Pengertian Penyuluhan pertanian Menurut Ahli

Pengertian Penyuluhan pertanian
Terminologi penyuluhan (extension), pertama kali dikenal pada pertengahan abad 19 oleh universitas Oxford dan Cambridge pada sekitar tahun 1850 (Swanson, 1997). Dalam perjalanananya van den Ban (1985) mencatat beberapa istilah seperti di Belanda disebut voorlichting yang berarti obor yang berfungsi untuk menerangi, di Jerman lebih dikenal sebagai “advisory work” (beratung), vulgarization (Perancis), dan capacitacion (Spanyol). Roling (1988) mengemukakan bahwa Freire (1973) pernah melakukan protes terhadap kegiatan penyuluhan yang lebih bersifat top-down. Karena itu, dia kemudian menawarkan beragam istilah pengganti extension seperti: animation, mobilization, conscientisation. Di Malaysia, digunakan istil ah perkembangan sebagai terjemahan dari extension, dan di Indonesia menggunakan istilah penyuluhan sebagai terjemahan dari voorlichting (Adjid, 2001).

Diskusi tentang penggunaan istilah “penyuluhan” di Indonesia akhir-akhir ini semakin semarak. Pemicunya adalah, karena penggunaan istilah penyuluhan dirasa semakin kurang diminati atau kurang dihargai oleh masyarakat. Hal ini, disebabkan karena penggunaan istilah penyuluhan yang kurang tepat, terutama oleh banyak kalangan yang sebenarnya “tidak memahami” esensi makna yang terkandung dalam istilah penyuluhan itu sendiri. Di lain pihak, seiring dengan perbaikan tingkat pendidikan masyarakat dan kemajuan teknologi informasi, peran penyuluhan semakin menurun dibanding sebelum dasawarsa delapan-puluhan.

Rahmat Pambudi, pada awal 1996 mulai melontarkan pentingnya istilah pengganti penyuluhan, dan untuk iitu dia menawarkan penggu-naan istilah transfer teknologi sebagaimana yang digunakan oleh Lionberger dan Gwin (1982). Pada tahun 1998, Mardikanto mena-warkan penggunaan istilah edfikasi, yang merupakan akronim dari fungsi-fungsi penyuluhan yang meliputi: edukasi, diseminasi inovasi, fasilitasi, konsultasi, supervisi, pemantauan dan evaluasi. Meskipun tidak ada keinginan untuk mengganti istilah penyuluhan, Margono Slamet pada kesempatan seminar penyuluhan pembangunan (2000) menekankan esensi penyuluhan sebagai kegiatan pemberdayaan masyarakat yang telah mulai lazim digunakan oleh banyak pihak sejak Program Pengentasan Kemiskinan pada dasawar sa 1990-an. 

Terkait dengan hal tersebut, dalam perjalanannya, kegiatan penyuluhan diartikan dengan berbagai pemahaman, seperti: 
  1. Penyebar-luasan (informasi) 
  2. Penerangan/penjelasan 
  3. Pendidikan non-formal (luar-sekolah) 
  4. Perubahan perilaku 
  5. Rekayasa sosial 
  6. Pemasaran inovasi (teknis dan sosial) 
  7. Perubahan sosial (perilaku individu, nilai-nilai, hubungan antar individu, kelembagaan, dll) 
  8. Pemberdayaan masyarakat (community empowerment) 
  9. Penguatan komunitas (community strengthening) 
1. Penyuluhan Sebagai Proses Penyebar-Luasan Informasi 
Sebagai terjemahan dari kata “extension”, penyuluhan dapat diartikan sebagai proses penyebarluasan yang dalam hal ini, merupakan peyebarluasan informasi tentang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dihasilkan oleh perguruan tinggi ke dalam praktek atau kegiatan praktis.

Implikasi dari pengertian ini adalah: 
  1. Sebagai agen penyebaran informasi, penyuluh tidak boleh hanya menunggu aliran informasi dari sumber-sumber informasi (peneliti, pusat informasi, institusi pemerintah, dll) melainkan harus secara aktif berburu informasi yang bermanfaat dan atau dibutuhkan oleh masyarakat yang menjadi kliennya. Dalam hubungan ini, penyuluh harus mengoptimalkan peman-faatan segala sumberdaya yang dimiliki serta segala media/ saluran informasi yang dapat digunakan (media-masa, internet, dll) agar tidak ketinggalan dan tetap dipercaya sebagai sumber informasi “baru” oleh kliennya. 
  2. Penyuluh harus aktif untuk menyaring informasi yang diberikan atau yang diperoleh kliennya dari sumber-sumber yang lain, baik yang menyangkut kebijakan, produk, metoda, nilai-nilai perilaku, dll. Hal ini penting, karena di samping dari penyuluh, masyarakat seringkali juga memperoleh informasi/inovasi dari sumbersumber lain (aparat pemerintah, produsen/ pelaku bisnis, media masa, LSM) yang tidak selalu “benar” dan bermanfaat/ mengun-tungkan masyarakat/kliennya. Sebab, dari pengalaman menunjukkan, informasi yang datang dari “luar” seringkali lebih berorientasi kepada “kepentingan luar” dibanding keberpihakannya kepada kepentingan masyarakat yang menjadi kliennya. 
  3. Penyuluh perlu lebih memperhatikan informasi dari “dalam” baik yang berupa “kearifan tradisional” maupun “endegenuous technology”. Hal ini penting, karena informasi yang berasal dari dalam, di samping telah teruji oleh waktu, seringkali juga lebih sesuai dengan kondisi setempat, baik ditinjau dari kondisi fisik, teknis, ekonomis, sosial/budaya, maupun kesesuainnya dengan kebutuh-an pengembangan komunitas setempat. 
  4. Pentingnya informasi yang menyangkut hak-hak politik masyarakat, di samping: inovasi teknologi, kebijakan, manajemen, dll. 

Hal ini penting, karena yang untuk pelaksanaan kegiatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat seringkali sangat tergan-tung kepada kemauan dan keputusan politik. Sebagai contoh, program intensifikasi padi terbukti tidak banyak memberikan perbaikan kesejahteraan petani. Demikian juga yang terjadi kaitannya dengan kebijakan impor beras, gula, daging, dll. 

2. Penyuluhan Sebagai Proses Penerangan/Pemberian Penjelasan 
Penyuluhan yang berasal dari kata dasar “suluh” atau obor, sekaligus sebagai terjemahan dari kata “voorlichting” dapat diartikan sebagai kegiatan penerangan atau memberikan terang bagi yang dalam ke-gelapan. Sehingga, penyuluhan juga sering diartikan sebagai kegiatan penerangan. Sebagai proses penerangan, kegiatan penyuluhan tidak saja terbatas pada memberikan penerangan, tetapi juga menjelaskan mengenai segala informasi yang ingin disampaikan kepada kelompok-sasaran yang akan menerima manfaat penyuluhan (beneficiaries), sehingga mereka benar-benar memahaminya seperti yang dimaksudkan oleh penyuluh atau juru-penerangnya. 

Terkait dengan istilah penerangan, ppenyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh tidak boleh hanya bersifat “searah” melainkan harus diupa-yakan berlangsungnya komunikasi “timbal-balik” yang memusat (convergence) sehingga penyuluh juga dapat memahami aspirasi masyarakat, manakala mereka menolak atau belum siap menerima informasi yang diberikan. Hal ini penting, agar penyuluhan yang dilakukan tidak bersifat “pemaksaan kehendak” (indoktrinasi, agitasi, dll) melainkan tetap menjamin hubungan yang harmonis antara penyuluh dan mnasyarakat kliennya secara berkelanjutan. 

3. Penyuluhan Sebagai Proses Perubahan Perilaku 
Dalam perkembangannya, pengertian tentang penyuluhan tidak sekadar diartikan sebagai kegiatan penerangan, yang bersifat searah (one way) dan pasif. Tetapi, penyuluhan adalah proses aktif yang memerlukan interaksi antara penyuluh dan yang disuluh agar terbangun proses perubahan “perilaku” (behaviour) yang merupakan perwujudan dari: pengetahuan, sikap, dan ketrampilan seseorang yang dapat diamati oleh orang/pihak lain, baik secara langsung (berupa: ucapan, tindakan, bahasa-tubuh, dll) maupun tidak langsung (melalui kinerja dan atau hasil kerjanya). 

Dengan kata lain, kegiatan penyuluhan tidak berhenti pada “penyebar-luasan informasi/inovasi”, dan “memberikan penerangan”, tetapi merupakan proses yang dilakukan secara terusmenerus, sekuat-tenaga dan pikiran, memakan waktu dan melelahkan, sampai terjadinya perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh penerima manfaat penyuluhan (beneficiaries) yang menjadi “klien” penyuluhan”

Sebagai contoh: Pada penyuluhan penggunaan pupuk terhadap tanaman tertentu,, kegiatan penyuluhan tidak boleh hanya berhenti pada pemberian penerangan atau penjelasan kepada petani, tetapi harus dilakukan terus-menerus sampai petani tersebut mau menggunakan, bahkan secara mandiri mau berswadaya untuk membeli pupuk tersebut. 

Implikasi dari penegertian perubahan perilaku ini adalah: 
  1. Harus diingat bahwa, perubahan perilaku yang diharapkan tidak hanya terbatas pada masyarakat/klien yang menjadi “sasaran utama” penyuluhan, tetapi penyuluhan harus mampu mengubah perilaku semua stakeholders pembangunan, terutama aparat pemerintah selaku pengambil keputusan, pakar, peneliti, pelaku bisnis, aktiivis LSM, tokoh masyarakat dan stakeholders pemba-ngunan yang lainnya. 
  2. Perubahan perilaku yang terjadi, tidak terbatas atau berhenti setelah masyarakat/klien mangadopsi (menerima, menerapkan, mengikuti) informasi/inovasi yang disampaikan, tetapi juga ter-masuk untuk selalu siap melakukan perubahanperubahan terha-dap inovasi yang sudah diyakininya, manakala ada informasi/ inovasi/kebijakan baru yang lebih bermanfaat bagi perbaikan kesejahteraannya. 
  3. Dari contoh penyuluhan pemupukan di atas, kegiatan penyuluhan tidak berhenti sampai pada tumbuhnya swadaya masyarakat untuk menggunakan dan membeli pupuk, tetapi juga kesiapannya untuk menerima “pupuk baru” sebagai pengganti pupuk yang disuluhkan itu. 
  4. Perubahan perilaku yang dimaksudkan tidak terbatas pada kesediaanya untuk menerapkan/menggunakan inovasi yang ditawarkan, tetapi yang lebih penting dari kese-muanya itu adalah kesediaannya untuk terus belajar sepanjang kehidupannya secara berkelanjutan (life long education)

4. Penyuluhan Sebagai Proses Belajar/Proses Belajar 
Penyuluhan sebagai proses pendidikan atau proses belajar diartikan bahwa, kegiatan penyebar-luasan informasi dan penjelasan yang diberikan dapat merangsang terjadinya proses perubahan perilaku yang dilakukan melalui proses pendidikan atau kegiatan belajar. Artinya, perubahan perilaku yang terjadi/dilakukan oleh sasaran tersebut berlangsung melalui proses belajar. Hal ini penting untuk dipahami, karena perubahan perilaku dapat dilakukan melalui beragam cara, seperti: pembujukan, pemberian insentif/hadiah, atau bahkan melalui kegiatan-kegiatan pemaksaan (baik melalui penciptaan kondisi ling-kungan fisik maupun social-ekonomi, maupun pemaksaan melalui aturan dan ancaman-ancaman). 

Berbeda dengan perubahan perilaku yang dilakukan bukan melalui pendidikan, perubahan perilaku melalui proses belajar biasanya berlangsung lebih lambat, tetapi perubah-annya relatif lebih kekal. Perubahan seperti itu, baru akan meluntur kembali, manakala ada pengganti atau sesuatu yang dapat menggantikannya, yang memiliki keunggulan-keung-gulan “baru” yang diyakininya memiliki manfaat lebih, baik secara ekonomi maupun non-ekonomi. 

Lain halnya dengan perubahan perilaku yang terjadi karena bujukan/hadiah atau pemaksaan, perubahan tersebut biasanya dapat terjadi dalam waktu yang relatif singkat, tetapi lebih cepat pula meluntur, yaitu jika bujukan/hadiah/pemaksaan tersebut dihentikan, berhenti atau tidak mampu lagi melanggengkan kegiatannya. Penyuluhan sebagai proses pendidikan, dalam konsep “akademik” dapat mudah dimaklumi, tetapi dalam prektek kegiatan, perlu dijelas-kan lebih lanjut. Sebab pendidikan yang dimaksud di sini tidak ber-langsung vertikal yang lebih bersifat “menggurui” tetapi merupakan pendidikan orang-dewasa yang berlangsung horizontal dan lateral yang lebih bersifat “partisipatif”

Dalam kaitan ini, keberhasilan penyuluhan tidak diukur dari seberapa banyak ajaran yang disampaikan, tetapi seberapa jauh terjadi proses belajar bersama yang dialogis, yang mampu menumbuhkan kesadar-an (sikap), pengetahuan, dan ketrampilan “baru” yang mampu meng-ubah perilaku kelompok-sasarannya ke arah kegiatan dan kehidupan yang lebih menyejahterakan setiap individu, keluarga, dan masyara-katnya. Jadi, pendidikan dalam penyuluhan adalah proses belajar bersama. 

5. Penyuluhan Sebagai Proses Perubahan Sosial SDC (1995) 
Menyatakan bahwa, penyuluhan tidak sekadar merupa-kan proses perubahan perilaku pada diri seseorang, tetapi merupakan proses perubahan sosial, yang mencakup banyak aspek, termasuk politik dan ekonomi yang dalam jangka  panjang secara bertahap mampu diandalkan menciptakan pilihan-pilihan baru untuk memper-baiki kehidupan masyarakatnya . Yang dimaksud dengan perubahan sosial di sini adalah, tidak saja perubahan (perilaku) yang berlangsung pada diri seseorang, tetapi juga perubahan-perubahan hubungan antar individu dalam masyara-kat, termasuk struktur, nilai-nilai, dan pranata sosialnya, seperti: demokratisasi, transparansi, supremasi hukum, dll.

6. Penyuluhan Sebagai Proses Rekayasa Sosial (Social Engineering) 
Sejalan dengan pemahaman tentang penyuluhan sebagai proses perubahan sosial yang dikemukakan di atas, penyuluhan juga sering disebut sebagai proses rekayasa sosial (social engineering) atau segala upaya yang dilakukan untuk menyiapkan sumberdaya manusia agar mereka tahu, mau dan mampu melaksanakan peran sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam sistem sosialnya masing-masing. 

Karena kegiatan rekayasa-sosial dilakukan oleh ”pihak luar”, maka relayasa sosial bertujuan untuk terwujudnya proses perubahan sosial demi terciptanya kondisi sosial yang diinginkan oleh pihak-luar (perekayasa). Pemahaman seperti itu tidak salah, tetapi tidak dapat sepenuhnya dapat diterima. Sebab, rekayasa-sosial yang pada dasar-nya dimaksudkan untuk memperbaiki kehidupan dan kesejahteraan kelompok-sasarannya, seringkali dapat berakibat negatip, manakala hanya mengacu kepada kepentingan perekayasa, sementara masyara-kat dijadikan korban pemenuhan kehendak perekayasa. 

Sebagai contoh: Upaya menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan memang diperlukan, tetapi jika dalam proses untuk berpartisipasi tersebut masyarakat dituntut kesediaannya untuk banyak berkorban termasuk mengorbankan hak-hak normatifnya sebagai warga negara (harus tunduk, tidak boleh membantah, dll) maka proses reklayasa sosial seperti itu bukanlah perubahan-sosial sebagaimana yang dimaksud dan dikehendaki oleh kegiatan penyu-luhan. 

Penyuluhan Sebagai Proses Pemasaran Sosial (Social Marketing). Yang dimaksud dengan “pemasaran sosial” adalah penerapan konsep dan atau teoriteori pemasaran dalam proses perubahan sosial. Berbeda dengan rekayasa-sosial yang lebih berkonotasi untuk “membentuk” (to do to) atau menjadikan masyarakat menjadi sesuatu yang “baru” sesuai yang dikehendaki oleh perekayasa, proses pemasaran sosial dimaksudkan untuk “menawarkan” (to do for) sesuatu kepada masyarakat. Jika dalam rekayasa-sosial proses pengambilan keputusan sepenuhnya berada di tangan perekayasa, pengambilan keputusandalam pemasaran sosial sepenuhnya berada di tangan masyarakat itu sendiri. 

Termasuk dalam pengertian “menawarkan” di sini adalah penggunaan konsep-konsep pemasaran dalam upaya menumbuhkan, menggerak-kan dan mengembangkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan yang ditawarkan dan akan dilaksanakan oleh dan untuk masyarakat yang bersangkutan. Perbedaan hakiki di sini adalah, masyarakat berhak menawar bahkan menolak segala sesuatu yang dinilai tidak bermanfaat, akan merugi-kan, atau membawa konsekuensi pada keharusan masyarakat untuk berkorban dan atau mengorbankan sesuatu yang lebih besar dibanding manfaat yang akan diterimanya. 

7. Penyuluhan Sebagai Proses Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment) 
Margono Slamet (2000) menegaskan bahwa inti dari kegiatan penyu-luhan adalah untuk memberdayakan masyarakat. Memberdayakan berarti memberi daya kepada yang tidak berdaya dan atau mengem-bangkan daya yang sudah dimiliki menjadi sesuatu yang lebih ber-manfaat bagi masyarakat yang bersangkutan. 

Dalam konsep pember-dayaan tersebut, terkandung pema-haman bahwa pemberdayaan tersebut diarahkan terwujudnya masyarakat madani (yang beradab) dan mandiri dalam pengertian dapat mengambil keputusan (yang terbaik) bagi kesejahteraannya sendiri. Pemberdayaan masyarakat, dimaksudkan untuk memperkuat kemam-puan (capacity strenghtening) masyarakat, agar mereka dapat berpar-tisipasi secara aktif dalam keseluruahn proses pembangunan, terutama pembangunan yang ditawarkan oleh penguasa dan atau pihak luar yang lain (penyuluh, LSM, dll) 

8. Penyuluhan Sebagai Proses Penguatan Kapasitas (Capacity Strenghtening) 
Yang dimaksud dengan penguatan kapasitas di sini, adalah penguatan kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu (dalam masyarakat), kelembagaan, maupun hubungan atau jejaring antar individu, kelom-pok organisasi sosial, serta pihak lain di luar sistem masyarakatnya sampai di aras global. Kemampuan atau kapasitas masyarakat, diartikan sebagai daya atau kekuatan yang dimiliki oleh setiap indiividu dan masyarakatnya untuk memobilisasi dan memanfaatkan sumber-daya yang dimiliki secara lebih berhasil-guna (efektif) dan berdaya-guna (efisien) secara berkelanjutan. 

Dalam hubungan ini, kekuatan atau daya yang dimiliki setiap individu dan masyarakat bukan dalam arti pasif tetapi bersifat aktif yaitu terus menerus dikembangkan/dikuatkan untuk “memproduksi” atau meng-hasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat. Penguatan masyarakat disini, memiliki makna-ganda yang bersifat timbal-balik. 

Di satu pihak, penguatan diarahkan untuk melebih mampukan indiividu agar lebih mampu ber-peran di dalam kelompok dan masyarakat global, di tengah-tengah ancaman yang dihadapi baik dalam kehidupan pribadi, kelompok dan masyarakat global. Sebaliknya, penguatan masyarakat diarahkan untuk melihat peluang yang berkem-bang di lingkungan kelompok dan masyarakat global agar dapat 16 dimanfaatkan bagi perbaikan kehidupan pribadi, kelom-pok, dan masyarakat global ( UNDP, 1998) 

9. Penyuluhan Sebagai Proses Komunikasi Pembangunan 
Sebagai proses komunikasi pembangunan, penyuluh-an tidak sekadar upaya untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan, tetapi yang lebih penting dari itu adalah, untuk menumbuh-kembangkan partisi-pasi masyarakat dalam pembangunan (Mardikanto, 1987). 

Di dalam pengertian “menumbuh-kembangkan”, terkandung upaya-upaya untuk: 
  1. Menyadarkan masyarakat agar mau berpartisipasi secara sukarela, bukan karena paksaan atau ancaman-ancaman 
  2. Meningkatkan kemampuan masyarakat agar mampu (fisik, mental, intelegensia, ekonomis dan non-ekonomis) 
  3. Menunjukkan adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi. 
Sedang yang dimaskud dengan “partisipasi” tidak hanya terbatas pada kesediaan untuk berkorban, tetapi berpartisipasi dalam keseluruhan proses pembangunan, sejak: pengambilan keputusan tentang pentingnya pembangunan, perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi, dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan. 

10. Redefinisi Penyuluhan Pertanian 
Dalam kepustakaan yang selama ini dapat dijumpai, dapat disimpul-kan bahwa penyuluhan pertanian diartikan sebagai pendidikan luar-sekolah yang ditujukan kepada petani dan keluarganya agar dapat bertanii lebih baik, berusahatani yang lebih menguntungkan, demi terwujudnya kehidupan yang lebih sejahtera bagi keluarga dan  masya-rakatnya (Wiriatmadja, 1976; Totok Mardikanto dan Sri Sutarni, 1981; Mardikanto, 1993) 

Pemahaman tersebut tidak seluruhnya salah, tetapi seiring dengan terjadinya perubahan-perubahan kehidupan masyarakat global dan tuntutan pembangunan pertanian, baik yang menyangkut kontek dan kontennya, oleh Saragih (2002) dinilai penting untuk melakukan “redefinisi” yang menyangkut penger-tian “penyuluhan pertanian” Perubahan-perubahan tersebut telah melanda semua “stakeholder” pembangunan pertanian, yang membawa konsekuensi-konsekuensi terhadap perubahan perilaku masing -masing (Gambar). 

Meskipun demikian, dalam UU No 16 Tahun 2006, rumusan tentang pengertian penyuluhan pertanian adalah: Proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadar-an dalam pelestarian fungsilingkungan hidup. 

Terhadap berbagai pengertian tersebut di atas, terdapat beberapa hal yang perlu dikritisi, yaitu: 
  • Penyuluhan pertanian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembangunan/pengembangan masyarakat dalam arti luas. 
  • Dalam praktek, pendidikan selalu dikonotasikan sebagai kegiatan pengajaran yang bersifat “menggurui” yang membedakan status antara guru/pendidik yang selalu “lebih pintar” dengan murid/ peserta didik yang harus menerima apa saja yang diajarkan oleh guru/pendidikny. 
  • Pemangku kepentingan (stakeholders) agribisnis tidak terbatas hanya petani dan keluarganya. 
  • Penyuluhan pertanian bukanlah kegiatan karitatif (bantuan cuma-cuma atas dasar belas-kasihan) yang menciptakan kete rgantungan 
  • Pembangunan pertanian harus selalu dapat memperbaiki produk-tivitas, pendapatan dan kehidupan petani secara berkelanjutan. 

Telaahan beragam pengertian yang terkandung dalam istilah “penyu-luhan” sebagaimana dikemukakan di atas, memberikan pemahaman bahwa penyuluhan dapat diartikan sebagai: proses perubahan sosial, ekonomi dan politik untuk member-dayakan dan memperkuat kemampuan masyarakat melalui proses belajar bersama yang partisipatip, agar terjadi per-ubahan perilaku pada diri semua stakeholders (indiividu, kelompok, kelembagaan) yang terlibat dalam proses pemba-ngunan, demi terwujudnya kehidupan yang semakin berdaya, mandiri, dan partisipatip yang semakin sejahtera secara berkelanjutan.

No comments:

Post a Comment