Pengertian Pendidikan Multikultural Menurut Ahli
Pendidikan multikultural adalah
merupakan suatu gerakan pembaharuan dan
proses untuk menciptakan lingkungan
pendidikan yang setara untuk seluruh siswa.
Sebagai sebuah gerakan pembaharuan, istilah
pendidikan multicultural masih dipandang asing
bagi masyarakat umum, bahkan penafsiran
terhadap definisi maupun pengertian pendidikan
multicultural juga masih diperdebatkan di
kalangan pakar pendidikan.
Seperti pendapat Andersen dan Cusher (
1994 ) sebagaimana dikutip Mahfud ( 2008 ),
bahwa pendidikan multicultural diartikan
sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Sedangkan Hernandez ( 1989 ),
mengartikan pendidikan multikultural sebagai
perspektif yang mengakui realitas sosial, politik,
dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing
individu dalam pertemuan manusia yang
kompleks dan beragam secara kultur, dan
merefleksikan pentingnya budaya, ras,
seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status
social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian
dalam proses pendidikan.
Ahli lain, Sleeter dan Grant ( 2007, 2009 )
dan Smith ( 1998 ) sebagaimana dikutip
Zamroni ( 2011 ) mendefinisikan pendidikan
multikultural sebagai suatu pendekatan progresif
untuk melakukan transformasi pendidikan yang
secara holistik memberikan kritik dan
menunjukkan kelemahan-kelemahan, kegagalankegagalan
dan diskriminasi yang terjadi di dunia
pendidikan ( Zamroni, 2011: 144 )
Sebagai suatu gerakan pembaharuan dan
proses untuk menciptakan lingkungan
pendidikan yang setara untuk seluruh siswa,
pendidikan multikultural memiliki prinsipprinsip
sebagai berikut.
- Prinsip pertama: pendidikan multikultural adalah gerakan politik yang bertujuan menjamin keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat tanpa memandang latar belakang yang ada.
- Prinsip kedua : pendidikan multikultural mengandung dua dimensi: pembelajaran (kelas) dan kelembagaan (sekolah) dan antara keduaanya tidak bisa dipisahkan, tetapi justru harus ditangani lewat reformasi yang komprehensif
- Prinsip ketiga : pendidikan multikultural menekankan reformasi pendidikan yang komprehensif dapat dicapai hanya lewat analisis kritis atas sistem kekuasaan dan privileges untuk dapat dilakukan reformasi komprehensif dalam pendidikan.
- Prinsip keempat : berdasarkan analisis kritis ini, maka tujuan pendidikan multikultural adalah menyediakan bagi setiap siswa jaminan memperoleh kesempatan guna mencapai prestasi maksimal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
- Prinsip kelima : pendidikan multikultural adalah pendidikan yang baik untuk seluruh siswa, tanpa memandang latar belakangnya.
Konsep multikulturalisme menekankan
pentingnya memandang dunia dari bingkai
referensi budaya yang berbeda, dan mengenali
serta manghargai kekayaan ragam budaya di
dalam Negara dan di dalam komunitas global.
Multikulturakisme menegaskan perlunya
menciptakan sekolah di mana berbagai
perbedaan yang berkaitan dengan ras, etnis, dan
kelas sosial diakui dan seluruh siswa dipandang
sebagai sumber yang berharga untuk
memperkaya proses belajar mengajar.
Proses belajar mengajar atau proses
pembelajaran merupakan suatu proses yang
rumit dan kompleks, karena tidak semua faktor
yang terlibat bisa dikendalikan oleh guru. Dalam
analisisnya, Maurianne Adams and Barbara J.
Love (2006).
Menyebutkan bahwa ada empat
faktor yang terdapat dalam proses pembelajaran,
yaitu :
- Faktor bawaan siswa,
- Faktor bawaan guru,
- Faktor pedagogy, dan
- Faktor isi kurikulum.
Faktor-faktor dalam pembelajaran
tersebut dapat digambarkan dapat digambarkan
sebagai berikut.

Gambar Faktor-Faktor dalam Pembelajaran
- Faktor pertama; guru, ketika guru memasuki suatu kelas, sudah memiliki bawaan sendiri-sendiri, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat sangat pribadi.
- Kedua; siswa, demikian pula siswa juga memiliki bawaan sendiri-sendiri, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat sangat pribadi.
- Ketiga; kurikulum, bisa dipersepsi dan memiliki dampak berbeda untuk setiap individu siswa.
- Keempat; pedagogy, di tangan guru berbeda bisa memiliki makna dan dampak yang berbeda pula.
Keempat
faktor tersebut harus diramu oleh seorang guru
dalam suatu proses.
Kegagalan dalam proses meramu guru
menyebabkan siswa dengan status sosial
ekonomi rendah tidak dapat mengikuti
pembelajaran sebagaimana mereka siswa yang
datang dari kelompok sosial ekonomi tinggi.
Demikian pula halnya bagi siswa yang memiliki
latar belakang budaya yang berbeda akan gagal
beradaptasi dalam proses pembelajarannya.
Pendidikan multikultural merupakan
suatu proses transformasi yang tentunya
membutuhkan waktu panjang untuk mencapai
maksud dan tujuannya.
Menurut Zamroni (2011)
disebutkan beberapa tujuan yang akan
dikembangkan pada diri siswa dalam proses
pendidikan multikultural, yaitu :
- Siswa memiliki kemampuan berpikir kritis atas apa yang telah dipelajari.
- Siswa memiliki kesadaran atas sifat sakwasangka atas fihak lain yang dimiliki, dan mengkaji mengapa dan dari mana sifat itu muncul, serta terus mengkaji bagaimana cara menghilangkannya
- Siswa memahami bahwa setiap ilmu pengetahuan bagaikan sebuah pisau bermata dua: dapat dipergunakan untuk menindas atau meningkatkan keadilan sosial.
- Para siswa memahami bagaimana mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan.
- Siswa merasa terdorong untuk terus belajar guna mengembangkan ilmu pengetahuan yang dikuasainya.
- Siswa memiliki cita-cita posisi apa yang akan dicapai sejalan dengan apa yang dipelajari.
- Siswa dapat memahami keterkaitan apa yang dilakukan dengan berbagai permasalahan dalam kehidupan masyarakat-berbangsa.
Paradigma Pendidikan Multikultural
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis.
Kemajemukan sudah menjadi ciri khas bangsa
Indonesia. Kemajemukan ini dapat dilihat dari
dua perspektif, yaitu : perspektif horizontal dan
dan vertikal. Dalam perspektif horizontal,
kemajemuan bangsa kita dapat dilihat dari
perbedaan agama, etnis, bahasa daerah,
geografis, dan budayanya. Sedangkan dalam
perspektif vertikal, kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan tingkat
pendidikan, ekonomi, dan tingkat sosial
budayanya.
Fenomena kemajemukan ini bagaikan
pisau bermata dua, satu sisi memberi dampak
positif, yaitu kita memiliki kekayaan khasanah
budaya yang beragam, akan tetapi sisi lain juga
dapat menimbulkan dampak negatif, karena
terkadang justru keragaman ini dapat memicu
konflik antar kelompok masyarakat yang pada
gilirannya dapat menimbulkan instabilitas baik
secara keamanan, sosial, politik maupun
ekonomi.
Dalam menghadapi pluralisme budaya
tersebut, diperlukan paradigma baru yang lebih
toleran dan elegan untuk mencegah dan
memecahkan masalah benturan-benturan budaya
tersebut, yaitu paradigma pendidikan
multikultural.
Hal ini penting untuk
mengarahkan anak didik dalam mensikapi
realitas masyarakat yang beragam, sehingga
mereka akan memiliki sikap apresiatif terhadap
keragaman perbedaan tersebut. Bukti nyata
tentang maraknya kerusuhan dan konflik yang
berlatar belakang suku, adat, ras, dan agama
menunjukkan bahwa pendidikan kita telah gagal
dalam menciptakan kesadaran akan pentingnya
multikulturalisme.
Adapun bangunan paradigma pendidikan
multikultural yang ditawarkan Zamroni ( 2011 )
adalah sebagai berikut :
- Pendidikan multikultural adalah jantung untuk menciptakan kesetaraan pendidikan bagi seluruh warga masyarakat.
- Pendidikan multikultural bukan sekedar perubahan kurikulum atau perubahan metode pembelajaran.
- Pendidikan multikultural mentransformasi kesadaran yang memberikan arah kemana transformasi praktik pendidikan harus menuju.
- Pengalaman menunjukan bahwa upaya mempersempit kesenjangan pendidikan salah arah yang justru menciptakan ketimpangan semakin membesar.
- Pendidikan multikultural bertujuan untuk berbuat sesuatu, yaitu membangun jembatan antara kurikulum dan karakter guru, pedagogi, iklim kelas, dan kultur sekolah guna membangun visi sekolah yang menjunjung kesetaraan.
Menurut James A. Banks ( 2002 : 14 ),
pendidikan multikultural adalah cara
memandang realitas dan cara berpikir, dan
bukan hanya konten tentang beragam kelompok
etnis, ras, dan budaya.
Secara spesifik, Banks
menyatakan bahwa pendidikan multikultural
dapat dikonsepsikan atas lima dimensi, yaitu:
- Integrasi konten ; pemaduan konten menangani sejauh mana guru menggunakan contoh dan konten dari beragam budaya dan kelompok untuk menggambarkan konsep, prinsip, generalisasi serta teori utama dalam bidang mata pelajaran atau disiplin mereka.
- Proses penyusunan pengetahuan; sesuatu yang berhubungan dengan sejauh mana guru membantu siswa paham, menyelidiki, dan untuk menentukan bagaimana asumsi budaya yang tersirat, kerangka acuan, perspektif dan prasangka di dalam disiplin mempengaruhi cara pengetahuan disusun di dalamnya.
- Mengurangi prasangka; dimensi ini fokus pada karakteristik dari sikap rasial siswa dan bagaimana sikap tersebut dapat diubah dengan metode dan mater pengajaran.
- Pedagogi kesetaraan; pedagogi kesetaraan ada ketika guru mengubah pengajaran mereka ke cara yang akan memfasilitasi prestasi akademis dari siswa dari berbagai kelompok ras, budaya, dan kelas sosial. Termasuk dalam pedagogi ini adalah penggunaan beragam gaya mengajar yang konsisten dengan banyaknya gaya belajar di dalam berbagai kelompok budaya dan ras.
- Budaya sekolah dan struktur sekolah yang memberdayakan ; praktik pengelompokan dan penamaan partisipasi olah raga, prestasi yang tidak proporsional, dan interaksi staf, dan siswa antar etnis dan ras adalah beberapa dari komponen budaya sekolah yang harus diteliti untuk menciptakan budaya sekolah yang memberdayakan siswa dari beragam kelompok, ras, etnis dan budaya.
Untuk itu, para guru yang memberikan
pendidikan multibudaya harus memiliki
keyakinan bahwa; perbedaan budaya memiliki
kekuatan dan nilai, sekolah harus menjadi
teladan untuk ekspresi hak-hak manusia dan
penghargaan untuk perbedaan budaya dan
kelompok, keadilan dan kesetaraan sosial harus
menjadi kepentingan utama dalam kurikulum,
sekolah dapat menyediakan pengetahuan,
keterampilan, dan karakter ( yaitu nilai, sikap,
dan komitmen ) untuk membantu siswa dari
berbagai latar belakang, sekolah bersama
keluarga dan komunitas dapat menciptakan
lingkungan yang mendukung multibudaya.
Urgensi Pendidikan Multikultural di
Indonesia
Menurut Gibson ( 1997 ), sebagaimana
dikutip Djohar ( 2003: 85 ) menyatakan bahwa
masa depan bangsa memiliki kriteria khusus
yang ditandai oleh hiper kompetisi, suksesi
revolusi teknologi serta dislokasi dan konflik
sosial, menghasilkan keadaan yang non-linier
dan sangat tidak dapat diperkirakan dari keadaan
masa lampau dan masa kini. Masa depan hanya
dapat dihadapi dengan kreativitas, meskipun
posisi keadaan sekarang memiliki peranan
penting untuk memicu kreativitas.
Lebih lanjut
dijelaskan bahwa perubahan keadaan yang nonlinier
ini tidak akan dapat diantisipasi dengan
cara berpikir linier. Pemikiran linier dan rasional
yang sekarang kita kembangkan tidak lagi
fungsional untuk mengakomodasi perubahan
keadaan yang akan terjadi. Keadaan ini mestinya
dapat mendorong kita untuk memiliki disain
pendidikan masa depan yang memungkinkan
peserta didik dan pelaku praksis pendidikan
dapat mengaktualisasikan dirinya.
Sebagai bangsa dengan beragam kultur
memiliki resistensi yang tinggi terhadap
muncunya konflik sebagai konsekuensi
dinamika kohesivitas sosial masyarakat.
Akar
munculnya konflik dalam masyarakat
multikultur disebabkan oleh :
- Adanya perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi ( acces to economic resources and to means of production );
- Perluasan batas-batas sosial budaya ( social and cultural borderline expansion );
- Dan benturan kepentingan politik, idiologi, dan agama ( conflict of political, ideology, and religious interest ).
Dari paparan tersebut mengindikasikan
bahwa pendidikan multikultural menjadi sesuatu yang sangat penting dan mendesak untuk di
implementasikan dalam praksis pendidikan di
Indonesia. Karena pendidikan multikultural
dapat berfungsi sebagai sarana alternatif
pemecahan konflik. Melalui pembelajaran yang
berbasis multikultur, siswa diharapkan tidak
tercerabut dari akar budayanya, dan rupanya
diakui atau tidak pendidikan multikultural
sangat relevan di praktekkan di alam demokrasi
seperti saat ini.
Spektrum kultur masyarakat Indonesia
yang amat beragam memang merupakan
tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan untuk
mengolah bagaimana ragam perbedaan tersebut
justru dapat dijadikan asset, bukan sumber
perpecahan.
Di era globalisasi ini pendidikan
multikultural memiliki tugas ganda, yaitu selain
menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari
berbagai macam budaya tersebut, juga harus
menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap
menghadapi arus budaya luar yang masuk ke
negeri ini.
Pendidikan multikultural juga dapat
dimanfaatkan untuk membina siswa agar tidak
tercerabut dari akar budayanya, sebab
pertemuan antar budaya di era globalisasi ini
bisa jadi dapat menjadi ancaman serius bagi
anak didik kita. Dalam kaitan ini siswa perlu
diberi penyadaran akan pengetahuan yang
beragam, sehingga mereka memiliki kompetensi
yang luas akan pengetahuan global, termasuk
aspek kebudayaan.
Praktek Pendidikan Multikultural di
Indonesia
Sampai saat ini pendidikan multicultural
memang masih sebatas wacana. Praktek
pendidikan multikultural di Indonesia
nampaknya tidak dapat dilaksanakan seratus
persen ideal seperti di Amerika Serikat,
walaupun ditinjau dari keragaman budaya
memang banyak kemiripan. Hal itu disebabkan
oleh perjalanan panjang histori penyelenggaraan
pendidikan yang banyak dilatarbelakangi oleh
primordialisme. Misalnya pendirian lembaga
pendidikan berdasar latar belakang agama,
daerah, perorangan maupun kelompok.
Oleh karenanya praktek pendidikan
multikultural di Indonesia dapat dilaksanakan
secara fleksibel dengan mengutamakan prinsipprinsip
dasar multikultural.
Apapun dan
bagaimanapun bentuk dan model pendidikan
multikultural, mestinya tidak dapat lepas dari
tujuan umum pendidikan multikultural, yaitu :
- Mengembangkan pemahaman yang mendasar tentang proses menciptakan sistem dan menyediakan pelayan pendidikan yang setara.
- Menghubungkan kurikulum dengan karakter guru, pedagogi, iklim kelas, budaya sekolah dan konteks lingkungan sekolah guna membangun suatu visi “lingkungan sekolah yang setara”
Prinsip fleksibilitas pendidikan
multikultural juga disarankan oleh Gay ( 2002 )
sebagaimana dikutip Zamroni ( 2011 : 150 ),
dikatakan bahwa amat keliru kalau
melaksanakan pendidikan multikultural harus
dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah atau
monolitik. Sebaliknya, dia mengusulkan agar
pendidikan multikultural diperlakukan sebagai
pendekatan untuk memajukan pendidikan secara
utuh dan menyeluruh.
Pendidikan multikultural
juga dapat diberlakukan sebagai alat bantu untuk
menjadikan warga masyarakat lebih memiliki
toleran, bersifat inklusif, dan memiliki jiwa
kesetaraan dalam hidup bermasyarakat, serta
senantiasa berpendirian suatu masyarakat secara keseluruhan akan lebih baik, manakala siapa
saja warga masyarakat memberikan kontribusi
sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang
dimiliki bagi masyarakat sebagai keutuhan.
Bahkan Gay merekomendasikan agar
pembelajaran perlu memberi kesempatan bagi
siswa untuk mempelajari bagaiman suatu kultur
masyarakat bisa berperan dalam upaya
peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan
bagi warganya.
Dalam pandangan Zamroni ( 2011 ),
pendidikan multikultural diusulkan untuk dapat
dijadikan instrument rekayasa sosial lewat
pendidikan formal, artinya institusi sekolah
harus berperan dalam menanamkan kesadaran
hidup dalam masyarakat multikultural dan
mengembangkan sikap tenggang rasa dan
toleransi untuk mewujudkan kebutuhan serta
kemampuan bekerjasama dengan segala
perbedaan yang ada.
Sekolah harus dipandang sebagai suatu
masyarakat, masyarakat kecil; artinya, apa yang
ada di masyarakat harus ada pula di sekolah.
Perspektif sekolah sebagai suatu masyarakat
kecil ini memiliki implikasi bahwa siswa
dipandang sebagai suatu individu yang memiliki
karakteristik yang terwujud dalam bakat dan
minat serta aspirasi yang menjadi hak siswa.
Pada level sekolah, dengan adanya
berbagai perbedaan yang dimiliki masingmasing
individu, maka sekolah harus
memperhatikan :
- Setiap siswa memiliki kebutuhan perkembangan yang berbeda-beda, termasuk kebutuhan personal dan sosial,
- Kebutuhan vokasi dan karier,
- Kebutuhan psikologi dan perkembangan moral spiritual.
Pada level masyarakat, yang perlu
dipenuhi kebutuhannya adalah mencakup :
- Kebutuhan akademik,
- Kebutuhan psikologis,
- Kebutuhan kebersamaan, dan
- Kebutuhan rasa aman.
Pendidikan harus dapat memenuhi
kebutuhan tersebut. Sekolah harus dapat
dijadikan tempat yang aman, memiliki suasana
kekerabatan dan juga terdapat semangat saling
dukung mendukung. Berkaitan dengan itu, maka
prosses pembelajaran diarahkan pada
pengembangan individu secara utuh yang
mencakup intelektual, sosial, dan moral
spiritual. Tekanan dan dorongan siswa untuk
bekerja keras tidak hanya bersifat ekstrinsik,
bahkan lebih dari itu harus ditekankan pada
penggunaan instrinsik motivation.
Dari perspektif hasil pembelajaran,
pendidikan multikultural memiliki tiga sasaran
yang dikembangkan pada diri setiap siswa;
- Pertama, pengembangan identitas kultural yakni merupakan kompetensi yang dimiliki siswa untuk mengidentifikasi dirinya dengan suatu etnis tertentu. Kompetensi ini mencakup pengetahuan, pemahaman dan kesadaran akan kelompok etnis dan menimbulkan kebanggaan serta percaya diri sebagai warga kelompok etnis tertentu.
- Kedua, hubungan interpersonal. Yakni, kompetensi untuk melakukan hubungan dengan kelompok etnis lain, dengan senatiasa mendasarkan pada persamaan dan kesetaraan, serta menjauhi sifat syakwasangka dan stereotip.
- Ketiga, memberdayakan diri sendiri. Yakni suatu kemampuan untuk mengembangkan secara terus menerus apa yang dimiliki berkaitan dengan kehidupan multikultural.
Secara detail, kompetensi kultural
mencakup berbagai hal sebagi berikut :
- Kompetensi invidu untuk menerima, menghormati dan membangun kerjasama dengan siapapun juga yang memiliki perbedaan-perbedaan dari dirinya.
- Kompetensi kultural merupakan hasil dari kesadaran atas pengetahuan dan “bias kultural” yang dimilikinya atau sebagai faktor yang mempengaruhi perbedaan kultur
- Proses pengembangan komptensi kultural memerlukan pengembangan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan perilaku yang memungkinkan seseorang memahami dan berinteraksi secara efisien dengan orang yang memiliki perbedaan kultur.
Berkaitan dengan kompetensi kultural dan
bagaimana kompetensi tersebut dibentuk,
Papadopoulos & Lee ( 2003) mengajukan model
pengembangan kompetensi kultural sebagai
berikut : Kompetensi kultural dibentuk oleh
berbagai faktor: penguasaan pengetahuan,
critical thingking, daya kritis, kemampuan
mengembangkan sesuatu, dan kemampuan
praktis. Keempat faktor tersebut tidak statis
melainkan dinamis terus bergerak, membentuk
kompetensi kultural.
Pendidikan multikultural juga sangat
relevan dengan pendidikan demokrasi di
masyarakat plural seperti Indonesia, yang
menekankan pada pemahaman akan multi etnis,
multi ras, dan multikultur yang memerlukan
konstruksi baru atas keadilan, kesetaraan dan
masyarakat yang demoktratis.
No comments:
Post a Comment