Pengertian dan Komponen-Komponen Habits of Mind

Pengertian dan Komponen-Komponen Habits of Mind
Memiliki habits of mind yang baik berarti memiliki watak berperilaku cerdas (to behave intelligently) ketika menghadapi masalah, atau jawaban yang tidak segera diketahui (Costa & Kallick, 2000a; Costa & Kallick, 2000b; Carter et al., 2005). Masalah didefinisikan sebagai stimulus, pertanyaan, tugas (task), fenomena, ketidaksesuaian ataupun penjelasan yang tidak segera diketahui. Dalam memecahkan masalah yang kompleks, dituntut strategi penalaran, wawasan, ketekunan, kreativitas dan keahlian siswa. Habits of mind terbentuk ketika merespon jawaban pertanyaan atau masalah yang jawabannya tidak segera diketahui, sehingga kita bisa mengobservasi bagaimana siswa mengingat sebuah pengetahuan dan bagaimana siswa menghasilkan sebuah pengetahuan. Kecerdasan manusia dilihat dari pengetahuan yang dimilikinya dan terlebih penting dilihat dari cara bagaimana seorang individu bertindak (Costa & Kallick, 2000a). 

Habits of mind dikembangkan melalui kerja Costa dan Kallick pada tahun 1985 dan selanjutnya dikembangkan oleh Marzano (1992) melalui Dimensions of Learning. Pada awalnya Costa pada tahun 1985 membuat artikel mengenai “hirarki berpikir” pada The Behaviours of Intelligence (Campbell, 2006). Hierarki berpikir ini meliputi konsep: thinking skills (membandingkan, mengklasifikasikan, berhipotesis); thinking strategies (memecahkan masalah, membuat keputusan); creative thinking (membuat model, berpikir metaphorical) dan cognitive spirit (berpandangan terbuka, mencari alternatif tidak men-judgment). Tulisan ini kemudian direvisi tahun 1991 dalam bukunya Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking. Selanjutnya sejumlah penulis mengembangkan hal yang sama (Marzano, 1992; Meier, 2003; Anderson, 2004; Sizer & Meier, 2004; Campbell, 2006), Karena banyak yang mengembangkan habits of mind, maka deskripsi habits of mind ini menjadi bermacam-macam. Gambar memaparkan kedudukan habits of mind dalam Dimensions of Learning yang dikembangkan oleh Marzano (1992) dan Marzano, et al. (1993).

Gambar  Interaksi Dimensi belajar (Marzano, et al., 1993) 

Tugas utama siswa adalah “mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan-nya” (acquiring and integrating knowledge) pada dimensi kedua. Melalui dimensi ini siswa harus dapat mengintegrasikan pengetahuan baru dan keterampilan-keterampilan yang telah diketahuinya. Disini terjadi proses subjektif berupa interaksi dari informasi lama dan informasi baru. Kemudian sejalan proses waktu, siswa mengembangkan pengetahuan barunya melalui kegiatan yang membantu siswa “memperluas dan menghaluskan pengetahuannya” (Extending and Refining Knowledge) pada dimensi ketiga, dan pada akhir tujuan pembelajaran, siswa dapat “menggunakan pengetahuan dengan cara bermakna” (Using Knowledge Meaningfully) (dimensi keempat). Seperti yang terlihat dalam Gambar., dimensi kedua, ketiga dan keempat bekerja seperti konser, satu sama lain tidak terpisahkan. Kelima dimensi belajar ini membentuk kerangka yang dapat digunakan untuk mengorganisasi kurikulum, instruksi pembelajaran dan asesmen. 

Marzano (1993) membagi habits of mind ke dalam tiga kategori yaitu: self regulation, critical thinking dan creative thinking. 

Self regulation meliputi: 
  • Menyadari pemikirannya sendiri, 
  • Membuat rencana secara efektif, 
  • Menyadari dan menggunakan sumbersumber informasi yang diperlukan, 
  • Sensitif terhadap umpan balik dan 
  • Mengevaluasi keefektifan tindakan. 
Critical thinking meliputi: 
  • Akurat dan mencari akurasi, 
  • Jelas dan mencari kejelasan, 
  • Bersifat terbuka,
  • Menahan diri dari sifat impulsif, 
  • Mampu menempatkan diri ketika ada jaminan, 
  • Bersifat sensitif dan tahu kemampuan temannya. 
Creative thinking meliputi:
  • Dapat melibatkan diri dalam tugas meski jawaban dan solusinya tidak segera nampak, 
  • Melakukan usaha semaksimal kemampuan dan pengetahuannya, 
  • Membuat, menggunakan, memperbaiki standar evaluasi yang dibuatnya sendiri,
  • Menghasilkan cara baru melihat situasi yang berbeda dari cara biasa yang berlaku pada umumnya. 

Habits of mind memerlukan banyak keterampilan majemuk, sikap, pengalaman masa lalu dan kecenderungan. Hal ini berarti bahwa kita menilai satu pola berpikir terhadap yang lainnya. Oleh karena itu hal tersebut menunjukkan bahwa kita harus memiliki pilihan pola mana yang akan digunakan pada waktu tertentu. Termasuk juga kemampuan apa yang diperlukan untuk mengatasi sesuatu di lain waktu, sehingga habits of mind dijabarkan sebagai beriku. Pertama, 
  • Value, memilih menggunakan pola perilaku cerdas daripada pola lain yang kurang produktif;
  • Inclination, kecenderungan, perasaan dan tendensi untuk menggunakan pola perilaku cerdas; 
  • Sensitivity, tanggap terhadap kesempatan dan kelayakan menggunakan pola perilaku; 
  • Capability, memiliki keterampilan dasar dan kapasitas dalam hubungannya dengan perilaku; 
  • Commitment adalah secara konstan berusaha untuk merefleksi dan meningkatkan kinerja pola perilaku cerdas (Costa & Kallick, 2000a; Costa & Kallick, 2000b). 
Hasil penelitian para ahli (Feuerstein, 1980; Glatthorm dan Baron, 1995; Stemberg, 1985; Perkins, 1985; Ennis, 1985 dalam Marzano, et al., 1993) yang meneliti tentang berpikir efektif dan berperilaku cerdas, menunjukkan bahwa ada karakteristik khas seorang pemikir efektif. Kemampuan berpikir efektif dan berperilaku cerdas tidak hanya dimiliki oleh para saintis, seniman, ahli matematika ataupun orang kaya, tetapi juga dimiliki oleh tukang bengkel, guru, pengusaha, pedagang kaki lima dan orang tua serta semua orang yang menjalani kehidupan. Perilaku cerdas jarang tampak pada orang yang mengisolasi diri, karena kecerdasan perilaku ini akan muncul bila digunakan dalam menghadapi situasi kompleks yang menuntut berperilaku jamak. Sebagai contoh seseorang yang sedang mendengarkan kuliah dengan seksama, orang tersebut menggunakan kemampuan flexibility, metakognisi, bahasa yang tepat dan pertanyaan-pertanyaan (Anwar, 2005). 

Costa dan Kallick (2000a) mendeskripsikan 16 indikator habits of mind yang merupakan karakteristik yang muncul ketika manusia berhadapan dengan masalah yang pemecahannya tidak segera diketahui. Sebenarnya tidak hanya 16 indikator ini yang ada pada kecerdasan manusia, akan tetapi lebih banyak dari ini. Ke 16 indikator yang diajukan oleh Costa dan Kallick (2000a) ditabelkan oleh Campbell (2006) sebagai berikut. 

Tabel  Deskripsi dari Habits of Mind

Apabila kita cermati indikator-indikator dari habits of mind yang dikemukakan oleh Marzano (1993) serta Costa dan Kallick (2000a), terlihat bahwa indikator-indikator tersebut membekali individu dalam mengembangkan kebiasaan mental yang menjadi tujuan penting pendidikan agar siswa dapat belajar mengenai apapun yang mereka inginkan dan mereka butuhkan untuk mengetahui segala yang berkaitan dengan hidupnya. Bahkan Costa dan Kallick (2000) dan Campbell (2006) mengklaim habits of mind sebagai karakteristik perilaku berpikir cerdas yang paling tinggi dalam memecahkan masalah dan merupakan indikator kesuksesan dalam akademik, pekerjaan dan hubungan sosial. Menurut Sriyati (2011) sejumlah peneliti mengklaim bahwa habits of mind dapat membantu siswa untuk melakukan self regulation dalam belajarnya dan menemukan solusi dalam hubungan sosial dan tempat bekerjanya. 

Habits of Mind dan Asesmen Formatif 
Pemberian asesmen formatif terutama umpan balik secara umum dapat memotivasi belajar mahasiswa, mendorong mahasiswa untuk tertarik pada topik yang diajarkan, meningkatkan hasil belajar, menimbulkan optimisme, kepercayaan diri dan apresiasi dari mahasiswa, self regulating learning, dapat mengembangkan potensi metakognisi, berani mengambil resiko (bila umpan balik diberikan dengan benar). Apabila kita cermati dampak positif yang ditimbulkan dari pemberian asesmen formatif, aspek-aspek di atas merupakan hal-hal yang juga dikembangkan pada habits of mind. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa ada keterkaitan antara asesmen formatif dan habits of mind. Berbagai bentuk asesmen formatif yang sudah dibahas sebelumnya yang meliputi asesmen berbasis kinerja dalam proyek dan penyelidikan, jurnal ilmiah (laporan praktikum dan gambar), portofolio, bagan konsep, dan tanya jawab dapat diterapkan pada mahasiswa dalam upaya mengembangkan habits of mind nya. 

Asesmen formatif diinterpretasikan sebagai semua cakupan berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan guru dan atau siswa yang menyediakan informasi yang digunakan sebagai umpan balik untuk memodifikasi aktivitas pembelajaran dengan pihak-pihak yang terlibat (Black dan William, 1998). 

Asesmen formatif menurut para ahli merupakan asesmen interaktif (guru dan siswa) yang dilakukan selama proses pembelajaran. Asesmen formatif bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai kekuatan dan kelemahan pembelajaran yang telah dilakukan dan menggunakan informasi tersebut untuk memperbaiki, mengubah atau memodifikasi pembelajaran agar lebih efektif dan dapat meningkatkan kompetensi siswa (Popham dan Shepard, 2006; Black dan William, 1998). Lebih lanjut ditekankan bahwa agar asesmen formatif lebih efektif, karena guru harus terampil dalam menggunakan strategi asesmen yang bervariasi. Strategi asesmen tersebut bisa berupa observasi, diskusi siswa, portofolio, performance task, rubrik, umpan balik dan self assessment. Guru dituntut untuk memiliki pemahaman mendalam mengenai proses formatif dan penerapan ”scaffolding” pada pembelajaran sains. 

Berkaitan dengan asesmen formatif, Sadler (1989) menekankan pada tugas siswa dalam menghilangkan gap yang terjadi antara pemahaman dan tujuan pembelajaran. Self assessment merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh siswa dalam upaya menyadari adanya gap tersebut. Guru berperan untuk mengkomunikasikan tujuan pembelajaran dan mendorong siswa untuk melakukan self assessment dalam upaya mencapai tujuan tersebut. Umpan balik perlu dilakukan di dalam kelas oleh guru dan siswa secara timbal balik. 

Pendapat lain mengenai asesmen formatif disampaikan oleh Assessment Reform Group (2002). Asesmen formatif melibatkan proses mencari dan menginterpretasikan buktibukti yang digunakan siswa dan guru untuk memutuskan posisi siswa dalam pembelajarannya, kemana siswa perlu melangkah dan bagaimana cara terbaik untuk mencapainya. 

Popham (2011) mendefinsikan asesmen formatif sebagai proses yang direncanakan yang memerlukan bukti-bukti asesmen siswa. Bukti-bukti asesmen tersebut digunakan guru untuk menyesuaikan langkah-langkah pembelajaran yang sedang berjalan atau digunakan siswa untuk menyesuaikan strategi belajarnya. Dari definisi tersebut Popham menekankan pada proses mengumpulkan bukti-bukti berbasis asesmen dan menggunakan bukti-bukti ini untuk membuat perbaikan. Lebih lanjut Popham menyebutkan bahwa asesmen formatif merupakan suatu strategi pembelajaran. 

Pengertian-pengertian asesmen formatif yang telah dipaparkan di atas mengandung pesan kunci bahwa asesmen formatif menggunakan informasi yang diperoleh untuk meningkatkan pembelajaran. Black dan William (1989) dalam Inside the black box mengidentifikasi lima faktor kunci yang dapat meningkatkan pembelajaran melalui asesmen. 

Kelima faktor kunci tersebut adalah: 
  1. Menyediakan umpan balik yang efektif untuk siswa, 
  2. Secara aktif melibatkan siswa dalam pembelajaran, 
  3. Mengatur pembelajaran yang memungkinkan siswa memperoleh nilai baik ketika dilakukan asesmen, 
  4. Memperkenalkan pengaruh besar asesmen terhadap motivasi dan self-esteem siswa (keduanya krusial untuk pembelajaran, dan 
  5. Mempertimbangkan kebutuhan siswa untuk meng-assess dirinya sendiri dan untuk memahami bagaimana cara meningkatkan hasil belajarnya. 
Adapun aspek-aspek yang menjadi prinsip utama dari asesmen formatif dikemukakan oleh beberapa tokoh. Assessment Reform Group (2002) dan Suratno (2007) merinci prinsipprinsip utama asesmen formatif. Pertama, asesmen formatif merupakan bagian dari pembelajaran yang efektif. Kedua, asesmen formatif memfokuskan pada bagaimana siswa belajar dan merupakan inti dari proses pembelajaran serta sekaligus kunci utama profesionalisme guru. Ketiga, sebaiknya dipertimbangkan aspek sensitivitas dan umpan balik yang konstruktif. Keempat, asesmen formatif menekankan pada peningkatan motivasi belajar siswa dan menekankan pada pengembangan kapasitas penilaian diri. Terakhir asesmen formatif ditujukan untuk mencapai seluruh pencapaian pendidikan secara holistik. 

Dua hal utama yang secara terus menerus dapat diperbaiki dalam asesmen formatif untuk meningkatkan proses, hasil dan standar pendidikan adalah: 
  • Umpan balik dalam asesmen formatif, dan 
  • Swa asesmen (self assessment) (Zainul, 2008). 
Adapun menurut Black et al., (2004) ada empat strategi dasar dalam asesmen formatif. Keempat strategi dasar tersebut adalah: 
  • Bertanya (questioning), 
  • Memberi umpan balik melalui komentar (marking), 
  • Menilai diri (self assessment) dan menilai teman sebaya (peer assessment), dan 
  • Menjadikan penilaian sumatif seperti penilaian formatif. 
Tugas tulisan ilmiah seperti laporan praktikum memberikan kesempatan pada siswa untuk menuangkan hasil penyelidikan, observasi, hipotesis dan kesimpulan tentang suatu fenomena sains (Lowery, 2000; Mui, 2004). Melalui tulisan yang dibuatnya, siswa dapat menggambarkan dan memahami fenomena melalui pengalamannya (Shepardson, 1997; Mui, 2004). Gambar atau tulisan ilmiah mempunyai potensi membantu siswa membuat pengamatan, mengingat peristiwa dan dapat mengkomunikasikan apa yang dipahaminya (Shepardson & Britsch, 2000; Mui, 2004).

Peta konsep dapat digunakan untuk tujuan asesmen formatif dan asesmen sumatif pada pembelajaran sains. Penggunaan peta konsep dalam pembelajaran dipelopori oleh Novak dan Gowin (1985) didasarkan atas teori belajar Ausubel (Dahar, 1996). Peta konsep digunakan untuk menyatakan hubungan yang bermakna antara konsep-konsep dalam bentuk proposisi-proposisi. Proposisi-proposisi merupakan dua atau lebih konsep-konsep yang dihubungkan oleh kata-kata dalam suatu unit semantik (Novak dan Gowin, 1985; Dahar,1996). 

Peta konsep dapat mengukur atau merefleksikan tingkat berpikir yang kompleks sama seperti tugas-tugas tulisan ilmiah, proyek sains, penyelidikan ilmiah, dan berbagai metode asesmen lainnya. Peta konsep dapat membantu siswa untuk mengorga-nisasi sejumlah konsep, dan mempelajari konsep dengan lebih bermakna. 

Peta konsep dapat memperlihatkan kaitan antar konsep, dan memperlihatkan proposisi yang tepat atau miskonsepsi siswa (Dahar, 1996). Pendapat lain berkaitan dengan peta konsep yang dihimpun oleh Mui (2004) adalah: ”Kelebihan dari peta konsep adalah bahwa peta konsep bersifat formatif dan dengan segera dapat dilengkapi” (Hollin & Whitby, 1998). Peta konsep dapat digunakan dalam aktivitas di dalam kelas, karena siswa dapat dengan cepat memperoleh umpan balik mengenai kedalaman pemahaman konsepnya atau dapat juga meng-assess tujuan pembelajaran khusus yang tidak selalu harus diuji dengan paper and pencil test. 

Minimnya perangkat soal yang mengukur pencapaian hasil belajar sains dalam hal berpikir tampaknya menjadi salah satu penyebab kurang diberdayakannya pengembangan proses berpikir dalam pendidikan sains. Penyederhanaan tujuan pembelajaran umum ke dalam tujuan pembelajaran khusus yang ketat, ditambah kekurangmampuan menyiapkan soal-soal yang mengukur aspek-aspek sains yang penting untuk diukur turut mempengaruhi kualitas soal-soal buatan guru atau kelompok guru. Proses berpikir tidak selalu dapat diukur dengan tes tertulis apalagi dalam waktu yang sangat terbatas dengan lingkup konsep yang luas. Sudah waktunya proses berpikir dan potensi siswa berpikir diases dengan cara lain (alternatif: portofolio, kinerja). 

Jumadi (2002) mengemukakan perlunya kesejalanan antara evaluasi pembelajaran sains dengan metode pembelajarannya. Temuannya menunjukkan bahwa Model evaluasi terpadu yang mengukur produk, proses dan sikap ilmiah ternyata dapat meningkatkan pemahaman konsep dan cara belajar sains (Fisika). Apakah kita harus menunggu sampai evaluasi tentang proses berpikir baru kita mau membelajarkan siswa kita berpikir dalam pembelajaran sains? Bukanlah lebih baik apabila pembelajaran sains yang mengembangkan proses berpikir menjadi penyebab, bukan akibat. 

Pada kesempatan mengolah data hasil tiga periode TIMSS (Rustaman, 2009) ditemukan bahwa anak-anak Indonesia tidak terbiasa dengan soal-soal yang diberi informasi berupa data/gambar/grafik/tabel untuk diolah lebih lanjut untuk dapat menjawab soal-soal yang terkait dengankurikulum negara peserta. Kemampuan mereka tentang komponen scientific inquiry-nya sangat minim, padahal sudah sejak kurikulum 1984 ditekankan pada pengembangan keterampilan proses sains (KPS). Bahkan pada GBPP Kurikulum 1994 sangat dibantu bagaim,ana melaksanakan pembelajaran sains yang mengembangkan KPS di sekolah menengah pertama, dan menggunakan KPS di sekolah menengah umum. Kurikulum berbasis kompetensi dan Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) tidak mengubah sistem penilaiannya. Sekolah-sekolah yang pembelajaran sainsnya sesuai dengan hakikat Sains dan hakikat pembelajaran sainsnya lebih ”survive”. 

Tampaknya pembelajaran dengan strategi yang memperhatikan keunikan masingmasing siswa, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan aspek kecerdasan majemuk manusia (multiple intelligences). Selain itu diperlukan lingkungan belajar yang hangat dan kondusif untuk belajar bagi anak Indonesia. 

Pengembangan Kecerdasan Majemuk untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif Tingkat Tinggi (Higher Order Cognitive level) 
Asumsi adanya potensi kecerdasan majemuk pada anak muncul berdasarkan paradigma bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki potensi genius. Setiap anak dilahirkan dengan kemampuan tertentu, dengan kekaguman tertentu, keingintahuan, spontanitas, vtaliltas, fleksibilitas (Amstrong, 2003). Anak kecil akan secara langsung menguasai sistem simbol yang rumit, otak cemerlang, kepribdian sensitif dan akselerasi terhadap setiap simulasi, tanpa pendidikan formal. 

Menurut Gardner kecerdasan anak bukan hanya berdasarkan pada standar skor semata (tes IQ) melainkan dengan ukuran 
  1. Kemampuan menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan individu; 
  2. Kemampuan menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan; 
  3. Kemampuan menciptakan sesuatu atau memberikan penghargaan dalam budaya seseorang. 
Gardner mengembangkan teori kecerdasan majemuk yang sebelumnya hanya dilihat dari segi linguistik dan logika. Padahal ada berbagai kecerdasan dan orang-orang dengan kecerdasan tipe lain yang tidak terperhatikan. 

Gardner memperluas lingkup potensi manusia melampaui batas nilai IQ melalui teori Kecerdasan Majemuk (Multiple intellegencies). Kecerdasan majemuk adalah kemampuan untuk memecahkan masalah atau menciptakan suatu produk yang efektif atau bernilai dalam suatu latar belakang tertentu. 

Gardner memetakan lingkup kemampuan manusia yang luas menjadi delapan (8) kategori yang komprehensif atau delapan “kecerdasan dasar”, yaitu: kecerdasan visual-spatial 
  1. Kecerdasan tubuh/kinestetik 
  2. Kecerdasan logika matematis 
  3. Kecerdasan musikal-ritmik 
  4. Kecerdasan verbal-bahasa 
  5. Kecerdasan interpersonal 
  6. Kecerdasan intrapersonal 
  7. Dan kecerdasan naturalis
  8. (Kecerdasan existensial: Peka terhadap keberadaan manusia, masih diperdebatkan) 
Lazear (2004) mencoba menggabungkan antara taksonomi Bloom dengan kecerdasan majemuk dan berpendapat bahwa setiap kecerdasan tersebut mempunyai taksonomi kemampuan kognitif yang unik. Apabila pendidik ingin meningkatkan tingkat pembelajaran dan penuntasan kurikulum bagi siswanya, maka pendidik sebaiknya memberdayakan semua kecerdasan/intellegensi ini sesuai dengan urutan berpikir tingkat tinggi. 

Perkembangan setiap kecerdasan dapat ditransformasikan ke dalam taksonomi kemampuan kognitif. Disajikan dalam bentuk tabel yang menjelaskan proses berpikir di dalam pikiran ke dalam domain kecerdasan yang berbeda pada tingkat pemikiran yang berbeda berdasarkan pada versi sederhana taksonomi Bloom. 

Dikemukakan tingkatan berpikir tingkat tinggi (HOT): mengumpulkan dan memahami pengetahuan dasar, pemrosesan dan analisis informasi, serta penalaran dan berpikir tingkat tinggi 
Mengumpulkan dan memahami pengetahuan dasar 
Pada tingkatan ini terutama memperhatikan pembelajaran dan pemahaman fakta dasar, lambang, definisi, komponen, membedakan informsi, dan konsep yang berhubungan terhadap topik spesifik. Level ini merupakan awal seseorang belajar, tetapi sayangnya dalam pendidikan formal tingkat ini juga sering merupakan akhir pembelajaran. Ada asumsi yang salah bahwa seseorang yang mengingat fakta dasar, lambang simbol, definisi, komponen, perbedaan informasi, dan konsep, dan dapat mereproduksi nya dalam bentuk yang dibutuhkan, telah terdidik. 

Pengumpulan dan memahami pengetahuan yang secara umum terlibat seperti: 
  • Menuntaskan istilah dan konsep inti dari konten pada unit tertentu; 
  • Mengingat fakta kunci, simbol, data yang akan digunakan selama unit tersebut; 
  • Belajar bagaimana menunjukkan proses tertentu atau operasi pada intisari konten; 
  • Memahami klasifikasi tertentu atau pengelompokan informasi; 
  • Ringkasan atau menjelaskan konsep terhadap orang lain. 

Pemrosesan dan analisis informasi 
Setelah mempunyai informasi dasar yang disyaratkan tentang topik, seseorang dapat menghimpun data. Ini merupakan tingkatan pemikiran yang meminta siswa untuk berpikir dan menemukan bagaimana informasi yang berbeda yang telah dikumpulkannya tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka belajar tentang hakekat dinamika informasi. Mereka menganalisis bagian mana yang tergantung pada bagian lain, dan bagian yang mana yang bebas. Mereka belajar bagaimana menghubungkan pembelajaran yang baru ke pengetahuan sebelumnya dan mempelajari yang mungkin akan terjadi dalam konten area yang sangat berbeda. Dengan demikian mereka memulai proses pencarian kapan dan bagaimana informasi yang baru mungkin akan berguna.

Pemrosesan dan analisis informasi secara umum terlibat dengan: 
  • Bertanya tentang pengumpulan informasi, seperti: darimana ini berasal atau bagaimana hal itu ditemukan? 
  • Memisahkan informasi kedalam bagian-bagian, dan belajar bagaimana setiap bagian berkontribusi tehadap keseluruhan. 
  • Belajar bagaimana dan mengapa proses tertentu, opersi, konsep, dan sebagainya sangat penting dalam konten area yang sedang dipelajari. 
  • Membandingkan dan menkonstraskan perbedaan bagian informasi. 
  • Meneliti bagaimana orang lain menggunakan informasi di luar setting pendidikan formal. 
  • Mengeksplor hubungan antara informasi ini ddengan bidang lain dalam kurikulum sekolah. 

Penalaran dan berpikir tingkat tinggi 
Beberapa peneliti keterampilan berpikir menyarankan bahwa level ini merupakan asesment utama dari apa yang terjadi pada pembelajaran dalam suatu unit pelajaran. Apakah siswa mengetahui apa yang harus dilakukan dengan informasi di luar situasi akademik formal. Dapatkah mereka mengaplikasikannya? Apakah mereka melihat hubungan antara apa yang seharusnya diajar dan pengetahuan sebelumnya? Apakah mereka mampu menginvestasikan pengetahuan yang diperlukannya dengan makna personal sehingga hal tu menjadi bagian dari hidupnya. Dapatkah mereka menggunakan pengetahuan atau informasi ini untuk menciptakan pengetahuan dan informasi? Level ini merupakan level yang memberdayakan siswa untuk memberikan kontribusi efektif dan produktif terhadap masyarakatnya. Pada level ini siswa memperoleh nilai dan belajar bertanggungjawab untuk menciptakan masa depannya. Mensintesis dan mengevaluasi ( inti urutan berpikir lebih tinggi) umumnya meliputi :
  • Mengeksplor personal implikasi dari informasi (hasil belajar): bagaimana informasi ini akan membuat hidup saya berbeda? 
  • Mengartikulasikan perbedaan dalam perspektif: bagaimana informsi ini telah mengubah pemahaman diri saya dan dunia saya? 
  • Membuat penilaian personal tentang kepentingan informasi relatif terhadap diri seseorang. 
  • Membuat rencana bagaimana menggunakan informasi dalam kehidupan sehari-hari. 
  • Mengintegrasikan informasi dengan pengetahuan atau informasi lain.
Mengaplikasikan Taksonomi Bloom dengan Multiple Intelligence 
Keuntungan lengkap aplikasi ini adalah siswa mendapat kesempatan untuk memahami kecerdasanya sendiri, atau cara untuk mengetahui sesuatu, dan diberikan kesempatan yang sering untuk menggunakannya dalam pelajaran. Hal ini tidak saja akan membuat mereka aktif terlibat dengan apa yang sedang mereka pelajari, tetapi mereka juga membuat banyak hubungan personal dengan apa yang sedang mereka pelajari, yaitu dengan mengkaji kebermaknaan. Membelajarkan siswa tentang perbedaan kecerdasan dan bagimana menggunakannya memberikan ”alat” bagi mereka agar sukses di sekolah, dan juga di luar sekolah. 

No comments:

Post a Comment