KONSEP DASAR DAN PERKEMBANGAN PENGERTIANNYA DARI MASA KE MASA
Hak-hak asasi manusia (HAM) atau
sebenarnya tepatnya harus disebut dengan
istilah 'hak-hak manusia' (human rights)
begitu saja adalah hak-hak yang
(seharusnya) diakui secara universal sebagai
hak-hak yang melekat pada manusia karena
hakekat dan kodrat kelahiran manusia itu
sebagai manusia. Dikatakan ‘universal’
karena hak-hak ini dinyatakan sebagai
bagian dari kemanusiaan setiap sosok
manusia, tak peduli apapun warna kulitnya,
jenis kelaminnya, usianya, latar belakang
kultural dan pula agama atau kepercayaan
spiritualitasnya. Sementara itu dikatakan
‘melekat’ atau ‘inheren’ karena hak-hak itu
dimiliki sesiapapun yang manusia berkat
kodrat kelahirannya sebagai manusia dan
bukan karena pemberian oleh suatu
organisasi kekuasaan manapun. Karena
dikatakan ‘melekat’ itu pulalah maka pada
dasarnya hak-hak ini tidak sesaatpun boleh
dirampas atau dicabut.
Pengakuan atas adanya hak-hak manusia
yang asasi memberikan jaminan secara
moral maupun demi hukum kepada
setiap manusia untuk menikmati kebebasan
dari segala bentuk perhambaan,
penindasan, perampasan, penganiayaan
atau perlakuan apapun lainnya yang
menyebabkan manusia itu tak dapat hidup
secara layak sebagai manusia yang
dimuliakan Allah. Berabad-abad lamanya
manusia dalam jumlah massal hidup dalam
keadaan tak diakui hak-haknya yang asasi
demikian itu. Jutaan manusia dalam sejarah
hidup dalam kedudukannya yang rendah
sebagai ulur-ulur atau hamba-hamba.
Banyak pula yang bahkan harus hidup
sebagai budak-budak tawanan yang dapat
diperjualbelikan oleh "para Gusti" yang
mengklaim kekuasaannya sebagai
kekuasaan yang berlegitimasi supranatural.
Dalam keadaan seperti itu, berabad-abad
lamanya manusia dalam jumlah massal
harus hidup dalam kondisi yang amat tak
bermartabat, tak mempunyai harta milik
sebagai bekal hidup yang layak, dan bahkan
tidak memiliki diri dan kepribadiannya
sendiri.
Telah sejelas itu konsep dasar mengenai apa
yang pada asasnya harus dimaksudkan
dengan hak-hak manusia yang asasi serta
apa pula yang mesti dimaksudkan dengan
pengingkaran dan pelanggarannya, ternyata
tak sejelas itu definisi mengenai batas-batas
ruang lingkupnya. Wacana mengenai batasbatas
ruang lingkupnya sampai kini pun
masih terus berlangsung, seiring sejalan
dengan perkembangan kehidupan manusia
itu sendiri dalam kebutuhannya yang tak
kunjung berakhir untuk memperoleh
imbangan yang jelas, namun juga luwes,
antara kekuasaan atau kewenangan para
pengelola pemerintahan dan kebebasan
rakyat atau warga yang mengklaim dirinya
sebagai sumber kedaulatan. Wacana
menghasilkan berbagai kategori hak, baik
menurut bidang (seperti hak kebebasan
warga dan hak untuk berpolitik, yang
kedua-duanya terbilang hak-hak yang
klasik dari generasi pertama, dan hak-hak
ekonomi, sosial dan kultural, yang
ketiganya terbilang hak-hak dari generasi
kedua), maupun menurut kaum
pengembannya (seperti hak-hak
perempuan, hak-hak anak, hak-hak kaum
minoritas, dan/atau hak-hak penderita
cacat).
Perkembangan dalam Sejarah tentang Konsep Terbatasnya Kekuasaan :
Batas Kekuasaan Raja di Hadapan Para Bangsawan
Apa yang disebut hak-hak asasi manusia ini
adalah sebuah konsep yang mempunyai
riwayat lama yang panjang, terolah dan
tersempurnakan dalam dan merupakan
bagian dari sejarah sosial-politik bangsabangsa
dunia. Kalaupun kini ini konsep
dan masalah hak-hak asasi manusia tersebut
telah merupakan wacana dan isu global,
haruslah dibenarkan bahwa menilik
riwayatnya, konsep ini berkecambah dan
berkembang pada awal-mulanya di negerinegeri
Barat. Pada awalnya, yang
dipersoalkan adalah batas-batas kekuasaan
para raja dan para ulama gereja yang
masing-masing mengklaim bahwa
kekuasaannya bersifat mutlak dan segala
titah-titahnya bersifat universal, mengikat
sesiapapun namun tak pernah akan
mengikat dirinya sendiri. Konflik
memperebutkan kekuasaan tertinggi dalam
penataan tertib dunia ini terjadi antara Paus
Gregorius VII dan Kaisar Heinrich IV dari
Sachsen (yang berakhir pada tahun 1122),
yang dalam riwayatnya melahirkan untuk
pertama kalinya konsep the rule of law untuk
menggantikan the rule of man (kalaupun
yang namanya the man ini adalah Paus atau
Kaisar).
Dalam konsep rule of law yang
memberikan status tertinggi kepada segala
bentuk hukum yang dihasilkan oleh
kesepakatan (the supreme lawstate) antar -
pihak – ini tak seorangpun boleh
mengingkari berlakunya hukum. Setinggi
apapun kedudukannya dan sebesar apapun
kekuasaannya, para pihak yang telah
menyepakatkan berlakunya hukum tidaklah
lagi punya kuasa untuk mengingkari
berlakunya hukum yang semula telah
disepakati itu. Di sini sang pembentuk atau
pembuat hukum akan terikat oleh hukum
yang telah ia buatnya itu. Maka, dalam
konsep, hukum lalu seperti mempunyai
kehidupannya sendiri, terobjektivisasi dan
kemudian daripada itu juga tidak lagi
berada di ranah subjektivitas para
pembuatnya. Dikisahkan dari sejarah masa
itu, mengakhiri konflik-konfliknya, Paus
dan Raja yang telah mensepakatkan ruang
lingkup yurisdiksi masing-masing (ialah
antara mana yang terbilang hukum gereja
dan mana yang terbilang hukum raja)
tidaklah lagi dapat berbuat semaunya untuk
mengubah-ubah begitu saja aturan-aturan
yang telah dibuatnya. Sekalipun aturan
yang ia buat dan akan diubah itu termasuk
dalam yurisdiksinya, tidaklah Paus itu
bebas membuat perubahan tanpa
persetujuan pihak Raja. Demikian
sebaliknya.
Konsep law sebagai hasil kesepakatan yang serta merta lalu berstatus (state < staat)
supremasi ini terwujud kembali untuk
menyelesaikan konflik kekuasaan, kali ini
antara Raja John I dari Inggris dengan para
baron yang beraliansi. Kesepakatan dicapai
di Runnymede pada tahun 1215, yang hasilhasilnya
dituangkan ke dalam suatu piagam
atau charter yang dinamakan Magna Carta
yang di kemudian hari dibilangkan sebagai
suatu konstitusi yang berfungsi membatasi
kekuasaan Raja. Magna Carta lahir karena
desakan para bangsawan terhadap Raja
yang di satu pihak secara semaunya
menariki pajak dan di lain pihak
mengucilkan para bangsawan ini dari
kemungkinannya ikut serta dalam
pemerintahan. Lebih lanjut, Magna Carta
juga dimaksudkan untuk menjamin hak-hak
feodal para baron dan menjamin pula
dihormati dan dilindunginya kelestarian
berbagai hak yang tegak atas dasar tradisi
gereja dan tradisi para freemen yang berstatus sebagai warga kota (citesein <
citizen).
Kalaupun mempunyai riwayat sebagai hasil
tindakan kaum konservatif untuk
melindungi hak-hak feodal, namun --
karena juga memuat apa yang disebut habeas
corpus (ialah aturan yang melarang
penahanan tanpa batas) dan peradilan juri –
Magna Carta ini kini ini telah diakui sebagai
pendahulu yang merintis dibukanya jalan
sejarah menuju apa yang kini disebut
konstitusi. Ialah terlembagakannya suatu
undang-undang yang secara mendasar
dikonfigurasi berdasarkan prinsip bahwa
kekuasaan pengemban kekuasaan negara
itu sungguh terbatas karena harus selalu
dikontrol oleh rakyat yang berdaulat dan
yang karena itu juga merupakan subjeksubjek
pengemban hak-hak manusia yang
asasi. Itulah hak-hak kodrat yang tak bisa
dicabut (inderogable) atau untuk dialihkan
(inalienable).
Perkembangan dalam Sejarah tentang Konsep Terbatasnya Kekuasaan :
Pembatasan Kekuasaan Para Penguasa di Hadapan Manusia Warga Negara
Kalaupun kini ini konsep dan masalah hakhak
manusia yang asasi itu telah berkenaan
dengan berbagai kepentingan dalam
berbagai bidang kehidupan, baik yang
umum maupun yang dirasakan khusus oleh
kaum tertentu, pada awal
perkembangannya konsep dasarnya
dibataskan pada hak-hak yang berkenaan
dengan kebebasannya sebagai warga
negara. Di sini, pada awal
perkembangannya, apa yang disebut hakhak
asasi manusia itu merupakan produk
pergulatan pemikiran dan perubahanperubahan
yang ditimbulkannya dalam
perikehidupan sosial-politik. Konsep
mengenai hak-hak manusia ini benar-benar
merefleksikan dinamika sosial-politik dalam
ikhwal hubungan antara suatu institusi
kekuasaan dan para subjek yang dikuasai.
Inilah konsep yang mulai lantang
mempertanyakan hak-hak manusia dalam
kedudukan mereka yang terkini sebagai
warga negara di hadapan kekuasaan
negara dan para pejabatnya.
Ide dan konsep hak-hak manusia seperti ini
lahir dan berkembang marak tatkala sejumlah
pemikir Eropa Barat yang berpikiran
cerah pada suatu zaman khususnya
sepanjang belahan akhir abad 18 mulai
mempertanyakan keabsahan kekuasaan
para monarkh yang absolut berikut
wawasan tradisionalnya yang amat
diskriminatif dan memperbudak. Tatkala di
negeri-negeri Barat secara suksesif akan
tetapi juga berdaya akumulatif gagasangagasan
baru itu mulai berpengaruh luas,
gerakan revolusioner untuk merealisasi citacita
kebebasan dan egalitarianisme (demi
ketahanan dan kemakmuran bangsa !)
menjadi tak dapat ditahan-tahan lagi.
Komunitas-komunitas warga sebangsa,
diorganisasi dalam wujud institusi politik
baru yang memproklamasikan diri sebagai
negara republik yang demokratik, lahir
secara berturut-turut di benua Amerika
(Negara Federal Amerika Serikat, 1776) dan
di benua Eropa (Negara Republik Perancis,
1789). Inilah dua revolusi yang menjadikan
ide demokrasi (yang di tangan sang
pencipta istilah, ialah Plato, dipandang
model pemerintahan yang buruk !) sejak
masa itu menjadi ide yang lebih terpilih dan
populer. Inilah revolusi yang dimaksudkan
untuk membangun komunitas-komunitas
politik nasional yang modern, dengan para
warganya yang memperoleh jaminan untuk dilindungi hak-haknya yang asasi sebagai
warga negara.
Ide dan konsep yang marak dan terus
berkembang sebagai tradisi ketatanegaraan
baru di negeri-negeri Barat ini merupakan
reaksi atas praktik absolutisme yang tak
tertahankan pada abad 17-18. Bersamaan
dengan perkembangan negara bangsa yang
teritorial dan mulai sekular itu,
berkembanglah perlawanan terhadap
pemikiran klasik yang menyatakan bahwa
kemutlakan kekuasaan negara yang juga
kekuasaan raja itu merupakan refleksi
kemutlakan kekuasaan Tuhan. Perlawanan
bertolak dari keyakinan baru bahwa
kekuasaan pemerintahan mestilah
dirujukkan ke kedaulatan rakyat, dan tidak
langsung ke kekuasaan Tuhan. Inilah
kedaulatan manusia-manusia yang semula
diperintah sebagai hamba-hamba oleh para
raja yang pandai berkilah bahwa titah-titah
mereka merupakan representasi kehendak
Tuhan. Inilah kedaulatan rakyat awam
yang kini telah mampu berartikulasi untuk
menuntut pengakuan atas statusnya yang
baru warga bebas pengemban hak yang
kodrati, atas dasar keyakinan bahwa suara
kolektif mereka adalah sesungguhnya suara
Tuhan. Vox populi, vox Dei...
Di sinilah bermulanya pemikiran ulang
tentang batas-batas kewenangan raja di satu
pihak dan luasnya hak dan kebebasan
rakyat yang asasi di lain pihak. Dalam
pemikiran baru ini, kuasa raja atau kepalakepala
negara beserta aparatnya itu kini
tidak lagi boleh dikonsepkan sebagai
refleksi kekuasaan Tuhan yang oleh sebab
itu juga tak terbatas. Kekuasaan negara itu
mestilah terbatas dan punya batas, dibatasi
oleh dan berdasarkan perjanjiannya dengan
rakyat. Kekuasaan negara di tangan
penguasa-penguasa pemerintahan tidak lagi
dikonsepkan sebagai kekuasaan yang
berasal dari kuasa Tuhan, atas dasar
perjanjian dengan-Nya, entah itu Perjanjian
Lama entah itu Perjanjian Baru. Demikian
inilah yang diteorikan oleh para pemikir
ketatanegaraan pada masa itu, antara lain
oleh Jean J. Rousseau yang menulis Du
Contract Social pada tahun 1776. Rousseau
inilah yang menteorikan suatu dasar
pembenar moral falsafati bahwa rakyat yang bukan lagi kawula, melainkan warga itu, lewat proses-proses politik yang
volunter dan sekaligus konstitusional,
bersetuju untuk membatasi kebebasannya
pada suatu waktu tertentu berkenaan
dengan kasus-kasus tertentu demi
dimungkinkannya terwujudnya kekuasaan
pemerintahan pada waktu tertentu untuk
urusan tertentu.
Konstitusi, Konstitusionalisme dan Hak-Hak Asasi Manusia
Berangkat dari konsep carta/carter sebagai
tolok normatif pembatasan kekuasaan raja,
konstitusi terkembang pada awal
perkembangan kehidupan bernegara bangsa
sebagai “perjanjian luhur” suatu bangsa
untuk membangun suatu struktur atau
tatanan kehidupan bernegara, di mana
kewenangan didistribusikan dan luassempitnya
kebebasan warga di hadapan
kekuasaan para pengemban kekuasaan
negara didefinisikan. Dalam wacana
konstitusional, kebebasan sebagai hak yang
asasi dan kewenangan sebagai kekuasaan
memerintah yang telah berlegitimasi akan
dipandang sebagai fungsi yang akan saling
melengkapi secara timbal-balik. Kekuasaan
yang dibenarkan oleh hukum nota bene
oleh hukum yang terbentuk sebagai hasil
kesepakatan legislatif antara para wakil
rakyat secara konstitusional haruslah
dikategorikan sebagai kewenangan.
Hubungan fungsional antara kewenangan dan kebebasan akan tampak dalam
hubungan berikut ini. Ialah bahwa kian
besar kewenangan para pejabat pengemban
kekuasaan negara akan berarti kian
mengecilnya ruang kebebasan warga; dan
sebaliknya, kian kecil kewenangan yang
diberikan kepada para pejabat
penyelenggara kekuasaan negara ini akan
kian luaslah ruang kebebasan para warga.
Tarik ulur antara membesar-mengecilnya
ruang kebebasan vis a vis ruang kekuasaan
adalah suatu dinamika yang tak ada habishabisnya
dalam kehidupan politik, di dalam
kehidupan yang demokratik sekalipun.
Dalam kajian-kajian lanjutan, apa yang
disebut ‘konstitusi’ itu sesungguhnya
bukanlah cuma harus dimengerti sebagai
keseluruhan ketentuan perundangundangan
yang secara fundamental
menggariskan norma-norma positif yang
berkenaan dengan sifat, fungsi dan batasbatas
kewenangan dan/atau batas-batas
kebebasan warga. Menurut konsepnya
yang formal, konstitusi memang dapat
didefinisikan sebagai sejumlah ketentuanketentuan
perundang-undangan yang
disusun secara sistematik untuk menata
pada pokoknya struktur dan fungsi
berbagai institusi pemerintahan. Inilah
wujud formal suatu konstitusi yang di
Indonesia disebut juga undang-undang
dasar (sebagai terjemahan dari apa yang
diistilahi grondwet dalam bahasa Belanda).
Dalam aturan formal undang-undang dasar
ini diaturlah macam dan batas kewenangan
yang diperlukan demi berlangsungnya
kehidupan suatu komunitas politik dalam
skala dan formatnya yang nasional.
Manakala konstitusi tidak harus cuma
dimengerti sebagai ketentuan perundangundangan
dengan norma-norma
deklaraturnya yang serba positif dan normal
itu saja, melainkan juga sebagai suatu hasil
ekspresi suatu doktrin, maka akan terkajilah
di situ hadirnya suatu prinsip tentang
pembebasan dan kebebasan manusia yang
tidak lagi berstatus sebagai kawula
melainkan sebagai warga. Maka, konstitusi
adalah juga suatu ‘isme’, disebut
‘konstitusionalisme’, yang mengajarkan
dengan penuh keyakinan bahwa kekuasaan
itu hanyalah fungsi kebebasan, dan tidak
sebaliknya. Inilah ‘isme’ yang mengajarkan
bahwa kebebasan itulah yang menjadi
determinan kewenangan, dan tidak
sebaliknya, bahwa kewenangan itu yang
menentukan luas-sempitnya ruang
kebebasan warga. Membaca konstitusi itu
orang tidaklah cukup kalau hanya membaca
apa yang tersurat saja. Alih-alih, orang
tidaklah sekali-kali boleh mengabaikan ide
dan ideologi yang tersirat di dalamnya.
Ide konstitusionalisme yang dijadikan
tumpuan kehidupan bernegara dan
berhukum yang berstatus supreme di suatu
kehidupan yang demokratik itu
sesungguhnya dapat dipulangkan ke esensi
doktrinalnya yang berjumlah dua. Yang
pertama ialah doktrin kebebasan sebagai
hak manusia yang tak hanya asasi akan
tetapi juga kodrati, yang karena itu juga
bukan hak hasil pemberian para penguasa.
Karena itu pula hak-hak ini harus
dibilangkan sebagai hak-hak yang seperti
telah dikatakan di muka bersifat
inderogable dan inalienable, serta pula harus
selalu dijaga dan dipertahankan
eksistensinya agar tetap in tact, utuh dan tak
bercacat cela karena terjadinya pelanggaranpelanggaran.
Adapun esensi doktrinal
konstitusionalisme yang kedua ialah doktrin
rule of law yang terpulang pokok pada ide
dasar kedudukan hukum yang tertinggi di
antara norma apapun di dalam kehidupan
bernegara bangsa ini. Inilah doktrin yang
sekalipun telah beriwayat sejak abad 11-12
toh dalam perkembangannya di dalam
kehidupan bernegara modern selalu
dihubung-hubungkan dengan model
kehidupan yang demokratik, dengan
pengakuan yang sine qua non akan adanya
hak-hak asasi dan kodrati pada setiap
manusia warga negara.
Hak Warganegara yang Asasi dan Konstitusional untuk
Berkebebasan (Civil Rights) dan untuk Berpolitik (Political Rights)
Perjuangan hak-hak asasi manusia pada
abad 18 yang berkemuncak dengan
pecahnya dua revolusi kerakyatan di
Amerika dan di Perancis itu berpusar di
seputar dua konsep hak. Yang pertama
adalah hak manusia untuk berkebebasan
dalam status mereka yang baru sebagai
warga negara (yang bukan lagi kawula raja),
dan yang kedua adalah hak manusia yang
juga asasi untuk mengambil bagian dalam
setiap proses pengambilan keputusan
politik. Itulah dua set hak-hak asasi yang
masing-masing sampaipun kini dikenal
dengan sebutan hak-hak sipil (civil rights)
dan hak-hak politik (political rights). Bahwa
kedua set hak asasi itu yang mengedepan
sepanjang pergulatan pemikiran dan
perjuangan fisik pada masa itu dapatlah
dimengerti manakala diiingat bahwa sejak
abad 12 para pemikir dan para negarawan
Barat membuka diri untuk mewacanakan
hakikat dan/atau dasar-dasar pembenar
setiap kekuasaan yang harus
diperhadapkan secara normatif ke rasio
indeterminisme manusia-manusia individu.
Hak sipil adalah hak seseorang warga (civil
< civis) untuk menikmati kebebasan dalam
berbagai hal, antara lain -- sebagai contoh --
untuk bergerak pindah secara bebas tanpa
dibatasi oleh keputusan pemerintah, untuk
dijamin kemerdekaannya dan keselamatan
dirinya (dari penangkapan dan penahanan
yang sewenang-wenang dan dari
penyiksaan-penyiksaan oleh aparat negara),
atau pula untuk tidak dihukum tanpa
proses peradilan yang jujur dan tak
memihak. Hak untuk berserikat (guna
memperjuangkan ide-ide politik) dan hak
untuk mengeluarkan dan menyiarkan
pendapat yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi secara penuh kritik setiap
kebijakan dan keputusan pemerintah,
adalah dua dari sekian banyak contoh
mengenai hak-hak asasi manusia dalam
kehidupan politik.
Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang
diproklamasikan pada bulan Juli 1776
merupakan dokumen yang amat
revolusioner menurut ukuran zamannya
mengenai kedua macam hak itu, sekalipun
ide yang terkandung di dalamnya itu
bukanlah ide yang muncul begitu saja
secara tiba-tiba, melainkan merupakan
akumulasi berbagai ide dan ideologi
sebelumnya tentang kebebasan manusia.
Itulah dokumen yang berisi cabaran untuk
pertama kalinya terhadap doktrin abad
pertengahan bahwa suatu kelas tertentu
dalam masyarakat memperoleh karunia dan
pembenaran Ilahi untuk menguasai dan
memerintah kelas-kelas lain yang awam.
Pernyataan dalam deklarasi tahun 1776
berikut ini benar-benar dengan tegas
menolak doktrin seperti itu. Dinyatakan
dalam deklarasi itu bahwa ‘all men are
created equal … and have unalienable rights …’,
dan bahwa ‘to secure these rights, governments
are instituted … deriving their powers from the
consent of the governed’.
Lepas sepuluh tahun setelah
diproklamasikannya Deklarasi
Kemerdekaan dari tahun 1776 itu,
Konstitusi Amerika ditandatangani di
Philadelphia pada tahun 1787. Inilah
konstitusi suatu pemerintahan republik
modern yang pertama di dunia, yang demi terjaganya kehidupan demokrasi dan
hak asasi warga negara memisahkan
kekuasaan pemerintahan ke dalam tiga
lembaga, sesuai dengan ajaran Trias Politica
de Montesquieu. Empat tahun kemudian,
konstitusi itu diamandemen untuk
menyatakan adanya jaminan akan hak-hak
manusia warga negara untuk berkebebasan
dalam ihwal berbicara dan memeluk agama
yang diyakininya. Amandemen yang
diperkenalkan sebagai The American Bill of
Rights dari tahun 1791 ini juga menjamin
kebebasan pers dan hak untuk memperoleh
perlindungan dari penghukuman yang tak lazim dan pula dari tindak penggeledahan
dan/atau penyitaan yang dilakukan oleh
aparat pemerintahan secara tidak
sepatutnya.
Bersamaan sedasawarsa dua dasawarsa
dengan masa-masa revolusi pemerintahan
dan perundang-undangan yang relevan
dengan persoalan hak-hak individu warga
negara di Amerika ini, pergolakan serupa
pun --bahkan lebih berdarah-darah -- terjadi
pula di benua Eropa. Kali ini di Perancis,
suatu negeri tempat lahir dan
berkecambahnya pemikiran-pemikiran
besar tentang hak-hak asasi manusia (yang
realisasinya justru terjadi lebih dahulu di
luar negeri ini, ialah di benua seberang
Samudera Atlantik yang bernama Amerika).
Le peuple mengobarkan revolusi kerakyatan
yang meruntuhkan kekuasaan ancien regime
dari dinasti Boubon, yang segera setelah
memproklamasikan La Declaration des Droits
de l’Homme et du Citoyen -- yang
“menduplikasi” cita-cita revolusi
kemerdekaan Amerika juga
mencanangkan cita-cita kebebasan (liberte)
dan persamaan hak (egalite) di antara
sesama manusia.
Konstitusi yang memberikan jaminan
kebebasan dan hak-hak para citoyen ini
dijabarkan lebih lanjut ke dalam 3 kitab
undang-undang yang diundangkan pada
tahun 1804, yang terkenal kemudian dengan
nama ‘Kodifikasi Napoleon’. Dalam Code
Penal dijamin perlindungan atas kebebasan
manusia, ialah untuk tidak dibatalkan
kebebasannya itu, apapun perbuatan yang
telah dilakukan olehnya, kecuali atas dasar
undang-undang yang telah ada sebelumnya.
Code Civil menjamin kebebasan para
manusia warga negara untuk memiliki dan
mengelola atau pula memindahtangankan
miliknya itu. Kalaupun satu setengah abad
kemudian sebagian dari hak-hak semacam
itu dikonsepkan sebagai bagian dari hakhak
ekonomi yang asasi, pada masa itu --
baik di Amerika maupun di Perancis -- hakhak
semacam itu lebih dimaknakan sebagai
hak-hak kebebasan individu warga negara
yang harus dilindungi to pursuit happiness.
Siapa yang Pada Mulanya harus Dikonsepkan sebagai
‘Manusia Penyandang Hak yang Asasi’ Itu ?
Tak pelak lagi, hak-hak asasi manusia pada
konsepnya yang paling awal ini adalah hakhak
rakyat dalam kedudukan mereka
sebagai manusia warga negara yang
berkebebasan dalam suatu kehidupan
bernegara bangsa yang demokratik. Akan
tetapi yang masih menjadi pertanyaan saat
itu ialah, siapakah yang harus dibilangkan
ke dalam golongan manusia warga negara
yang harus diakui mempunyai hak yang
asasi untuk berkebebasan itu ? Kalaupun
sekarang ini pada asasnya dalam konsepnya
yang sekarang apa ini yang dibilangkan
manusia itu adalah semua saja yang
bersosok biologik sebagai manusia, akan
tetapi pada awalnya yang diakui sebagai
manusia pengemban hak yang asasi itu
barulah mereka yang di dalam kehidupan
bernegara dan berbangsa berstatus warga
negara saja, dan mereka ini hanyalah yang
berjenis kelamin lelaki saja. Deklarasi
Perancis dari tahun 1789 berbunyi
Declaration des droits de l’lhomme et ..., dan
kata l’homme dalam bahasa Perancis itu
secara harafiah akan juga berarti ‘manusia
lelaki’.
Deklarasi Kemerdekaan Amerika dari tahun
1776 pun menggunakan sebutan jender
lelaki (men) dalam berbagai frase pernyataannya. Dinyatakan di situ antara
lain bahwa “… all Men are created equal ...”
dan bahwa demi terjaminnya hak-haknya
yang asasi maka “… Government are
instituted among Men …”. Sekalipun pada
masa itu isteri John Adams, seorang anggota
Kongres yang kemudian menjadi Presiden
Amerika yang ke-2, sudah merasa perlu
untuk menitipkan pesan kepada suaminya
agar para anggota Kongres yang
menyiapkan konstitusi Amerika sukalah “...
remember the ladies ...”, namun kepentingan
dan minat kaum perempuan untuk ikut
berpolitik, dan memperoleh jaminan hakhak
politiknya yang asasi di bidang ini
sebagai warga negara, tidaklah pada masa
itu serta merta memperoleh perhatian.
Maka di sini baik dalam Deklarasi
Amerika maupun dalam Deklarasi Perancis
-- kalaupun perempuan-perempuan itu
secara biologik harus disebut pula
dibilangkan sebagai manusia, menurut
konsep yang awal ini mereka itu tidaklah
hendak disebut dan digolongkan sebagai
manusia warga negara. Perempuanperempuan
adalah makhluk domestik,
sedangkan hak-hak yang diakukan kepada
manusia adalah hak-hak dalam kehidupan
publik yang hanya diakukan kepada mereka
yang lelaki saja. Digolongkan sebagai
makhluk domestik dan tidak sepatutnya
secara lancang berperan di ranah publik,
perempuan-perempuan pada masa-masa
awal itu tidaklah memperoleh pengakuan
atas hak-hak politik mereka. Mereka tidak
disertakan dalam kehidupan publik untuk
memilih dan dipilih, dan sehubungan
dengan hal itu mereka pun pada masa-masa
awal pertumbuhan konsep hak-hak asasi
manusia itu pun, di pihak lain, juga tidak
dibebani kewajiban untuk membayar pajak.
Karena hak-hak asasi manusia pada awal
pertumbuhannya itu dikonsepkan sebagai
hak manusia yang berkualifikasi sebagai
warga dalam kehidupan bernegara bangsa,
maka konsekuensinya ialah, bahwa
sesiapapun yang warga dalam kehidupan
bernegara bangsa dan berpolitik itu mesti
berkewajiban pula membayar pajak guna
menjamin tersedianya dana publik yang
cukup untuk kepentingan bersama. Di
sinilah letak alasannya mengapa perempuan
yang makhluk domestik itu tidaklah
dipandang perlu untuk memperoleh
jaminan hak-hak yang asasi bagi kehidupan
publik yang non-domestik. Hak-hak (dan
kewajiban) perempuan dikembalikan ke
berbagai askripsi yang melekat secara
normatif pada peran-peran tradisional
mereka, yang lebih bersifat privat-domestik
yang patriarkik daripada bersifat publik
yang demokratik. Dengan ungkapan Eropa,
askripsi perempuan hanyalah untuk
mengurusi ‘Kinder und Kueche’, dan manakala perempuan-perempuan ini ingin
keluar dari ranah domestik di luar
askripsi itu tempat yang paling tepat bagi
mereka hanyalah ke gereja atau biara, atau
… ke bordil.
Demikian juga halnya dengan mereka baik yang perempuan maupun yang lelaki yang berstatus budak-budak dan ulur-ulur
yang karena itu tidak terbilang sebagai
freeman. Maka, mengingat kenyataan bahwa
orang-orang kulit berwarna pada masa itu
tak ada yang berstatus sebagai freeman
melainkan boleh dibilang semuanya adalah
budak-budak, pada akhirnya mereka yang
terbilang manusia pengemban hak-hak asasi
itu tidaklah kurang dan tidaklah lebih
hanyalah mereka yang lelaki dan berkulit
putih saja. Perubahan-perubahan untuk
memperluas konsep manusia penyandang
hak-hak yang asasi, sebagaimana yang
tercatat dalam sejarah perkembangan hakhak
asasi di Amerika, barulah terjadi lebih
dari setengah sampai se-abad kemudian. Di
Amerika perubahan konsep mengenai siapa
yang harus dibilangkan ke dalam golongan
manusia pengemban hak yang asasi
dilakukan dengan melakukan amandemenamandemen
pada konstitusinya. Inilah
amandemen-amandemen yang melepaskan golongan masyarakat tertentu dari askripsiaskripsi
mereka yang kuno dan berefek
mengucilkan, ialah para budak yang semula
terkurung dalam institusi pertuanan dan
kaum perempuan yang semula tertambat
dalam ranahnya yang domestik dan
patriarkik.
Konsep Hak Asasi Manusia sebagai Konsep Emansipatif
Hak-hak asasi manusia pada generasinya
yang pertama sepanjang belahan pertama
abad 19 memang mula-mula dikonsepkan
untuk lebih menonjolkan hak-hak manusia
individual yang lelaki dalam status mereka
sebagai warga negara (civil rights) di dalam
kehidupan politik, yang mengisyaratkan
pengakuan akan political rights mereka.
Kalaupun pada awalnya konsep seperti itu
boleh disebut lebih bersifat segregatif
daripada diskriminatif, sudah pada
pertengahan abad 19 -- sekira setengah abad
setelah diundangkannya Bill of Rights
Amerika (1791) dan Droits de l’Homme et du
Citoyen Perancis (1789) -- konsep ‘manusia
penyandang hak’ diakukan juga kepada
mereka yang selama ini tidak terbilang
sebagai freeman. Mereka ini adalah budakbudak
atau ulur-ulur yang tidak free dan
mereka yang perempuan yang sekalipun
berstatus free akan tetapi tidak tergolong
men.
Maka manakala deklarasi-deklarasi dari
tahun-tahun 1770-1780an di negeri-negeri
bertradisi Barat itu boleh disebut sebagai
deklarasi-deklarasi yang liberating menuruti
konsep kaum liberal (yang mendambakan
pembebasan manusia dari segala bentuk
kekuasaan otokratik), deklarasi dari tahun
1850-1860an bolehlah disebut sebagai
deklarasi-deklarasi yang emancipating (yang
berkebijakan untuk melepaskan sebagian
penduduk negeri dari statusnya yang
terdiskriminasi ke statusnya yang baru
sebagai homo Equalis (alias manusia
berkesetaraan).
Kebijakan nasional untuk memberikan
kesempatan manusia-manusia perempuan
untuk juga menikmati hak-hak yang asasi
sebagai warga negara berikut hak-hak
politik mereka berlangsung melalui
gerakan-gerakan sosial-politik yang
memakan waktu lebih lama.
Mengemansipasikan perempuan dari
ikatan-ikatan domestik yang askriptif
rupanya memerlukan rentang waktu yang
lebih lama. Agaknya karena prosesnya lebih
menuntut karakter yang lebih bersifat
transformatif daripada transplantatif.
Keberhasilannya tidak hanya diprasyarati
oleh lahirnya prakarsa-prakarsa para elit
yang memegang kontrol politik di berbagai
institusi pemerintahan, melainkan juga
harus “menunggu” terbebaskannya
perempuan-perempuan itu dari tugas-tugas
domestik, khususnya tugas reproduksi.
Tatkala teknologi reproduksi yang mampu
membantu pengendalian kelahiran berhasil
diciptakan, dan sementara itu -- dengan
mengatasi keberatan moral dan kultural --
bisa diterima khalayak ramai, proses
emansipasi yang memungkinkan
perempuan-perempuan mengefektifkan
hak-haknya yang asasi sebagai warga
negara, dan pula untuk merealisasi hak-hak politiknya di ranah publik, dengan segera
menjadi kenyataan.
Akan tetapi tidaklah itu berarti bahwa
upaya untuk memperjuangkan
terealisasinya hak-hak politik oleh kaum
perempuan di negeri yang dibangun
sebagai suatu Republik yang demokratik itu
tidak signifikan. Pada tahun 1848
pergerakan perempuan di negeri itu
melantangkan suatu pernyataan publik
yang dikenal dengan penamaan Declaration
of Sentiments. Dinyatakan di situ antara lain
bahwa kaum perempuan sepakat untuk
‘...hold the truths to be self-evident that all men
and women are created equal, that they are
endowed by their Creator with certain
inalienable rights, that among these are life,
liberty and the pursuit of happiness…’, dan
seterusnya, yang -- manakala diperhatikan
dengan baik-baik -- pernyataan itu
mengulang saja frase-frase dalam
Declaration of Independence 70 tahun
sebelumnya.
Hak perempuan untuk dibilangkan sebagai
warga negara dalam kehidupan politik
diperlambangkan dalam wujud
kemenangannya -- atas dasar hak
konstitusionalnya -- untuk ikut memberikan
suara dalam pemilihan umum. Jaminan
konstitusional ini baru diperoleh pada
tahun 1920 dengan dimasukkannya
amandemen ke-19 di dalam konstitusi
Amerika Serikat, sekalipun rancangan
amandemen itu sebenarnya telah selesai
dipersiapkan pada tahun 1878. Sebelum itu,
berhak tidaknya perempuan-perempuan
ikut memberikan suara dalam pemilihan
umum diserahkan sebagai kewenangan
negara bagian, dan nyatanya setiap negara
bagian sejak diproklamasikannya
kemerdekaan Amerika pada tahun 1776 --
kecuali negara bagian New Jersey
(sekalipun cuma beberapa tahun saja --
selalu menolak pemberian hak suara itu
kepada warga negara yang perempuan.
Dengan disahkannya amandemen ke-19
dalam konstitusi Amerika pada tahun 1920
itu, terputuskanlah sudah kontroversi
mengenai hak-hak perempuan untuk ikut
berpolitik dalam setiap pemilihan umum.
Di negeri-negeri Eropa Barat, keputusan
konstitusional mengenai hak politik
perempuan untuk ikut memilih dan dipilih
pada umumnya juga terjadi pada sekitar
tahun-tahun 1920 itu juga. Sekalipun amat
terlambat tetapi pada akhirnya terjadi
jugalah perluasan konsep mengenai siapa
saja yang seharusnya dibilangkan sebagai
manusia pengemban hak yang asasi : hak
untuk berpolitik, tidak hanya untuk para
lelaki akan tetapi juga untuk mereka yang
perempuan. Berseiring dengan apa yang
terjadi di Eropa ini, pada dasawarsadasawarsa
yang sama itu juga penggerakan
dan pergerakan untuk memberikan
pengakuan hak-hak yang asasi kepada
perempuan terjadi juga di negeri-negeri
jajahan. Di Indonesia, pada dasawarsadasawarsa
itu pemerintah kolonial telah
memanfaatkan situasi yang telah kondusif
itu untuk juga memajukan keterpelajaran
perempuan-perempuan pribumi dengan
membuka sekolahan-sekolahan untuk anakanak
perempuan. Di Indonesia pula, nama
Raden Ajeng Kartini dan Dewi Sartika
dikenal dan diperkenalkan pada dasawarsadasawarsa
itu juga.
Dua Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan
Protokol Opsional pada Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi
Manusia dari tahun 1948 ini segera saja,
pada dasawarsa berikutnya, disusul dengan
penyiapan dan pembentukan dua kovenan
dan satu protokol. Kovenan dan
protokolnya ini diterima dengan suara bulat
oleh Sidang Umum Perserikatan BangsaBangsa
pada tanggal 16 Desember 1966.
Kedua kovenan itu ialah The International
Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights dan The International Covenant on Civil
and Political Rights, sedangkan yang
protokol dikenal dengan nama Optional
Protocol for The Covenant on Civil and Political
Rights. Keempat produk -- satu dari tahun
1948 dan tiga dari tahun 1966 itu
merupakan instrumen hukum Perserikatan
Bangsa-Bangsa, dan dikabarkan sebagai
International Bill of Human Rights, dengan
harapan untuk segera bisa diratifikasi oleh
anggota-anggotanya. Negara anggota
Perserikatan Bangsa-bangsa yang belum
dapat meratifikasi kovenan itu karena
berbagai alasan pada dasarnya memang
tidak terikat menurut hukum untuk
melaksanakannya, namun demikian secara
moral tetaplah saja memiliki kewajiban dan
tanggungjawab untuk menghormati
pengakuan internasional akan adanya hakhak
manusia yang asasi itu, dan kemudian
daripada itu juga berkebijaksanaan untuk
mengupayakan kemungkinan pelaksanaan
realisasinya.
Lebih lanjut dari Deklarasi dari tahun 1948
yang baru bersifat deklaratur, kedua
kovenan tersebut di muka ini lebih tertuju
ke maksud mengikat secara yuridis negaranegara
peserta yang menyepakati kovenankovenan
tersebut. Mukadimah kedua
kovenan itu sama-sama menyatakan
pertimbangan bahwa negara-negara peserta sejalan dengan apa yang dituliskan dalam
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa memang berkewajiban untuk memajukan
penghormatan secara universal dan juga
untuk menaati hak-hak asasi berikut
kebebasan manusia. Mukadimah ini juga
menyatakan kesadaran negara-negara
peserta bahwa setiap individu manusia
mempunyai kewajiban di hadapan individu
manusia yang lain dan pula kepada
komunitas tempat ia berada, dan oleh sebab
itu juga mempunyai tanggung jawab untuk
ikut mengupayakan usaha memajukan serta
ikut menaati hak-hak yang telah diakui
dalam kovenan-kovenan ini.
Pasal 1, 3 dan 5 kedua kovenan tersebut di
muka boleh dikatakan memuat isi ketentuan
yang hampir sama. Pasal 1 kedua kovenan
itu sama-sama menyatakan bahwa “semua
bangsa mempunyai hak untuk menentukan
nasibnya sendiri; maka demi hak ini, semua
bangsa akan bebas untuk menentukan
status politiknya dan untuk secara bebas
pula mengupayakan perkembangan status
ekonomi, sosial dan kulturalnya”. Pasal 3
kedua kovenan juga sama-sama
menyatakan bahwa “negara-negara peserta
kovenan berupaya untuk menjamin
persamaan hak antara lelaki dan perempuan
dalam menikmati semua hak yang diatur
dalam kovenan”. Sementara itu pasal 5
kedua kovenan seperti mengulang
kembali bunyi pasal 30 Deklarasi tahun 1948 menyatakan bahwa “tidak satupun yang
dituliskan dalam kovenan ini dapat
ditafsirkan sebagai pemberian hak kepada
negara, kelompok atau seseorang untuk
melakukan atau melibatkan diri ke dalam
suatu kegiatan yang bertujuan merusak hakhak
atau kebebasan yang diakui di dalam
kovenan ini …”
Masih ada satu dokumen lagi yang
melengkapi Kovenan Internasional Ha-Hak
Sipil dan Politik yang diterima dalam
Sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada tanggal 16 Desember 1966. Dokumen
yang dimaksud ini ialah dokumen yang
berisi ‘Protokol Opsional pada Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik’
yang diterima oleh Sidang Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada hari yang
sama dengan diterimanya dua Kovenan
Internasional yang telah disebutkan di
muka. Protokol pertama ini, yang di dalam
aslinya disebut Optional Protocol to The
International Covenant on Civil and Political
Rights, terdiri dari 14 pasal. Protokol
disepakati oleh negara-negara peserta atas
dasar pertimbangan “bahwa agar dapat
mencapai tujuan Kovenan Hak-Hak Sipil
dan Politik lebih jauh, dan pula demi
terimplementasinya ketentuan-ketentuan
tersebut dalam Kovenan, layaklah kalau
dibuka kemungkinan bagi Komite Hak-Hak
Asasi Manusia yang harus dibentuk
berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut
dalam bagian IV Kovenan guna menerima
serta membahas hal-hal yang
dikomunikasikan oleh individu-individu
yang mengaku telah menjadi korban
pelanggaran hak”.
Berbicara mengenai protokol opsional,
sebenarnya masih ada protokol yang kedua.
Protokol kedua disebut Second Optional
Protocol to The International Covenant on Civil
and Political Rights dalam bahasa aslinya ini disepakati oleh negara-negara peserta
protokol ini pada suatu hari dan bulan serta
tahun yang lama sesudah diterimanya
protokol yang pertama, ialah pada tanggal
15 Desember 1989. Protokol kedua ini
ditujukan ke arah kebijakan untuk
menghapus hukuman mati. Protokol kedua
disepakati oleh negara-negara peserta
protokol ini atas dasar kepercayaan bahwa
dihapuskannya hukuman mati akan
membantu usaha meningkatkan harkat dan
martabat manusia dan akan pula membantu
pula usaha memajukan hak manusia yang
asasi untuk hidup. Konsekuen dengan
keyakinan ini negara-negara peserta
protokol bersepakat untuk tidak akan
melaksanakan hukuman mati di wilayah
yurisdiksinya, dan kemudian daripada itu
juga mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk meniadakan hukuman
mati di wilayah yurisdiksinya itu.
Komitmen Internasional
Membaca mukadimah dan ketiga pasal
pokok yang tertulis dalam dua kovenan
tersebut di muka ini, serta pula membaca
Optional Protocol-nya dan Deklarasi
Universal dari tahun 1948, jelaslah sudah
bahwa pemajuan dan penghormatan
kepada hak-hak asasi manusia harus
dipandang sebagai komitmen bersama
bangsa-bangsa dunia, bukan hanya yang
bangsa Barat dan bukan pula yang bangsa
Timur saja, melainkan sudah harus menjadi
komitmen bersama bangsa manapun dan
negara manapun. Inilah komitmen untuk
menjaga hak dan kebebasan manusia, tidak
hanya bebas dari naluri-nalurinya yang
kurang adab, akan tetapi juga bebas dari
segala macam penindasan dan pemerasan
oleh segala bentuk kekuasaan yang
mengabaikan sila kemanusiaan yang adil
dan beradab. Memang harus diakui bahwa
tidak semua negara bangsa anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa berada dalam
keadaan dan kesiapan yang sama untuk
segera menjadi negara peserta kovenan dan
protokolnya itu. Indonesia, misalnya,
hingga kini belum juga ikut
menandatangani kovenan dan protokolnya
itu, sehingga belum menggolongkan diri ke dalam bilangan negara peserta yang
berkomitmen secara yuridis untuk
mengupayakan berlakunya ketentuanketentuan
kovenan dan protokol yang telah
disepakati.
Sekalipun demikian, di tengah kehidupan
yang kini tak lagi mungkin secara sempit
dan cauvenistik hendak mengandalkan
adab dan peradaban bangsa sendiri, sudah
sepatutnyalah kalau segenap bangsa di
dunia ini tak kurang-kurangnya juga
Indonesia menghormati segala ketentuan
normatif yang telah dideklarasikan berikut
semua jabarannya yang telah disepakatkan
dan dituangkan ke dalam kovenan-kovenan
dan kesepakatan-kesepakatan internasional
yang lain. Komitmen seharusnya tidak
cuma diperlihatkan dengan cara
memperingati lewat upacara-upacara yang
sifatnya formal belaka. Upaya untuk
merealisasi segala norma yang telah
dideklarasikan dan/atau disepakatkan akan
merupakan komitmen yang jauh lebih
penting. Sepanjang melaksanakan
komitmen, yang tetap harus diingat adalah
suatu ajaran dasar, bahwa kekuasaan itu
sesungguhnya amanah dan bukan berkah.
Amanah untuk membangun kehidupan
manusia yang penuh adab, dan bukan
berkah untuk membesarkan kekuasaan dan
demi kesejahteraan badaniah dirinya
sendiri.
Waktu mestinya telah tiba, bahwasanya
bagaimanapun juga peradaban manusia
memasuki millenium ketiga Masehi kini ini
adalah peradaban yang secara universal
amat didambakan sebagai peradaban yang
idealnya menghargai nilai-nilai
kemanusiaan. Peradaban manusia sebumi
kini ini mestinya bukan lagi peradaban yang
mendahulukan kebesaran bangsa, atau
kejayaan golongan apapun yang sifatnya
eksklusif, yang demi kebesaran dan
kejayaan acap kali tanpa enggan dan segan
tega-tega saja mengorbankan nilai-nilai
kemanusiaan sebagaimana yang telah
terjadi pada abad-abad dan dasawarsadasawarasa
yang lalu di negeri-negeri yang
dikuasai rezim-rezim otoriter. Dunia kini
ini mestinya telah kian berubah, bergeser
menuju ke paham-paham baru, bahwasanya seperti yang pernah dikatakan oleh
Mahatma Gandhi nationality is humanity,
dan humanity adalah sila kemanusiaan yang
adil dan beradab.
Kehidupan di bumi yang kian menyatu ini
memang tanpa kunjung henti terus saja
berubah. Dinamika sosial politik yang
tak pelak berseiring pula dengan
perubahan-perubahan di berbagai sektor
ekonomi bermula di dunia Barat dan telah
melahirkan berbagai institusi kontrol yang
sangat represif untuk mengontrol suatu
sistem yang kian berskala besar dan
berformat makro. Di sini kewenangankewenangan
penguasa kian marak, namun
demikian hak-hak rakyat yang dituntut
sebagai kaidah yang lebih kodrati dan asasi
juga tak kalah maraknya, bahkan terkesan
seperti tak mengenal batas-batas
nasionalitas. Konfrontasi dan benturan
antara imperativa sistem dan kebebasan
manusia masih akan terus berlanjut, seiring
dengan kian mengembangnya skala dan
format sistem itu sendiri, yang secara
berlanjut berkembang dari yang lokal ke
yang translokal, lalu bersiterus ke yang
nasional dan transnasional hingga ke skala
dan formatnya yang mutakhir, ialah yang
global.
Evolusi dan revolusi berjalan terus secara
pasti, dan mentransformasi kehidupan
manusia dari kehidupan yang dikuasai oleh
industri-industri yang mengandalkan
tenaga kinetik dan mekanik ke kegiatan-kegiatan
produktif gaya baru yang lebih
mengandalkan informasi semantik dan
semiotik. Perubahan-perubahan
transformatif ini dalam kenyataan telah
melahirkan berbagai masalah konsentrasi,
tak hanya konsentrasi kekayaan dan
kemakmuran di tangan pengontrol-pengontrol kapital dan informasi melainkan
juga konsentrasi kekuasaan politik di tangan
negara yang dikenali juga sebagai
pengontrol aparat dan sumber-sumber
legitimasi. Evolusi dan revolusi yang
berlangsung dalam mode dan model seperti
ini tak pelak lagi telah menyebabkan
masyarakat sipil dan warganya terpurukpuruk
ke posisi-posisinya yang marjinal
tanpa keberdayaan yang berarti. Dalam
keadaan seperti itu, yang akan terjadi
kemudian tidaklah akan lain daripada
kesenjangan-kesenjangan yang bermasalah
di mana-mana.
Tak ayal permasalahan besar harus diatasi
dengan mengembangkan aransemenaransemen
baru di dalam kehidupan
manusia yang telah terkonsepkan menjadi
suatu satuan tunggal umat. Kesenjangan
mestilah diatasi untuk menciptakan ide one
world, different but not divided atas dasardasar
prinsip kemanusiaan yang menurut
asasnya tak akan mengenal diskriminasi
macam apapun. Pengakuan akan ada dan
perlu ditegakkannya hak-hak asasi tak
cuma hak-hak asasi yang sipil dan politik
akan tetapi juga yang ekonomi, sosial dan
budaya dipastikan akan mengoreksi
kesenjangan-kesenjangan yang terjadi di
berbagai ranah kehidupan yang didakwa
telah menjadi biang penyebab berbagai
realitas diskriminatif dalam kehidupan
umat manusia. Perubahan sosial-politik
yang telah berlangsung selama ini untuk
merealisasi aransemen-aransemen baru
dalam kehidupan manusia yang nondiskriminatif
patutlah diteruskan dengan
komitmen-komitmen yang lebih intens
daripada yang sudah-sudah.
Dalam persoalan kemanusiaan yang telah
menjadi bagian dari komitmen utama
masyarakat dunia seperti ini, Indonesia
pasca Orde Baru telah pula mencoba
memperbaharui komitmen-komitmennya,
sekalipun dengan hasil-hasil yang masih
sering meragukan. Berbagai ratifikasi
penting telah dilaksanakan, sejumlah
amandemen untuk memperkuat komitmen
konstitusional bagi pemajuan dan
penegakan hak-hak asasi manusia telah pula
dikerjakan. Berbagai upaya untuk
membangun struktur dan untuk
mengefektifkan fungsi yang diperlukan bagi
pemajuan dan penegakan hak-hak asasi
manusia itu telah pula dikerjakan.
Sementara itu, disadari pula bahwa
konservatisme -- yang tidak hanya bercokol
di kalangan kelompok-kelompok sektarian
dan partisan akan tetapi juga di lingkungan
sementara institusi pemerintahan (tidak
hanya yang eksekutif dan legislatif, akan
tetapi juga yang yudisial) -- masih saja
menghadang. Berbagai upaya masih banyak
yang harus dikerjakan untuk mengatasi
hadangan-hadangan itu. Kampanye dan
pendidikan untuk memajukan dan
menghormati hak-hak asasi manusia harus
pula digerakkan sebagai bagian dari
gerakan atau program aksi nasional, karena
pada akhirnya orang pun harus benar-benar
mengetahui bahwa untuk memenangkan
seluruh usaha penegakan hak-hak asasi
manusia ini the real battle will be engaged and
decided in the people’s mind.
Permasalahan Universalisme Hak-Hak Asasi Manusia
Dalam sejarah perkembangannya yang awal
di negeri-negeri Barat, proses
berkembangnya ide hak-hak manusia yang
asasi -- berikut segala praksis-praksis
implementatifnya terjadi berseiring benar
dengan berkembangnya ide untuk
membangun suatu negara bangsa yang
demokratik dan berinfrastruktur
masyarakat warga (civil society). Ide ini
mencita-citakan terwujudnya suatu komunitas politik manusia sebangsa atas
dasar prinsip kebebasan dan kesamaan
derajat serta kedudukan di hadapan hukum
dan kekuasaan. Ini berarti bahwa setiap
manusia sebangsa dalam kehidupan
komunitas bangsa yang disebut negara
bangsa itu akan tak lagi boleh dipilah ke
dalam golongan mereka yang harus disebut
para Gusti dengan segala hak-hak
istimewanya dan golongan mereka yang
harus dinisbatkan sebagai para Kawula Alit
dengan segala kewajibannya untuk patuh
dan berdisiplin.
Tak lagi mengenal dua kelas yang terpilah
secara diskriminatif, masyarakat yang
terbentuk itu -- demikian menurut model
idealnya -- adalah suatu masyarakat baru
yang berhakikat sebagai masyarakat warga
yang pada asasnya berkebebasan, eksis dan
bersitegak di atas dasar paham
egalitarianisme. Tak lagi ada kelas ningrat
yang atas, tak ada lagi kelas kawula biasa
yang bawah, yang ada kini ini (idealnya
yang universal !) adalah kelas tengah.
Semua saja tanpa kecualinya memiliki hak
dan kebebasan yang sama. Hak dan
kebebasan hanya boleh dibatasi -- atas dasar
kesepakatan, yang dicapai tanpa rasa
keterpaksaan -- oleh para warga itu sendiri
(atau oleh wakil atau kuasanya).
Kesepakatan seperti itu, yang dalam istilah
teknisnya disebut kesepakatan kontraktual,
kemudian daripada itu harus dipositifkan
dalam wujud kontrak-kontrak perjanjian
(manakala dalam kehidupan privat) atau
akan berbentuk undang-undang (manakala
dalam kehidupan publik). Itulah suatu
perkembangan dalam kehidupan hukum,
dari kehidupan dengan hukum yang
tercipta oleh sumber kekuasaan eksternal ke
kehidupan baru dengan hukum yang
tercipta oleh sumber kekuasaan yang
internal dari para manusia itu sendiri.
Diidealkan seperti itu, maka pada asasnya
dan menurut doktrinnya hak-hak para
warga yang asasi dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara itu -- juga
pembatasannya dalan wujud kewajibankewajiban
-- mestilah berawal pula dari
kesepakatan yang jujur dan ikhlas. Tidaklah
sekali-kali dibenarkan manakala hubungan
atas dasar kesepakatan itu terjadi karena
suatu pemaksaan atau keterpaksaan, atau
pula karena dikecoh atau disesatkan lewat
penipuan. Hak dan kewajiban yang menjadi
dasar dari seluruh tertib hukum di dalam
kehidupan bernegara bangsa dan di dalam
kehidupan masyarakat warga itu tidaklah
sekali-kali boleh bermula dari kehendak
sepihak yang dipaksakan : dipaksakan oleh
dia yang tengah berkekuatan dan
berkekuasaan kepada dia yang tengah
berada dalam posisi lemah dan kurang
berkeberdayaan.
Tatkala hak-hak asasi manusia
dideklarasikan di New York atas wibawa
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun
1948, deklarasi itu tak ayal lagi adalah
deklarasi yang pada dasarnya bertolak dari
dan bertumpu pada ide, doktrin dan/atau
konsep mengenai kebebasan dan kesetaraan
manusia sebagaimana yang telah lama
dimengerti di dunia Barat itu sebagaimana
dipaparkan di muka. Lebih lanjut lagi
deklarasi itu bahkan juga mengklaim bahwa
hak-hak dan seluruh ide dan doktrin yang
mendasarinya itu juga bernilai universal.
Kalau semula pada awalnya yang
dimaksudkan dengan universalitas itu
adalah universalitas yang masih pada
lingkup nasional, mengatasi partikularisme
yang lokal dan/atau etnik dan atau yang
sektarian, kini yang dimaksudkan dengan
universalitas itu adalah universalitas yang
kemanusiaan, mengatasi partikularisme
kebangsaan. Bukan suatu kebetulan
manakala deklarasi itu secara resmi disebut
The Universal Declaration of Human Rights,
dengan mengikutkan kata ‘universal’ guna
mengkualifikasi deklarasi itu sebagai suatu
pernyataan yang berkeniscayaan mesti
berlaku umum di negeri manapun, pada kurun masa yang manapun, untuk dan
terhadap sesiapapun dari bangsa manapun.
Namun demikian, yang masih tetap akan
menjadi persoalan besar sampai pun saat ini
ialah, apakah ide dan konsep -- dan karena
itu segala kebijakan dan upaya penegakan
hak-hak asasi manusia di dalam kehidupan
yang telah berskala global itu -- harus
bersifat demikian universalistik, dalam
artiannya yang mutlak ? Ataukah, sekalipun
deklarasi itu telah diterima oleh banyak
wakil negara bangsa di dunia ini, masihkah
ada juga tempat untuk tafsir-tafsir yang
lebih bersifat partikularistik ? Artinya,
adakah hak-hak asasi manusia itu harus
ditegakkan kapan saja, di mana saja dalam
pengertiannya yang sama sebagaimana
modelnya yang klasik dari Barat itu ?
Ataukah hak-hak asasi manusia itu hanya
bisa dipandang sebagai sesuatu yang
universal dalam hal prinsip-prinsipnya saja
? Yang oleh sebab itu implementasinya --
demi pemajuan dan penegakan hak-hak
asasi manusia -- mestilah selalu dilakukan
dengan memperimbangkan dan/atau
memperhitungkan kondisi dan situasi
setempat yang partikular ?
Suatu Wacana : Universalisme versus Partikularisme
Menghadapi persoalan universalismepartikularisme
ini, banyak negara di
kawasan-kawasan regional mencoba
mendefinisikan ulang hak-hak asasi
manusia dengan mencoba menampung
keragaman konsep-konsep lokal itu dalam
konteksnya yang lebih umum dan universal.
Di kawasan ASEAN, misalnya, pada tahun
1984 pernah dideklarasikan suatu
pernyataan mengenai "KewajibanKewajiban
Dasar bagi Masyarakat dan
Pemerintah di Negara-Negara ASEAN".
Dalam waktu yang hampir bersamaan, di
Kairo juga diselenggarakan pertemuan
wakil negara-negara Islam untuk
menegaskan konsep hak-hak asasi manusia
yang universal menurut versi Islam. Salah
satu pernyataan umum yang dihasilkan
oleh pertemuan Kairo ini menyebutkan
bahwa negara-negara yang wakil-wakilnya
bersidang di Kairo ini bersepakat untuk
pada asasnya akan selalu menjunjung tinggi
pelaksanaan penegakan hak-hak asasi
manusia, namun dengan catatan sejauh hakhak
manusia yang asasi itu tidak
bertentangan dengan syariah Islam.
Tentu saja statemen-statemen atau
deklarasi-deklarasi yang selalu dinyatakan
dalam rumusan-rumusan umum itu dalam
praktiknya yang konkrit nantinya masih
menuntut penjabaran lebih lanjut.
Kesepakatan-kesepakatan, tidak hanya pada
forum internasional akan tetapi juga pada
forum nasional itu sendiri, masih
diperlukan. Banyak wacana masih perlu
dikembangkan orang untuk
mempertanyakan dan menemukan jawab
mengenai luas-sempitnya hak-hak warga
negara dalam eksistensinya sebagai mahluk
yang berkodrat dan bermartabat sebagai
manusia. Manakah yang harus didahulukan
untuk dikukuhi sebagai pegangan; konsep
humanistik yang universal ataukah konsep
lokal-nasional yang partikular ? Kongres
Dunia tentang hak-hak asasi manusia yang
diselenggarakan di Wina pada bulan Juni
1993 mencoba menjawab dengan jelas
pertanyaan ini. Dalam Kongres itu dicapai
kesepakatan untuk mengatasi persoalan
universalisme-partikularisme itu dengan
menyatakan bahwa "sekalipun diakui
adanya keragaman sosial dan budaya
setempat, akan tetapi semua saja harus tetap
mengupayakan berlakunya universalitas
hak-hak asasi manusia berikut upaya-upaya
penegakannya".
Kesepakatan dalam Kongres Wina itu
memang boleh dikatakan merupakan
refleks mayoritas wakil-wakil negara
peserta untuk bertekad mengakui hak-hak
asasi manusia sebagai hak-hak yang kodrati,
yang karena itu benar-benar bersifat
universal, dan yang karena itu pula
bukanlah sekali-kali merupakan hak-hak
yang diperoleh karena kebajikan yang
partikular dari para penguasa. Manakala
keragaman sosial-budaya setempat toh
masih harus diakui keberadaan dan
kekuatan berlakunya, maka pengakuan itu
hanyalah “demi fakta” saja sifatnya, yang
tidaklah akan mengganggu esensi
normatifnya. Pada prinsipnya, tak ayal lagi
hak-hak asasi manusia itu tetap universal
jugalah sifatnya, sedangkan keragaman
dalam hal pemahamannya itu -- yang sering
terkesan masih sering bertahan pada saat ini
-- hanyalah akibat pengalaman kultural
berbagai bangsa yang berbeda-beda dari
masa lalu. Perbedaan tradisi yang
partikular dari suku ke suku dan dari
bangsa ke bangsa tidaklah harus
menghalangi pengakuan bahwa pada
prinsipnya hak-hak asasi manusia itu
bersifat kodrati dan universal.
Lebih lanjut, bertolak dari kesepakatan
Wina ini, orang dapatlah menyimpulkan
bahwa hanya dalam keadaan-keadaan dan
kenyataan-kenyataan tertentu sajalah usaha
merealisasi prinsip-prinsip yang universal
itu boleh ditangguhkan atau direservasi.
Apabila berdasarkan pertimbanganpertimbangan
khusus yang bersifat
sementara dan tak terelakkan suatu usaha
penegakan hak-hak asasi manusia -- atas
dasar klaim universalitasnya -- itu akan
menimbulkan akibat yang lebih
berkualifikasi mudarat daripada manfaat,
maka tidaklah bijak untuk memaksakan
terteruskannya usaha itu. Di negeri-negeri
berkembang, misalnya, kalaupun anak-anak
berdasarkan prinsip-prinsip universalisme
harus diakui juga sebagai pengemban hakhak
(katakan saja untuk memperoleh
pendidikan seperti yang dituliskan di Pasal
26 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi
Manusia), namun dalam praktik dan
menuruti moral kultural di negeri-negeri
berkembang yang miskin anak-anak itu
mestilah berbakti pada orang-tuanya
dengan cara ikut membantu orang tua
bekerja, yang kalau perlu dengan
meninggalkan bangku sekolahnya.
Relativisme Kultur dan Pentingnya Peran Pendidikan
bagi Pemajuan dan Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia
Sekalipun seringkali dikemukakan dengan
penuh semangat bahwa agama-agama besar
di dunia ini tak ada satu pun yang
mengingkari hak-hak manusia untuk hidup,
bekerja dan menguasai milik demi
keselamatannya di dunia dan akhirat,
namun toh tak dapat diingkari hal berikut
ini. Ialah bahwa banyak tradisi lama -- juga
yang mengklaim kebenarannya dari ajaran
agama yang masih mendakwakan bahwa
hak dan kewenangan itu ada di tangan para
penguasa, dan tidak di tangan rakyat. Para
penguasa -- dan bukan individu-individu
yang hidup sebagai bagian dari massa
rakyat inilah yang eksis dalam statusnya
sebagai representasi kepentingan kolektif
suatu kolektiva, entah yang berformat suku
entah yang berformat bangsa. Tradisi lama
ini umumnya juga mengenal pembedabedaan
peran dan hak diantara golongan
penduduk, dengan akibat bahwa
sesiapapun yang terbilang kaum minoritas
akan termarjinalisasi dan terdiskriminasi
secara tak sepatutnya. Maka, manakala oleh
sesuatu sebab dan berdasarkan suatu
argumen orang membenar-benarkan berlakunya prinsip relativisme kultur
seperti itu, ini akan berarti bahwa orang
yang berargumen seperti itu sadar atau
tidak sebenarnya akan tidak berkeberatan
untuk menangguhkan berlakunya suatu
kaidah tertentu dalam suatu deklarasi
internasional tentang universalitas hak-hak
asasi manusia. Manakala pendapat seperti
ini memperoleh dukungan yang luas, maka
tak ayal lagi, itu akan berarti terjadinya
toleransi untuk memperpanjang praktik
diskriminasi dan mungkin juga
kriminalisasi di berbagai belahan bumi ini.
Mengupayakan perubahan dengan langkahlangkah
yang bergaya memaksakan, namun
demikian, adalah pula bukan langkah yang
bijaksana, dan salah-salah malah dapat
diprasangkakan sebagai langkah
pelanggaran hak-hak manusia yang asasi
untuk hidup dalam suasana kebudayaannya
sendiri. Bukankah pasal 27 Deklarasi Umum
Hak-Hak Asasi Manusia menjamin bahwa
“setiap orang berhak untuk secara bebas
mengambil bagian dalam kehidupan
kultural komunitasnya sendiri …” ?
Bukankah pula sementara itu pasal 15 ayat
1(a) Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Kultural juga
menjanjikan bahwa “setiap negara peserta
Kovenan mengakui hak setiap orang untuk
mengambil bagian dalam kehidupan
kultural” ?
Berkeyakinan akan sifat universalitas hakhak
asasi manusia di satu pihak, akan tetapi
di lain pihak juga mengakui realitas betapa
masih kuatnya partikularitas dan relativitas
kultur yang bertahan di berbagai negeri,
kesepakatan yang dicapai dalam Kongres
Wina pada tahun 1993 dapatlah dinilai
sebagai kompromi yang realistis tanpa
meninggalkan prinsip. Universalitas hakhak
asasi manusia adalah sesuatu yang
masih dalam tataran alam ideal, yang
realisasinya masih akan memerlukan upaya
yang sungguh-sungguh guna
mengefektifkan perubahan tradisi dan
keyakinan. Semua usaha ini harus
dikerjakan melalui suatu proses berjangka
panjang, yang tidak akan lain daripada
usaha pendidikan guna “memberantas buta
hak di kalangan rakyat”. Maka bukanlah
barang kebetulan manakala segera setelah
usainya Kongres di Wina itu Perserikatan
Bangsa-Bangsa mencanangkan tahun 1995-
2004 sebagai “Dasawarsa untuk Pendidikan
Hak-Hak Asasi Manusia”.
Pencanangan “Dasawarsa untuk Pendidikan
Hak-Hak Asasi Manusia, 1995-2004” ini
boleh dikatakan sebagai suatu pernyataan
yang tak meragukan lagi akan adanya
kesepakatan bulat negara-negara anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
pentingnya pendidikan untuk memajukan
pemahaman khalayak ramai di kalangan
bangsa-bangsa dunia mengenai hak-hak
asasi. Pendidikan akan berpotensi
menyadarkan jutaan manusia di bumi ini
akan pentingnya menyamakan visi
mengenai masa depan kehidupan manusia
di bumi yang kian menyatu ini. Kalaupun
orang masih merasa perlu demi
kesejahteraannya untuk mengukuhi tradisi
lokalnya dan ideologi kebangsaannya,
dalam kehidupan masa depan di bumi yang
kian menyatu ini orang pun mestilah harus
mulai sanggup menerima apa yang disebut
the third culture of human kind sebagai idom
baru. Inilah prasyarat yang diperlukan demi
dimungkinkannya kehidupan bersama yang
damai tanpa sekatan-sekatan yang
melambangkan adanya diskriminasi di
antara sesama manusia di tengah kehidupan
yang tidak hanya bersifat multikultural
melainkan juga telah kian plural.
Kebijakan untuk Menyongsong Kehidupan Masa Depan
Kehidupan yang kian bersifat transnasional
pada skala global memang tak pelak dan tak
terelakkan lagi akan terus memarakkan
konsep hak-hak asasi manusia sebagai
konsep yang tak mungkin lain daripada
yang universal itu. Ialah, bahwa hak-hak
asasi manusia itu pada asasnya mestilah
berlaku bagi manusia sesiapapun di
manapun dalam kualifikasi sosial-politik
dan kultural yang apapun. Berseiring
dengan kesadaran akan perlunya
menggalakkan kerjasama dan saling
pengertian antar bangsa, banyak
kesepakatan -- baik di kalangan para pejabat
pemerintahan maupun di kalangan para
eksponen yang bergerak di luar organisasi
pemerintah -- telah dicapai untuk
mengupayakan implementasi nilai dan
norma apapun yang bersifat universal,
sekalipun dengan tetap mengingati berbagai
kemungkinan adanya kendala yang berasal
dari hal-hal yang sifatnya partikularistik.
Sekalipun para pengemban kekuasaan di
banyak negeri berkembang -- tak ayal juga
juga di Indonesia -- beberapa waktu yang
lalu hendak mengutamakan paham yang
partikularistik, ialah bahwa konsep hak-hak
asasi adalah konsep yang pada hakikatnya
relatif dan culturally and politically bound,
namun akhir-akhir ini mulai tersuarakan
kesediaan untuk mengakui universalisme
konsep hak-hak asasi manusia itu, sekalipun
dalam hal penerapannya orang masih harus
pula mengingati kondisi-kondisi dan idiomidiom
sosio-kultural setempat. Apapun juga
yang telah dibicarakan, tak salah lagi setiap
pengemban kekuasaan negara di manapun
di dunia yang beradab ini telah amat
tertuntut -- secara moral, kalaupun tidak
secara konstitusional dan secara hukum --
untuk menghormati hak-hak asasi manusia
warga negara. Yang partikular dan
situasional-kultural itu sesungguhnya
bukan hak-hak asasi itu sendiri melainkan
ketat atau longgarnya batasannya; sejauh
mana, mengingat situasi dan kondisinya
yang relatif, realisasi hak itu boleh dibatasi
atau digantungkan alias ditangguhkan
(reserved) dulu dalam hal pelaksanaannya.
Kebijakan nasional untuk mensukseskan
pembangunan, acap kali menuntut
kesediaan khalayak awam untuk berkorban
dan tidak mendahulukan hak-hak
individualnya (betapa pun asasinya hak-hak
itu). Dalam pelaksanaan misi pembangunan
seperti ini pemerintah mensyaratkan agar
kegiatan-kegiatan politik dihentikan dengan
pernyataannya bahwa "politik no,
pembangunan yes", lebih-lebih manakala
untuk maksud itu stabilitas nasional (yang
lebih banyak diartikan sebagai tiadanya
gangguan keamanan dan terpeliharanya
ketertiban masyarakat yang sebagian besar
dituduhkan bersebab dari persoalan
politik), maka dapat dimengerti mengapa
hak-hak sipil dan hak-hak politik acap kali
gampang begitu saja dilupakan -- kalaupun
tak diingkari -- oleh para pejabat
pemerintah Indonesia. Pengabaian seperti
itu kian nyata terjadi manakala keberhasilan
para pejabat pemerintahan ipso facto akan
lebih sering ditentukan oleh prestasinya di
bidang-bidang kamtibmas dan
pembangunan itu daripada prestasinya di
bidang penegakan hak-hak asasi manusia.
Kurang jelasnya pengakuan secara
konstitusional tentang patut dihormatinya
hak-hak sipil dan hak-hak politik sebagai
hak-hak manusia yang asasi -- yang bawaan
dari kodratnya yang universal, dan yang
karena itu tak dapat diganggu-gugat dan
dialih-alihkan begitu saja oleh kekuasaan
politik manapun dan kapanpun juga -- telah
pula acap kali menyebabkan pelaksanaan
hak-hak manusia tersebut itu mengalami
kepincangan di Indonesia.
Namun, sementara itu, sebagai anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mestinya
harus tahu dan mau memperlihatkan respek
kepada seluruh usaha badan dunia ini, tak
pelak lagi Indonesia ini pun sebenarnya
harus pula menghormati dan menyatakan
komitmennya pada apa yang telah
dideklarasikan dan disepakatkan dalam
konvenan-konvenan yang dibuat sebagai
bagian dari upaya PBB merealisasi
terlaksana dan tertegakkannya hak-hak
manusia di manapun, khususnya di negerinegeri
para anggotanya. Kesulitan dalam
soal menaruh dan mempertaruhkan
komitmen -- apakah akan terus
Mendahulukan upaya menjaga stabilitas
politik dan melaksanakan pembangunan
apapun konsekuensinya ataukah
mendahulukan pengakuan terikat dan
terbatasinya kekuasaan pemerintah di
hadapan hak-hak sipil dan hak-hak politik
manusia-manusia warga negaranya --
seperti ini acap kali dicoba diatasi dengan
pernyataan-pernyataan yang bernada
excuse, akan tetapi yang juga mencuatkan
polemik tentang hak-hak asasi manusia itu.
Ialah, adakah hak-hak asasi itu bersifat
universal ataukah bersifat partikular, (yang
karena itu bermakna relatif dan masih harus
dikaji berlaku-tidaknya dalam konteks).
konteks kultural tertentu).
Pemenuhan Hak-Hak Asasi di Bidang Ekonomi
dengan Mengingkari Hak-Hak Sipil dan Hak-Hak Berpolitik ?
Kecuali lewat argumentasi sifat partikular
atau partikularistiknya apa yang disebut
hak-hak asasi ini, para eksponen di
kalangan pemerintahan yang menghendaki
agar hak-hak sipil dan hak-hak politik
ditinggalkan dulu demi suksesnya
pembangunan nasional itu juga berdalih
bahwa misi dan upaya-upaya
pembangunan yang dilakukan dan
dikendalikan secara sentral oleh pemerintah
ini sebenarnya adalah juga suatu misi
pelaksanaan hak-hak asasi manusia. Ialah,
kalaupun bukan hak-hak sipil dan hak-hak
politik, sudah barang pasti itu adalah hakhak
ekonomi yang juga bernilai asasi.
Bukankah, berbeda dengan pelaksanaan
hak-hak sipil dan hak-hak politik yang
mewajibkan kekuasaan negara untuk
berperilaku hands-off, dalam pelaksanaan
upaya implementasi hak-hak ekonomi itu
negara harus secara riil banyak turun
tangan untuk berbuat segala sesuatu
berdasarkan kekuasaan dan
kewenangannya ?
Pelaksanaan merealisasi hak-hak ekonomi
(berikut hak-hak sosial dan hak-hak
budaya) yang asasi ini sebenarnya memang
mewajibkan state parties untuk
mengupayakan langkah-langkah guna
menjamin terlaksananya pembebasan
sesiapapun dari bahaya kelaparan.
Konvenan-konvenan PBB pun mewajibkan
pemerintah di negeri manapun untuk
mengupayakan dapat ter-angkatnya taraf
hidup manusia ke tingkatnya yang layak,
yang terwujud dalam bentuk tercukupinya
sandang, pangan dan papan manusiamanusia
penduduk negeri. Sementara itu,
the state parties ini juga masih mendukung
beban kewajiban yang asasi untuk --
berbekalkan kekuasaan dan
kewenangannya -- menyiapkan
penyelenggaraan pendidikan dasar yang
akan dapat diikuti anak-anak manusia di
seluruh negeri secara cuma-cuma;
menggalakkan terselenggaranya pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi yang
terbuka bagi sesiapapun tanpa hambatan
apapun yang bersifat diskriminatif.
Masih banyak lagi tugas-tugas yang harus
dikerjakan oleh pemerintah dan state parties
lainnya untuk tidak ber-hands-off melainkan
bertindak secara nyata guna melaksanakan
hak-hak asasi manusia di bidang ekonomi,
sosial dan budaya itu. Persoalannya
sekarang adalah : Apakah seluruh
kewajiban yang harus dilaksanakan negara
c.q. para pengemban kekuasaannya itu
boleh membenarkan ditinggalkannya atau bahkan diingkarinya hak-hak
manusia yang lain, ialah yang hak-hak sipil
dan yang hak- hak politik ? Adakah prosesproses
pembangunan guna
mengimplementasi hak-hak ekonomi warga
negara dan penduduk negeri yang pada
hakekatnya adalah juga proses-proses
politik (karena direncanakan berdasarkan
tujuan-tujuan dan kebijakan-kebijakan yang
sesungguhnya diputuskan lewat prosesproses
politik juga) merupakan monopoli
para politisi dan para pejabat pemerintah
yang elit dan telah mapan, ataukah semua
itu juga harus tetap terlaksana dengan
menyertakan seluruh warga negara yang
harus tetap terakui hak-hak asasinya ?
Dengan perkataan lain, adakah upaya
pelaksanaan implementasi hak-hak ekonomi
yang asasi itu boleh memberikan dasar
pembenar kepada para pembesar negara
untuk mengingkari hak-hak sipil dan hakhak
politik manusia-manusia warga negara,
dan yang dengan begitu secara implisit
telah memisahkan secara konseptual hakhak
sipil dan hak-hak politik yang asasi dari
hak-hak asasi yang lain, dalam hal ini hakhak
ekonomi ?
Sesungguhnya hak-hak asasi itu menurut
konsepnya yang asali adalah hak-hak
bawaan yang kodrati yang terlahir dan
karena itu juga terlekat secara kodrati pada
makhluk-makhluk yang terlahir secara
kodrati sebagai manusia. Hak-hak asasi
bukanlah hak-hak negara beserta para
pejabatnya. Hak-hak ekonomi yang asasi
sekalipun sebenarnya tidak dimaksudkan
untuk mengalihkan hak-hak yang asasi itu
ke tangan negara, untuk terubah menjadi
sumber kekuasaan-kekuasaan baru dan
kewenangan-kewenangan baru. Maka,
sesungguhnya hak-hak ekonomi yang asasi
itu juga yang telah disebutkan di salah
satu alinea di halaman terdahulu tidaklah
sekali-kali bermakna sebagai hak
pemerintah, melainkan hak (yang asasi)
manusia-manusia warga negara; ialah hak
untuk terbebaskan dari derita lapar, hak
untuk memperoleh pendidikan, hak untuk
memperoleh sandang dan pangan, hak
untuk memperoleh taraf hidup yang layak,
dan seterusnya.
Tak pelak lagi, hak-hak asasi itu tentulah
membawa konsekuensi kewajibankewajiban
yang asasi pula, yang harus
dipenuhi oleh para penyandangnya. Hak
yang asasi untuk memperoleh taraf hidup
yang layak tentu saja berasosiasi dengan
kewajiban untuk bekerja dan membangun
kehidupan pribadi yang positif dan
produktif. Tetapi, sekali lagi perlu
ditegaskan di sini, bahwa hak asasi itu
hanya bisa berimbangan dengan kewajiban
yang asasi, dan tidak sekali-kali akan
membenarkan teralihkannya menjadi
kewenangan dan kekuasaan asasi di tangan
para penguasa negara. Adalah tetap
menjadi kewajiban negara berdasarkan
kekuasaan dan kewenangannya -- untuk
memungkinkan manusia-manusia (baik
yang warga negara maupun yang
penduduk) melaksanakan kewajibankewajibannya
yang asasi guna merealisasi
apa yang telah dihakkan kepada mereka
secara asasi.
Dalam kerangka membangun situasi yang
kondusif untuk pelaksanaan kewajibankewajiban
yang asasi itulah maka
konvenan-konvenan PBB memaklumkan
pengakuannya akan hak-hak asasi manusia
untuk mengerjakan secara bebas setiap
pekerjaan yang dipilihnya, hak-hak untuk
memperoleh persyaratan kerja yang layak dan lingkungan kerja yang aman dan sehat,
hak-hak untuk memperoleh upah yang
layak dan tidak diskriminatif, hak-hak
untuk berserikat dan mogok sebagai bagian
dari realisasi usahanya menghadapi
perlakuan-perlakuan yang tak wajar dalam
pekerjaannya, dan sebagainya. Sehubungan
dengan semua tuntutan dapat dilaksanakan
dan terlaksananya hak-hak dan kewajibankewajiban
yang asasi itulah maka
terkedepankanlah kewajiban negara dan
para pejabatnya untuk membangun situasi
yang kondusif yang diperlukan.
Dipantangkanlah kepadanya untuk
mengambil langkah-langkah kebijakan yang
justru mengingkari hak-hak manusia untuk
secara bebas mengekspresikan dirinya di
dalam dunia kerjanya, yang pada akhirnya
hanya akan meniadakan keberdayaannya.
Tiadanya keberdayaan, pada gilirannya
justru hanya akan meningkatkan
ketergantungan jutaan manusia pada
sumber-sumber kekuasaan yang ada, dan
dengan demikian akan pula amat
mengurangi harkat dan martabatnya
sebagai makhluk Tuhan yang pada asasnya
harus diberi kebebasan.
Ditilik dari perspektif konseptual
sebagaimana terpapar di atas ini, tegaslah
bahwa hak-hak ekonomi yang asasi itu pada
hakikatnya adalah hak-hak yang menjamin
kebebasan juga. Tak beda dengan hak-hak
sipil dan hak-hak politik, hak-hak ekonomi
(dan tentu saja juga hak-hak sosial dan hakhak
budaya) itu adalah juga hak-hak yang
dimaksudkan untuk menjamin kebebasan
manusia. Ialah kebebasan untuk memilih
dan menentukan garis kehidupannya
sendiri. Hanya dengan kebebasannya itu
sajalah manusia di dunia ini akan dapat
mengembangkan keberdayaannya, dan
pada gilirannya juga dapat
mengembangkan pribadi dan hidupnya,
baik sebagai individu maupun sebagai
makhluk sosial warga bangsa dan bagian
dari umat. Semua itu demi kemajuan
peradaban dan bukan demi
tersempurnakannya sistem perhambaan
yang penuh kezaliman dan ketidakadilan