PENGERTIAN UMKM DAN KREDIT MKM

PENGERTIAN UMKM DAN KREDIT MKM
Sesuai dengan UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM, pengertian usaha Mikro,
Kecil dan Menengah (MKM) mengacu kepada kriteria usaha, yaitu :
1. Usaha mikro :
a. Usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan
yang memenuhi kriteria usaha mikro.
b. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil
penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

2. Usaha kecil :
a. Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau
bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik
langsung atau maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar
yang memenuhi kriteria usaha kecil.
b. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan
tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan
paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

3. Usaha menengah :
a. Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau
bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik
langsung atau maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar.
b. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah)
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil
penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar
rupiah).

Namun demikian, pengertian kredit Mikro, Kecil dan Menengah (MKM) yang
digunakan dalam penelitian ini masih menggunakan defi nisi yang digunakan untuk
keperluan statistik Bank Indonesia, yaitu kredit mikro adalah kredit dengan plafon
maksimum Rp50 juta, kredit kecil adalah kredit dengan plafon antara Rp50 juta s.d
Rp500 juta, dan kredit menengah adalah kredit dengan plafon antara Rp500 juta s.d
Rp5 miliar.

Pendekatan Silang Budaya Sebagai Pencitraan Budaya Indonesia

Pendekatan Silang Budaya Sebagai Pencitraan Budaya Indonesia 
Memasuki era globalisasi dan teknologi informasi, bahasa Indonesia tidak saja dilihat sebagai aset kebudayaan melainkan merupakan sarana perhubungan dan aset di bidang ekonomi, politik, dan strategi hubungan global, misalnya semakin dipelajarinya bahasa Indonesia di Jepang, Australia, Amerika, dll. Dengan demikian bahasa Indonesia telah menjadi bahasa kedua di negara-negara berbahasa asing yang dipelajari dan diajarkan, khususnya untuk kepentingan politik, ekonomi dan pengembangan hubungan global. Untuk itulah yang perlu dipertanyakan kembali, apakah orang asing yang belajar bahasa Indonesia, hanya belajar bahasa sebagai ilmu bahasa (linguistik) dan untuk kepentingan berkomunikasi dengan penduduk penutur bahasa Indonesia. Kenyataan secara asumtif masih demikian, bahasa Indonesia diajarkan dalam bentuk aturan-aturan linguistik tanpa melihat bahwa keberagaman suku bangsa di Indonesia menyebabkan nilai rasa dan aspek rohaniah masyarakat mempengaruhi bentuk dan makna bahasa Indonesia yang diucapkan. Untuk itu perlu sekali penutur bahasa asing yang belajar bahasa Indonesia harus mempelajari juga aspek psikologis masyarakat Indonesia. Pemahaman aspek kebudayaan dan psikologi masyarakat dan kaitannya dengan berbahasa Indonesia perlu dikenalkan dan diajarkan kepada penutur asing yang sedang belajar bahasa Indonesia. 

Secara historis telah diketahui bahwa bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa nasional sejak Sumpah Pemuda 1928 yang menyatakan “ Kami Bangsa Indonesia mengaku Berbahasa yang Satu Bahasa Indonesia”. Padahal bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa persatuan merupakan salah satu bahasa daerah di Nusantara yaitu bahasa Melayu, sedangkan di luar daerah berbahasa Melayu, masih banyak bahasa daerah lain yang kalau dilihat dari sejarah kebudayaan, sastra dan penuturnya lebih besar, seperti bahasa Jawa, dll. Oleh karena itulah secara psikologis, terdorong oleh sifat nasionalisme yang tinggi serta “beberapa kearifan lokal” menjadikan suku-suku lain menerima bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dengan nama Bahasa Indonesia. Dalam perkembangannya Bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi, bahasa negara dan bahasa nasional dan dikukuhkan dalam UUD 1945 pasal 36.

Dalam pertumbuhannya, bahasa Indonesia digunakan sebagai alat komunikasi antarpenduduk, antarsuku bangsa, yang sudah tentu memiliki latar belakang sosio-kultural yang beragam. Akibatnya bahasa Indonesia yang dituturkan oleh penutur dari Jawa berbeda dengan penutur dari Sunda, Madura, Batak, Bali, Melayu, Irian, Makassar, dll. Persamaan akar bangsa memungkinkan “toleransi pemahaman dan pemaknaan”. Selain itu karena faktor politik, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, yang lebih “berbau” Jawa, karena Pak Harto orang Jawa, berpengaruh terhadap kosa kata sampai pada penamaan gedung-gedung pemerintah dan istilah politik. Suku lain meskipun sulit untuk melafalkan, masih mudah (berusaha) untuk memahami. Persoalan yang timbul bagaimana kalau bahasa Indonesia ini dituturkan oleh penutur asing? Meskipun secara tatabahasa mungkin dapat dipelajari tetapi bagaimana dengan makna yang tersirat yang berhubungan dengan psikologis masyarakat Indonesia yang multikultural dan majemuk? Terlebih bagaimana implikasi pembelajaran BIPA (Bahasa Indonesia Penutur Asing), apakah cukup mengenalkan aspek linguistiknya saja? Tentunya tidak. Perlu pemahaman psikologi masyarakat majemuk Indonesia melalui pendekatan silang budaya. Pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia.

1. Keadaan Sosial Budaya Indonesia
Secara spesifik keadaan sosial budaya Indonesia sangat kompleks, mengingat penduduk Indonesia kurang lebih sudah di atas 200 juta dalam 30 kesatuan suku bangsa. Oleh karena itu pada bagian ini akan dibicarakan keadaan sosial budaya Indonesia dalam garis besar. Kesatuan politis Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas 6000 buah pulau yang terhuni dari jumlah keseluruhan sekitar 13.667 buah pulau. Dapat dibayangkan bahwa bahasa Indonesia yang dijadikan sebagai bahasa nasional belum tentu sudah tersosialisasikan pada 6000 pulau tersebut, mengingat sebagian besar bermukim di pedesaan. Hanya 10-15% penduduk Indonesia yang bermukim di daerah urban. Indonesia sudah tentu bukan hanya Jawa dan Bali saja, karena kenyataan Jawa mencakup 8% penduduk urban. Sementara itu bahasa Indonesia masih dapat dikatakan sebagai “bahasa bagi kaum terdidik/sekolah” pada daerah-daerah yang tidak berbahasa ibu bahasa Indonesia. Bagaimana dengan yang lain? Sementara ada orang asing pada tahun 1998 sangat kebingungan mengartikan kata lengser keprabon yang dalam Kamus Bahasa Indonesia belum tercantum, sedangkan untuk mengartikan lengser keprabon tidak sekedar pengertian definitif dalam semantik bahasa Indonesia. Lengser keprabon (yang sekarang sudah dianggap bahasa Indonesia, seperti dengan kata lain seperti “legawa”) harus dipahami dalam perspektif sejarah kebudayaan dan sistem politik Jawa. Oleh karena itu dengan mempelajari aspek psikologis budaya Jawa, penutur asing dapat memahami makna sebenarnya kata “Lengser Keprabon”. Contoh lain, seperti kata “ Gemah Ripah Loh Jinawi” yang sering digunakan dalam kosa kata bahasa Indonesia yang menggambarkan kesuburan Indonesia, antara penutur Jawa dan Sunda memiliki konsep yang berbeda. Dalam konsep Jawa “Gemah Ripah Loh Jinawi, Subur kang Sarwa Tinandur, Murah kang Sarwa Tinuku, Tata Tentrem Kerta Raharja”, sementara saudara-saudara dari Sunda mengekspresikan dalam “ Tata Tentrem Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi , Rea Ketan Rea Keton Buncir Leuit Loba Duit” yang artinya saudara dari suku Sunda yang lebih memahami. Sementara itu di Sumatera Barat dengan adat Minangkabau yang didalamnya terdapat suatu sistem yang sempurna dan bulat, dalam berbahasa sangat memperhatikan raso, pareso, malu dan sopan, sehingga bahasa Indonesia yang dituturkannya pun sangat terkait dengan psikologi budaya Minangkabau. 

Demikianlah, Indonesia sebagai sebuah “nation state” yang menurut Benedict Anderson merupakan sebuah imajinasi. Kenyataan di dalam “nation state” terdapat komunitas dalam kemajemukan (heterogeneity), perbedaan (diversity). Dengan demikian bahasa Indonesia merupakan suatu pengertian tanda budaya yang didalamnya penuh dengan perbedaan (hibriditas). Hampir sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di daerah “rural” sehingga budaya heterogen pedesaan sangat mewarnai pola tutur bahasa Indonesia. Kenyataan menunjukkan tidak semua masyarakat Indonesia hidup di daerah industri dan berperan sebagai masyarakat industrial, masyarakat informatif, dan bagian dari masyarakat global. Di sebaran pulau-pulau Indonesia masih ditemui kebudayaan “hunting and gathering” yang terdapat secara terbatas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa pulau kecil lain yang kira-kira berjumlah 1-2 juta dengan pola hidup langsung dari alam. Demikian juga kehidupan berkebudayaan nomadis pun masih dijumpai. Hampir semua pula di Indonesia masih banyak kebudayaan masyarakat bercorak agraris, baik dengan bercocok tanam yang berpindah-pindah, pertanian tadah hujan, pertanian irigasi sawah, perkebunan dan pertanian mekanis. Oleh karena unsur budaya agraris masih mendominasi masyarakat Indonesia, maka masih dijumpai masyarakat dengan akar primordialisme yang kuat serta kebiasaan feodal. Hal ini turut mengkondisikan warna kebudayaan Indonesia serta masyarakat dalam bertutur dalam bahasa Indonesia. Terlebih-lebih kondisi sekarang, saat politik memberi kesempatan desentralisasi dan hak otonom, maka semangat primordialisme dapat muncul dalam berbagai aspek salah satunya dalam penggunaan bahasa Indonesia.

Oleh sebab itulah dalam memahami Sosial Budaya dan psikologi masyarakat Indonesia yang nantinya berimplikasi pada tindak tutur berbahasa Indonesia, paling tidak dalam pendekatan silang budaya memperhatikan tiga hal yaitu (a) masyarakat dalam perspektif agama, (b) perspektif spiritual, dan (c) perspektif budaya. Dari perspektif agama, masyarakat Indonesia dalam berperilaku menyelaraskan diri dengan tatanan yang diyakini berasal dari Tuhan, perspektif spiritual merujuk pada pengembangan potensi-potensi internal diri manusia dalam aktualisasi yang selaras dengan hukum non materi, dan perspektif budaya yang merujuk pada tradisi penghayatan dan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan untuk membangun sebuah kehidupan yang comfort baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks perubahan social sekarang masyarakat Indonesia dalam sekat pluralisme terakomodasi secara otomatis dalam civics responsibility, social economics responsibilities, dan personal responsibility.

2. Pendekatan Silang Budaya sebagai Pencitraan Budaya Indonesia
Masalah silang budaya tidak hanya berupaya melihat bahasa dari konteks budaya, tetapi sebagai bentuk ekspresi nurani masyarakat Indonesia yaitu hakikat pola hidup dalam keragaman. Bahasa Indonesia memiliki “roh, jiwa dan semangat” pluralistik yang harus dipakai melalui ekspresi bentuk dan isi bahasa. Kemajemukan masyarakat Indonesia merupakan suatu kenyataan yang dalam tataran satu bahasa nasional disinergikan dengan kepentingan sosial, ekonomi, budaya dan keagamaan. Dengan demikian melalui pendekatan silang budaya, Bahasa Indonesia dapat diajarkan dari tataran formal ke tataran substansial. Pemahaman atas kenyataan pluralistik budaya Indonesia inilah sangat dimungkinkan adanya usaha membangun pola hubungan manusia dan kelompok yang diawali dengan sistem budaya khusnudzan ( sebagai dataran budaya tinggi). 

Pendekatan silang budaya merupakan suatu cara pemahaman budaya sebagai keseluruhan hasil respons kelompok manusia terhadap lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan pencapaian tujuan setelah melalui rentangan proses interaksi sosial. Pokok-pokok yang terpenting adalah kebutuhan dan tujuan mempelajari budaya, lingkungan target budaya, dan interaksi sosial yang diinginkan. Dasar pemahaman yang digunakan adalah masing-masing sub entitas budaya itu mewarisi “ pikiran, perasaan, makna , tanda budaya dan simbol-simbol” yang muncul dalam tuturan berbahasa Indonesia. Kata “Assalamu’alaikum Warrohmatullahiwabarokatuh” memang berasal dari bahasa Arab, karena kata ini dibawa serta oleh ajaran agama Islam. Tetapi kata ini telah identik dengan pola perilaku bangsa Indonesia dan bahasa Indonesia. Untuk memahami dan menggunakan kata ini tidak sekedar dihafal dan dilihat artinya dalam kamus yang sementara diartikan semacam “salam” kepada orang. Padahal menurut pemahaman masyarakat Indonesia, khususnya kaum Muslim, kata ini memiliki makna yang lebih dalam yaitu semacam doa serta penggunaan nama Tuhan, sehingga sebelum diucapkan perlu pemahaman tentang tanda budaya kehidupan Muslim. Demikian juga misalnya sering kita dengar kata “Mendhem Jero Mikul Dhuwur” yang sering digunakan di era orde baru untuk konsep “tenggang rasa terhadap perasaan orang lain, terutama orang /generasi tua”, sudah berbeda artinya ketika kata ini digunakan dalam kalangan sistem tanda budaya Jawa. Oleh sebab itulah untuk memahami sistem tanda budaya dalam pendekatan silang budaya, khususnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia sangat diperlukan sikap yang terbuka (open-minded) serta tidak ada penghalang komunikasi (communication barriers) , baik dalam tindak tutur maupun dalam sikap bahasa. Kadang-kadang kecurigaan (suudzan) menjadikan “keengganan” berbahasa, karena hal inilah yang sering terjadi dalam suatu proses asimilasi. Kecurigaan (suudzan) merupakan persoalan psikologis sebagai akibat sifat stereotipe. Orang mungkin menyangka bahwa suku Jawa sangat identik dengan feodalisme mengingat sistem bahasanya yang berjenjang-jenjang, berputar-putar dan penuh makna konotatif. Padahal ini sebagai salah satu gambaran kurang dipahaminya sosiokultural Jawa, yang sesungguhnya memiliki tiga bentuk masyarakat secara sosiokultural yaitu Keraton, Pesantren dan Pedesaan, atau Pesisir, dan Pedalaman, sehingga memerlukan asimilasi untuk menghindari stereotipe. Asimilasi sebagai salah satu bentuk proses-proses sosial yang erat hubungannya dengan pertemuan dua kebudayaan atau lebih. Pendekatan silang budaya dalam belajar bahasa Indonesia memerlukan asimilasi sosio-struktural atau sharing their experience.

Pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia merupakan upaya membangun citra diri yang didasarkan pada yang dimilikinya dibandingkan dengan berdasar kesejatidirian. Dengan demikian upaya membangun citra diri ini sudah lebih diandalkan pada pemilikan ( to have). Apabila sikap demikian ini menjadi suatu mentalitas dalam kalangan trend setters dalam masyarakat Indonesia dapat digambarkan dampak selanjutnya secara sosial. 

Penutur Bahasa Indonesia bukanlah orang Indonesia dalam arti sesungguhnya. Para penutur bahasa Indonesia adalah suku-suku bangsa di Indonesia yang dipersatukan oleh semangat “nation state”, sebuah gambaran imajinatif, yang senyatanya adalah orang Jawa berbicara bahasa Indonesia, orang Sunda berbicara bahasa Indonesia, orang Minangkabau berbicara bahasa Indonesia. Akar semua ini adalah digunakannya bahasa Melayu sebagai lingua franca dan semangat nasionalisme menghadapi kolonial.

Bahasa Indonesia dalam tata kebudayaan Indonesia adalah sumber pertama sebuah pandangan yang memungkinkan seseorang menangkap gejala ontologis. Masyarakat penutur menangkap kesadaran berbahasa nasional dilakukan dengan sadar dalam sebuah keberaturan dan kebermaknaan (kosmologis). Dengan konsep kosmologis bahasa Indonesia dalam percaturan kebudayaan Indonesia ini, maka dalam mempelajari bahasa Indonesia dengan pendekatan silang budaya akan menjadikan kebudayaan sebagai sistem realitas ( system of reality) dan sistem makna (system of meaning). Dua acuan sistem inilah yang dapat dirujuk dalam pemahaman pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia melalui pengajaran BIPA. Bahasa Indonesia dewasa ini telah merupakan agen perubah sosial suatu masyarakat yang etnisitas, karena bahasa Indonesia menjadikan perubahan cara kerja ( misalnya dari pertanian ke industri), menimbulkan perubahan cara hidup (dari buta huruf ke melek huruf, termasuk dari buta bahasa Indonesia menjadi melek bahasa Indonesia), dan selanjutnya menimbulkan perubahan dalam cara pikir (dari apolitis menjadi politis). Kosa kata, pemilihan kata dan penggunaan kata-kata bahasa Indonesia sekarang selain melihat etnisitas penuturnya juga perubahan-perubahan social yang terjadi di masyarakat. 

Pengalaman saya ketika mengajar bahasa dan kebudayaan Indonesia untuk orang asing, secara tidak sadar selama berbicara bersikap (cara berdiri, menunjuk, dan berperilaku) menunjukkan bahwa saya orang Indonesia yang berasal dari suku Jawa. Selain itu si orang asing bertanya kepada saya bahwa mengapa saya selalu mengucapkan kata “maaf” atau “maaf ... barangkali” untuk memulai percakapan padahal saya tidak membuat kesalahan. Inilah sebuah rasa bahasa yang dapat dipahami melalui pendekatan silang budaya. Demikian juga di kalangan saya bekerja, dengan mudahnya seorang penutur, berganti-ganti bahasa saat berhadapan dengan orang yang berlainan, misalnya sesama pengajar atau dengan mahasiswa berbahasa Indonesia, tiba-tiba masuk seorang staf administrasi, secara otomatis langsung berbahasa Jawa (ingat: bahasa Jawa minimal terdiri dari tiga stratifikasi bahasa: bahasa ngoko, krama, dan krama inggil) dengan staf tersebut. Tak dapat dipungkiri munculnya alih kode dan campur kode dalam proses bertutur dalam bahasa Indonesia.

Dengan meminjam istilah yang pernah ditulis oleh Dr. Ignas Kleden, bahwa bahasa Indonesia memiliki “kedekatan saudara” dengan “Eufemisme Bahasa, Konsensus Sosial dan Kreativitas Kata”. Rasa kata dalam bahasa Indonesia ( maaf: mungkin bagi penutur dari Jawa) lebih banyak digunakan, karena dalam konsep kebudayaan Jawa berkenaan dengan konsep “ adi luhung” tercermin suatu nilai bahwa pemakaian suatu ungkapan yang lembut atau samar harus digunakan untuk mengganti ungkapan yang terang atau kasar. Sudah lazim di Indonesia untuk menyebut orang kedua tunggal dengan “Bapak, Ibu, Pak, Bu, Saudara, Anda” dibandingkan dengan “kau atau kamu” sebagai pertimbangan nilai rasa. Bahkan sebutan “Bung” cukup populer saat Presiden Soekarno menggelorakan semangat nasional ketika awal-awal kemerdekaan Indonesia. Sekarang ada kecenderungan di kalangan anak muda lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta seperti penyebutan kata “ gue (saya) dan lu/elu “. Kata ini disebarkan melalui media TV dalam film-film, iklan dan sinetron bersamaan dengan disebarkannya gaya hidup dan fesyen. Di Malang Jawa Timur yang sehari-hari berbahasa Jawa (Jawa dialek Malangan) dan masyarakat yang terbuka/egaliter ada kebiasaan/tradisi membalik kata yang kemudian menjadi ciri khas, seperti “ wedok” (‘perempuan’) dibalik menjadi “kodew”. Kebiasaan ini oleh kalangan muda dikembangkan ke dalam bahasa Indonesia, misalnya kata “tidak” menjadi “ kadit”, dan lain-lain. Dalam koran lokal pun tradisi ini banyak digunakan. Penutur di luar Malang (pendatang) pada awalnya agak kaku menggunakan, tetapi lama-kelamaan menjadi biasa dan merasa sebagai orang Malang yang terbuka dan egaliter. Pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia yang turut mengkondisikan cara belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing merupakan upaya belajar sistem tingkah laku yang tergantung kepada sistem makna dan sistem nilai kebudayaan “nation state” Indonesia. 

Konsep pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia melalui pengajaran BIPA menunjukkan suatu wacana baru dalam pengajaran Bahasa Indonesia untuk penutur asing dengan menekankan pada pertumbuhan, perubahan, perkembangan dan kesinambungan yang menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang dinamis dan bersinergi dengan kebutuhan masyarakat Informatif. Bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa di Asia yang berpotensi untuk pertukaran kebutuhan informasi dunia, karena ciri pluralistik masyarakat penuturnya. Secara praktis pendekatan silang budaya dalam pengajaran Bahasa Indonesia bagi penutur asing menekankan pada penggalian metode pengajaran bahasa berdasar pola empatik. Pola ini digunakan untuk pemahaman masyarakat majemuk baik secara genetis maupun kultural. 

Konsep pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia melalui pengajaran BIPA merupakan sebuah konsep (yang menurut Ki Hadjar Dwantara disebut ‘tri-kon’) yaitu konsentrisitas, kontinuitas, dan konvergensi. Konsentrisitas menekankan pada suatu inti atau sentrum yaitu dari mana bahasa Indonesia sebagai perkembangan budaya mulai digerakkan; perkembangan ini selanjutnya akan memperkuat inti tersebut. Kontinyuitas menunjuk perkembangan dari waktu ke waktu, yaitu bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, kontemporer, yang kian dipelajari orang asing, dan konvergensi yang menunjuk gerak kebudayaan dalam ruang, saat bahasa Indonesia bersama-sama dengan bahasa bangsa lain menuju suatu bahasa yang bernilai informatif dan global.

3. Pendekatan Silang Budaya dalam Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing
Konsep pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia melalui pengajaran BIPA menunjukkan suatu wacana baru dalam pengajaran Bahasa Indonesia untuk penutur asing dengan menekankan pada pertumbuhan, perubahan, perkembangan dan kesinambungan yang menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang dinamis dan bersinergi dengan kebutuhan masyarakat Informatif. Bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa di Asia yang berpotensi untuk pertukaran kebutuhan informasi dunia, karena ciri pluralistik masyarakat penuturnya. Bahasa Indonesia dan pendekatan silang budaya merupakan upaya “kembali ke etnisitas”. Terlepas dari penafsiran hegemoni sukuisme, dalam belajar bahasa Indonesia (khususnya bagi orang asing) merupakan realitas sosial bahwa pluralisme masyarakat Indonesia berbicara bahasa Indonesia dengan pola pikir, pola hidup dan berdasar nilai etnisitas, sehingga bersifat “Indonesianisasi tata krama komunikasi etnisitas” . Keragaman suku di Indonesia dapat dilihat sebagai perbedaan yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Perbedaan itulah yang dipelajari secara silang budaya untuk dilihat nilai-nilai psikologis masyarakatnya. Silang budaya antar-berbagai tradisi di nusantara baik dengan anasir kesatuan Indonesia sebagai “nation state”, maupun dengan asing sebagai rasional globalisasi tentunya akan membawa ke arah suatu perubahan yang dinamis. Budaya lokal akan melakukan filterisasi sebelum menjadi sebuah acuan. Pendekatan silang budaya akan melakukan kompromi secara sistematik terhadap konteks kearifan budaya lokal di Indonesia. Oleh sebab itu sangat bijaksana sebelum mengajarkan bahasa secara aspek linguistik (pembelajaran berbahasa Indonesia), perlu diajarkan (dikenalkan) pengetahuan budaya-budaya etnik yang meliputi sistem nilai, sistem sosial, dan produk budaya serta implikasinya terhadap tindak berbahasa. Selain itu pengenalan “sikap berbahasa” secara “PDL “ atau “pandang dengar dan lihat” dari guru, tutor/instruktur sangat membantu proses belajar bahasa ini.. Ideologi yang dikembangkan adalah multikulturalisme atau keanekaragaman budaya, sehingga perlu seorang pengajar bahasa Indonesia yang berasal dari (yang merupakan wakil dari) etnis yang ada. Pigura besarnya adalah Linguistik Indonesia sedangkan gambar yang ditampilkan adalah tanda-tanda budaya multikultural. Dalam konsep budaya Jawa hal ini disebut dengan ngertos caranipun ngertos atau pengertian bagaimana caranya mengerti (model pendidikan heuristik).

Secara praktis pendekatan silang budaya dalam pengajaran Bahasa Indonesia bagi penutur asing menekankan pada penggalian metode pengajaran bahasa berdasar pola empatik. Pola ini digunakan untuk pemahaman masyarakat majemuk baik secara genetis maupun kultural. Cara yang dilakukan adalah menggabungkan kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan menangkap kata-kata dan kemampuan menyusun kalimat, kemampuan memahami orang lain, kemampuan memahami emosi sendiri, serta kemampuan melukiskan suatu konsep bahasa dalam perspektif (think in picture), sehingga mampu mempersepsi lingkungan, mengekspresikan konsep dalam gambar, coretan serta lukisan. Hal ini sangat diperlukan dalam mengantarkan pemahaman konsep budaya-budaya etnisitas di Indonesia sebelum ke aspek bahasanya. Dialog, puisi, novel, kliping koran, percakapan dalam drama (misalnya drama tradisional), kajian semiotik atas video klip iklan di TV merupakan sarana (media) yang menarik untuk pembelajaran silang budaya bahasa Indonesia bagi penutur asing. 

Pengertian Kebudayaan Dan Kesenian

Pengertian Kebudayaan Dan Kesenian 
Pengertian Kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal daripada bahasa Sansekerta, iaitu buddhayah yang berasal daripada bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal). Pengertian ini boleh diertikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggeris, kebudayaan disebut culture, yang berasal daripada perkataan Latin ‘colere’, iaitu bermaksud mengolah atau mengerjakan. Pengertian ini bertolak daripada tradisi pekerjaan utama manusia yang berbentuk mengolah tanah atau bertani (kerja-kerja pertanian). 

Budaya dalam pengertian yang lebih luas adalah pancaran daripada budi dan daya sesebuah masyarakat. Hal ini merujuk kepada keseluruhan apa-apa yang difikir, dirasa dan direnung diamalkan dalam bentuk daya menghasilkan kehidupan. Budaya adalah cara hidup sesuatu bangsa atau umat. Budaya tidak lagi dilihat sebagai pancaran ilmu dan pemikiran yang tinggi dan murni dari sesuatu bangsa untuk mengatur kehidupan berasaskan peradaban.

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahawa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah tepat untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandungi keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religious (keagaman), dan lain-lain. 

Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan intelektual, kepercayaan (agama), kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang berada di dalam diri seseorang sebagai anggota masyarakat yang mengamalkan kebudayaan sebagai sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Daripada berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem idea atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat Menurut Koentjoroningrat (1986), kebudayaan dibagi ke dalam tiga sistem, pertama sistem budaya yang lazim disebut adat-istiadat, kedua sistem sosial di mana merupakan suatu rangkaian tindakan yang berpola dari manusia. Ketiga, sistem teknologi sebagai modal peralatan manusia untuk menyambung keterbatasan jasmaniahnya.

Berdasarkan konteks budaya, ragam kesenian terjadi disebabkan adanya sejarah dari zaman ke zaman. Jenis-jenis kesenian tertentu mempunyai kelompok pendukung yang memiliki fungsi berbeda. Adanya perubahan fungsi dapat menimbulkan perubahan yang hasil-hasil seninya disebabkan oleh dinamika masyarakat, kreativitas, dan pola tingkah laku dalam konteks kemasyarakatan.

Shamsudin Othman (2008) menjelaskan bahawa Kebudayaan Malaysia adalah semua aturan akal budi Melayu yang menjadi teras dalam seluruh kehidupan masyarakat hingga sebagian besar rakyat Malaysia dapat mengidentifikasikan diri dan merasa bangga dengan karya yang diciptanya. Kebudayaan Malaysia adalah satu kesepakatan majmuk yang terdiri daripada pelbagai kebudayaan dan berkembang menurut tuntutan sejarahnya sendiri. Pengalaman serta kemampuan kepelbagaian ini mampu memberikan jawapan terhadap keaslian bentuk kesenian dan kebudayaan tersebut.

Apa-apa sahaja yang menggambarkan kebudayaan, misalnya ciri khas:
a. Rumah adat daerah yang berbeda satu dengan daerah lainnya, sebagai contoh ciri khas rumah adat di Jawa mempergunakan joglo sedangkan rumah adat di Sumatera dan rumah adat Hooi berbentuk panggung.
b. Alat musik di setiap daerah pun berbeda dengan alat musik di daerah lainnya. Jika dilihat dari perbedaan jenis bentuk serta motif ragam hiasnya beberapa alat musik sudah dikenal di berbagai wilayah, pengetahuan kita bertambah setelah mengetahui alat muzik seperti Grantang, Tifa dan Sampe.
c. Seni Tari, seperti tari Saman dari Aceh dan tari Merak dari Jawa Barat.
d. Kriya ragam hias dengan motif-motif tradisional, dan batik yang sangat beragam dari daerah tertentu, dibuat di atas media kain, dan kayu.
e. Properti Kesenian Kesenian Indonesia memiliki beragam-ragam bentuk selain seni musik, seni tari, seni teater, kesenian wayang golek dan topeng merupakan ragam kesenian yang kita miliki. Wayang golek adalah salah satu bentuk seni pertunjukan teater yang menggunakan media wayang, sedangkan topeng adalah bentuk seni pertunjukan tari yang menggunakan topeng untuk pendukung.
f. Pakaian Daerah. Setiap etnik memiliki kesenian, pakaian dan benda seni yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
g. Benda Seni. Karya seni yang tidak dapat dihitung ragamnya, merupakan identitas dan kebanggaan bangsa Indonesia. Benda seni atau souvenir yang terbuat dari perak yang beasal dari Kota Gede di Yogyakarta adalah salah satu karya seni bangsa yang menjadi ciri khas daerah Yogyakarta, karya seni dapat menjadi sumber mata pencaharian dan objek wisata.

Kesenian khas yang mempunyai nilai-nilai filosofi misalnya kesenian Ondel-ondel dianggap sebagai boneka raksasa mempunyai nilai filosofi sebagai pelindung untuk menolak bala, nilai filosofi dari kesenian Reog Ponorogo mempunyai nilai kepahlawanan yakni rombongan tentara kerajaan Bantarangin (Ponorogo) yang akan melamar putrid Kediri dapat diartikan Ponorogo menjadi pahlawan dari serangan ancaman musuh, selain hal-hal tersebut, adat istiadat, agama, mata pencaharian, system kekerabatan dan system kemasyarakatan, makanan khas, juga merupakan bagian dari kebudayaan.

h. Adat Istiadat. Setiap suku mempunyai adata istiadat masing-masing seperti suku Toraja memiliki kekhasan dan keunikan dalam tradisi upacara pemakaman yang biasa disebut Rambu Tuka. Di Bali adalah adat istiadat Ngaben. Ngaben adalah upacara pembakaran mayat, khususnya oleh mereka yang beragama Hindu, dimana Hindu adalah agama mayoritas di Pulau Seribu Pura ini. Suku Dayak di Kalimantan mengenal tradisi penandaan tubuh melalui tindik di daun telinga. Tak sembarangan orang bisa menindik diri hanya pemimpin suku atau panglima perang yang mengenakan tindik di kuping, sedangkan kaum wanita Dayak menggunakan anting-anting pemberat untuk memperbesar daun telinga, menurut kepercayaan mereka, semakin besar pelebaran lubang daun telinga semakin cantik, dan semakin tinggi status sosialnya di masyarakat.

Pengertian Seni
Kata "seni" adalah perkataan yang semua orang telah mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda. Konon kata seni berasal dari kata "sani" yang ertinya "Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa". Dalam bahasa Inggris dengan istilah "ART" (artivisial) yang ertinya adalah barang atau karya dari sesuatu kegiatan. Konsep seni terus berkembang sejalan dengan berkembangnya kebudayaan dan kehidupan masyarakat yang dinamis. Beberapa pendapat tentang pengertian seni:

a. Ensiklopedia: 
Seni adalah penciptaan benda atau segala hal yang karena kendahan bentuknya, orang senang melihat dan mendengar

b. Aristoteles : 
seni adalah kemampuan membuat sesuatu dalam hubungannya dengan upaya mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan oleh gagasan tertentu

c. Ki Hajar Dewantara : 
seni adalah indah, menurutnya seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dan hidup perasaannya dan bersifat indah hingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia lainnya.

d. Akhdiat K. Mihardja : 
seni adalah kegiatan manusia yang merefleksikan kenyataan dalam sesuatu karya, yang berkat bentuk dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam rohani sipenerimanya.

e. Erich Kahler : 
seni adalah suatu kegiatan manusia yang menjelajahi, menciptakan realitas itu dengan symbol atau kiasan tentang keutuhan “dunia kecil” yang mencerminkan “dunia besar”.

f. Shamsudin Othman (2009)
Seni adalah satu hasil ciptaan yang penuh dengan unsur-unsur estetika (keindahan) yang dapat dirasai dengan pancaindera dan rasa (perasaan).

Cabang-cabang Seni :
Berdasarkan bentuk dan mediumnya seni dapat diklasifikasikan dalam lima kelompok :
seni rupa, seni pertunjukan, dan seni sastra.

Sifat Dasar Seni
Terdapat 5 ciri yang merupakan sifat dasar seni (The Liang Gie, 1976) yang meliputi :
a. Sifat kreatif: Seni merupakan suatu rangkaian kegiatan manusia yang selalu mencipta karya baru.
b. Sifat individualitas: Karya seni yang diciptakan oleh seorang seniman merupakan karya yang berciri personal, Subyektif dan individual.
c. Nilai ekspresi atau perasaan: Dalam mengapresiasi dan menilai suatu karya seni harus memakai kriteria atau ukuran perasaan estetis. Seniman mengekspresikan perasaan estetisnya ke dalam karya seninya lalu penikmat seni (apresiator) menghayati, memahami dan mengapresiasi karya tersebut dengan perasaannya.
d. Keabadian: sebab seni dapat hidup sepanjang masa. Konsep karya seni yang dihasilkan oleh seorang seniman dan diapresiasi oleh masyarakat tidak dapat ditarik kembali atau terhapuskan oleh waktu.
e. Semesta atau universal: sebab seni berkembang di seluruh dunia dan di sepanjang waktu. Seni tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Sejak zaman pra sejarah hingga jaman modern ini orang terus membuat karya seni dengan beragam fungsi dan wujudnya sesuai dengan perkembangan masyarakatnya.

Struktur Seni
The Liang Gie (1976) menjelaskan bahwa dalam semua jenis kesenian terdapat unsur-unsur  yang membangun karya seni sebagai berikut:
a. Struktur seni merupakan tata hubungan sejumlah unsur-unsur seni yang membentuk suatu kesatuan karya seni yang utuh. Contoh struktur seni dalam bidang seni rupa adalah garis, warna, bentuk, bidang dan tekstur.

Bidang seni musik adalah irama dan melodi. Bidang seni tari adalah wirama, wirasa dan wiraga. Bidang seni teater adalah gerak, suara dan lakon.

b. Tema merupakan ide pokok yang dipersoalkan dalam karya seni. Ide pokok suatu karya seni dapat dipahami atau dikenal melalui pemilihan subject matter (pokok soal) dan judul karya. Pokok soal dapat berhubungan dengan niat estetis atau nilai kehidupan, yakni berupa: objek alam, alam kebendaan, suasana atau peristiwa yang metafora atau alegori. Namun tidak semua karya memiliki tema melainkan kritik.

c. Medium adalah sarana yang digunakan dalam mewujudkan gagasan menjadi suatu karya seni melalui pemanfaatan material atau bahan dan alat serta penguasaan teknik berkarya. Tana medium tak ada karya seni.

d. Gaya atau style dalam karya seni merupakan ciri ekspresi personal yang khas dari si seniman dalam menyajikan karyanya. Menurut Soedarso SP (1987), gaya adalah ciri bentuk luar yang melekat pada wujud karya seni, sedangkan aliran berkaitan dengan isi karya seni yang merefleksikan pandangan atau prinsip si seniman dalam menanggapai sesuatu.

Pengertian Nilai Seni
Menurut (Purwadarminto, 1976), kata “nilai” diertikan sebagai harga, kadar, mutu atau kualitas. Untuk mempunyai nilai maka sesuatu harus memiliki sifat-sifat yang penting yang bermutu atau berguna dalam kehidupan manusia. Dalam estetika, “nilai” diertikan sebagai keberhargaan (worth) dan kebaikan (goodness). Menurut Koentjaraningrat,“nilai” bererti suatu ide yang paling baik, yang menjunjung tinggi dan menjadi pedoman manusia/ masyarakat dalam bertingkah laku, mengapresiasi cinta, keindahan, keadilan, dan sebagainya. Nilai seni dipahami dalam pengertian kualiti yang terdapat dalam karya seni, baik mutu yang bersifat ‘kasar mata’ mahupun yang tidak ‘kasar mata’. Nilai-nilai yang dimiliki karya seni merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang dihayati oleh seniman/ seniwati dalam lingkungan sosial budaya masyarakat yang kemudian diekspresikan dalam wujud karya seni dan dikomunikasikan kepada penikmatnya (publik seni).

Menurut The Liang Gie jenis nilai yang melekat pada seni mencakup: 
1) nilai keindahan,
2) nilai pengetahuan, 
3) nilai kehidupan.

Nilai seni adalah sebahagian daripada nilai keindahan yang disebut sebagai nilai estetik, iaitu merupakan salah satu persoalan estetis yang menurut cakupan pengertiannya dapat dibezakan menurut pengertian yang lebih luas, yakni: 
a) keindahan dalam erti abstrak (keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral dan keindahan intelektual)
b) keindahan dalam erti estetik murni
c) keindahan dalam erti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan.

Keindahan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan pada prinsipnya mengkaji tentang hakikat keindahan dan kriteria keindahan yang terdapat di alam, dalam karya seni dan benda-benda lainnya.

Dalam kecenderungan perkembangan seni dewasa ini, keindahan positif tidak lagi menjadi tujuan yang paling penting dalam berkesenian. Sebagai seniman beranggapan lebih penting menggoncang publik dengan nilai estetik legatif (ugliness) daripada menyenangkan atau memuaskan mereka. Fenomena semacam ini akan kita jumpai pada karya-karya seni primitir atau karya seni lainnya yang tidak mementingkan keidahan tampilan visual namun lebih mementingkan makna simboliknya. “Ugliness” dalam karya seni termasuk nilai estetis yang negatif. Jadi sesungguhnya dalam karya seni terdapat nilai estetis yang positif dan negatif.

Pengertian Ekspresi
Ekspresi adalah proses ungkapan emosi atau perasaan di dalam proses penciptaan karya seni, proses ekspresi bisa diaktualisasikan melalui media. Media musik bunyi; media seni rupa adalah garis, bidang dan warna; media tari adalah gerak, media teater adalah gerak, suara dan lakon.

Fungsi dan Tujuan Seni
a. Fungsi Religi/Keagamaan
Karya seni sebagai bentuk keagamaan. Contoh: kaligrafi, busana muslim/muslimah, dan lagu-lagu rohani. Seni yang digunakan untuk sebuah upacara yang berhubungan dengan upacara kelahiran, kematian, ataupun pernikahan. Contoh: Gamelan yang dimainkan pada upacara Ngaben di Bali yakni gamelan Luwang, Angklung, dan Gambang. Gamelan di Jawa Gamelan Kodhok Ngorek, Monggang, dan Ageng.

b. Fungsi Pendidikan
Seni sebagai media pendidikan misalnya muzik. 
  • Contoh: ‘Keroncong’ yang di dalamnya terdapat kerjasama, angklung dan gamelan juga bernilai pendidikan disebabkan kesenian tersebut mempunyai nilai sosial, kerjasama, dan disiplin. 
  • Pelajaran seni (Pendidikan Seni Visual) yang menggabungkan bantuan kemahiran seni. Contoh: gambar, ilustrasi, buku pelajaran, filem ilmiah atau dokumen, poster, lagu anak-anak, dan media-media lain.
c. Fungsi Komunikasi
Seni dapat digunakan sebagai alat komunikasi seperti pesan, kritik sosial, kebijakan, gagasan, dan memperkenalkan produk kepada masyarakat. Melalui media seni tertentu seperti, wayang kulit, wayang orang dan seni teater, dapat pula syair sebuah lagu yang mempunyai pesan, poster, drama komedi, dan reklame.

d. Fungsi Rekreasi/Hiburan
Seni yang berfungsi sebagai sarana melepas kejenuhan atau mengurangi kesedihan, sebuah pertunjukan khusus untuk berekspresi atau mengandung hiburan, kesenian yang tanpa dikaitkan dengan sebuah upacara ataupun dengan kesenian lain.

e. Fungsi Artistik
Seni yang berfungsi sebagai media ekspresi seniman dalam menyajikan karyanya tidak untuk hal yang komersial, misalnya terdapat pada musik kontemporer, tari kontemporer, dan seni rupa kontemporer, tidak bias dinikmati pendengar/pengunjung, hanya bisa dinikmati para seniman dan komunitasnya.

f. Fungsi Guna (seni terapan)
Karya seni yang dibuat tanpa memperhitungkan kegunaannya kecuali sebagai media ekspresi disebut sebagai karya seni murni, sebaliknya jika dalam proses penciptaan seniman harus mempertimbangkan aspek kegunaan, hasil karya seni ini disebut seni guna atau seni terapan. Contoh : Kriya, karya seni yang dapat dipergunakan untuk perlengkapan/peralatan rumah tangga yang berasal dai gerabah dan rotan. 

g. Fungsi Seni untuk Kesehatan (Terapi)
Pengobatan untuk penderita gangguan physic ataupun medis dapat distimulasi melalui terapi musik, jenis musik disesuaikan dengan latar belakang kehidupan pasien. Terapi musik telah terbukti mampu digunakan untuk menyembuhkan penyandang autisme, gangguan psikologis trauma pada suatu kejadian, dan lain-lain. Menurut Siegel (1999) menyatakan bahwa musik klasik menghasilkan gelombang alfa yang menenangkan yang dapat merangsang sistem limbic jarikan neuron otak. Menurut Gregorian bahwa gamelan dapat mempertajam fikiran.

Apresiasi Seni
Apresiasi Seni adalah menikmati, menghayati dan merasakan suatu objek atau karya seni lebih tepat lagi dengan mencermati karya seni dengan mengerti dan peka terhadap segi-segi estetiknya, sehingga mampu menikmati dan memaknai karya-karya tersebut dengan semestinya. S.E. Effendi mengungkapkan bahwa apresiasi adalah mengenali karya sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan untuk mencermati kelebihan dan kekurangan terhadap karya.

Kegiatan apresiasi meliputi:
a. Persepsi
Kegiatan mengenalkan pada anak didik akan bentuk-bentuk karya seni di Indonesia, misalnya, mengenalkan tari-tarian, musik, rupa, dan teater yang berkembang di Indonesia, baik tradisi, maupun moderen. Pada kegiatan persepsi kita dapat mengarahkan dan meningkatkan kemampuan dengan mengidentifikasi bentuk seni.

b. Pengetahuan
Pemberian pengetahuan sebagai dasar dalam mengapresiasi baik tentang sejarah seni yang diperkenalkan, maupun istilah-istilah yang biasa digunakan di masing-masing bidang seni. 

c. Pengertian
Membantu menterjemahkan tema ke dalam berbagai wujud seni, berdasarkan pengalaman, dalam kemampuannya dalam merasakan musik. 

d. Analisis
Mendeskripsikan salah satu bentuk seni yang sedang dipelajari, menafsir objek yang diapresiasi.

e. Penilaian
Melakukan penilaian tehadap karya-karya seni yang diapresiasi, baik secara subjektif maupun objektif.

f. Apresiasi
Menurut Soedarso (1987) ada tiga pendekatan dalam melakukan apresiasi, yakni: 

i. pendekatan aplikatif
Pendekatan aplikatif, adalah pendekatan dengan cara melakukan sendiri macam-macam kegiatan seni.

ii. pendekatan kesejarahan
Pendekatan kesejarahan adalah, dengan cara menganalisis dari sisi periodisasi dan asal usulnya

iii. Pendekatan problematic
Sedangkan pendekatan problematik, dengan cara memahami permasalahan di dalam seni.

Seorang pengamat akan berbeda dengan pengamat lainnya dalam menilai sebuah pertunjukan seni. Hal ini didasarkan pada pengalaman estetik, dan latar belakang pendidikan yang berbeda.

Pemetaan dan Konservasi Disain Batik Tradisi sebagai Langkah Cultural Haritage dalam Pengembangan Berbasis Local Genius di Era Industri Kreatif

Pemetaan dan Konservasi Disain Batik Tradisi sebagai Langkah Cultural Haritage dalam Pengembangan Berbasis Local Genius di Era Industri Kreatif 
Arus globalisasi dan perubahan sistem membawa implikasi luas terutama terhadap keberadaan karya tradisi seperti kerajinan batik tradisi di Kec. Tirtomoyo, Kab. Wonogiri. Pengaruh globalisasi disatu sisi memberi pengaruk kuat masuknya budaya global kedalam masyarakat lokal melalui berbagai media, sehingga akan mendesak atau mempengaruhi unsur-unsur budaya lokal untuk berubah bahkan diambil alih. Disisi lain, globalisasi sekaligus juga memberi kemungkinan terjadinya dialog antar budaya lokal dan budaya global, sehingga terjadilah dialog budaya yang saling menguntungkan. Warisan budaya lokal seperti seni batik tradisi dalam berbagai bentuknya menjadi kekayaan masyarakat yang menyimpan pengetahuan serta kearifan lokal yang tinggi nilainya. Penelitian ini mencoba menginventarisasi warisan seni batik tradisi Jawa, sehingga dapat menjadi hak kekayaan intelektual masyarakat setempat. Karena budaya seni kerajinan batik tradisi di Kec. Tirtomoyo, Kab. Wonogiri merupakan salah satu warisan budaya masyarakat yang masih berkembang sampai saat ini. Dalam penelitian ini difokuskan pada permasalahan yang dibahas, yaitu : Berdasarkan permasalahan tentang batik tradisi di Kec. Tirtomoyo, Kab. Wonogiri yang diuraikan di atas, maka dapat dibuat suatu rumusan mengenai permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut: Bagaimana latar belakang adanya batik tradisi di Kec. Tirtomoyo, Kab. Wonogiri, dalam kaitannya dengan budaya Surakarta. Bagaimana mengembangkan jenis-jenis motif batik tradisi. Bagaimana mengembangkan proses dan bahan yang digunakan untuk produk tenun ikat tradisi. Bagaimana mengembangkan kualitas produk batik tradisi di Kec. Tirtomoyo, Kab. Wonogiri melalui pengembangan disain dan fungsi dalam rangka peningkatan ekonomi produk kreatif di era global.

Secara garis besar penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian yang mendalam tentang peningkatan produk tenun ikat tradisi melalui pengembangan disain. Adapun penelitian yang dilakukan mengarah kajiannya untuk: Mengetahui latar belakang adanya batik tradisi di Kec. Tirtomoyo, Kab. Wonogiri dalam kaitannya dengan budaya Surakarta, Mengembangkan jenis-jenis motif batik tradisi di Kec. Tirtomoyo, Kab. Wonogiri, Mengembangkan proses dan bahan yang digunakan untuk produk batik tradisi, dan dapat dijadikan salah satu dasar pengembangan kualitas produk batik tradisi di Kec. Tirtomoyo, Kab. Wonogiri melalui pengembangan disain, material, fungsi dalam rangka peningkatan kualitas dan ekonomi produk kreatif di era global, serta perlindungan HKI, publikasi majalah nasional terakreditasi dan buku ajar.

Metode penelitian, penelitian kualitatif diarahkan pada kondisi aslinya di mana subjek penelitian berada. Peneliti menjelajahi kancahnya dan menghabiskan waktunya untuk mengumpulkan data sampai secara langsung dan mengarahkan kajiannya pada interpretasi obyek menurut apa adanya. Berdasarkan masalah yang diteliti dalam penelitian ini yaitu mengenai latar- belakang, jenis pola batik tradisi, serta makna simbolis dan estetis dalam batik tradisi di Kec. Tirtomoyo, Kab. Wonogiri. Maka bentuk penelitian tindakan (action research) yang di pakai studi kasus tunggal. Studi kasus tunggal merupakan studi kasus terpancang yang mempunyai sifat menyeluruh masih tampak bahwa berbagai faktor yang dipandang tetap saling berkaitan dan berinteraksi, hanya faktor selain masalah utamanya tidak menjadi fokus dan tidak banyak dibahas. Sumber data yang dimanfaatkan dalam penelitian ini berupa: Karya seni yang berupa pola batik tradisi, Informan yang terdiri: Para seniman batik tradisi, baik yang profesional, akademik, Para ahli yang mengetahui bidang kerajinan batik tradisi di Kec. Tirtomoyo, Kab. Wonogiri, orang-orang yang terlibat, Peristiwa proses pembuatan batik tradisi di Kec. Tirtomoyo, Kab. Wonogiri, dan Arsip dan dokumen serta catatan yang diperoleh dari berbagai pihak. Teknik pengumpulaan data sebagai berikut: Wawancara bersifat “open-ended” dan mendalam yang dilakukan secara formal maupun non formal, Oleh karena itu wawancara ini sering disebut in-depth- interviewing. Observasi dapat dilakukan secara langsung atau juga sering disebut observasi partisipasi langsung dapat dilakukan dengan berperan. Artinya observasi berperan, perilaku yang bergayutan dan kondisi lingkungan yang tersedia di lokasi penelitian dapat diamati secara formal maupun tidak formaln di tempat industri kreatif batik di Tirtomoyo, Kab. Wonogiri dengan tujuan dapat berinteraksi dengan informan.

Dokumen dan arsip yang berupa catatan dan pola batik di Kec. Tirtomoyo Kab. Wonogiri sangat berarti dan merupakan salah satu data fisik. Teknik Cuplikan yang digunakan lebih bersifat “purposive sampling” atau tepatnya merupakan cuplikan dengan “criteriation based selection”. Penelitian kualitatif ini memakai cara untuk meningkatkan keabsahan data dalam pe- nelitiannya, yaitu dengan cara “triangulasi data”. Proses analisis dalam penelitian ini terdapat tiga komponen utama yang harus benar-benar dilakukan, yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Tiga komponen tersebut terlibat dalam proses yang saling berkaitan serta menen tukan hasil akhir.

Pembahasan; Latar belakang keberadaan Batik Wonogiren dimulai dari pengembangan desain motif batik Mangkunagaran. Pengertian Batik Wonogiren bukan dari Kabupaten Wonogiri, tetapi hasil karya seorang pembatik asal Keraton Mangkunagaran. Nama Wonogiren adalah istri seorang Bupati Wonogiri bernama Kanjeng Wonogiren. Batik Wonogiren adalah batik dengan babaran cara Kanjeng Wonogiren. Pada perkembangannya Babaran Wonogiren digemari oleh masyarakat pengguna kain batik pada saat kekuasaan KGPAA Mangkunagara VII – VIII. Batik Wonogiren merupakan salah satu motif untuk memberi ciri khas dan menandai daerah kekuasaannya di daerah Wonogiri. Tirtomoyo merupakan daerah pembatikan terbesar di Kabupaten Wonogiri, yang mempunyai kaitan erat dengan sejarah masuknya seni kerajinan batik ke Wonogiri. Peran masyarakat Kecamatan Tirtomoyo dalam pengembangan desain Batik Wonogiren adalah menghasilkan motif-motif Batik Kreasi Baru dengan remukan Wonogiren. Inspirasi motif batik tersebut berasal dari tradisi, kondisi alam Wonogiri, pesanan konsumen, dan fenomena masyarakat di Wonogiri. Batik Wonogiren hasil kreasi para perajin batik di Kecamatan Tirtomoyo memberi peran nyata dalam membangun perekonomian masyarakat sekitar, dan menjadi salah satu produk unggulan di Kabupaten Wonogiri yang berkaitan dengan sektor industri, perdagangan serta pariwisata. Peran tidak langsung dari aktivitas pengembangan desain tersebut adalah menjaga keberadaan batik sebagai Pemetakan dan Konservasi Disain Batik Tradisi Sebagai Langkah Cultural Haritage DalamPengembangan Berbasis Local Genious di Era Industri Kreatif dalam menghadapi pengaruh global. Peran yang utama adalah masyarakat harus mampu mengembalikan citra batik sebagai seni rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat. Pada jaman dahulu Batik Wonogiren merupakan bagian dari Batik Mangkunagaran yang berasal dari hasil legitimasi penguasa (raja) sebagai simbol kekuasaan. 

Visualisasi Batik Wonogiren dipengaruhi oleh pengalaman dan wawasan penciptanya. Faktor sejarah keberadaan para pembatik Pura Mangkunagaran yang mengembangkan usaha di Wonogiri, menjadi awal tumbuhnya keahlian para pengusaha dan perajin di Kecamatan Tirtomoyo dalam menghasilkan motif-motif batik dengan tetap memperhatikan aspek-aspek desain. Pada umumnya perajin Batik Wonogiren memvisualisasikan karya atau mengekspresikan idenya ke dalam bentuk dua dimensi secara instingtif, bahkan hanya menuruti kepekaan rasa yang terlatih karena kebiasaan membatik. Sosial dan budaya adalah faktor yang saling terkait dan mempengaruhi pengembangan desain Batik Wonogiren. Faktor sosial bersifat mikro yang member sumbangan pengembangan desain Batik Wonogiren, hidup dalam masyarakat berupa sifat dan tata aturan kehidupan di daerah yang bersangkutan. Sosial terbangun dari hasil interaksi para perajin dengan berbagai komunitas dan situasi. Faktor budaya bersifat makro yang secara langsung mempengaruhi visualisasi motif Batik Wonogiren. Faktor tersebut meliputi kontak antar daerah pembatikan, kepercayaan, adat istiadat, letak geografis daerah pembuat batik, dan keadaan alam sekitarnya.

Kontak atau hubungan antar daerah pembatikan menjadi salah satu faktor budaya pada uraian di atas, karena Kecamatan Tirtomoyo memiliki hubungan dengan Pura Mangkunagaran dari segi sejarah. Proses membatik di daerah tersebut berasal dari para pembatik Pura Mangkunagaran. Pembatikan mengalami perkembangan secara perlahan menyesuaikan sifat dan aturan kehidupan di daerah tersebut, termasuk cara masyarakat hidup dengan adat istiadat sebagai manifestasi kepercayaan. Letak geografis dan keadaan alam sekitar mempengaruhi keanekaragaman desain motif. Desain dalam hal ini berperan sebagai sarana antara alam pikiran dan realitas pada masyarakat. Arus globalisasi dan perubahan sistem membawa implikasi luas terutama terhadap keberadaan karya tradisi seperti kerajinan batik tradisi di Kec. Tirtomoyo, Kab. Wonogiri. Pengaruh globalisasi disatu sisi memberi pengaruk kuat masuknya budaya global kedalam masyarakat lokal melalui berbagai media, sehingga akan mendesak atau mempengaruhi unsur-unsur budaya lokal untuk berubah bahkan diambil alih. Disisi lain, globalisasi sekaligus juga memberi kemungkinan terjadinya dialog antar budaya lokal dan budaya global, sehingga terjadilah dialog budaya yang saling menguntungkan. Warisan budaya lokal seperti seni batik tradisi dalam berbagai bentuknya menjadi kekayaan masyarakat yang menyimpan pengetahuan serta kearifan lokal yang tinggi nilainya. Penelitian ini mencoba menginventarisasi warisan seni batik tradisi Jawa, sehingga dapat menjadi hak kekayaan intelektual masyarakat setempat. Karena budaya seni kerajinan batik tradisi di Kec. Tirtomoyo, Kab. Wonogiri merupakan salah satu warisan budaya masyarakat yang masih berkembang sampai saat ini.

Macam - Macam Batik dan Proses Pengerjaannya

Macam - Macam Batik dan Proses Pengerjaannya 
Awalnya batik merupakan pakaian raja-raja di Jawa pada abad-abad yang lalu kemudian berkembang menjadi pakaian sehari-hari masyarakat Jawa. Meskipun batik identik dengan pakaian adat Jawa, namun kini batik sudah menjadi pakaian nasional bagi masyarakat Indonesia, bahkan sudah banyak pula dikenal di manca negara. Penggunaannyapun tidak lagi sebagai pakaian adat tetapi sudah mengikuti perkembangan mode busana baik bagi wanita maupun pria, bahkan biasa digunakan sebagai desain interior dan perlengkapan rumah tangga. 

Macam batik dapat dibedakan menjadi : 
1. Batik Klasik, dan 
2. Batik Modern. 

1. Batik Klasik
Batik klasik mempunyai nilai dan cita rasa seni yang tinggi, dengan pengerjaan yang rumit dan dalam waktu berminggu-minggu. Batik klasik mempunyai pola-pola dasar tertentu dengan berbagai macam variasi motif, seperti kawung, parang, nitik, tuntum, ceplok, tambal, dan lain sebagainya. Bahan dasar batik berupa kain katun putih kwalitas halus, juga kain sutera putih, batik dengan bahan sutera akan menghasilkan warna yang lebih hidup.

Proses Pembuatan Batik Klasik
Hampir setiap orang pernah melihat batik. Bahkan banyak diantaranya yang pernah melihat cara pembuatan batik. Mereka mengira bahwa mereka melihatnya dalam perjalanannya di Jawa sewaktu kunjungan ke sebuah tempat kerja batik dimana para wanita menggambar desain-desain pada kain putih dengan sebuah canting. Bagian ini, dimana sesungguhnya merupakan penerapan malam adalah hanya satu dari berbagai langkah pemrosesan yang harus dilakukan untuk menjadikan suatu barang bernama batik.

A. Persiapan 
Kain katun putih dengan lebar kira-kira 110 cm dan panjang 240 cm digarap sebelumnya agar bisa dipakai untuk pengolahan selanjutnya. Penggarapan ini terdiri dari mencuci, menganji, menjemur dan mengetuknya, suatu proses yang memakan waktu berhari-hari.

Design
Jika kain sudah siap untuk proses selanjutnya, maka motif-motif digambar dengan mengikuti pola yang sudah tersedia pada kertas atau langsung menggambar pada kain bagi pengrajin batik yang telah ahli. Setelah desain dibuat maka satu persatu diberi warna. Namun bisa juga menggambar keliling desain dulu supaya bidang-bidangnya bisa ditutupi. Cara menggambar dilakukan dengan cairan malam yang keluar dari canting dalam bentuk pancuran halus, sedangkan ukuran canting pun bervariasi. 

Canting berbentuk seperti poci teh kuningan kecil sebesar kepala pipa tembakau dan bertangkai kayu. Semakin kecil canting semakin halus aliran malam yang keluar. Sebelumnya malam dicairkan dengan cara memanaskan lebih dulu, yang terpenting adalah menjaga suhu agar tepat. Kemudian pada permukaan kain sebaliknya, dilakukan desain dan pengerjaan yang sama agar tidak terdapat perbedaan di kedua sisi kain batik. 

B. Pewarnaan 
Selanjutnya kain bisa dicelupkan dalam bahan pewarna biru. Pewarnaan/pencelupan ini diulang berkali-kali hingga hasilnya tercapai. Pada produk-produk bermutu tinggi pewarnaan hingga 30 kali adalah suatu keharusan. Pewarna tradisional adalah indigo, keistimewaan warna ini adalah warnanya baru timbul sesudah kain yang diberi pewarna ini dijemur dan terkena udara. Jika kain masih basah maka bagian-bagian desain yang akan diberi warna coklat, dikerik malamnya. Setelah itu bagian-bagian yang diberi warna biru dan tetap harus berwarna biru juga ditutup dengan malam. Kemudian kain dicelup ke dalam pewarna coklat.


Bahan pewarna tradisional untuk coklat adalah soga, sejenis kulit pohon tertentu. Penggarapan warna yang baik memakan waktu 15 hari, dengan 3 macam pewarnaan perhari. Bagian-bagian yang mula-mula diwarna biru dan kemudian diwarna coklat menjadi hitam warnanya. Dengan demikian terjadilah tiga warna dari dua bahan pewarna, yaitu biru, coklat dan hitam. Dan disamping itu beberapa bagian tetap berwarna putih.

C. Penghilangan Malam 
Setelah pengulangan pewarnaan dilakukan sehingga sesuai. Selanjutnya seluruh malam dapat dilepaskan, hal ini dilakukan dengan meng-godog hingga cair, dan cairan malam akan mengapung di permukaan. Setelah itu kain dicuci lagi.

Pengerjaan batik pada kain sutera digunakan tehknik yang berbeda, karena memerlukan malam dan bahan pewarna yang berbeda agar tidak merusak kain suteranya.

Hasil proses pembuatan batik tersebut di atas disebut batik tulis. Jenis lainnya adalah batik cap, dimana pada proses penggambaran dengan canting pada batik tulis digantikan dengan menggunakan cap (seperti gambar di bawah ini) untuk menerapkan malam pada kain.

Batik klasik dikenal dengan bermacam ukuran dan penamaan yakni :
  • batik kain panjang dengan lebar 110 cm X panjang 240 cm, 
  • batik kain sarung (sekitar 105cmX200cm),
  • selendang (45~60cmX200~300cm),
  • iket kepala (90cmX90cm) dan 
  • kemben (60cmX200cm).
Pada penggunaan sehari-harinya batik banyak ditemui dalam berbagai bentuk seperti berbagai macam pakaian resmi pada pria dan wanita, dan bermacam bahan untuk dekorasi interior rumah, kantor ataupun hotel, juga variasi rumah tangga seperti, taplak meja, napkins, place mats, tas, sarung bantalan, bedcover, bed sheet, dan lainnya.

2. Batik Modern

Berbeda dengan batik klasik, pada batik modern motif maupun pewarnaan tidak tergantung pada pola-pola dan pewarnaan tertentu seperti pada batik klasik, namun desainnya bisa berupa apa saja dan warna yang beraneka macam. Batik modern juga menggunakan bahan-bahan dan proses pewarnaan yang mengikuti perkembangan dari bahan-bahan pewarnanya. Terkadang pada beberapa area desain, canting tidak dipergunakan namun dengan menggunakan kuas dan untuk pewarnaan kadang diterapkan langsung dengan menggunakan kapas atau kain. Dengan kata lain, proses pembuatan batik modern hampir seperti batik klasik namun desain dan pewarnaannya terserah pada citarasa seni pembuat dan tergantung bahan-bahan pewarnanya. Bahkan dengan berkembangnya bahan dasar kain dan bahan kain berwarna, batik modern menjadi semakin bervariasi, seperti misalnya batik pada bahan katun lurik Jogja , bahan kain poplin, bahan piyama, bahan wool, dsb.

Proses Pembuatan Batik Modern
Pengerjaan pada batik modern memiliki prinsip yang sama seperti pada proses pembuatan batik klasik karena batik modern merupakan perkembangan dari variasi batik klasik.

A. Persiapan 
Kain katun yang akan dibatik terlebih dahulu dicuci agar terbebas dari bahan-bahan yang masih dikandung oleh kain ketika proses penenunan/pembuatan kain, ini dimaksudkan agar pada proses pewarnaan nantinya tidak akan berpengaruh oleh bahan-bahan tersebut. Selanjutnya kain yang dipersiapkan dikeringkan.

B. Desain 
Desain dilakukan langsung di atas kain dengan menggunakan pensil atau apapun yang jika nantinya dicuci pada akhir pemrosesan batik maka coretan tersebut bisa hilang, atau desain dapat pula menggunakan pola-pola yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Setelah desain siap maka dilakukan pembatikan awal dengan menggunakan canting ataupun kuas pada coretan desain tersebut. Pada proses pembatikan perlu diperhatikan bagian mana yang akan diberi warna berbeda, mengikuti desain dan hasil warna yang dikehendaki.

C. Pewarnaan 
Proses pewarnaan berbeda-beda tergantung dari bahan pewarna dan teknik mewarna yang ingin digunakan. Pada dasarnya pada pewarnaan tahap pertama warna yang digunakan adalah warna yang lebih muda dahulu, ini disebabkan pada proses batik pewarnaan nantinya akan dilakukan secara berulang-ulang tergantung dari banyaknya warna yang diinginkan. Bahan-bahan pewarna tersebut antara lain Naphtol, Indigosol, Basis, Procion, dsb.

Pada proses ini juga masih dilakukan pembatikan pada warna-warna yang ingin dicapai pada akhir proses.

Setelah proses pewarnaan selesai maka dilakukan proses penghilangan malam batik/dilorod dengan cara memasukkan kain tersebut ke dalam air panas, setelah seluruh malam batik hilang dari kain selanjutnya kain dicuci hingga bersih.

Di bawah ini diberikan beberapa contoh dari teknik batik dan pewarnaan batik modern.

Contoh teknik pengerjaan pewarnaan batik dengan teknik batik pikaso:
1. Kain dibatik dengan malam dan diselesaikan menurut proses pembatikan.
2. Kain dibentang horisontal.
3. Dioles rata dengan larutan Natrium-silikat.
4. Dilukis dengan larutan zat warna reaktip (Remazol, Drimarene) dengan menggunakan kuas.
5. Dibiarkan satu malam agar terjadi ikatan antara zat warna dan kain.
6. Dilorod dan dicuci. 

Contoh batik dengan bahan dasar lurik Jogja dengan motif gaya Toraja: 

1. Bagian putih dibatik dengan motif gaya Toraja.
2. Bagian jalur kembangan lurik (warna hitam) yg tidak dibatik ditutup dengan malam.
3. Dicelup warna oranye, dengan resep perliter larutan:
· 3 gram ZAT PEWARNA Naphtol AS - OL
· 1 gram ZAT PEWARNA Naphtol AS
· 9 gram garam oranye GC
· 1 gram garam GC

4. Dilorod.
3. Batik Lukisan
Dengan perkembangan-perkembangan teknik maupun pewarnaan batik tersebut, maka batik pun diaplikasi dalam berbagai bidang seni lain diantaranya, seni lukis batik (batik painting) yaitu lukisan dengan menggunakan media bahan, pemrosesan dan pewarnaan seperti halnya pada pembuatan batik.

Proses Pembuatan Batik Lukis
Dipersiapkan kain katun atau sutera seluas bidang lukis yang diinginkan.
Kemudian dibuat sket atau coretan-coretan atau apapun tergantung dari masing-masing orang yang ingin membuatnya, karena terkadang untuk langsung menuangkan ekspresi seninya, pembatikan di atas kain dilakukan tanpa menggunakan sket atau coretan-coretan terlebih dahulu namun langsung mencoretkan malam dengan canting ataupun kuas di atas kain. Pada batik lukis ini seringkali pembatikan dan pewarnaan dilakukan beriringan untuk mendapatkan hasil lukisan yang diinginkan.Khusus pada pewarnaan untuk menciptakan efek-efek khusus, gradasi atau efek-efek yang lainnya terkadang selain kuas digunakan juga kapas atau potongan kain.

Yang terpenting dalam proses pembuatan batik lukis ini adalah perpaduan antara pengerjaan pembatikan dan pewarnaan yang tergantung dari citarasa seni pembuatnya. Sesungguhnya pembuatan batik lukis ini sangatlah rumit ketika ingin mendapatkan warna dan efek yang diinginkan karena terkadang warna dan efek tersebut tidak dapat tercapai. Namun jika warna dan efek tersebut dapat tercapai maka akan mendapatkan lukisan dengan warna yang sangat indah luar biasa. Disinilah kelebihan dari lukisan batik dibanding lukisan lain.Lukisan yang indah akan terlihat pada kain setelah proses pelorodan malam batik dilakukan

Selain seni lukis batik tersebut masih banyak seni batik lainnya dan salah satunya yang berhubungan dengan kerajinan tangan adalah seni batik kayu (wood batik) yaitu pembatikan yang dilakukan diatas media kayu ataupun pahatan kayu dengan pemrosesan dan pewarnaan batik.

4. Batik Cetak / Printed Batik
Dengan berkembangnya industri-industri pada teknik tekstil, maka cara pembuatan batik, bahan pewarna batik dan bahan dasar kain batik pun ikut berkembang, sehingga berbagai jenis dan motif batik dapat dihasilkan dengan cepat dan dalam jumlah yang sangat besar. 

Cara yang jauh lebih cepat lagi adalah mencetak desai-desain batik dengan mesin-mesin cetak / rotasi film yang modern (printed). Seringkali, dipasaran luas ditemukan tekstil dengan motif-motif seperti batik. Untuk membedakan antara batik yang asli dengan batik hasil cetak (batik imitasi), pada batik asli, warna-warnanya jelas terlihat pada kedua sisi kain. Tetapi jika hanya satu sisi kain yang terlihat jelas warnanya dan sisi yang lain kurang atau tidak terlihat jelas warnanya, maka yang demikian itu adalah batik cetak. Batik pencetakan (batik pabrik) adalah batik imitasi, sehingga jauh lebih murah dari batik klasik ataupun modern yang dibuat secara manual (batik asli). 

Namun pembedaan seperti di atas akan sulit dilakukan jika bahan kain yang digunakan adalah kain yang tipis semisal sutera ataupun sutera tiruan, karena warna akan muncul pada kedua sisi hampir sama, untuk membedakan ini perlu kejelian yaitu dengan memperhatikan detail gambar, maka akan terlihat dan dapat dibedakan antara coretan buatan tangan atau coretan buatan mesin. 

Walaupun demikian, setiap orang bisa membeli menurut kesanggupannya dan tergantung dari nilai dan seni yang ada pada barang tersebut.

Pengertian Dan Ragam Seni Grafis

Pengertian Dan Ragam Seni Grafis 
Seni grafis termasuk bagian dari seni rupa yang berdimensi dua. Istilah grafis diambil dari bagasa Inggris graph atau graphic yang berarti membuat tulisan, gambar atau lukisan dengan cara ditoreh atau digores.

Grafis juga berarti gambaran yang nyata. Seni grafis adalah karya seni rupa dua dimensi yang proses pembuatannya melalui teknik cetak. Dalam sejarah kebudayaan manusia di nusantara, seni cetak sudah ada sejak zaman batu dengan bukti gambar cap tangan yang ada di dinding Gua Leang-leang, di Sulawesi Selatan.

A. Ragam Seni Grafis
Seni grafis ada beberapa macam. Pembagian jenis grafis dilakukan berdasarkan teknik pembuatannya. Bahan dan alat yang diperlukan dalam berkarya grafispun sangat beragam, sesuai dengan teknik yang digunakan;

Cetak tinggi adalah ragam karya seni grafis yang proses pembuatannya melalui tahapan pembuatan cetakan dari bahan yang dicukil sehingga permukaan menjadi tinggi dan rendah (relief). Bagian yang tinggi ini dilumuri tinta cetak dengan alat rol karet. Kemudian dicetakkan dengan pada lembaran kertas sehingga membentuk gambar sesuai dengan cetakannya. Teknik cetak tinggi menggunakan bahan hardboard, karet, kayu, aluminium atau kertas karton, kertas tela, cat minyak dan tinta. Sedangkan alat yang digunakan yakni pisau pahat dan roll. Contoh cetak tinggi kita temukan pada pembuatan cap atau stempel. 

Cetak saring (screen printing) adalah ragam karya seni grafis yang proses pembuatannya melalui tahapan pembuatan cetakan dari bahan screen atau kain yang dilapisi bahan peka cahaya. Screen lalu ditutup film dan dilakukan penyinaran. Kemudian, screen dicuci dan terbentuklah cetakan berlobang (saring) sesuai dengan filmnya. Cat dituangkan di atas screen dan di rakel sehingga membentuk gambar sesuai dengan cetakannya. Teknik cetak saring menggunakan afdruk seperti cromatine, ulano, cat sablon dan film. Sedangkan alatnya berupa screen, rakel dan meja sablon. Cetak sablon termasuk jenis cetak saring. Sablon banyak kita jumpai pada pembuatan gambar dan tulisan pada kaus dan spanduk.

Cetak dalam (intaglio print) adalah ragam seni grafis yang dibuat dengan cetakan dari bahan plat aluminium yang ditoreh dengan alat tajam sehingga membentuk goresan yang dalam. Tinta kemudian dituangkan pada goresan dalam tersebut dan di atasnya diletakkan kertas yang sudah dibasahi air. Tinta akan melekat pada kertas dan terbentuklah gambar sesuai dengan cetakan. Teknik cetak dalam dapat menggunakan bahan aluminium, kertas dan tinta. Sedangkan alatnya paku atau besi runcing.

Cetak foto atau fotografi adalah ragam seni grafis yang proses pembuatannya melalui pemotretan dengan kamera, pencucian film, dan pencetakan gambar foto. Teknik cetak afdruk untuk fotografi menggunakan film, kertas foto dan bahan cuci film. Untuk alatnya digunakan kamera. Ada satu lagi jenis cetak yang terkait dengan fotografi ini, yaitu teknik cetak digital. Teknik ini menggunakan bahan kertas dan tinta dengan alat kamera digital, computer dan printer.

B. Cetak Tinggi
1. Bahan dan Peralatan
Bahan dan peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan plat klise adalah kayu atau papan, kertas polos, tripleks, karet, dan hardboard. Selain itu peralatan yang digunakan pahat, pencukil kayu, pensil, gunting, pisau cutter, dan gergaji

2. Proses Pembuatan Plat Klise untuk Cetak Tinggi
Langkah pertama pada proses pembuatan plat klise adalah membuat sket di atas plat/klise tersebut. Kemudian, cungkil dengan pahat gravfis (pahat V) atau pahat coret. Setelah itu, berilah tinta pada permukaan papan tadi dengan cara di rol lalu dicapkan pada permukaan kertas polos. Gambar yang tadi ditoreh akan berpindah ke atas permukaan kertas.

C. Sablon 
Perlengkapan Sablon 
  • Screen (kain kasa / monyl) adalah kain yang berfungsi sebagai sarana untuk membentuk gambar di atas benda-benda yang akan disablon. Kain screen dapat berupa sutera, serat polyester, katun, nylon, monyl, nytal, dll. Pori-pori kain screen harus bisa dilalui oleh cairan apa saja. Misalnya air, minyak kental atau encer, cat tembok/duco, dll. Pemilihan kerapatan pori-pori kain tergantung bahan yang akan disablon. Untuk itu, ada tiga jenis screen : 
  1. Monyl berukuran halus No 180 T – 200 T, digunakan untuk mencetak di atas dasar yang tidak meresap tinta/cat, misalnya kaca, botol, mika, plastik, seng dll 
  2. Monyl berukuran sedang No 120 T – 150 T, digunakan untuk mencetak di atas dasar yang menyerap sedikit cat/tinta, misalnya kertas, karton, kayu, kulit, dll. 
  3. Monyl berukuran kasar No 60 T – 90 T, digunakan untuk mencetak di atas dasar yang paling banyak menyerap cat/tinta, misalnya kaos kain, dll 
  • Meja cetak. Di atas meja ini kita melakukan penyablonan
  • Bingkai atau kerangka alat cetak yang terdiri dari bingkai aluminium dan kayu.
  • Engsel catok atau penyekat, agar bingkai dan kain tidak bergoyang sewaktu disablon. 
  • Rakel, untuk menyapukan dan neratakan tinta pada kain atau bahan lain yang disablon.
  • Rak jemur atau rak susun untuk mengangin anginkan hasil sablonan.
Selain itu, ada perlengkapan penunjang untuk menyablon seperti hair dryer, atau kipas angin dan penyemprot air. Juga ada bahan pracetak yang terdiri dari kaporit, ulano, lakban, krim deterjen, dan screen laquer.

Proses Pembuatan Klise Positif 
Sebelum proses mencetak, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membuat gambar rancangan (klise positif). Dalam membuat gambar rancangan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Bahan untuk membuat gambar biasanya menggunakan kertas, plastic, mika atau plastic film. Syaratnya adalah transparan, agar pada waktu pengeksposan (penyinaran) bagian yang seharusnya tidak tembus tinta akan terkena sinar secara utuh tanpa terkurangi intensitasnya oleh keburaman bahan (opasitas). Setelah disinari, bagian ini akan tertutup semburna/hitam pekat sehingga tinta tidak akan tembus pada saat pengeksposan.

Penggambaran model dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu menggambar langsung di kertas putih polos, langsung pada screen, setting lewat computer, dan dengan fotografi.

Manual
Menggambar langsung di atas kertas polos putih bisanya menggunakan rapido atau drawing pen, agar hasilnya, baik tulisan maupun gambar jelas dan tajam. Selanjutnya gambar yang sudah jadi diolesi dengan menggunakan minyak kelapa agar kertas polos putih tadi menjadi transparan. Kemudian minyak yang ada dikertas tersebut dibersihkan dengan kertas sejenis. Setelah kering bisa dilakukan pengeksposan gambar atau afdruk.

Langsung di Screen
Setelah kasan jadi, bersihkan dari kotoran-kotoran seperti minyak dan debu. Caranya dengan mencucinya didalam air panas dan bila perlu beri sedikit soda abu supaya bersih. Pekerjaan selanjutnya adalah memberi corak atau gambar pada kasa screen. Selanjutnya areal yang tidak diinginkan tembus tinta, diolesi dengan emulsi yang sudah dicampur sensitizer. Dengan demikian, hanya daerah yang diolesi emulsi yang nantinya tidak tembus tinta. Setelah selesai proses pengolesan, dikeringkan di terik matahari dan langsung digunakan untuk mencetak.

Setting computer
Setting computer dimulai dengan pembuatan desain model untuk kemudian dicetak dengan menggunakan printer jenis laser jet, supaya kualitas gambarnya baik dan kualitas tintanya tajam (hitam pekat), cara ini relatif lebih praktis dan mudah menghasilkan gambar yang bervariasi. 

Fotografi
Teknik fotografi merupakan teknik pembuatan gambar yang memiliki kualitas paling baik dibanding dengan ketiga cara di atas.hanya prosesnya agak lama dan kurang praktis, selain itu biayanya cukup mahal. Gambar yang akan dibuat terlebih dahulu dirancang/didesain dengan computer secara manual. Setelah gambar sesuai dengan yang kita harapkan, gambar dipotert. Cara ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas gambar dari model yang akan dicetak. Gambar akan lebih tajam dengan detail yang jelas. Gambar yang dihasilkan berupa positif film.

Afdruk / Pengeksposan 
Afdruk atau pengeksposan atau penyinaran adalah proses memindahkan gambar dari model ke screen dengan bantuan bahan yang disebut emulsi.

Berikut ini tahapan afdruk, antara lain :
1. Pelapisan (Coating)
a. Campurlah emulsi dengan sensitizer (obat afdruk siap pakai) bermerek yang kalian punyai, lalu aduk hingga rata.
b. Campurlah emulsi tadi dioleskan pada permukaan screen dengan menggunakan alat bantu coater (pelapis). Selain itu, juga dapat menggunakan mika atau penggaris plastik yang panjangnya sesuai dengan kebutuhan sampai benar-benar rata (usahakan pengadukan dan pengolesan dilakukan di dalam ruangan yang gelap) 

2. Pengeringan awal (start drying)
Pengeringan dapat dilakukan dengan bantuan hair dryer, atau didiamkan saja sampai kering sendiri. Pada saat kering usahakan agar tidak terkena sinar matahari atau lampu yang mengandung sinar ultra violet seperti neon. Jika terkena sinar, maka emulsi akan terbakar dan tidak dapat digunakan untuk proses selanjutnya.

3. Penyinaran (eksposing)
Tujuan penyinaran adalah untuk memindahkan gambar yang berbentuk positif ke dalan screen. Penyinaran dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan sinar matahari atau dengan menggunakan meja afdruk (sinar lampu)

Meja Afdruk
  • kaca bening 3 mm
  • bantakan busa
  • kain gelap
  • beban afdruk
  • lampu sorot
  • meja afdruk
Sinar Matahari
  • kaca bening 5 mm
  • bantalan busa
  • kain gelap
4. Pengembangan
a. pengentian reaksi
b. Proses Pengenbangan
Tusir 
Pengeringan akhir

Unsur-Unsur Utama Gambar Ilustrasi Dan Sejarah Seni Ilustrasi di Indonesia

Unsur-Unsur Utama Gambar Ilustrasi Dan Sejarah Seni Ilustrasi di Indonesia
Istilah ilustrasi berasal dari bahasa Latin Ilustrare yang berarti menjelaskan. Penjelasan ini berhubungan dengan buku pelajaran, buku ilmiah, buku cerita, karya sastra, majalah dan surat kabar. Selain itu ilustrasi dapat berfungsi untuk menghias halaman buku atau majalah dan surat kabar pada kolom-kolom tertentu. Jadi, gambar ilustrasi merupakan karya seni rupa dua dimensi ynag bertujuan untuk memperjelas suatu pengertian

Seni Ilustrasi di Indonesia sudah dikenal sejak lama, hanya tidak dipopulerkan seperti saat ini. Hal ini terbukti dengan banyaknya gambar-gambar yang terdapat dilembaran daun lontar yang fungsinya juga sebagai penghias. Contoh lainnya yaitu wayang beber. Wayang ini berupa lembaran ilustrasi yang ceritanya dituturkan dimuka umum oleh seorang dalang, bukan dimainkan seperti boneka (wayang kulit dan wayang golek). Sedangkan seni ilustrasi modern seperti yang kita kenal sekarang baru berkembang sejak masa penjajahan Belanda. 

Ketika Balai Pustaka didirikan pada tanggal 22 september 1917 , banyak bermunculan ilustrator dari Indonesiayang bekerja di majalah Panji terbitan Balai Pustaka. Misalnya Ardisoma, Abdul Salam 'Kasidi' Nasroen dan sebagainya. Selain itu juga banyak ilustrator Belanda seperti J. Van Der Heyden, Juan Sluiters dan Susan Beynon. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya buku-buku terbitan Indonesia yang menggunakan ilustrator Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang, kemajuan pemuda Indonesia pada bidang penulisan dan penerbitan membuat pamerintah Jepang merasa khawatir dan curiga akan terjadinya pemberontakan sehingga dibentuklah badan sensor. Tujuannya agar setiap hasil karya pada pemuda yang keluar sesuai dengan keinginan pemerintah Jepang. Ilustrator yang terkenal pada saat itu adalah Karyono, Norman Carmil dan Surono yang bekerja pada majalah Asia Raya. 

Indonesia mulai membuat ilustrasi untuk uang kertas sendiri pada masa Orde Lama. Dengan kemajuan yang pesat dibidang tehnologi penerbitan dan ilustrasi maka pada tahun 1951 pelukis Oesman Effendi dan ilustrator Abdul Salam dikirim ke Belanda untuk mempelajari cara-cara membuat ilustrasi pada uang kertas, yang nantinya tehnik-tehnik ini akan diajarkan di tanah air. 

Pada masa orde baru ilustrator Indonesia berkembang dengan pesat bagaikan jamur tumbuh di musim hujan, terutama ilustrasi buku-buku cerita maupun buku-buku pengetahuan dari berbagai penerbitan. 

Berikut ini adalah ilustrator yang bekerja pada majalah atau koran terbitan Indonesia. Diantaranya : 
  • Henk Ngantung, pada majalah Intisari 
  • Delsy syamsumar, pada majalah Varia 
  • G.M. Sidharta, pada harian Kompas 
  • Danarto, Mulyadi W., Ipe Ma'ruf' pada majalah si kuncung 
  • Teguh Santoso, pada majalah Tanah Air 
  • Cahyono, Adi Permadi, pada majalah Bobo 
  • S. Prinka, pada majalah Tempo 
  •  Prie G.S. Gunawan, pada harian Suara Merdeka dan Cempaka 
1. Unsur Utama Gambar Ilustrasi
1. Gambar manusia 
Untuk dapat menggambar tokoh manusia yang baik kita perlu mengetahui dan menguasai proporsi dan anatomi tubuh manusia, baik yang masih anak-anak maupun yang sudah dewasa. Proporsi artinya perbandingan bagian per bagian dengan keseluruhan. Sedangkan anatomi adalah kedudukan struktur tulang dan otot-otot yang menentukan besar kecil dan cekung cembung (menonjol-tidaknya) tubuh manusia sehingga menentukan bentuk keseluruhan tubuh. 

Proporsi manusia 
- Proporsi tokoh pahlawan: 
panjang kepala x 8 atau 1 : 8 

- proporsi orang barat: 
panjang kepala x 7,5 atau 1: 7,5 

- proporsi orang indonesia: 
panjang kepala x 7 atau 1 : 7 


Sketsa dan detail wajah 


Gambar tangan dan kaki 

Gambar manusia dalam pose berbagai gerak 

2. Gambar Tokoh Binatang 
Dalam menggambar tokoh binatang juga perlu diperhatikan proporsi dan anatominya. Jenis dan bentuk binatang dapat dikelompokkan menjadi binatang darat, udara dan air. 

Proporsi kuda, salah satu binatang darat 

Gambar kuda dengan berbagai posisi 

Ilustrasi binatang udara 

Ilustrasi binatang air 

3. Gambar tumbuhan 
Tumbih-tumbuhan yang hidup di muka bumi beraneka ragam jenisnya. Masing-masing memiliki bentuk yang berbeda-beda. Akan tetapi pohon-pohon yang satu famili memiliki bentuk yang hampir sama. Misalnya pohon palem dan pohon kelapa hampir sama bentuknya dengan pohon pinang. Untuk itu, banyaklah berlatih menggambar berdasarkan pengamatanmu akan tumbuh-tumbuhan di sekitarmu. 

Menggambar tumbuhan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu secara sederhana dan lengkap. Dalam menggambar secara sederhana, tumbuhan tidak digambarkan secara mendetail, tetapi hanya berupa kesan tumbuhan. Dalam menggambar lengkap, tumbuhan digambarkan dengan mendetail dan cermat bagiannya. 

Dua cara menggambar tumbuhan sederhana 

2. Corak Gambar Ilustrasi
Realis artinya gambar dibuat sesuai dengan keadaan yang sebenarnya' baik proporsi maupun anatomi dibuat sama menyerupai dengan obyek yang digambar. 

Gambar ilustrasi yang bersifat karikatural dibedakan menjadi dua, yaitu gambar karikatur dan gambar kartun. Karikatur berasal dari bahasa Italia "caricature" yang berarti melebih-lebihkan atau mengubah bentuk (deformasi). Gambar karikatur hampir sama dengan kartun tetapi menampilkan obyek seseorang dengan karakter yang aneh dan lucu dan mengandung sindiran atau kritikan. Pada umumnya penggambaran ditonjolkan pada bagian kepala dengan tidak meninggalkan karakter tokoh yang digambar. Karikaturis Indonesia yang terkenal adalah: Sibarani, T. Sutanto, Pramono, G.M. Sidharta, Alex Dinuth dan sebagainya. 

Kartun adalah gambar yang berfungsi menghibur karena berisikan humor. Gambar kartun dapat berupa tokoh binatang atau manusia. Gambar ini banyak dijumpai pada majalah, surat kabar, buku komik, dan sebagainya. Tokoh yang dikenal sebagai bapak kartun modern adalah William Hogart dari Inggris yang hidup pada tahun 1697-1764 . Sedangkan kartunis Indonesia yang terkenal adalah Hari Pede, Gunawan Raharjo, Itos Budi Santoso dan sebagainya. 

Gambar kartun sering disebur juga gambar animasi. Gambar animasi kini banyak dibuat menjadi film animasi seperti film kartun Disney, Doraemon, Shin-can dan sebagainya. 

Gambar dekoratif diwujudkan dengan cara menstilir atau mengubah bentuk-bentuk yang ada di alam tanpa meninggalkan ciri khasnya. 

Corak dekoratif adalah corak yang sering kita temukan terutama didalam rumah. Contohnya: ornamen ukir (yang diterapkan pada peralatan rumah tangga seperti kursi, tempat tidur, lemari dan sebagainya), wayang kulit dan bentuk hasil karya kerajinan lainnya. 

3. Ragam Gambar Ilustrasi
Komik berasal dari kata comic yang berarti lucu atau jenaka. Dalam penyajiannnya, komik terdiri dari rangkaian gambar yang satu dan lainnya saling melengkapi dan mengandung suatu cerita yang disebut comic strip. Deretan gambar tersebut menceritakan suatu kisah yang diambul dari peristiwa sehari-hari. Comic strip kemudian berkembang menjadi suatu cerita komik yang dibuat dalam buku tersendiri. 

Cover berarti kulit atau sampul pada majalah atau buku. Gambar pada cover memuat atau mewakili isi buku atau majalah. Dalam pembuatan cover hendaknya memperhatikan isi dan karakter dari buku atau majalah sehingga buku atau majalah itu kelihatan menarik. 

Di majalah atau surat kabar di bagian sebelum atau sesudah tulisan selesai sering terdapat gambar. Gambar ini berfungsi sebagai pengisi tempat yang kosong yang sering disebut vignette (baca=vinyet). Vignette adalah gambar yang berfungsi untuk menghias atau mengisi kolom atau halaman kosong pada majalah atau surat kabar. 

Gambar ilustrasi juga sangat menolong dalam memahami buku pelajaran. Misalnya pada pelajaran biologi, untuk menjelaskan sistem pencernaan pada hewan tentunya memerlukan gambar ilustrasi. Pada mata pelajaran sejarah dwngan pokok bahasan mengenai candi tentunya gambar ilustrasi candi akan menambah daya tarik dalam menjelaskannya. 

Suatu karya sastra dengan berbagai jenis, seperti cerita pendek atau cerita bergambar akan lebih menarik bila terdapat gambar ilustrasinya. Selain itu ilustrasi akan membuat orang tertarik untuk membacanya. Ilustrasi mewakili cerita tang terkandung didalamnya. 

4. Media Gambar Ilustrasi
1. Media hitam putih 
Pada masa lalu banyak orang menggambar ilustrasi menggunakan trekpen sebagai alat utama dan tinta bak sebagai pewarnanya. Trekpen dipakai karena penggunaannya yang mudah, yaitu dengan mata trekpen ke dalam tinta sampai berkali-kali selama dipakai untuk menggambar. Dengan perkembangan tehnologi banyak perlatan yang lebih mudah dan praktis, yaitu dengan menggunakan spidol, rapido, pena bahkan dengan menggunakan komputer. 

2. Media pewarnaan 
a. Cat air 
Cat air dalam bahasa belanda disebut water verf, sedangkan dalam bahasa inggris disebut water colour. Menurut arti katanya cat air ialah cat atau bahan yang dipakai untuk mewarnai sesuatu dan penggunaannya memakai air. 

Sedangkan menurut sifatnya cat air terbagi menjadi 2 jenis, Transparant water colour dan Nontransparant/opaque water colour. Transparant water colour adalah cat air yang mempunyai sifat transparan atau tembus pandang. Warna-warnanya lebih cemerlang tetapi tidak mengilat (dove). Warna putih adalah warna kertas yang dipakai sebagai dasar. nontransparant/opaque water colour merupakan cat air yang mempunyai sifat tidak tembus pandang. Cat air ini mempunyai daya penutup yang kuat atau opaque tetapi warnanya tidak bisa cemerlang melainkan agak mengilat. Cat air jenis ini juga sering disebut sebagai poster colour. 

b. pensil warna 
Jenis pensil ini banyak mengandung lilin. Biasanya pilihan warnanya sangat banyak, tapi bahannya agak sulit digunakan tergantung dari kualitas pensil warnanya. Dengan ketekunan dan ketelatenan, gambar ilustrasi yang menggunakan pensil warna dapat dihasilkan dengan baik. 

5. Langkah Menggambar Ilustrasi
1. Gagasan 
Gagasan bersumber dari bahan yang akan diilustrasikan. Contohnya karya seni sastra, musik, tari atau drama di nusantara. Setelah ada gagasan, tentukanlah adegan apa yang akan digambar siapa saja tokohnya bagaimana suasananya serta apa saja benda atau latar belakang pendukung suasana. Misalnya mengambil cerita malin kundang dari sumatera barat dengan adegan malin kundang menjadi batu. Tokoh yang ada: Malin Kundang, ibu dan istrinya. Latar belakangnya di pelabuhan, sehingga ada dermaga dan kapal. Tentukan pula corak gambar dan media yang akan digunakan. 

2. Sketsa 
Proses menggambar yang paling awal adalah mensket atau membuat rancangan gambar (sketsa). Pada umumnya kita menggunakan pensil gambar. Namun, dapat juga langsung mensket dengan menggunakan media yang akan dipakai misalnya pensil warna, pastel, krayon, cat air, tinta bak dan sebagainya. 

Gagasan yang ada dituangkan bersamaan dengan proses mensket. Sket berbentuk garis dan bidang yang merupakan bentuk global (sederhana) dari gagasan kita. 

Rencanakan gambar baik-baik. Buatlah coretan kira-kira bagaimana tata letak objek yang digambar dan bagaimana gerak yang terjadi. Misalnya: Malin Kundang yang berdiri menjadi batu di bagian kanan gambar, si ibu di sebelah kiri menunjuk 0alin -undang, si istri di belakang Malin Kundang dengan kedua tangan menutup mulutnya, serta kapal di latar belakangagak ke kiri. Buatlah agar adegan terlihat wajar, tidak direka-reka. Perhatikan proporsi dan komposisi unsur gambar. 

Satukan semua unsur gambar yang direncanakan, seperti tumbuhan pantai, awan, beberapa orang pembantu Malin Kundang dan lain-lain. Beri detail sehingga gambar lebih sempurna. Buat gambar sesuai corak yang telah ditentukan. Setiap unsur harus bercorak sama agar tak terkesan seperti kolase. 

3. Pewarnaan 
Setelah sket dianggap selesai, kita dapat mewarnai. Pewarnaan dalam menggambar ekspresi dapat dilaksanakan dengan dua corak' yaitu corak realis dan corak bukan realis (ekspresionisme, impresionisme, abstrakisme dan lain-lain). 

Pewarnaan corak realis harus disesuaikan dengan keadaan nyata, misalnya: gunung berwarna biru, pohon berwarna hijau, tanah berwarna coklat dan sebagainya. Namun perhitungkan juga efek cahaya yang dapat mengubah warna. 

Pewarnaan corak bukan realis lebih bebas maksudnya tidak terikat oleh kelaziman warna. Misalnya: langit diwarnai hijau, gunung diwarnai merah muda, pepohonan diwarnai biru dan sebagainya. Perhatikan kesan warna yang dipakai untuk corak ini. Misalnya: memilih warna-warna menyala saja, warna pastel, warna hangat atau warna sejuk.