang yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan otonomi daerah lebih merupakanlegalitas yang mengakomodasi berbagai tuntutan di atas. 

Ada dua implikasi utama dari pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan, yaitu penyelenggaraan pendidikan oleh daerah dan pemberlakuan kurikulum berbasis sekolah (KTSP). Dalam hal penyelenggaraan pendidikan oleh daerah, kementerian pendidikan dan kebudayaan tidak lagi memiliki kantor wilayah di provinsi dan kantor departemen di kabupaten/kota. Peran kantor wilayah dan kantor departemen diambil alih oleh dinas pendidikan yang menjadi bagian dari pemerintahan daerah. Implikasi lebih lanjut dari pemberlakuan hal ini adalah penyaluran anggaran pendidikan lewat pemerintah daerah, pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan oleh daerah, dan pengelolaan tenaga pendidik dan tenaga pendidikan oleh daerah.

Dalam hal pemberlakuan kurikulum berbasis sekolah, yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pemerintah pusat memberikan sebagian besar otoritas pengembangan kurikulum kepada masing-masing lembaga pendidikan, dengan mengacu kepada peraturan-peraturan pendidikan yang berlaku. Peraturan-peraturan yang dimaksud antara lain UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam hal penyusunan kurikulum ini pemerintah pusat membuat model kurikulum KTSP dan menentukan standar kompetensi dari berbagai pelajaran yang menjadi bagian penting dari kurikulum tersebut. Selebihnya masing-masing lembaga pendidikan harus mengembangkan sendiri kurikulum mereka dengan mengembangkan materi pelajaran sesuai dengan kompetensi, menambahkan pengalaman belajar yang dianggap menjadi kekhasan daerah dan kebutuhan sekolah, serta menyusun standar kompetensi untuk pelajaran yang tidak menjadi memiliki standar nasional, seperti bahasa daerah. 

B. Implikasi positif
Pemberlakuan otonomi daerah dalam bidang pendidikan memiliki aspek yang sangat luas dan meliputi berbagai faktor seperti pengelolaan anggaran, pemanfaatan sumder daya manusia, dan pengembangan potensi lokal lainnya. Kebijakan ini tidak dapat dipungkiri telah memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk lebih terlibat dalam pengambilan berbagai kebijakan pendidikan. Diharapkan dengan dekatnya pengambil keputusan dengan institusi yang melaksanakan keputusan tersebut, maka kesenjangan antara harapan dan kenyataan menjadi kian sempit. Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan tentang pendidikan diharapkan semakin memperhatikan kebutuhan lembaga-lembaga pendidikan dan para peserta didik, serta semakin aplikatif untuk dilaksanakan.

Ada berbagai dampak positif dari diberlakukannya otonomi daerah dalam hal pendidikan ini. Berbagai dampak positif ini diharapkan dapat memacu pertumbuhan pendidikan nasional, baik dalam hal kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif, pertumbuhan pendidikan dapat dilihat dari meningkatnya akses dan angka partisipasi pendidikan di tiap jenjangnya. Sementara secara kualitatif, peningkatan pendidikan dapat diukur dengan prestasi dan kualitas hasil pendidikan yang dihasilkan. Dengan pemberian otoritas lebih besar kepada pemerintah daerah, ada semacam semangat kompetisi di antara para pemegang otoritas pendidikan antara daerah untuk menunjukkan keberhasilan mereka di bidang pendidikan. Beberapa dampak positif pemberlakuan otonomi daerah bidang pendidikan antara lain adalah kemandirian daerah, pemanfaatan potensi lokal secara maksimal, dan Lebih peka terhadap kebutuhan lokal.

1. Kemandirian
Dengan pemberian otoritas kepada daerah untuk mengelola urusan pendidikan, maka pemerintah daerah dituntut untuk mengelola penyenggaraan pendidikan mereka secara mandiri, dan mengurangi ketergantungan pada pemerintah pusat. Kemandirian ini diwujudkan antara lain dengan anggaran pendidikan yang dikelola oleh pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga diberi keleluasaan untuk memanfaatkan berbagai sumberdaya pendidikan. Sekolah dan guru yang semula menjadi bagian dari pengelolaan Departemen Pendidikan Nasional diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah. Hal ini memberikan kesempatan sekaligus juga tantangan kepada pemerintah daerah untuk benar-benar mampu mengelola penyelenggaraan pendidikan.

Tantangan yang besar buat pemerintah daerah, terutama di masa-masa transisi dari sentralisasi ke desentralisasi adalah meningkatkan kapasitas, kreativitas dan sensitivitas dalam hal pengelolaan pendidikan. Kapasitas dimaksud di sini adalah kemampuan mengelola kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar. Otoritas pendidikan daerah tentu perlu dibekali dengan penguasaan terhadap berbagai aspek pengelolaan pendidikan dari keuangan, kurikulum, pengembangan SDM, dan hubungan dengan para pemangku kepentingan pendidikan di daerah. Kreativitas yang perlu dimiliki oleh otoritas pendidikan daerah ialah berkaitan bagaimana pengelolaan pendidikan terus berinovasi untuk membuat proses pendidikan lebih mudah diakses, lebih memberikan motivasi bagi siswa, dan dengan hasil yang lebih berkualitas. Di sini, para pemangku otritas pendidikan daerah diharapkan memiliki visi dan imaginasi penyelenggaran pendidikan yang accessible, menyenangkan dan berkualitas. Sensitivitas diperlukan untuk mampu melihat kebutuhan dan persoalan pendidikan daerah setempat, sehingga mampu memberikan layanan pendidikan yang benar-benar membumi.

Kapasitas, kreativitas dan sensistivitas dalam pengelolaan pendidikan ini penting untuk memastikan bahwa kewenangan besar yang diberikan kepada otoritas pendidikan daerah benar-benar mampu meningkatkan kualitas pendidikan. Implikasi dari pemberian kewenangan yang lebih besar ini adalah akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. Otoritas yang besar haruslah dimanfaatkan secara positif untuk meningkatkan akses, partisipasi dan kualitas pendidikan, bukan sekedar sarana unjuk kekuasaan. Oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut untuk dapat mengelola penyelenggaraan pendidikan yang akuntabel. Akuntabilitas ini penting sebagai wujud keseimbangan antara kekuasaan dan pertanggung-jawaban.

2. Memaksimalkan Potensi
Setiap daerah memiliki potensi masing-masing dalam hal pendidikan. Berbagai potensi tersebut tidak terperhatikan ketika pengelolaan pendidikan dilangsungkan secara sentralistik, karena terjadi penyeragaman dalam berbagai kebijakan, pengelolaan dan kegiatan pendidikan. Pemberian otoritas pendidikan yang lebih besar kepada daerah memberikan peluang bagi setiap daerah untuk mampu memanfaatkan dan mengembangkan potensi pendidikan yang dimiliki. Potensi dimaksud meliputi potensi lembaga, potensi sumberdaya manusia dan potensi kearifan lokal.

Dalam hal potensi lembaga, banyak daerah yang memiliki lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu. Keterlibatan masyarakat merupakan salah satu kelebihan pengelolaan lembaga pendidikan yang dimiliki daerah. Hal lain yang sering menjadi keunggulan sebuah lembaga pendidikan adalah budaya sekolah yang diciptakan. Budaya sekolah merupakan faktor penting bagi pendidikan karakter siswa. 

Potensi sumberdaya manusia meliputi kepemimpinan, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Salah satu tantangan pengelolaan pendidikan di Era Otonomi daerah menurut Abuddin Nata adalah bagaimana melahirkan kepemimpinan baru. Meskipun banyak teori dan pelatihan kepemimpinan, tetapi pemimpin yang seberanya baru akan lahir ketika dituntut untuk mengelola tanggung jawab yang besar lengkap dengan berbagai permasalahan yang melingkupinya. Di samping itu, daerah diberi keleluasaan untuk mengelola potensi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang dimilikinya, karena semua tenaga pendidik dan kependidikan yang semua menjadi bagian departemen pendidikan diserahkan kepada daerah masing-masing. Hal ini tentu menguntungkan bagi daerah-daerah yang telah memiliki kualitas sumberdaya manusia lebih baik dibanding daerah yang lain. Bagi daerah yang kualitas SDMnya belum memadai tentu punya kesempatan untuk memprioritaskan pengembangan SDM ini, sehingga mampu mengejar ketertinggalan dari daerah lain.

Setiap daerah di Indonesia kaya akan kearifan lokal (local wisdom) dengan berbagai bentuk dan variasinya. Otonomi daerah di bidang pendidikan memberikan kesempatan bagi para pemangku otoritas untuk memanfaatkan berbagai kearifan lokal tersebut, melestarikannya, bahkan menggali berbagai potensi kearifan lokal yang belum dimanfaatkan. Salah satu bentuk kearifan lokal adalah hubngan antar pemeluk agama di sebuah daerah yang multi-iman. Praktek kerukunan yang sudah berlangsung bertahun-tahun di masyarakat hendaknya menjadi bagian dari pendidikan di sekolah, sehingga nilai-nilai kebersamaan tidak mudah luntur oleh pengaruh dari luar yang mungkin menguatkan keberagamaan seseorang tetapi melunturkan nilai-nilai kebersamaan.

3. Kebutuhan lokal
Pemberian otoritas yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pendidikan telah mendekatkan pengambil kebijakan pendidikan dengan pelaksana pendidikan, yaitu sekolah dan para guru, dan konsumen pendidikan, yaitu masyarakat. Meskipun pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dan karenanya materi pendidikan pun banyak memiliki kesamaan, namun tidak dapat dapat dipungkiri bahwa setiap daerah memiliki beberapa perbedaan dalam hal kebutuhan pendidikan. Kekhasan daerah akan kebutuhan tersebut antara lain disebabkan oleh kondisi geografis, pengaruh praktek pendidikan di masa lalu, input pendidikan yang tidak merata dan warisan budaya setempat.

Otoritas pendidikan yang sensitif akan berbagai persoalan pendidikan akan mampu mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan pendidikan yang secara spesifik dimiliki oleh daerah maupun oleh lembaga-lembaga pendidikan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan sarana-prasarana, pengembangan SDM, materi pendidikan, dan layanan khusus. Kemampuan otoritas pendidikan daerah dalam memperhatikan kebutuhan pendidikan daerahnya pada gilirannya akan mampu meningkatkan akses, partisipasi dan kualitas pendidikan.

C. Dampak Negatif
Di samping berbagai manfaat dari diberlakukannya sistem desentralisasi pendidikan sebagaimana tersebut di atas, tidak dapat dipungkiri munculnya persoalan-persoalan baru yang perlu mendapat perhatian serius. Berikut adalah beberapa persoalan yang perlu mendapat perhatian bersama.

1. Lokalisasi SDM 
Kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola SDM pendidikan seringkali memunculkan sentimen kedaerahan yang berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari. Kewenangan yang besar kepada daerah untuk mengelola sumber daya manusia di bidang pendidikan di daerahnya menyebabkan mengecilnya peluang perpindahan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dari satu daerah ke daerah lain, sehingga proses pembauran antar etnis dari berbagai daerah di Indonesia mengalami hambatan. Hal ini mungkin tidak begitu nampak di kota-kota besar yang multi-etnis, namun akan terasa dampaknya di berbagai daerah yang relatif homogen secara etnis.

Memang lokalisasi ini membuka kesempatan lebih besar kepada para putra daerah untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, namun ada dua hal penting yang perlu diperhatikan ketika terjadi lokalisasi SDM secara besar-besaran. Pertama, kesempatan siswa dan guru untuk berinteraksi dengan orang dari daerah atau etnis yang berbeda menjadi sangat sedikit. Kehadiran guru-guru dari daerah atau etnis yang berbeda di sekolah akan mendidik siswa untuk mengenal berbagai etnis yang ada di tanah air, sehingga mereka sadar bahwa etnis mereka bukanlah satu-satunya etnis yang ada di tanah air. Kedua, lokalisasi SDM seringkali berakibat pada kekurangan tenaga pendidik untuk materi tertentu karena tingginya kebutuhan sekolah-sekolah di satu daerah terhadap tenaga pendidik tersebut. Sementara sumberdaya manusia yang dimiliki sangat tidak memadai. Akibatnya, banyak daerah memaksa tenaga pendidik yang ada untuk mengajarkan materi pelajaran di luar bidang keahliannya guna memenuhi tuntutan atas ketersediaan guru di bidang-bidang tertentu tersebut. 

M. Hidayat mengidentifikasi dua hal persoalan penting dalam hal SDM yang menyebabkan pendidikan di Era Otonomi Daerah tidak bejalan dengan baik, yaitu guru yang kurang profesional dan pejabat yang tidak kompeten.

2. Ketidaksiapan daerah
Tidak semua daerah memiliki sumberdaya manusia yang memiliki kesiapan yang sama untuk mengelola pendidikan secara baik. Ada daerah yang merespon kewenangan yang besar ini dengan berbagai program yang bertujuan untuk memajukan pendidikan di daerahnya, baik dalam bentuk peningkatan kesejahteraan guru, penyediaan sarana dan prasarana inti dan penunjang yang memadai, pembentukan unit-unit penunjang penyelenggaraan pendidikan, dan sebagainya. Namun demikian, tidak sedikit pula daerah yang melihat pemberian kewenangan ini sebagai peluang untuk berbuat yang menguntungkan bagi peribadi atau kelompoknya.

Dari sinilah muncul kemungkinan terjadinya penyalahgunaan anggaran pendidikan, keberpihakan pada pihak-pihak tertentu yang tidak berorientasi pada kualitas, penerimaan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang kurang selektif, dan pembuatan program-program yang yang tidak secara substansial menyentuh kebutuhan pendidikan. Meskipun kecurigaan ini perlu dibuktikan secara fakta dan hukum, namun fenomena yang sering ditutup-tutupi ini seolah telah menjadi rahasia umum di berbagai daerah.

Di atas nampak ketidaksiapan daerah dalam hal pengelolaan pendidikan, terutama kemampuan sumberdaya manusia daerah mengelola penyelenggaraan pendidikan yang akuntabel. Di samping itu, ketidaksiapan juga dapat dilihat dari ketersediaan fasilitas pendidikan di daerah-daerah. Daerah-daerah baru yang merupakan pemekaran dari provinsi atau kabupaten yang sudah lebih dulu ada seringkali masih belum memiliki perangkat, fasilitas dan sarana pendidikan yang memadai. 

Efek lebih lanjut dari ketidak siapan daerah dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan adalah adanya kesenjangan prestasi belajar siswa dari berbagai daerah. Sudah dapat dipastikan bahwa daerah atau kota yang memiliki pendapatan daerah yang lebih besar, fasilitas, sarana dan parasarana pendidikan yang lebih lengkap, serta sumberdaya manusia yang lebih baik mampu menyelenggarakan pendidikan yang lebih berkaulitas serta hasil pendidikan yang lebih kompeten. Sementara sebaliknya daerah-daerah yang memiliki sumber anggaran yang lebih kecil, fasiltas dan sarana yang belum lengkap serta sumberdaya manusia yang belum maksimal, tentu akan sulit mengejar ketertinggalan. Daerah-daerah pada kelompok kedua inilah yang dapat dikatkan kurang siap untuk menyelenggarakan pendidikan secara desentralistik.

3. Berorientasi Nilai dan kelulusan 
Pemerintah pusat berupaya meminimalisir kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah dengan penerapan standar nasional pendidikan dan penyelenggaraan ujian nasional. Standar nasional mengamanatkan adanya delapan standar yang harus ditetapkan oleh pemerintah guna menghindari kesenjangan kualitaspendidikan, yaitustandarisi,standar roses,standarkompetensilulusan,standarpendidikdantenagakependidikan,standarsaranadanprasarana,standarpengelolaan,standarpembiayaan, danstandarpenilaianpendidikan.

Di samping penetapan dan pemberlakuan berbagai standar pendidikan di atas, ujian nasional merupakan salah satu perangkat yang diharapkan mampu mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan. Dengan naskah ujian yang dibuat oleh pemerintah pusat, seluruh siswa yang akan menyelesaikan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah harus mengikuti ujian akhir, dan harus mencapai standar nilai minimum yang ditetapkan untuk dianggap lulus. Diharapkan pemberlakuan ujian nasional ini dapat memacu para pengemban otoritas pendidikan daerah untuk mampu meningkatkan kualitas pendidikan di daerahnya masing-masing sehingga tidak tertinggal dari daerah lain. Ukurannya adalah pemenuhan nilai standar minimum yang ditetapkan. Di sinilah persoalan besar mulai mengintai.

Bagi sebagian pemerintah daerah, amanat standar nasional pendidikan dan ujian nasional ini merupakan tuntutan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di wilayahnya. Bagi sebagian pemerintah daerah yang lain, pemberlakuan ujian nasional merupakan tuntutan untuk menghasilkan siswa yang memiliki hasil ujian yang berada di atas nilai minimum nasional. Perbedaan dalam memandang persoalan ini berimplikasi besar terhadap etika penyelenggaraan pendidikan. Jika pandangan kelompok yang pertama lebih kepada penyediaan layanan pendidikan yang berorientasi kualitas, maka kelompok yang kedua lebih berupaya bagaimana memperoleh nilai ujian yang melebih standar minimum yang ditetapkan, maka kemudian banyak daerah yang mencanangkan lulus UN 100% sebagai target pencapaian bidang pendidikan. Target yang ditetapkan oleh kepala daerah kemudian disosialisasikan oleh dinas pendidikan dan dibebankan kepada para kepala sekolah untuk pencapaiannya.

Banyak kepala sekolah yang menyadari keterbatasan dan rendahnya kulitas pendidikan yang dimiliki sekolahnya, tetapi mereka tetap dituntut untuk memaksimalkan jumlah lulusan ujian nasional dari lembaga-lembaga pendidikan mereka. Walahsil, berbagai cara, dari yang halal hingga yang haram pun dilakukan. Contoh upaya halal yang menganggu proses pendidikan adalah try-out yang dilakukan berulang-ulang dan pengurangan jumlah jam pelajaran non-UN. Sementara cara haram yang masih ditemukan dalam proses ujian nasional adalah pembocoran naskah ujian ataupun kunci jawabanya dan melakukan kerjasama dengan para pengawas ujian dan pengawas indepneden untuk membiarkan terjadinya perilaku curang dan tidak jujur dalam pelaksanaan ujian nasional.

Orientasi nilai ujian nasional yang menjadi tujuan penyelenggaraan pendidikan daerah dan lembaga-lembaga pendidikan pada gilirannya menciderai bahkan merusak mental penyelenggara pendidikan dan terlebih parah lagi mental para siswa. Seolah prinsip menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan menjadi bagian dari proses pendidikan kita.

4. Hilangnya narasi besar pendidikan
Ada satu hal penting yang hilang dari dunia pendidikan kita seiring dengan berlakunya desentralissasi pendidikan, yaitu narasi besar pendidikan nasional. Pada masa lalu, kita sering mendengar nasionalisme dan patriotisme sebagai nilai yang harus ditanamkan lewat pendidikan. Lebih dari itu, nasionalisme dan patriotisme tersebut juga mewarnai berbagai kegiatan lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal. Karena itu, tidak heran jika ada kurikulum resmi yang berorientasi pada nasionalisme dan patriotisme, serta ada aktivitas ekstrakurikuler yang berorientasi pada nasionalisme dan patriotisme.

Pada masa orde baru, Pendidikan Pancasila menjadi sebuah narasi besar yang mewarnai hampir seluruh kegiatan berbangsa dan bernegara. Seluruh lembaga formal pendidikan dan lembaga-lembaga non kependidikan diwarnai dengan semangat internalisasi nilai-nilai Pancasila. Terlepas dari hal-hal negatif yang dibawa, pendidikan Pancasila telah menjadi wabah di seluruh Indonesia dan menjadi narasi besar pendidikan nasional. 

Dewasa ini, pendidikan kita kehilangan narasi besarnya, sehingga pendidikan nasional seperti kehilangan kepentingan untuk diperjuangkan bersama. Pentingnya narasi besar pendidikan dinyatakan oleh Neil Postman dalam karya provokatifnya “The End of Education.” Menurut Postman, pendidikan memerlukan sebuah narasi bersama yang menegaskan identitas bersama, kepentingan bersama dan nilai-nilai moral yang dianut bersama. Ketiadaan narasi besar yang menyuarakan kepentingan bersama dalam konteks negara, menyebabkan berkurangnya nilai-nilai komunalitas sebagai bangsa. Jika kondisi ini dibiarkan tentu negara ini hanya akan menjadi kumpulan kelompok-kelompok orang yang memiliki dan memperjuangkan kepentingannya masing-masing.

Melihat fenomena yang hadir di dunia pendididikan dewasa ini, dengan ketidakjelasannya narasi bersama dalam pendidikan, maka tidak mengherankan jika para penyelenggara pendidikan, baik di birokrasi pemerintahan, di lembaga pendidikan negeri dan lembaga pendidikan swasta, lebih memprioriatskan kepentingan kelompok kecil mereka dan kurang memeperhatikan kepentingan bersama. Masalahnya adalah tidak jelasnya apa yang dimaksud dengan kepentingan bersama dalam pendidikan.Di sinilah nampak bahwa pendidikan kita seperti kehilangan nilai-nilai sejatinya. Pendidikan seolah-olah hanya dijadikan sebagai instrumen untuk menciptakan manusia yang cerdas dan berprestasi. 

Ada beberapa narasi bersama yang sering dimunculkan saat ini. Di antaranya adalah internasionalisasi pendidikan dan pendidikan karakter. Dua istilah tersebut dewasa ini ramai dibincangkan dan dikesankan menjadi kepentingan bersama-sama dalam hal pendidikan. Namun demikian keduanya masih perlu diuji lebih lanjut kelayakannya untuk dapat menjadi narasi bersama dalam pendidikan. 

D. Diskusi
Politik dan pendidikan adalah dua dari beberapa tema yang senantiasa menarik minat banyak orang untuk berdiskusi. Politik, meski sebatas wacana, sering menjadi bahan diskusi dari berbagai kalangan masyarakat, baik secara formal maupun nonformal. Pendidikan juga sering menjadi bahan diskusi karena penyelenggaraan pendidikan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Jika masing-masing dari tema politik dan pendidikan telah menjadi tema yang senantiasa menarik untuk didiskusikan, maka tentu akan lebih menarik jika kedua tema itu digabungkan. Tema Pendidikan dan Otonomi Daerah merupakan tema yang menggabungkan dua tema terpisah di atas. Kebijakan pemerintah untuk memberlakukan sistem pendidikan yang desentralistik telah melahirkan berbagai persoalan baru di dunia pendidikan sebagaimana telah dijelaskan di muka. Melihat berbagai persoalan di atas, maka perlu didiskusikan lebih lanjut mengenai hal-hal berikut ini.

1. Pentingnya narasi besar 
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, ketiadaan narasi bersama dalam pendidikan telah menyebabkan dunia pendidikan kehilangan misi besarnya. Saat ini ketiadaan narasi itu seolah-olah tertutupi oleh adanya upaya daerah-daerah untuk berkonsentrasi pada peningkatan berbagai aspek pendidikan. Namun pada gilirannya, ketiadaan narasi bersama dalam pendidikan dapat menurunkan kulitas pendidikan dan runtuhnya nilai-nilai kebangsaan. 

Pendidikan yang tidak memiliki narasi bersama, adalah pendidikan yang tidak memperhatikan humanitas manusia. Hal ini karena pendidikan tersebut lebih berorientasi pada kompetensi siswa setelah belajar, bukan pada kualitas pribadi siswa itu sendiri. Oleh karena itu, Postman berpendapat bahwa pendidikan baru dapat dikatakan bermakna apabila guru, orangtua, dana para siswa memiliki kesamaan pandangan dalam melaksanakan pendidikan, baik formal, nonformal dan informal.

Tantangan besar dunia pendidikan dewasa ini adalah memastikan bahwa pendidikan kita memiliki sebuah narasi besar yang mencerminkan kepentingan bangsa dan negara secara umum. Kepentingan bangsa dan negara yang merupakan kepentingan dan kepedulian bersama dapat diwujudkan dalam sebuah narasi besar pendidikan yang akan menjadi rujukan bagi berbagai pihak penyelenggara pendidikan baik formal, nonformal, maupun informal. Oleh karena itu, rumusan mengenai narasi pendidikan harus diperhatikan secara bersama-sama, sehingga kita tidak terjebak pada penyelenggaraan pendidikan yang normatif dan administratif.

2. Orientasi kualitas bukan formalitas
Ada dua fenomena yang belakangan ini menggejala di sekolah-sekolah di Indonesia, yaitu perhatian yang begitu besar terhadap ujian nasional dan keinginan untuk internasionalisasi pendidikan. Bila diperhatikan, sikap berbagai lembaga pendidikan terhadap dua hal tersebut mencerminkan bahwa kebanyakan lembaga pendidikan berorientasi pada formalitas dan bukan kualitas, meskipun sejatinya ujian nasional dan internasionalisasi bertujuan untuk meningkatkan kualitas. 

Tuntutan terhadap sekolah dan daerah untuk menghasilkan siswa-siswi yang lulus ujian nasional secara maksimal, telah menyebabkan hilangnya orientasi kualitas pada pendidikan nasional. Setiap daerah dan sekolah seakan berlomba-lomba untuk memperoleh nilai ujian setingi-tingginya sehingga bisa mencapai target jumlah kelulusan siswa. Tuntutan ujian nasional dan implikasinya pada siswa secara nyata telah merubah orientasi atau tujuan pendidikan di daerah dan sekolah. Setiap penyelenggaraan ujian nasional, selalu menyisakan cerita tentang upaya-upaya tidak halal yang dilakukan siswa dengan atau tanpa bantuan sekolah. 

Ketika nilai ujian nasional telah menghantui pikiran siswa dan penyelenggara pendidikan, maka pendidikan telah kehilangan arahnya. Oleh sebab itu perlu dipikirkan cara untuk merubah cara berpikir (mindset) terhadap penyelenggaraan pendidikan dari pendidikan yang berorientasi semata-mata kelulusan dan nilai, menuju penyelenggaraan yang berorentasi pada kualitas proses dan hasil pendidikan.

Di samping ujian nasional, internasionalisasi pendidikan juga merupakan hal lain yang menghantui pikiran penyelenggara pendidikan. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 mengamanatkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah “menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.” Amanat ini membuat pemerintah merumuskan apa yang disebut sebagai Rintisan Sekolah Berstandar Internasional dan Sekolah Berstandar Internasional.

Sekolah-sekolah yang telah memiliki fasilitas yang memadai dan prestasi yang baik dapat membuka kelas-kelas internasional dan menjadi Rintisan Sekolah Berstandar Internasional. Dengan berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, banyak sekolah negeri yang berupaya untuk menjadi Sekolah Berstandar Internasional dengan terlebih dahulu menjadi Rintisan Sekolah Berstandar Internasional. Hal menarik yang memicu sekolah sekolah untuk menjadi sekolah RSBI adalah di samping meningkatkan prestise sekolah, juga peluang untuk memperoleh dana tambahan baik dari pemerintah sebagai dana penyiapan RSBI, maupun dari orangtua siswa untuk penyelenggaraan pendidikan. 

Fenomena Sekolah Berstandar Internasional tersebut menjadi keprihatinan banyak pihak, karena banyak sekolah yang menjadi RSBI lebih memperhatikan aspek formalitas, seperti ruangan yang eksklusif, guru yang bisa berbahasa Inggris dan biaya yang lebih tinggi. Sementara aspek substansialnya seperti kehilangan arah, sehingga muncul pertanyaan mendaasar, sebenarnya apa yang ingin dicapai dengan sekolah bertaraf internasional.

3. Pemerataan akses dan sumberdaya
Ketika Undang-Undang mengenai otonomi daerah diberlakukan, nampak bahwa kesiapan daerah untuk melaksanakan otonomi bidang pendidikan sangat beragam. Dua persoalan utama yang perlu dicarikan solusinya adalah pemerataan akses dan pengembangan sumber daya manusia.

Penyediaan atau peningkatan sarana dan pra-sarana pendidikan perlu terus ditingkatkan untuk dapat meningkatkan akses terhadap pendidikan. Persoalan akses tentu tidak mengganggu penyelenggaraan pendidikan di kota-kota yang prasarana transportasinya memadai. Namun ia menjadi masalah besar di daerah-daerah yang memiliki wilayah yang cukup luas, banyak masyarakat yang tinggal di daerah yang sulit dijangkau, dan prasarana transportasi yang kurang memadai. Persoalan geografis dan fasilitas transportasi sering menjadi kendala utama pemerataan akses pendidikan. Pada gilirannya persoalan akses ini juga mempengaruhi tingkat partisipasi pendidikan. Oleh karena itu, perlu dipikirkan berbagai alternatif bagi daerah-daerah yang memiliki masalah dengan keterbatasan akses, karena berbagai kendala di atas.

Sumberdaya, baik manusia maupun benda, juga perlu mendapatkan perhatian serius. Banyak daerah yang melakukan otonomi pendidikan tidak didukung oleh sumberdaya pendidikan yang memadai. Keterbatasan sumberdaya ini terjadi sebagai akibat dari tidak meratanya penyebaran penduduk, tidak seimbangnya penyebaran ekonomi dan tidak meratanya pembangunan. Akibatnya sumberdaya yang baik terkonsentrasi di kota-kota besar. 

Perlu ada pemikiran dan upaya serius (affirmative action) untuk membantu daerah-darah yang memiliki sumberdaya yang kurang memadai. Pemerataan sumberdaya dapat dilakukan dengan menyiapkan generasi muda di berbagai daerah untuk meningkatkan kapasitas diri sehingga mampu menciptakan proses pendidikan yang berkualitas. Di samping itu, perlu juga dibuka peluang untuk mendatangkan sumberdaya dari daerah lain guna membantu percepatan pembangunan pendidikan di daerah-daerah yang sumberdayanya relatif memadai. Hal terakhir ini memerlukan campur tangan pemerintah pusat dan keterbukaan pemerintah daerah demi pembangunan pendidikan.

Langkah Strategis Membangun Karakter Kebangsaan

Langkah Strategis Membangun Karakter Kebangsaan 
Langkah strategis membangun karakter kebangsaan adalah melalui sektor pendidikan. Hanya negara-negara yang memiliki karakter kebangsaan yang kuatlah yang siap bersaing ditengah globalisasi. Pendidikan nasional yang mengkolaborasikan sistem pendidikan formal modern dengan sistem pendidikan Agama dapat menjadi salah satu khazanah kekayaan dan bisa menjadikan dunia pendidikan Indonesia sebagai garda terdepan bagi penguatan karakter kebangsaan.

Harus disadari bahwa salah satu keunikan bangsa Indonesia yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia adalah warisan multietnik dan multikultur. Keberagaman etnik yang hingga kini mencapai lebih dari 500 etnik yang menggunakan 250 bahasa merupakan kekayaan bangsa yang mesti dipelihara dan dikelola dengan mengedepankan nilai-nilai kemajemukan sehingga masing-masing etnik bukan berdiri sebagai entitas yang tertutup dan independen melainkan saling berinteraksi satu sama lain dan saling bergantung, serta saling mempengaruhi satu sama lain. 

Prinsip “Bhineka Tunggal Ika” seharusnya dapat dijadikan kunci pembuka interaksi sosial sehingga terbangun suatu pemahaman lintas budaya dan rasa percaya pada setiap pihak yang terlibat dalam interaksi itu, yang merupakan modal sosial bagi terbentuknya suatu hubungan antar-etnik dan antar- budaya yang sehat, sejahtera dan maju. Dengan demikian, hidup dalam keberagaman dapat dipandang sebagai suatu kekuatan dahsyat dalam membangun nasionalisme struktural menuju bangsa yang mandiri dan bermartabat.

Demikianlah sumbangan pemikiran yang dapat kami berikan, untuk ikut membangun kejayaan bangsa dan negara yang kita cintai ini. Semoga 'inayah dan taufiq Allah senantiasa menyertai kita; Amin.

Urgensi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Urgensi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan 
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia telah menempuh perjalanan panjang, dimulai dari masa sebelum dan selama pen­jajahan, dilanjutkan dengan era merebut dan mempertahankan kemerdekaan hingga mengisi kemerdekaan. Masing-masing tahap tersebut melahirkan tantangan jaman yang berbeda sesuai dengan kondisi dan tuntutan jamannya. Tantangan jaman itu ditanggapi bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan nilai-nilai perjuangan bangsa, yang dilandasi dengan jiwa dan tekad kebangsaan. Kesemuanya itu tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan yang mampu mendorong proses terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam wadah Nusantara.

Di era revolusi fisik, semangat perjuangan bangsa yang tidak kenal menyerah, yang hakekatnya merupakan kekuatan mental spiritual bangsa telah melahirkan perilaku heroik dan patriotik, serta menumbuhkan kekuatan, kesanggupan dan kemauan yang luar biasa. Idealnya, dalam situasi dan kondisi apapun semangat juang itu hendaknya tetap dimiliki oleh setiap warganegara NKRI. Di samping sudah terbukti keandalannya, nilai-nilai tersebut terbukti masih relevan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam kehidupan ber­masyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun demikian sebagai fenomena sosial, nilai-nilai itupun mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika kehidupan nasional. 

Menjelang akhir abad 20 situasi politik dunia berubah secara drastis. Tahun 1989 Tembok Berlin, lambang terpisahnya blok Barat dan Timur runtuh, disusul bubarnya Uni Sovyet. Konstelasi politik duniapun berubah. Dingin berakhir secara mendadak, di luar perhitungan pihak yang bertikai. Akibatnya, di satu sisi dunia dilanda kevakuman, baik dalam konsep, strategi maupun kepemim­pinan politik, sementara di sisi lain muncul tuntutan masyarakat dunia akan adanya Tata Dunia Baru yang aman, sejahtera dan lebih berkemanusiaan. 

Perubahan yang begitu mendadak itu membuat Washington terjebak pada situasi kehilangan pegangan dan pedoman dalam mengarahkan perubahan mondialnya. Untuk merubah dari strategi konfrontasi ke rekonsiliasi bukanlah hal yang mudah dan tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat, sementara tuntutan dunia terhadap adanya Tata Dunia Baru terus mendesak. 

Di tengah keterdesakan dan ketiadaan konsep tersebut AS selaku pemenang dan adikuasa tunggal nampaknya hanya mengambil jalan mudahnya. AS menganggap bahwa runtuhnya Tembok Berlin sebagai pertanda bahwa dunia tidak lagi bersekat, ditambah lagi adanya gejala meluasnya nilai-nilai bercirikan global. Bertolak dari fenomena tersebut maka AS mulai memperkenalkan apa yang sekarang dikenal sebagai “globalisasi”, yang sebenarnya bukan konsep baru yang diharapkan untuk mengisi kevakuman dunia.

Pada hakekatnya proses yang mengandung ciri penduniaan itu telah melanda dunia jauh sebelum Dingin usai. Hanya saja, selama ini para pengamat tidak menaruh perhatian karena dianggap bukan sebagai gejala yang penting. Gejala awal terlihat dari mendunianya penye­baran jenis-jenis makanan tertentu, tingkah laku orang-orang perkotaan (metropolitan) dan meluasnya penerimaan terhadap mode pakaian dan tata rias. Semua itu mengarus dari masya­rakat dunia industri maju ke bagian dunia yang lain, didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan sistim komunikasi telemedia (Soerjanto, 1994:26-29).

Cepatnya komunikasi lewat teknologi elektronika membuat penyebaran informasi berjalan singkat dan melampaui batas negara. Peristiwa di satu titik di muka bumi dalam waktu sekejap dapat diketahui oleh seluruh penjuru dunia. Orangpun mulai merasa bahwa dunia semakin “sempit”. Kemajuan IPTEK bidang informasi, komunikasi dan trans­portasi telah membuat dunia menjadi semakin transparan. Tidak ada lagi batas atau sekat antara bagian dunia yang satu dengan bagian yang lain, sehingga seolah-olah terbentuk kampung sedunia tanpa mengenal batas negara. 

Pertanyaannya ialah apakah “pembaharuan” model AS itu benar-benar memenuhi kebutuhan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat dunia ? Masalahnya setiap bangsa memiliki latar belakang sejarah dan budayanya sendiri. Padahal pembaharuan tanpa konsep yang jelas yang didasarkan pada kondisi dan situasi kultural, sosial dan politik serta sejarah bangsa yang bersangkutan justeru akan membuka peluang munculnya disintegrasi nasional. Pergolakan berdarah yang berlarut-larut di sejumlah negara Afrika, disintegrasi yang melanda Uni Sovyet dan Yugoslavia menjadi contoh yang baik dalam kasus ini. 

Permasalahan lain, perkembangan globalisasi juga ditandai dengan kuatnya pengaruh lembaga-lembaga kemasyarakatan internasional dan campur tangan negara-negara maju dalam per­caturan politik, ekonomi, sosial-budaya dan militer global. Pada gilirannya hal itu tentu akan menimbulkan berbagai konflik kepentingan, baik antara sesama negara maju, negara maju dengan negara berkembang, sesama negara berkembang maupun antar lembaga-lembaga internasional. Lebih buruk lagi, isu globalisasi, yakni HAM, demokrasi, liberalisasi dan lingkungan hidup, juga sering digunakan oleh negara-negara maju untuk menyudutkan dan men­diskreditkan bangsa dan negara lain, khususnya negara-negara berkembang. 

Apabila yang pertama dan kedua lebih didominasi oleh eksekutif dan legislatif, yang ketiga harus dilakukan oleh seluruh segmen masyarakat mulai dari rakyat awam hingga elit politik. Pemberdayaan ini mesti dilakukan secara massal, berkesi­nambungan dan dalam bingkai paradigma yang jelas. Adapun media yang dianggap kondusif untuk mencapai sasaran itu salah satunya ialah melalui pembelajaran civic education (pendidikan kewarga­negaraan). Di tingkat perguruan tinggi, nilai strategis dari pembe­lajaran ini ialah meningkatnya kesadaran komprehensif mahasiswa terhadap masalah bangsa. Pada gilirannya hal itu akan berujung pada keterlibatan (partisipasi efektif) dan tumbuhnya kesadaran akan tanggung jawab untuk memperbaiki kualitas kehidupan sosial dan politik secara keseluruhan.

Pendidikan Kewargaan : Belajar dari Banyak Negara
Setiap warganegara hakekatnya dituntut untuk dapat hidup berguna dan bermakna bagi negara dan bangsanya. Untuk itu diperlukan bekal ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) yang ber­landaskan pada nilai-nilai agama, moral dan budaya bangsa. Fungsinya adalah sebagai panduan dan pegangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam konteks Pendidikan Kewarganegaraan nilai budaya bangsa menjadi pijakan utama, karena tujuan pembelajaran ialah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, juga sikap dan perilaku cinta tanah air yang bersendikan budaya bangsa. 

Pendidikan Kewargaan (civic education) sesungguhnya bukanlah agenda baru di muka bumi. Hanya saja, proses globalisasi yang melanda dunia pada dekade akhir abad 20 telah mendorong munculnya pemikiran baru tentang pendidikan kewarganegaraan di berbagai negara. Di Eropa, Dewan Eropa telah memprakarsai proyek demokratisasi untuk menopang pengem­bangan kurikulum pendidikan kewarganegaraan. Hal yang sama juga terjadi di Australia, Canada, Jepang dan negara Asia lainnya. 

Di Amerika Serikat pendidikan kewarganegaraan diatur dalam kurikulum sosial selama satu tahun, yang pelaksanaannya diserahkan kepada negara-negara bagian. Materi yang diajarkan diarahkan pada : 1). Bagaimana menjadi warga yang produktif dan sadar akan haknya sebagai warga Amerika dan warga dunia; 2). Nilai-nilai dan prinsip demokrasi konstitusional; dan 3). Kemampuan mengambil keputusan selaku warga masyarakat demokratis dan multikultural di tengah dunia yang saling tergantung. Di Australia, pendidikan kewarganegaraan ditekankan pada discovering democracy, yaitu: 1). Prinsip, proses dan nilai demo­krasi; 2). Proses pemerintahan; dan 3). Keahlian dan nilai partisipasi aktif di masyarakat. 

Di Negara-negara Asia, Jepang misalnya, materi pendidikan kewarganegaraan ditekankan pada Japanese history, ethics dan philosophy. Di Filipina materi difokuskan pada : Philipino, family planning, taxation and landreform, Philiphine New Constitution dan study of humanity (Kaelan, 2003:2). Hongkong menekankan pada nilai-nilai Cina, keluarga, harmoni sosial, tanggung jawab moral, mesin politik Cina dan lain-lain. Taiwan menitikberatkan pada pengetahuan kewarga­negaraan (disusun berdasar­kan psikologi, ilmu sosial, ekonomi, sosiologi, hukum dan budaya); perilaku moral (kohesi sosial, identitas nasional dan demokrasi); dan menghargai budaya lain. Thailand, berusaha : 

1). Menyiapkan pemuda menjadi warga bangsa dan warga dunia yang baik; 2). Menghormati orang lain dan ajaran Budha; dan 3). Menanamkan nilai-nilai demokrasi dengan raja sebagai kepala negara. Beberapa negara yang lain juga mengembangkan studi sejenis, yang dikenal dengan nama Civic Education.

Dari sini terlihat bahwa secara umum pendidikan kewarganegaraan di negara-negara Asia lebih menekankan pada aspek moral (karakter individu), kepentingan komunal, identitas nasional dan perspektif inter­nasional, sedangkan Amerika dan Australia lebih difokuskan pada pentingnya hak dan tanggungjawab individu, sistim dan proses demokrasi, HAM dan ekonomi pasar (Sobirin, 2003:11-12).

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA
1. Pengantar Kewarganegaraan 
UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional Pasal 39 Ayat (2) menyatakan bahwa setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan di Indonesia wajib memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Selanjutnya dalam Keputusan Mendikbud No. 056/U/1994 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Belajar Mahasiswa, ketiganya dimasukkan dalam kelompok Mata Kuliah Umum (MKU) dan wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi.

Di tingkat Pendidikan Dasar hingga Menengah substansi pendidikan kewarganegaraan digabungkan dengan pendidikan Pancasila sehingga menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarga­negaraan (PPKN). Untuk tingkat Perguruan Tinggi, di masa Orde Baru substansi pendidikan kewarganegaraan diberikan melalui mata kuliah Kewiraan yang lebih menekankan pada PPBN (Pendidikan Pendahuluan Bela Negara). 

Dengan keluarnya Kepu­tusan Dirjen Dikti No. 267/DIKTI/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum, sebutan MKU diganti dengan MKPK (Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian) dan substansi mata kuliah Ke­wira­an direvisi dan selanjutnya namanya diganti menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Substansi mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan makin disempurnakan dengan keluarnya Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 dan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. 

2. Materi Pokok 
Seperti diketahui, materi pokok kuliah Kewiraan ialah Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional, Politik dan Strategi Nasional (Polstranas), Politik dan Strategi Pertahanan dan Keamanan Nasional (Polstrahan­kamnas) dan Sistim Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), yang lebih dititik beratkan pada PPBN. Setelah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan, materi kajian beberapa kali mengalami perubahan. Berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 obyek pembahasan­ Pendidikan kewarganegaraan ialah : 
a. Filsafat Pencasila
b. Identitas Nasional
c. Negara dan Konstitusi
d. Demokrasi Indonesia
e. HAM dan Rule of Law
f. Hak dan Kewajiban Warga Negara
g. Geopolitik Indonesia
h. Geostrategi Indonesia

3. Landasan Hukum 
a. UUD 1945 
  • Pembukaan Alinea Kedua dan Keempat yang memuat cita-cita dan aspirasi bangsa Indonesia tentang kemerdekaan. 
  • Pasal 27 (1) tentang Kesamaan Kedudukan dalam Hukum
  • Pasal 30 (1) tentang Bela Negara 
  • Pasal 31 (1) tentang Hak Mendapat Pengajaran
b. Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
c..Undang-Undang No. 20/Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Jo. No. 1 Tahun 1988) 
d. Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional.
e. Keputusan DIRJEN Pendidikan Tinggi No. 267/DIKTI/KEP/2000 tentang 
Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) Pendidikan Kewarga­negaraan pada Perguruan Tinggi di Indonesia.
f. Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi
g. Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi

4. Tujuan
Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan mencakup dua hal, yaitu:
a. Tujuan Umum
Untuk memberi bekal pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa mengenai hubungan antara warganegara dengan negara dan PPBN, agar menjadi warganegara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.

b. Tujuan Khusus
1). Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur dan demokratis serta ikhlas sebagai warganegara RI terdidik dan bertanggungjawab.
2). Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggung­jawab berlandaskan Pancasila, konsepsi Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
3). Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air serta rela ber­korban bagi nusa, bangsa dan negara.

5. Kompetensi yang Diharapkan 
Bagi bangsa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan sudah demikian mendesak untuk dilakukan, mengingat dalam masa transisi menuju demokrasi saat ini di masyarakat banyak ditemukan berbagai patologi sosial yang seringkali kontra produktif dengan upaya penegakan demokrasi itu sendiri. Beberapa patologi sosial itu antara lain:
a. Hancurnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat.
b. Memudarnya kehidupan kewargaan dan nilai-nilai komunitas. 
c. Kemerosotan nilai-nilai toleransi dalam masyarakat.
d. Memudarnya nilai-nilai kejujuran, kesopanan dan rasa tolong-menolong
e. Melemahnya nilai-nilai dalam keluarga.
f. Praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam penyeleng­garaan pemerintahan.
g. Kerusakan sistim dan kehidupan ekonomi.
h. Pelanggaran terhadap nilai-nilai kebangsaan

Adapun kompetensi yang diharapkan dari mata kuliah Pen­didikan Kewarganegaraan antara lain : 
a. Agar mahasiswa mampu menjadi warganegara yang memiliki pilihan pandangan dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM.
b. Agar mahasiswa mampu berpartisipasi dalam upaya men­cegah dan menghentikan berbagai tindak kekerasan dengan cara cerdas dan damai.
c. Agar mahasiswa memiliki kepedulian dan mampu ber­partisipasi dalam upaya menyelesaikan konflik di masyarakat dengan dilandasi nilai-nilai moral, agama dan nilai universal.
d. Agar mahasiswa mampu berpikir kritis dan obyektif terhadap persoalan kenegaraan, HAM dan demokrasi. 
e. Agar mahasiswa mampu memberikan kontribusi dan solusi terhadap berbagai persoalan kebijakan publik.
f. Agar mahasiswa mampu meletakkan nilai-nilai dasar secara bijak (berkeadaban)
(Sobirin Malian, 2003).

Menuju Kehidupan Harmonis Dalam Masyarakat Yang Majemuk

Menuju Kehidupan Harmonis Dalam Masyarakat Yang Majemuk
Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, adat-istiadat, golongan , kelompok dan agama, dan strata sosial. Kondisi dan situasi seperti ini merupaka suatu kewajaran sejauh perbedaan-perbedaan ini disadari keberadaannya dan dihayati. Namun ketika perbedaan-perbedaan tersebut mengemuka dan kemudian menjadi sebuah ancaman untuk kerukunan hidup, maka perbedaan tersebut menjadi masalah yang harus diselesaikan.

Beberapa peristiwa amuk massa di beberapa daerah di Indonesia, terlihat jelas pemicunya adalah perbedaan-perbedaan tersebut, dimana salah satunya adalah perbedaan agama. Seperti kerusuhan di lampung, tahun 1989; kerusuhan di Timor-Timur, tahun 1985, kerusuhan di Rengasdengklok, tahun 1997; kerusuhan di makassa, tahun 1997, Kerusuhan di Ambon, 1998, di Poso, kerusuhan Ketapang dan Kupang serta beberapa daerah lainnya.

Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia sekarang ini, memungkinkan sekali untuk terjadinya konflik antar agama atau konflik antar umat beragama. Walaupun sebenarnya secara laten konflik-konflik tersebut telah ada jauh sebelum era reformasi berembus. Banyak sekali kejadian yang bernuansa perbedaan agama terjadi. Seperti peristiwa pembakaran kantor Tabloid Monitor di Jakarta, yang disangka mendiskreditkan Nabi Muhammad Saw, begitu juga Tabloid Senang. Lain dari itu, brosur-brosur , leaflet-leaflet yang mendiskreditkan agama tertentu, serta materi-materi dakwah yang memicu dan memacu kemungkinan terjadinya konflik antar agama juga kerap sekali terjadi. Banyak pemuka agama yang dengan dalih sedang melakukan konsolidasi umat, mereka rela dan berani mendiskreditkan umat penganut agama lainnya. Terakhir isue tentang pendidikan agama di sekolah yang mewajibkann setiap sekolah menyediakan pengajar agama bagi siswa-siswi yang beragama tertentu.

Konflik yang bernuansa agama berkorelasi kuat dengan faktor non agama. Beberapa konflik yang terjadi membuktikan hal tersebut, termasuk konflik Ketapang. Agama biasanya merupakan faktor pemicu kerusuhan, yang sebelumnya didahului dengan konflik yang bernuansa ekonomi, seperti rebutan lahan parkir, rebutan wilayah dan faktor lainnya yang lebih ekonomis dari pada politis. Dengan kata lain, sebenarnya, konflik kecil acap terjadi. 

Dalam melihat konflik dan potensi konflik antar kelompok, golongan dan agama di Indonesia, perlu dipahami sebagai suatu hal yang dinamis. Perubahan sosial dan politik yang terjadi di Indonesia yang begitu cepat, terutama setelah era reformasi, juga turut memperkuat polarisasi konflik sosial termasuk konflik antar kelompok umat beragama. Kesenjangan yang makin menganga antar kelompok sosial dan biasanya kelompok sosial ini juga acap dilekatkan dengan penganut agama mayoritas. Keterbelakangan dan pembaruan yang tidak simultan dapat memperkeruh suasana disharmoni, serta dapat merusak tatanan sosial atau tatanan hubungan antar kelompok sosial dan antar kelompok umat beragama.

Masyarakat Indonesia yang multikultur, multi ras dan multi agama, memiliki potensi yang besar untuk terjadinya konflik antar kelompok, ras, agama dan suku bangsa. Indikasi ke arah itu terlihat dari tumbuh suburnya berbagai organisasi kemasyarakatan , profesi, dan organisasi lainnya. Contoh seperti FPI, Laskar Jihad, FBR dan kelompok lainnya yang berjuang dan bertindak atas nama kepentingan kelompoknya atau kepentingan lainnya. Lain dari itu muncul juga berbagai macam aliran keagamaan.

Beragam kelompok ini secara sosial menyebabkan tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai baru melalui berbagai proses yang menuntut adanya institusionalisasi kepentingan. Tapi juga dapat berupa munculnya konflik-konflik baru, karena kelompok lain, golongan lain, agama lain, merasa bahwa kehadiran mereka menjadi ancaman bagi tatanan masyarakat yang sudah ada dan ajeg serta kepentingan dari kelompok lainnya. Yang berkembang adalah sikap etnosentrisme, yang menganggap hanya kelompoknya saja, golongannya saja yang paling baik dan sempurna, sementara yang lain jelek, salah, dan berbagai kekurangan lainnya(Zastrow, 2000, 157); serta stereotipe, yang mengembangkan gambaran tentang tipe-tipe masyarakat tertentu dengan karakteristik tertentu. Misalnya orang Batak itu kasar; orang Padang itu licik, orang Sunda itu lelet dan lain-lain.

Perbedaan-perbedaan kepentingan, pandangan, nilai akan menimbulkan perbedaan persepsi atas sesuatu yang kemungkianan besar akan menyebabkan munculnya reaksi berdasarkan persepsi tersebut terhadap sesuatu itu. Hal ini dapat dan menimbulkan konflik yang mungkin akan bermuara pada kerusuhan. Beberapa peristiwa konflik antar kelompok, golongan, ras dan agama, menunjukkan hal-hal tersebut. Lihat saja konflik Ketapang yang kemudian melebar ke beberapa tempat di Jakarta, Bekasi bahkan Ambon , Kupang dan Poso.

Hal itu menunjukkan bahwa sentimen dan kepercayaan yang berlebihan tentang keyakinan masyarakat terhadap salah satu kelompok, golongan dan atau agama akan menimbulkan konflik, baik yang bernuansa sosil-ekonomi, politik maupun agama. Bukti ini juga sekaligus menunjukkan bahwa potensi konflik itu ada diberbagai bidang. Oleh karena itu perlu adanya upaya yang simultan dilakukan agar konflik yang potensial tersebut dikelola secara seksama , baik oleh pemerintah daerah, masyarakat maupun aparat penegak hukum. Yang tidak kalah pentingnya adalah peranan lembaga pendidikan dan proses pembelajaran yang terjadi di dalamnya. Bahkan kita semua perlu bertanya ada apa dengan sistem pendidikan kita ? Mengapa sebagaian masyarakat Indonesia mudah sekali untuk melakukan kerusuhan ? Bagaimana model pendidikan yang dapat menghindari terjadinya konflik sosial ?

A. Kemajemukan Indonesia dan Konflik Sosial
Sebuah masyarakat yang majemuk didalamnya akan terkandung berbagai kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang adat istiadat, budaya, agama dan kepentingan . Seperti yang disampaikan oleh Furnival bahwa masyarakat majemuk (plural societies) adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu dengan lainnya di dalam suatu kesatuan politik (Nasikun, 1986, hal 31). Masyarakat yang majemuk biasanya menghadapi tantangan ketidakharmonisan dan perubahan yang terus menerus. Sedangkan menurut Piere L. van Berghe, masyarakat majemuk memiliki sifat dasar sebagai berikut  :
  1. Terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama lain.
  2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer.
  3. Di antara anggota masyarakat kurang mengembangkan konsensus atas nilai-nilai sosial dasar.
  4. Secara reaktif sering kali terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
  5. Secara reaktif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi
  6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain.
Melihat definisi Furnival dan karakteristik yang diajukan oleh Berghe, telihat bahwa masyarakat Indonesia memilki karakteristik seperti itu. Memang secara vertikal maupun horizontal, masyarakat kita masyarakat yang paling majemuk di Dunia, selain Amerika Serikat dan India. Kemajemukan ini menurut Nasikun  terjadi karena : Keadaan geografis, dengan beribu-ribu pulau; Indonesia terletak di antara Samudra Indonesia dan Pasifik, sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia; Iklim yang berbeda dan struktur tanah yang tidak sama diantara berbagai daerah di kepulauan Nusantara ini. 

Dalam masyarakat yang majemuk, seperti Indonesia, yang terdiri dari bebagai suku bangsa, ras, agama, kelompok dan golongan , masalah pengintergrasian kelompok-kelompok tersebut merupakan masalah yang pelik. Oleh karena itu diperlukan kemampuan untuk memenej konflik tersebut, supaya dapat menghasilkan perubahan sosial ke arah yang lebih baik dan tidak destruktif. 

Konflik dapat terjadi melalui beberapa fase. Fase-fase terjadinya konflik kekerasan adalah sebagai berikut  :

Fase pertama, tahap pendahuluan. Pada fase ini, faktor struktural telah menjadi lahan subur yang kondusif untuk meledaknya konflik kekerasan antar-etnis. Hanya seidikit orang yang memahami secara sadar keadaan yang berkembang …Jika tahap ini gagal ditanggulangi maka realitas sosial memasuki fase kedua . Tahap kedua adalah tahap titik didih. Pada tahap ini, faktor struktural penyebab konflik kekerasan telah benar-benar kondusif bagi meledaknya konfrontasi terbuka antar-etnis yang saling memendam rasa permusuhan. Tindakan saling melecehkan simbol-simbol etnis semakin lebih terbuka. Budaya mulai sering dieksploitasi perbedaannya… Bilamana tahap kedua tersebut gagal diturunkan tensinya, maka akan menginjak babak berikutnya, yakni konflik kekerasan anatar-etnis secara terbuka… Akhirnya sampai ke tahap atau faase keempat, yaitu tahap peredaan konflik, pada tahap ini setiap hal yang mengarah kepada timbulnya konflik baru harus segera ditangkal sedini mungkin…

Mencermati apa yang telah diuraikan tentang fase-fase konflik terlihat bahwa pada setiap fase dimungkinkan untuk terjadinya peneyelesaian konflik. Gambaran tentang fase ini juga menunjukkan bahwa konflik etnis mungkin akan dapat berhenti dengan sendirinya tanpa harus melalui keempat fase tersebut. Yang penting dari itu semua adalah bagaimana mencegah konflik sosial baik yang berlatar belakang agama, etnis, politik maupun ekonomi. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan memenej konflik atau potensi konflik. Salah satu bentuk manajemen konflik yang dapat dilakukan adalah melalui proses pembelajaran di lembaga pendidikan (sekolah). 

Dalam hal ini terlihat bahwa terdapat beban yang sangat berat bagi pendidikan kita terutama pendidikan moral atau proses sosialisasi tentang keberagamaan dan makna dari keberagaman tersebut bagi kehidupan. Oleh karena itu sudah seharusnya kita mulai memikirkan pendidikan multikultur yang mengembangkan konsep toleransi, saling menghargai, saling menghormati dan saling menyadari tentang sebuah perbedaan. Para pendidik harus bekerja keras untuk melakukan reorientasi pembelajaran agama kepada para peseta didik dengan tetap mensosialisasikan nilai-nilai dan norma agama dari masing-masing agama yang diajarkan tetapi dengan mengembangkan konsep multiculturalism education /learning. Karena dengan begitu mekanisme manajemen konflik akan bisa dilaksanakan. Tentunya dengan didukung kebijakan pemerintah tentang pendidikan moral, agama dan sosial. 

B. Antara Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Berbasis Masyarakat
Undang-undang Pendidikan Nasional menyuratkan tentang pendidikan berbasis masyarakat yang didalamnya disebutkan bahwa Pendidikan Berbasis Masyarakat adalah :

Penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat. 

Lebih lanjut dalam Bagian Kedua Pasal 55 tentang pendidikan berbasis masyarakat diuraikan :
  1. Masyarakat berhak meneyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
  2. Penyelenggara pendididkan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan
  3. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Paerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
  4. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah Daerah 
  5. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah. 
Dari ketentuan yang tersurat dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terlihat bahwa pendidikan berbasis masyarakat ditujukan untuk memperoleh output pendidikan yang dapat berperan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun penulis kuatir, keberadaan dari pendidikan berbasis masyarakat ini justru akan menajamkan friksi kemajemukan masyarakat bangsa Indonesia, karena dengan penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan berdasarkan karakteristik wilayah, sosial dan budaya masayarakat Indonesia maka ego kedaerahan akan semakin tinggi dan ini sangat berbahaya. 

Namun bila pendidikan berbasis masyarakat tersebut ditujukan untuk menyelesaikan masalah krisis ekonomi di Indonesia yang kemudian mempengaruhi kemampuan negara untuk menyediakan dana pendidikan, hal ini dapat diterima. Tetapi bila model penddidikan ini akan terus dikembangkan, saya yakin akan terus dikembangkan sebab terligitimasi dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003. Maka yang perlu diantisipasi adalah kemungkinann adanya keberagaman dalam mutu pendidikan, yang disatu sisi hal ini akan mendukung otonomi daerah dan juga otonomi pendidikan, tetapi di sisi lain memiliki kemungkinan yang besar dalam mengancam intergrasi nasional serta mempengaruhi keberhasilan dari pembangunan karakter manusia Indonesia. 

Lain dari itu terlihat juga adanya kemungkinan negara, melepas tanggung jawab dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan dimasing-masing wilayah penyelenggara, hal ini akan sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, perubahan keempat tentang diharuskannya negara menyediakan dana pendidikan sekuarang-kurangnya sebesar 20 % dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah(APBN dan APBD). Seperti terlihat pada penyempurnaan pasal 31 dann 32, yang natara lain :

“mewajibkan pemerintah untuk membiayai sepenuhnya pendidikan wajib belajar (0asal 31 ayat (2))”, “mewajibkan negara menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD (pasal 31 ayat (4)).”

Dugaan itu ternyata memang tidak salah, sebab tujuan utama dari penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat adalah untuk mengatasi dampak krisis ekonomi terhadap pendidikan (Soedijarto, ibid, hal 77)

Sementara pendidikan multi-kultural tersurat dalam beberapa pasal Undang-Undang Sisdiknas, antara lain pasal 3 yang menyatakan bahwa :

“pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulai, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Kalimat menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab menunjukkan adanya tekad untuk melaksanakan pendidikan multikultur. Lebih lanjut dalam pasal 4 Undang-undang ini diuraikan bahwa :
  1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
  2. Pendidikan diselenggarakan sebgai suatu kesatuan yang sitemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
Kedua ayat dalam pasal empat tersebut menyuratkan dan menyiratkan tentang pentingnya pendidikan multikultur dalam rangka mendukung proses demokratisasi dan dalam rangka terciptanya integrasi nasional. 

Apa itu pendidikan multikultural (multicultural education) ? Ada banyak pengertian tentang ini, diantaranya adalah :
  1. Multicultural education is a process through which individuals’ development ways of perceiving, evaluation in behaving within cultural systems, are different from their own (Gibson 1984, in Hernadez, 2001 in Semiawan 2003, pp 6)
  2. we may define multicultural education as the process whereby a person “develops competencies in multiple systems of standards for perceiving, evaluating, believeing and doing “(Saifuddin based on Goodenough definition, 2003, pp. 4)
  3. Muticultural education is a progresseve approach for transforming education that holistically critiques and addresses current shortcomings, failings, and discriminatory practices in education. It is grounded in ideals of social justice, education equity, and a dedication to facilitating educational experiences in which all students reach their full potential as learners and as socially aware and active beings, locally, nationall, and globally. Multicutural education acknowledges that schools are essensial to laying the foundation foor transformation of society and the elimination off oppression and justice.(Budianta, 2003, pp. 8)
  4. Multicultural education as ‘a philosophy, a methodology for educational reform” or “just a set of teaching materials with pedagogical program.” (Gay dalam Budianta, 2003, hal 8)

Dari beberapa definisi tentang multicultural education terlihat bahwa multi cultural education sangat relevan dilaksanakan dalam mendukung proses demokratisasi, dimana adanya pengakuan hak asasi manusia, tidak adanya diskriminasi dan diupayakannya keadilan sosial. Disamping itu dengan pendidikan multikultural ini dimungkinkan seseorang dapat hidup dengan tenang di lingkungan kebudayaan yang berbeda dengan yang dimilikinya. 

Seperti telah diuraikan di muka bahwa masyarakat kita ini masyarakat majemuk dan bahkan paling majemuk di dunia. Karena itu agar kemajemukan ini tidak berkembang menjadi ancaman disintegrasi harus diupayakan untuk dikelola. Bagaimaana pengelolaannya ? Pendidikan salah satu jawaban utamanya. Proses pembelajaran tentang manusia Indonesia harus merupakan mata pelajaran wajib di seluruh tingkatan jenjang pendidikan. Guru, kurikulum, sarana- prasarana, gbpp dan berbagai hal yang diperlukan untuk suatu proses pembelajaran yang mendukung multikulturalisme harus disediakan oleh negara. Mengapa negara ? Negara adalah otoritas tertinggi dalam penyelenggaraan pendidikan. Untuk membentuk manusia Indonesia yang bercirikan ke-Indonesiaan diperlukan adanya penyeragaman dalam beberapa mata pelajaran yang bersifat umum seperti Bahasa Indonesia, Sosia-Budaya Indonesia, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Perbandingan Agama. Mata pelajaran ini adalah mata pelajaran yang mutlak harus diberikan untuk membentuk karakter manusia Indonesia. Selain tentunya mata pelajaran olah raga dan kesenian. Selama ini proses pembelajaran lebih cenderung mengupayakan penyeragaman, dan kurang memperhatikan keragaman masyarakat bangsa Indonesia.

Berbeda dengan pendidikan berbasis masyarakat, dimana model seperti ini akan lebih banyak menimbulkan friksi-friksi dalam masyarakat karena yang ditonjolkan justru ciri kedaerahan yang justru berbeda dengan daerah lainnya. Model ini juga akan banyak menimbulkan masalah ketika kita membicarakan standar kualitas. Walaupun disebutkan bahwa standar kualitas yang digunakan adalah standar nasional, tetapi dengan kemungkinan penyelenggaran evaluasi sendiri dan penentuan kurikulum sendiri serta sarana dan prasanan pembelajaran sendiri dan kesejahteraan guru juga sendiri, maka penulis sangat kuatir bahwa pendidikan model ini justru akan semakin mempersulit terwujudnya integrasi nasional dan sekaligus akan mempersulit terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya, dengan karakteristik Indonesia yang berbudaya Indonesia dan hidup dalam sistem sosial dan politik Indonesia. Ini tantangan bagi dunia pendidikan dimana pendidikan dihadapkan pada konteks desentralisasi dan integrasi nasional, yang menuntut pemikiran yang cermat dalam menentukan strategi pendidikan sebagai upaya untuk membangun karakter bangsa yang diwarnai dengan kemajemukan. 

C. Empat Pilar Pendidikan dan Masalah Kemajemukan 
Dalam buku laporannya ke UNESCO, Jacques Delors, et. al., (1996, hl. 85-97) mengemukkan bahwa ada empat buat sendi/pilar pendidikan, yaitu : 
  1. Learning to know (belajar untuk mengetahui)
  2. Learning to do (belajar untuk berbuat)
  3. Learning to live togather, learning to live with others (belajar untuk hidup bersama)
  4. Learning to be ( belajar untuk menjadi seseorang)
Dalam Pointers and Recommendations, Delors et.al.(hal. 97) mengemukakan bahwa :
Learning to know, dengan memadukan pengetahuan umum yang cukup luas dengan keseempatan untuk mempelajari secara mendalam pada sejumlkah kecil mata pelajaran. Pilar ini juga berarti juga learning to learn (belajar untuk belajar), sehingga memperoleh keuntungan dari kesempatan-kesempatan pendidikan yang disediakan sepanjang hayat.

Learning to do, untuk memperoleh bukan hanya suatu keterampilan kerja tetapi juga lebih luas sifatnya, kompetensi untuk berurusan dengan banyak situasi dan bekerja dalam tim. Ini juga belajar berbuat dalam konteks pengalaman kaum muda dalam berbagai kegiatan sosial dan pekerjaan yang mungkin bersifat informal, sebagai akibat konteks lokal atau nasional, atau bersifat formal melibatkan kursus-kursus, program bergantian antara belajar dan bekerja.

Learning to live together, learning to live with others , dengan jalan mengembangkan pengertian akan orang lain dan apresiasi atas interdependensi—melaksanakan proyek-proyek bersama dan belajar memenej konflik—dalam semangat menghormati nilai-nilai kemajemukan, saling memahami dan perdamaian.

Learning to be, sehingga dapat mengembangkan kepribadian lebih baik dan mampu bertindak mandiri, membuat pertimbangan dan rasa tanggung jawab pribadi yang semakin besar, ingatan, penalaran, rasa estetika, kemampuan fisik, dan keterampilan berkomunikasi.

Dari keempat pilar pendidikan di atas terlihat bahwa pilar learning to live toggether, learning to live with others, dalam konteks kemajemukan merupakan suatu pilar yang sangat penting. Pilar ini sekaligus juga menjadi pembenar pentingnya pendidikan multikultur yang berupaya untuk mengkondisikan supaya peserta didik mempunyai kemampuan untuk bersikap toleran terhadap orang lain, menghargai orang lain, menghormati orang lain dan sekaligus yang bersangkutan mempunyai tanggunga jawab terhadap dirinya serta orang lain. Sehingga bila proses pembelajaran di sekolah diarahkan tidak hanya pada learning to know, lerning to do dan leraning to be, tetapi juga diarahkan ke learning to live together, masalah kemajemukan akan dapat teratasi dengan melakukan manajemen konflik dan dengan demikian akan juga diikuti oleh tumbuhnya kebudayaan nasional yang tidak melupakan kebudayaan daerah, tumbuhnya bahasa nasuonal dengan tidak melupakan bahasa daerah, tumbuhnya sistem politik nasional dengan tanpa mengabaikan sistem politik daerah, (pemerintahan daerah). Secara umum akan tumbuh dan berkembang Sistem Sosial Indonesia, yang berbeda dari Sistem Sosial Amerika, Sistem Sosial Jepang, Sistem Sosial negara-negara lainnya. It is Indonesia so we are Indonesians. Go for it !!!.