Pengertian Dan Definisi Pengendalian Persediaan Menurut Ahli

Pengertian Dan Definisi Pengendalian Persediaan Menurut Ahli
A. Defenisi Persediaan 
Persediaan (inventory), dalam konteks produksi, dapat diartikan sebagai sumber daya menganggur (idle resource). Sumber daya menganggur ini belum digunakan karena menunggu proses lebih lanjut. Yang dimaksud dengan proses lebih lanjut disini dapat berupa kegiatan produksi seperti dijumpai pada sistem manufaktur, kegiatan pemasaran seperti dijumpai pada sistem distribusi ataupun kegiatan konsumsi seperti pada sistem rumah tangga. 

Keberadaan persediaan atau sumber daya menganggur ini dalam suatu sistem mempunyai suatu tujuan tertentu. Alasan utamanya adalah karena sumber daya tertentu tidak bisa didatangkan ketika sumber daya tersebut dibutuhkan. Sehingga, untuk menjamin tersedianya sumber daya tersebut perlu adanya persediaan yang siap digunakan ketika dibutuhkan. 

Adanya persediaan menimbulkan konsekuensi berupa resiko-resiko tertentu yang harus ditanggung perusahaan akibat adanya persediaan tersebut. Persediaan yang disimpan perusahaan bisa saja rusak sebelum digunakan. Selain itu perusahaan juga harus menanggung biaya-biaya yang timbul akibat adanya persediaan tersebut. 

Adapun alasan perlunya persediaan adalah : 
1. TRANSACTION MOTIVE 
Menjamin kelancaran proses pemenuhan (secara ekonomis) permintaan barang sesuai dengan kebutuhan pemakai. 
- Operating Stock (qo) = Persediaan supaya operasi dapat berjalan paling baik ~ EOQ 

2. PRECATUIONARY MOTIVE 
Meredam fluktuasi permintaan/pasokan yang tidak beraturan. Floktuasi = rata-rata demand + Safety Stock Ditentukan ! (cari yang paling kritis) 

3. SPECULATION MOTIVE 
Alat spekulasi untuk mendapatkan keuntungan berlipat dikemudian hari. Persediaan dapat bersifat speculator 

B. Bentuk Sistem Persediaan 
Secara umum, suatu sistem persediaan menjadi terbagi atas :
1. Sistem sederhana. 
Yaitu sistem persediaan yang berdasarkan atas input dan output.
Gambar  Sistem Persediaan Input - Putput

Gambar  menunjukkan sistem persediaan yang dipengaruhi oleh proses input dan proses output. P(t) adalah rata-rata material atau bahan yang masuk kedalam sistem persediaan pada saat t. Sedangkan W(t) adalah rata-rata suatu material atau bahan keluar dari sistem persediaan. Output (W(t)) dipengaruhi oleh permintaan atau kebutuhan terhadap material atau bahan, dengan rata-rata D(t), yang berasal dari luar perusahaan dan berada diluar kendali perusahaan. 

Walaupun terkadang kita dapat mempengaruhi permintaan dengan kebijaksanaan harga dan iklan, atau kebutuhan akan suatu bahan dapat dikendalikan melalui proses produksi yang dijalankan, D(t) dapat dianggap sebagai variabel yang berada diluar kendali perusahaan. Ratarata output (W(t)) akan sama dengan rata-rata permintaan (D(t)), kecuali jika persediaan mengalami kekurangan, dengan kata lain D(t) lebih besar dari P(t), atau yang disebut juga sebagai kondisi “out-of-stock” dan “stockout”

Kekurangan yang timbul dapat dipenuhi dengan rush order (pemesanan mendadak). Bagi pihak supplier, rush order tentu tidak dapat diprediksi waktu dan jumlahnya. Karena itu, rush order tentu harus dilakukan kepada supplier yang memiliki sistem dengan tingkat responsif yang tinggi. Tingkat responsif yang tinggi didukung oleh sistem yang fleksibel, yang mampu mengubah volume dan waktu dari output yang dihasilkan.

Proses input merupakan bagian dari sistem persediaan yang dapat di kontrol perusahaan melalui kebijaksanaan kapan dan berapa banyak pemesanan perlu dilakukan. Walaupun demikian, keterlambatanketerlambatan pemenuhan pemesanan dari pemasok bisa saja terjadi, sehingga rata-rata input aktual (P(t)), akan berdeviasi atau berbeda dari harapan perusahaan. 

2. Sistem berjenjang (Multi Echelon Inventory System)
Ada beberapa fasilitas persediaan yang saling berkaitan.

C. Fungsi Persediaan 
Fungsi utama persediaan yaitu sebagai penyangga, penghubung antar proses produksi dan distribusi untuk memperoleh efisiensi. Fungsi lain persediaan yaitu sebagai stabilisator harga terhadap fluktuasi permintaan. 

Lebih spesifik, persediaan dapat dikategorikan berdasarkan fungsinya sebagai berikut :
a. Persediaan dalam Lot Size. 
Persediaan muncul karena ada persyaratan ekonomis untuk penyediaan (replishment) kembali. Penyediaan dalam lot yang besar atau dengan kecepatan sedikit lebih cepat dari permintaan akan lebih ekonomis. Faktor penentu persyaratan ekonomis antara lain biaya setup, biaya persiapan produksi atau pembelian dan biaya transport. 

b. Persediaan cadangan. 
Pengendalian persediaan timbul berkenaan dengan ketidakpastian. Peramalan permintaan konsumen biasanya diserti kesalahan peramalan. Waktu siklus produksi (lead time) mungkin lebih dalam dari yang diprediksi. Jumlah produksi yang ditolak (reject) hanya bisa diprediksi dalam proses. Persediaan cadangan mengamankan kegagalan mencapai permintaan konsumen atau memenuhi kebutuhan manufaktur tepat pada waktunya. 

c. Persediaan antisipasi 
Persediaan dapat timbul mengantisipasi terjadinya penuruan persediaan (supply) dan kenaikan permintaan (demand) atau kenaikan harga. Untuk menjaga kontinuitas pengiriman produk ke konsumen, suatu perusahan dapat memelihara persediaan dalam rangka liburan tenaga kerja atau antisipasi terjadinya pemogokan tenaga kerja. 

d. Persediaan pipeline 
Sistem persediaan dapat diibaratkan sebagai sekumpulan tempat (stock point) dengan aliran diantara tempat persediaan tersebut. Pengendalian persediaan terdiri dari pengendalian aliran persediaan dan jumlah persediaan akan terakumulasi ditempat persediaan. Jika aliran melibatkan perubahan fisik produk, seperti perlakuan panas atau perakitan beberapa komponen, persediaan dalam aliran tersebut persediaan setengah jadi (work in process). Jika suatu produk tidak dapat berubah secara fisik tetapi dipindahkan dari suatu tempat penyimpanan ke tempat penyimpanan lain, persediaan disebut persediaan transportasi. Jumlah dari persediaan setengah jadi dan persediaan transportasi disebut persediaan pipeline. Persediaan pipeline. Persediaan pipeline merupakan total investasi perubahan dan harus dikendalikan. 

e. Persediaan Lebih . 
Yaitu persediaan yang tidak dapat digunakan karena kelebihan atau kerusakan fisik yang terjadi.

D. Tujuan Persediaan 
Divisi yang berbeda dalam industri manufaktur akan memiliki tujuan pengendalian persediaan yang berbeda : 
  1. Pemasaran ingin melayani konsumen secepat mungkin sehingga menginginkan persediaan dalam jumlah yang banyak. 
  2. Produksi ingin beroperasi secara efisien. Hal ini mengimplikasikan order produksi yang tinggi akan menghasilkan persediaan yang besar (untuk mengurangi setup mesin). Disamping itu juga produk menginginkan persediaan bahan baku, setengah jadi atau komponen yang cukup sehingga proses produksi tidak terganggu karena kekurangan bahan. 
  3. Pembelian (purchasing), dalam rangka efisiensi, juga menginginkan persamaan produksi yang besar dalam jumlah sedikit daripada pesanan yang kecil dalam jumlah yang banyak. Pembelian juga ingin ada persediaan sebagai pembatas kenaikan harga dan kekurangan produk. 
  4. Keuangan (finance) menginginkan minimisasi semua bentuk invenstasi persediaan karena biaya investasi dan efek negatif yang terjadi pada perhitungan pengembalian aset(return of asset) perusahaan. 
  5. Personalia (personel and industrial relationship) menginginkan adanya persediaan untuk mengantisipasi fluktuasi kebutuhan tenaga kerja dan PHK tidak perlu dilakukan. 
  6. Rekayasa (engineering) menginginkan persediaan minimal untuk mengantisipasi jika terjadi perubahan rekayasa /engineering. 
E. Metode-Metode Pengendalian Persediaan. 
Didalam mencari jawaban atas permasalahan umum dalam pengendalian persediaan, seperti yang telah diuraikan sebelumnya pada bagian I.1,secara kronologis metode pengendalian persediaan yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut : 
  • Metode pengendalian secara statistik (Statistical Inventory Control) 
  • Metode perencanaan kebutuhan material (MRP). 
  • Metode Persedian Just In Time (JIT)
a. Pengendalian Persediaan secara Statistik (Statistical Inventory Control). 
Metode ini menggunakan ilmu matematika dan statistik sebagai alat bantu utama dalam memecahkan masalah kuantitatif dalam system persediaan. 

Pada dasarnya, metode ini berusaha mencari jawaban optimal dalam menentukan :
  • Jumlah ukuran pemesanan dinamis (EOQ).
  • Titik pemesanan kembali (Reorder Point). 
  • Jumlah cadangan pengaman (safety stock) yang diperlukan.
Metode ini sering juga disebut metode pengendalian tradisional, karena memberi dasar lahirnya metode baru yang lebih modern, seperti MRP di Amerika dan Kanban di Jepang. 

Metode pengendalian persediaan secara statistik ini biasanya digunakan untuk mengendalikan barang yang permintaannya bersifat bebas (dependent) dan dikelola saling tidak bergantung. Yang dimaksud permintaan bebas adalah permintaan yang hanya dipengaruhi mekanisme pasar sehingga bebas dari fungsi operasi produk. Sebagai contoh adalah permintaan untuk barang jadi dan suku cadang pengganti (spare part). 

Ditinjau dari sejarah perkembangannya, metode secara formal diperkenalkan oleh Wilson pada tahun 1929 dengan mencoba mencari jawaban 2 pertanyaan dasar yaitu : 
  • Berapa jumlah barang yang harus dipesan untuk setiap kali pemesanan ? 
  • Kapan saat pemesanan harus dilakukan ? 
Pengembangan formula Wilson kemudian dkembangkan pada keadaan yang lebih realistik, terutama untuk fenomena yang bersifat probabilistik. Hal ini kemudian memunculkan 2 metode dasar pengendalian persediaan yang bersifat probabilistik, yaitu: 
  • Metode P, yaitu menganut aturan bahwa saat pemesanan bersifat reguler mengikuti suatu periode yang tetap (mingguan, bulanan, dsb), sedangkan kuatititas pemesanan akan berulang-ulang. 
  • Metode Q, yaitu menganut aturan bahwa jumlah ukuran pemesanan (kuantitas pemesanan) selalu tetap untuk setiap kali pesan, sehingga saat pemesanan dilakukan akan bervariasi.
Diantara kedua metode tersebut terdapat pula metode gabungan P dan Q. 

b. Metode Perencanaan Kebutuhan Material. 
Metode pengendalian tradisional akan tidak efektif bila digunakan untuk permintaan yang bersifat tidak bebas (independent). Yang dimaksud permintaan tidak bebas adalah permintaan yang tergantung kepada kebutuhan suatu komponen/material dengan komponen/material lainnya. Dengan kata lain, kebutuhan tidak bebas adalah kebutuhan yang tunduk pada fungsi operasi produksi, sebagai gambaran adalah permintaan akan 4 roda mobil dan 1 kemudi hanya apabila ada permintaan 1 unit mobil, sehingga permintaan akan roda dan kemudi dikatakan tergantung pada permintaan mobil. 

Metode MRP ini bersifat oriented, yang terdiri dari sekumpulan prosedur, aturan-aturan keputusan dan seperangkat mekanisme pencatatan yang dirancang untuk menjabarkan Jadual Induk Produksi (JIP). Dari sejarahnya, penerapan MRP pertama kali digunakan pada industri logam tipe Job Shop dimana tipe ini termasuk tipe yang paling suli tdikendalikan dalam system manufaktur. Dengan demikian, kehadiran MRP sangat berarti dalam meminimisasi investasi persediaan, memudahkan penyusunan jadwal kebutuhan setiap komponen yang diperlukan dan sebagai alat pengendalian produksi dan persediaan. Dalam perkembangan selanjutnya, MRP dapat diterapkan juga pada pengendalian persediaan dalam system manufaktur, baik untuk tipe Job Shop, tipe produksi massal (mass production) maupun tipe lainnya. 

c. Metode Persedian Just In Time (JIT) 
Metode ini merupakan salah satu operasionalisasi dari konsep Just In Time (JIT), yang dikembangkan dalam system produksi Toyota Motor Co. Produksi JIT berarti produksi massal dalam jumlah kecil, tersedia untuk segera digunakan. Dalam JIT digunakan teknik pengendalian persediaan yang dinamakan Kanban. Dalam system ini, jenis dan jumlah unit yang diperlukan oleh proses berikutnya, diambil dari proses sebelumnya, pada saat diperlukan. Dan ini merupakan tanda bagi proses sebelumnya untuk memproduksi unit yang baru saja diambil. Jenis dan jumlah unit yang dibutuhkan tersebut ditulis dalam suatu kartu yang disebut juga Kanban. Dalam system ini digunakan kereta sebagai tempat komponen, dengan jumlah tetap. Didalam tiap kereta terdapat dua kartu. Sebuah kartu menandakan pesanan pada produksi, dan sebuah lagi menandakan pengambilan unit. Perbedaan utama dalam system ini dengan kedua system sebelumnya terletak pada perbedaan karakteristik “pertimbangan” yang digunakan untuk mengatur jadwal produksi. Pada dua system terdahulu, dilakukan proyeksi permintaan yang akan dating, dan selanjutnya penjadwalan produksi dilakukan untuk memenuhi permintaan tersebut, penjadwlan mendorong produksi (push system). Sedangkan dalam sistem Kanban, jadwal produksi diatur sesuai dengan permintaan aktual (pull system). 

F. Biaya-Biaya Persediaan 
Tujuan dari manajemen persediaan adalah memiliki persediaan dalam jumlah yang tepat, pada waktu yang tepat dan dengan biaya yang rendah. Karena itu, kebanyakan model-model persediaan menjadikan biaya sebagai parameter dalam mengambil keputusan. 

Biaya dalam sistem persediaan secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 
1. Biaya Pembelian (Purchasing Cost = c) 
Biaya pembelian (purchase cost) dari suatu item adalah harga pembelian setiap unit item jika item tersebut berasal dari sumbersumber eksternal, atau biaya produksi perunit bila item tersebut berasal dari internal perusahaan atau diproduksi sendiri oleh perusahaan. Biaya pembeliaan ini bisa bervariasi untuk berbagai ukuran pemesanan bila pemasok menawarkan potongan harga untuk ukuran pemesanan yang lebih besar. Dalam, Kebanyakan teori persediaan, komponen biaya pembelian tidak dimasukkan kedalam total biaya pembelian untuk periode tertentu (misalnya satu tahun) konstan dan hal ini tidak akan mempengaruhi jawaban optimal tentang berapa banyak barang yang harus dipesan. 

2. Biaya Pengadaan (Procurement Cost ) 
Biaya pegadaan dibedakan atas 2 jenis sesuai asal-usul barang, yaitu biaya pemesanan (ordering cost) bila barang yang diperlukan diperoleh dari pihak luar (supplier) dan biaya pembuatan (setup cost) bila barang diperoleh dengan memproduksi sendiri. 
a. Biaya Pemesanan (Ordering Cost = k) 
Biaya pemesanan adalah semua pengeluaran yang timbul untuk mendatangkan barang dari luar. Biaya ini pada umumya meliputi, antara lain : 
  • Pemrosesan pesanan. 
  • Biaya ekspedisi. 
  • Biaya telepon dan keperluan komunikasi lainnya. 
  • Pengeluaran surat meyurat, foto kopi dan perlengkapan administrasi lainnya. 
  • Biaya pengepakan dan penimbangan. 
  • Biaya pemeriksaan (inspeksi) penerimaan 
  • Biaya pengiriman ke gudang, dan seterusnya. 
Secara normal, biaya perpesanan tidak naik bila kuantitas pesanan berubah. Tetapi bila semakin banyak item yang dipesan setiap kali pemesanan, maka jumlah pemesanan per periode akan turun, maka biaya pemesanan total akan turun. 

b. Biaya Pembuatan (Setup Cost = k) 
Ongkos pembuatan adalah semua pengeluaran yang ditimbulkan untuk persiapan memproduksi barang. Ongkos ini biasanya timbul didalam pabrik, yang meliputi ongkos menyetel mesin, ongkos mempersiapkan gambar benda kerja, dan sebagainya. Karena kedua ongkos tersebut diatas mempunyai peran yang sama, yaitu pengadaan, maka didalam sistem persediaan ongkos tersebut sering disebut sebagai ongkos pengadaan (procurement cost). 

3. Biaya Penyimpanan (Carrying Cost = h) 
Biaya penyimpanan (holding cost) merupakan biaya yang timbul akibat disimpannya suatu item. Biaya penyimpanan terdiri atas biaya-biaya yang bervariasi secara langsung dengan kuantitas persediaan. Biaya penyimpanan per periode akan semakin besar apabila kuantitas bahan yang dipesan semakin banyak, atau rata-rata persediaan semakin tinggi. 

Biaya-biaya yang termasuk sebagai biaya penyimpanan adalah : 
a. Biaya Memiliki Persediaan (biaya Modal). 
Penumpukan barang digundang berarti penumpukan modal, dimana modal perusahaan mempunyai ongkos (expense) yang dapat diukur dengan suku bunga bank. Oleh karena itu, biaya yang ditimbulkan karena memiliki persediaan harus diperhitungkan dalam biaya sistem persediaan. Biaya memiliki persediaan diukur sebagai persentasi nilai persediaan untuk periode tertentu. 

b. Biaya Gudang 
Barang yang disimpan memerlukan tempat penyimpanan sehingga timbul biaya gudang. Bila gudang dan peralatannya disewa maka biaya gundangnya merupakan biaya sewa sedangkan bila perusahaan mempunyai gudang sendiri maka biaya gudang merupakan biaya depresi. 

c. Biaya Kerusakan dan Penyusutan. 
Barang yang disimpan dapat mengalami kerusakan dan penyusutan karena beratnya berkurang ataupun jumlahnya berkurang karena hilang. Biaya kerusakan dan penyusutan biasanya diukur dari pengalaman sesuai dengan persentasenya.

d. Biaya Kadaluarsa (Absolence). 
Barang yang disimpan dapat mengalami penurunan nilai karena perubahan teknologi dan model seperti barang-barang elektronik. Biaya kadaluarsa biasanya diukur dengan besarnya penurunan nilai jual dari barang tersebut. 

e. Biaya Asuransi. 
Barang yang dismpan diasuransikan untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kebakaran. Biaya asuransi tergantung jenis barang yang diasuransikan dan perjanjian dengan perusahaan asuransi. 

f. Biaya Administrasi dan Pemindahan. 
Biaya ini dikeluarkan untuk mengadministrasi persediaan barnag yang ada, baik pada saat pemesanan, penerimaan barang maupun penyimpanannya dan biaya untuk memindahkan barang dari , ke dan di dalam tempat penyimpanan, termasuk upah buruh dan peralatan handling. Dalam manajemen persediaan, terutama yang berhubungan dengan masalah kuantitatif, biaya simpan per unit diasumsikan linier terhadap jumlah barang yang disimpan (misalnya : Rp/unit/tahun). 

4. Biaya Kekurangan Persediaan (Shortage Cost = p) 
Dari semua biaya-biaya yang berhubungan dengan tingkat persediaan, biaya kekurangan bahan (stockout cost) adalah yang paling sulit diperkirakan. Biaya ini timbul bilamana persediaan tidak mencukupi permintaan produk atau kebutuhan bahan. 

Biaya-biaya yang termasuk biaya kekurangan persediaan adalah sebagai berikut: 
  • Kehilangan penjualan; ketika perusahaan tidak mampu memenuhi suatu pesanan, maka ada nilai penjualan yang hilang bagi perusahaan. 
  • Kehilangan langganan; pelanggan yang merasa kebutuhannya tidak dapat dipenuhi perusahaan akan beralih keperusahaan lain yang mampu memenuhi kebutuhan mereka.
  • Biaya pemesanan khusus; agar perusahaan mampu memenuhi kebutuhan akan suatu item, perusahaan bisa melakukan pemesanan khusus agar item tersebut diterima tepat waktu. Pemesanan khusus biasanya mengakibatkan pertambahan biaya pada biaya ekspedisi dan harga item yang dibeli. 
  • Terganggunya proses produksi, jika kekurangan persediaan terjadi pada persediaan bahan, dan hal ini tidak diantisipasi sebelumnya, maka kegiatan produksi akan terganggu. 
  • Tambahan pengeluaran kegiatan manajerial, dan sebagainya. 
Biaya kekurangan persediaan dapat diukur dari : 
  1. Kuantitas yang tidak dapat dipenuhi. Biasanya diukur dari keutungan yang hilang karena tidak dapat memenuhi permintaan atau dari kerugian akibat terhentinya proses produksi. Kondisi ini diistilahkan sebagai biaya penalti (p) atau hukuman kerugian bagi perusahaan dengan satuan misalnya : Rp/unit. 
  2. Waktu Pemenuhan Lamanya gudang kosong berarti lamanya proses produksi terhenti atau lamanya perusahaan tidak mendapat keuntungan, sehingga waktu menganggur tersebut dapat diartikan sebagai uang yang hilang. Biaya waktu pemenuhan diukur berdasarkan waktu yang diperlukan untuk memenuhi gudang dengan satuan misalnya : Rp/unit 
  3. Biaya Pengadaan Darurat. Supaya konsumen tidak kecewa, maka dapat dilakukan pengadaan darurat yang biasanya menimbulkan biaya yang lebih besar dari pengadaan normal. Kelebihan biaya dibandingkan pengadaan normal ini dapat dijadikan ukuran untuk menentukan biaya kekurangan persediaan dengan satuan misalnya : Rp/setiap kali kekurangan. Kadang-kadang biaya ini disebut juga biayan kesempatan (opportunity cost). 

Ada perbedaan pengetian antara biaya persediaan actual yang dihitung secara akuntansi dengan biaya persediaan yang digunakan dalam menentukan kebijaksanaan persediaan. Biaya persediaan yang diperhitungkan dalam penentuan kebijaksanaan persediaan yang diperhitungkan dalam penentuan kebijaksanaan persediaan hanyalah biaya-biaya yang bersifat variable (incremental cost), sedangkan biaya yang bersifat fixed seperti biaya pembelian tidak akan mempengaruhi hasil optimal yang diperoleh sehingga tidak perlu dipertimbangkan. 

5. Biaya Sistemik. 
Selain biaya-biaya disebut diatas yang biasanya bersifat rutin, maka ada ongkos lain yang disebut Biaya Sistemik. Biaya ini meliputi biaya perancangan dan perencanaan system persediaan serta ongkos-ongkos untuk mengadakan peralatan (misalnya komputer) serta melatih tenaga yang digunakan untuk mengoperasikan system. Biaya sistemik ini dapat dianggap sebagai biaya investasi bagi pengadaan suatu system pengadaan. 

Satu hal yang perlu diperhatikan dalam identifikasi biaya persediaan adalah adanya perbedaan pengertian antara biaya persediaan actual yang dihitung secara akuntansi dan biaya persediaan yang digunakan didalam menentukan kebijaksanaan persediaan. Dalam penentuan kebijaksanaan persediaan, biaya persediaan yang diperhitungkan hanyalah biaya-biaya yang bersifat variable, sedangkan biaya yang bersifat tetap tidak akan mempengaruhi hasil optimasi yang diperoleh sehingga keberadaannya tidak harus diperhitungkan. Selain itu biaya kekurangan persediaan yang secara actual tidak pernah tercatat akuntansi akan diperhitungkan didalam penentuan kebijaksanaan persediaan. Karena itu yang dimaksud dengan biaya persediaan disini bukanlah biaya persediaan actual yang dihitung secara akuntansi, tetapi biaya persediaan untuk keperluan penentuan kebijaksanaan. 

G. Kebijaksanaan Persediaan 
Secara garis besar kebijaksanaan persediaan terbagi dua, yaitu Periodic Review (R,r) Policy dan Continous Review (Q,r) Policy. Untuk Periodic Review (R,r) Policy persediaan dihitung hanya pada saat periode yang ditentukan, jika pada saat itu persediaan yang ada berada dibawah titik minimum persediaan yang ditetapkan (reorder point), maka dilakukan pemesanan. Sedangkan jika persediaan diatas reorder point, maka tidak dilakukan pemesanan. Periodic Review (R,r) Policy ini dapat digambarkan seperti pada gambar berikut :

Gambar  Periodic Review (R,r) Policy 

Pada gambar, pada saat t1, jumlah persediaan (I1) berada diatas reorder point (r), sehingga tidak dilakukan pemesanan. Setelah selang waktu T, yaitu pada saat t2, dilakukan pemesanan sejumlah Q2=R-I2 unit, karena pada saat itu jumlah persediaan (I2) berada dibawah reorder point. Perlu dicatat, bahwa pesanan tidak diterim seketika, sehingga jumlah persediaan berkurang terus sepanjang leadtime sampai pesanan diterima. Pada gambar, pesanan yang dibuat pada t3 tidak diterima sampai persediaan habis dan terjadi kekurangan persediaan. 

Pada Continous Review (Q,r) Policy, sisa persediaan diperiksa terus-menerus, setiap ada bahan yang masuk atau keluar, dilakukan pencatatan. Order akan dilakukan setiap kali jumlah persediaan mencapai reorder point. Continous Review (Q,r) Policy ini dapat digambarkan seperti pada gambar berikut :

Gambar  Continous Review (Q,r) Policy 

Pada gambar diatas, setiap kali jumlah persediaan (I) sampai pada titik reorder point, maka dilakukan pemesanan. Namun, pesanan ini tidak akan diterima seketika sesuai leadtime. Sehingga, ketika penggunaan sepanjang leadtime lebih besar dari reorder point, maka akan timbul kekurangan. Pada gambar juga terlihat bahwasanya waktu antara satu order dengan order berikutnya bervariasi, sedangkan jumlah yang dipesan (Q) tetap. 

No comments:

Post a Comment