Pengertian Hadits Sebagai Sumber Ajaran Agama
Sebelum menjelaskan tentang hadits sebagai sumber ajaran agama, kita harus mengetahui ada berapa sumber ajaran Islam itu? Sumber ajaran agama yang pertama adalah Al-qur’an, kemudian hadits, ijma dan Qiyas. Al-qur’an merupakan sumber ajaran yang pertama dan utama kemudian sumber yang kedua adalah hadits. Ijma dan qiyas merupakan sumber yang berasal dari ijtihad para ulama mengenai hal yang belum jelas dalam al-qur’an dan hadits.
Hadis adalah bentuk jamaknya hidats, hudatsa. Hadis menurut bahasa mempunyai beberapa arti yaitu :
1. Baru atau muda (Jadid), lawan dari terdahulu (Qadim)
2. Dekat (Qarib), tidak lama lagi terjadi, lawan dari jauh (ba’id).
3. Warta (khabar), berita yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.
Hadis yang bermakna khabar ini dihubungkan dengan kata Hadis yang berarti riwayat, ikhbar (menggambarkan). (TM Hasbi Ash Siddiqy: 1999: 1) Hadis dan pengertian khabar dapat dilihat dalam :Surat Ath-Thuur ayat 34 :
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar”.
Surat Al-Kahfi ayat 6 :
“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu Karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan Ini (Al-Quran)”.
Surat Ad-dhuha ayat 11 :
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan”
Sedangkan menurut terminologi ada beberapa pendapat dalam menafsirkan pengertian hadits. Hadits yaitu sesuatu yang diberikan dari nabi SAW baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifa-sifat nabi (DR. H. Endang Soetari: 2005:4).
Ahli hadis dan ahli Ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian tentang hadis. Menurut ahli hadits, pengertian hadis adalah seluruh perkataan, perbuatan dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad SAW, sedangkan menurut yang lainnya adalah segala sesuatu yang bersumber dari nabi, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapannya.
Yang termasuk hal ihwal adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari nabi yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran dan kebiasaan-kebiasaannya. Hadis menurut pengertian istilah (Definisinya) adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perkataan atau Taqrir-nya dan sebagainya. (Drs Fatchur Rahman: 1974: 20).
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian hadits yaitu segala sesuatu yang datang dari nabi SAW.
Alasan Hadits Dijadikan Sumber Hukum Agama
Kedudukan hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam telah disepakati oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam. Dikatakan demikian, karena dalam sejararah umat Islam (dari dulu sampai sekarang) ada kalangan yang hanya berpegang pada al-qur’an dalam menjalankan ajaran agamanya. (Syaikh Manna’ Al-Qathan: 30: 2008)). Seluruh umat Islam, baik yang ahli naql maupun ahli aql telah sepakat bahwa hadits atau sunah merupakan dasar hukum Islam yaitu salah satu dari sumber hukum Islam dan juga sepakat tentang diwajibkanya untuk mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-quran. Dalam kaitannya dengan masalah ini, Muhammad Ajjaj Al-khatib mengatakan:
Artinya : “Al-quran dan As-sunah (Al-hadits) merupakan dua sumber hukum syariat islam yang tepat. Sehingga umat islam tidak mungkin mampu memahami syariat islam, tanpa kembali kepada kedua sumber islam tersebut. Mujtahid da orang alim pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya.” (Drs. H. Mudasir; 2005 : hal.54)
Al-quran dan hadits merupakan sumber hukum syariat Islam yang tetap, yang orang Islam tidak mungkin memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang alimpun tidak diperbolehkan hanya mencakupkan diri dengan salah satu dari keduanya.
Banyak ayat al-quran dan hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan sumber hukum Islam selain al-quran yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Uraian dibawah ini merupakan paparan tentang alasan hadits dijadikan sebagai sumber hukum Islam dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun aqli.
1. Dalil al-Qur’an
Banyak ayat Al-quran yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan oleh rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup. Diantara ayat-ayat dimaksud adalah :
Firman Allah SWT : “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya]. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, Maka bagimu pahala yang besar”. (Ali Imran: 179)2.
2. Dalil Al-hadits
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW. Berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadits sebagia pedoman hidup disamping Al-quran sebagai pedoman umatnya, adalah dalam sabdanya :
Artinya : “Aku tinggalkan pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian selalu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah Rasul-Nya.” (HR. Hakim).
Ketika Rasulullah SAW. Hendak mengutus Mu’adz bin jabal untuk menjadi penguasa di Yaman, beliau mengajak Mu’adz berdialog seperti disebutkan dalam hadits yang artinya:
“(Rasulullah bertanya), “Bagaimana kamu akan menetapkan hukum bila dihadapkan padamu sesuatu yang memerlukan penetapan hulum? Mu’adz menjawab, “Saya akan menetapkannya dengan kitab Allah.” Lalu Rasul bertanya lagi, “Bagaimana seandainya kamu tidak mendapatkan dalam kitab Allah”, Mu’adz menjawab, “dengan sunah Rasullah.’ Lalu Rasulullah bertanya lagi, “Seandainya kamu tidak mendapatkan dalam kitab Allah dan juga tidak dalam sunah rasul.” Mu’adz menjawab lagi, “Saya akan berijtihad dengan pendapat saya senddiri.” Maka Rasulullah menepuk pundak Mu’adz seraya mengatakan, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan utusan seorang Rasul dengan sesuatu yang Rasul kehendaki.” (Drs. H. Mudasir,2005. Hal:72)
Hadits-hadits tersebut diatas, menunjukan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadits atau menjalankan hadits, sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Quran.
3. Kesepakatan Ulama
Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah satu dasar hukum dalam amal karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan hadits sama seperti penerimaan mereka terhadap Al-quran, karena keduanya sama-sama merupakan sumber hukum Islam.
Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung didalam hadits telah dilakukan sejak masa Rasulullah, sepeninggalan beliau, masa Khulafa Ar-Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya dan tidak ada yang mengakhirinya. Banyak di antara mereka yang tidak memahami dan mengamalkan isi kandungannya, tetapi menyebarluaskannya kepada generasi-generasi selanjutnya.
Banyak peristiwa menunjukan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hulum Islam, antara lain dalam peristiwa di bawah ini :
- Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi Khalifah, ia pernah berkata, “Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.”
- Saya Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.”
- Pernah ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan salat safar dalam Al-quran. Ibnu Umar menjawab, “Allah SWT. Telah mengutus Nabi Muhammad SAW. Kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat. (Drs. H. Mudasir, 2005:hal.73)
4. Sesuai dengan Petunjuk Akal
Kerasulan Nabi Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Didalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun, tidak jarang beliau membawa hasil ijtihad semata-mata mengenai mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada nas yang menaskahkannya.
Bila kerasulan Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya segala peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau atas hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Disamping itu, secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai Rasul mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki arutan kedua setelah Al-quran. Sedangkan bila dilihat dari segi Kehujjahannya, hadits melahirkan hukum zhanny, kecuali yang mutawatir. (Drs. Munzier Suparta, M.A. 2006 : hal.57)
Fungsi Hadits
Al-quran dan hadits sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan satu kesatuan (Drs. Munzier Suparta, M.A : 2006. Hal.219). Al-qran sebagai sumber pertama memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global, sedangkan hadits sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bagan) keumuman isi Al-quran tersebut. (Drs. H. Mudasir : 2005 :75).
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”, (QS An Nahl:44)
Kedudukan hadits atau sunnah mendekati kedudukan Al-quran. Hadits adalah berfungsi menafsirkan nashnya, menjelaskan pengertiannya, men-takhshish yang ‘amm, mentaqyid yang mutlaq menjelaskan yang musykil, menjelaskan hukum-hukumnya. Oleh karena itu wajib mengikutinya sebagaimana mengikiti al-quran. (Prof. Dr. H. M. Noer Sulaiman : 2008. Hal.37).
Menurut Muhammad Rasyid Ridla, Nabi SAW menjelaskan fungsi hadits atau sunnah dengan perkataan atau perbuatan. Penjelasan ini berupa tafshil, takhshish dan taqyud. Akan tetapi, Nabi SAW tidak pernah membatalkan informasi dan hukum-hukum yang terkandung dalam al-quran. Dengan istilah lain, sunnah tidak menasakh al-quran. Dengan demikian fungsi sunnah terhadap al-quran adalah:
1. Memberi bayan (penjelasan), sunnah memberi penjelasan terhadap kadungan al-quran yang mujma
2. Takhsish (pengecualian), Sunnah memberi pengecualian terhadap yang ‘am dalam al-quran
3. Taqyid (pembatasan), Sunnah member pembatas terhadap kemutlakan pesan al-quran
4. Menguatkan, Apa yang terkandung dalam sunnah menguatkan kandungan al-quran
5. Menetapkan hukum baru, didalam sunnah terdapat ketentuan agama yang tidak diatur dalam al-quran. (Prof. Dr. Azyurmardi, M.A:2005 : 204)
Dalam kitab Ushul al-hadits dikatakan bahwa ada tiga fungsi sunnah terhadap al-quran :
1. Kalau ada penyesuaian hadits dengan al-quran, maka hadits berfungsi sebagai penguat apa yang ada dalam al-quran, sepeti hadits tentang perintah shalat, zakat, keharaman riba, dan sebagainya.
2. Kalau ia berfungsi menjelaskan dan menafsirkan yang mujmal didalam al-quran, maka hadits menjelaskan maksudnya, seperti penjelasan tentang tata cara shalat, jumlah rakaatnya, dan waktu pelaksanaannya; penjelasan tentang warisan, dan sebagainya. Al-quran hanya menyebutkan waktu-waktunya secara umum, dan hadits-lah yang menjelaskan tatacara pelaksanaannya. Untuk itu, bersama-sama dengan kaum muslimin, Rasulullah SAW melaksanakan sembahyang lima waktu.
3. Rasulullah SAW menetapkan suatu hukum yang belum ada ketentuan nash-nya di dalam al-quran, seperti keharaman memakan keledai kampung. (Prof. Dr. H. M. Noor Sulaiman PL: 2008. Hal.41)
Hadits sebagai penjelas atau bagai al-quran itu memiliki bermacam-macam fungsi. Imam Malik bin Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu sebagai bayan at-taqrir, bayan at-tafsir, bayan at-tafsil, bayan at-bast, bayan at-tasyri. Imim Syafi’I menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan bayan at-tafsil, bayan at-takhsis, bayan at-ta’yin, dan bayan an-nasakh. Dalam ar-Risalah, ia menambahkan dengan bayan al-isyarah. Iman Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi yaitu bayan at-ta’kid, bayan at-tafsir, bayan at-tasyri, dan bayan at-takhsis. (Drs. H. Mudasir : 2005 : 75).
Bayan at-Taqrir, Bayan at-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam al-quran. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh kandungan al-quran. Suatu contoh hadits yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyai sebagai berikut :
“Apabila kalian melihat bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) maka berbukalah”. (HR. Muslim)
Hadits ini datang men-taqrir ayat al-quran dibawah ini :
“(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.(QS Al Baqarah:185)
Abu Hamadah menyebut bayan taqrir atau bayan ta’kid ini dengan istilah bayan al-muwafiq li al-nas al-kitab. Hal ini dekarenakan munculnya hadits-hadits itu sealur (sesuai) dengan nas al-quran.
2. Bayan al-Tafsir, Yang dimaksud dengan bayan al-tafdir adalah bahwa kwhadiarn hadits berfungsi untuk menberikanrincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-quran yang masih bersifat global (mujmal). Memberikan persyaratan/ batasan (taqyid) ayat-ayat al- quran yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat al-quran yang masih bersifat umum. Diantara contoh tentang ayat-ayat al-quran yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, disyariatkannya jual beli, nikah, qhisas, huhdud, dan sebagainya. Ayat-ayat al-quran tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syarat, atau halangan-halangannya. Oleh karena itu Rasulullah SAW, melalui haditsnya menafsirkan dan menjelaskan masalah-masalah tersebut.
Sebagai contoh dibawah ini akan dikemukakan beberapa hadits yang berfungsi sebagai bayan al-tafsir :
“Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalm al-quran tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah
“Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' (QS Al Baqarah: 43)
3. Bayan at-Tasyri’
Yang dimaksud dengan bayan at-tasyri adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yagn tidak dilengkapi dalam al-quran, atau dalam al-quran hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja. Abbas Mutawalli Hammadah juga menyebutkan bayan ini dengan “az-‘id ala al-kitabal-karim”. Hadits Rasul SAW dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi’li maupun taqriri) berusaha menunjukan suatu kepastian hukum terhadap persoalan yang muncul, yang tidak terdapat dalam al-quran. Ia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan menunjukan bimbingan dan menjelaskan duduk persoalannya.
Hadits-hadits SAW yang temasuk kedalam kelompok ini, diantaranya hadits tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dan bibinya). Hukum syuf’ah, hokum merajam penzina wanita yang masih perawan, danhukumtentang hak waris bagi seorang anak. Suatu contoh hadits tentang zakat fitrah, sebagai berikut :
“Bahwasannya Rasul SAW, telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan Muslim. (HR. Muslim)
Hadits Rasul SAW yang temasuk bayan a-Tasyri’ ini wajib diamalkan, sebagaimana kewajiban mengamalkan hadits-hadits lainnya. Ibnu al-Qayyim berkata, bahwa hadits-hadits Rasul SAW yang berupa tambahan terhadap al-quran, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya. Dan in bukanlah sikap (Rasul SAW) mendahului al-quran melainkan semata-mata karena perintah-Nya.
5. Bayan al-Nasakh, Ketiga bayan yang pertama yang telah diuraikan diatas disepakati oleh ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga ada sedikit perbedaan yang terutama menyangkut definisi (pengertian) nya saja.
Untuk bayan jenis keempat, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadits sebagai nasikh terhadap sebagian hukum al-quran dan ada juga yang menolaknya.
Kata nasakh secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izilah (menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan al- nasakh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menta’rifkannya. Termasuk perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirin dengan ulama mutaqaddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakunya serta tidak bias diamalkan lagi, dan syari’ (pembuat syari’at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal).
Jadi, intinya ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang tedahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya. Ketidaberlakuan suatu hukum (nask wa al-mansukh) harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, terutama syarat/ ketentuan adanya naskh dan mansukh. Pada akhirnya, hadits sebagai ketentuan yang datang kemudian dari pada al-quran dapat menghapus ketentuan dan isi kandungan al-quran. Demikian menurut pendapat ulama yang menganggap adanya fungsi bayan al-nasakh. Kelompok yang memperbolehkan adanya nasakh jenis ini adalah golongan Mu’tazilah, Hanafiyah, dan Mazhab Ibn Hamz Al-Dhahiri.Hanya saja Mu’tazilah membatasi fungsi naskh ini hanya berlaku untuk hadits-hadits yang mutawir. Sebab al-kitab itu nasakh nya diriwayatkan secara mutawir (mutawir lafdzi). Sementara golongan Hanafiyah yang dikenal agak longgar dalam hal naskh al-quran dengan sunnah ini, tidak mensyaratkan haditsnya mutawir, bahkan hadits masyhur (yang merupakan hadits ahad) pun juga bisa menasakh hukum sebagian ayat al-quran. Bahkan Ibnu Hazm sejalan dengan adanya naskh kitab dengan sunnah ini meskipun dengan hadits ahad. Ibnu Hazm memandang bahwa naskh termasuk dari bagian bayan Al-Quran.
Salah satu conton yang bias diajukan oleh para ulama, ialah hadits yang berbunyi :
“Tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
Hadits ini menurut mereka menaskh isi firman Allah SWT :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf], (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.(QS Albaqarah: 180).
Pengaplikasian Hadits Sebagai Sumber Ajaran Agama
Setelah mengetahui pengertian, kedudukan, dan sebab hadits dijadikan sebagai sumber ajaran agama, maka kita selaku umat Islam harus mengaplikasikan/ menerapkan apa yang diperintahkan atau dilarang dalam Hadits Nabi SAW. Dengan mengikuti cara hidup rasul baik mengikuti perkataan, perbuatan ataupun ketetapan yang ditetapkan rasul berarti kita telah dapat menerapkan isi dari hadits dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh dari pengaplikasian Hadits dalam kehidupan sehari-hari diantaranya yaitu tata cara shalat. Tata cara shalat merupakan pengaplikasian Hadits nabi “ Sholluu kamaa raaitumuunii usolli”. Sebab dalam Al-qur’an tidak dijelaskan bagaimana cara melaksanakan shalat. Dalam Al-qur’an hanya ada ayat yang memerintahkan untuk shalat tanpa diperinci dengan tata caranya.
Selain itu contoh penerapan hadits dalam kehidupan sehari-hari yaitu shalat berjamaah. Shalat berjamaah hukumnya sunnah muakkad yaitu sunnah yang sangat dianjurkan. Perbedaan nilai solat berjamaah, 27 kali lebih baik daripada shalat sendirian (munfarid). (http://id.wikipedia/hadits_shalat.org)