Pengertian Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam Menurut Ahli

Pengertian Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam
Untuk memperoleh pengertian yang obyektif tentang hasil belajar, perlu dirumuskan secara jelas dari kata di atas, karena secara etimologi hasil belajar terdiri dari dua kata yaitu hasil dan belajar.

Menurut kamus bahasa Indonesia, hasil adalah suatu yang ada (terjadi) oleh suatu kerja, berhasil sukses. Sementara menurut R. Gagne hasil dipandang sebagai kemampuan internal yang menjadi milik orang serta orang itu melakukan sesuatu.

Sedangkan belajar menurut Morgan, dalam buku Introduction To Psychology (1978) mengemukakan bahwa belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dan latihan atau pengalaman.

Menurut Slameto, secara psikologis belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku.

Adapula yang mengatakan bahwa belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut.

Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran. Proses penilaian terhadap hasil belajar dapat memberikan informasi kepada guru tentang kemajuan siswa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan belajarnya melalui kegiatan belajar. Selanjutnya dari informasi tersebut guru dapat menyusun dan membina kegiatan-kegiatan siswa lebih lanjut, baik untuk keseluruhan kelas maupun individu.

Menurut Dr. Oemar Hamalik hasil belajar adalah keseluruhan kegiatan pengukuran (pengumpulan data atau informasi), pengolahan, penafsiran dan pertimbangan untuk membuat keputusan tentang tingkat hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

Menurut Dimyati dan Mudjiono, hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar.

Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran.

Penilaian pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui perkembangan hasil belajar siswa dan hasil mengajar guru. Informasi hasil belajar berupa kompetensi dasar yang sudah dipahami dan yang belum dipahami oleh sebagian besar siswa. Hasil belajar siswa digunakan untuk memotivasi siswa dan guru agar melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas proses pembelajaran.

Sedangkan Dalam pandangam Islam, pendidikan mempunyai beberapa pengertian, antara lain:
  • Pendidikan ialah tindakan yang dilakukan secara sadar dengan tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah secara potensi (sumber daya) insan menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil)
  • Pendidikan adalah proses kegiatan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan, seirama dengan perkembangan anak didik.
Bertolak dari pengertian pendidikan menurut pandangan Islam sebagaimana telah diuraikan di atas, dan mengingat betapa kompleksnya risalah Islamiyah, maka sebenarnya yang dimaksud dengan pendidikan Islam adalah “Segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insan yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam”.

Al-Abrasyi memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia 
mencintai tanah air, tegap jasmaninya sempurna budi pekertinya (akhlaknya), terartur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disintesiskan bahwa hasil belajar PAI adalah suatu penilaian akhir dari proses dan pengenalan yang telah dilakukan berulang-ulang, serta akan tersimpan dalam jangka waktu lama atau bahkan tidak akan hilang selama-lamanya karena hasil belajar turut serta dalam membentuk pribadi individu seutuhnya (insan kamil) yang selalu ingin mencapai hasil yang lebih baik lagi sehingga akan merubah cara berpikir serta menghasilkan perilaku kerja yang lebih baik sesuai dengan norma-norma Islam.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar PAI
Secara global, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
a. Faktor internal (dari dalam siswa), yakni keadaan/ kondisi jasmani dan rohani siswa.
Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat mempengaruhi hasil belajar individu. Faktor-faktor internal ini meliputi faktor fisiologis dan faktor psikologis.

1) Faktor fisiologis
Faktor-faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik individu. Faktor-faktor ini dibedakan menjadi dua macam.

Pertama, keadaan tonus jasmani. Keadaan tonus jasmani pada umumnya sangat mempengaruhi aktivitas belajar seseorang, kondisi fisik yang sehat dan bugar akan memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan belajar individu. Sebaliknya, kondisi fisik yang lemah atau sakit akan menghambat tercapainya hasil belajar yang maksimal. Oleh karena itu keadaan tonus jasmani sangat mempengaruhi proses belajar, maka perlu ada usaha untuk menjaga kesehatan jasmani.

Cara untuk menjaga kesehatan jasmani antara lain adalah :
  • Menjaga pola makan yang sehat dengan memperhatikan nutrisi yang masuk ke dalam tubuh, karena kekurangan gizi atau nutrisi akan mengakibatkan tubuh cepat lelah, lesu, dan mengantuk, sehingga tidak ada gairah untuk belajar,. 
  • Rajin berolah raga agar tubuh selalu bugar dan sehat
  • Istirahat yang cukup dan sehat.
Kedua, keadaan fungsi jasmani/ fisiologis. Selama proses belajar berlangsung, peran fungsi fisiologis pada tubuh manusia sangat mempengaruhi hasil belajar, terutama panca indra. Panca indra yang berfungsi dengan baik akan mempermudah aktivitas belajar dengan baik pula dalam proses belajar, merupakan pintu masuk bagi segala informasi yang diterima dan ditangkap oleh manusia. Sehinga manusia dapat menangkap dunia luar. Panca indra yang memiliki peran besar dalam aktivitas belajar adalah mata dan telinga. Oleh karena itu, baik guru maupun siswa perlu menjaga panca indra dengan baik, baik secara preventif maupun secara yang bersifat kuratif. Dengan menyediakan sarana belajar yang memenuhi persyaratan, memeriksakan kesehatan fungsi mata dan telinga secara periodik, mengkonsumsi makanan yang bergizi, dan lain sebagainya.

2) Faktor psikologis
Faktor–faktor psikologis adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat mempengaruhi proses belajar. Beberapa faktor psikologis yang utama mempengaruhi proses belajar adalah kecerdasan siswa, motifasi, minat, sikap dan bakat.

a) Kecerdasan/ intelegensia siswa
Pada umumnya kecerdasan diartikan sebagai kemampuan psikofisik dalam mereaksikan rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui cara yang tepat. Dengan demikian, kecerdasan bukan hanya berkaitan dengan kualitas otak saja, tetapi juga organorgan tubuh lainnya. Namun bila dikaitkan dengan kecerdasan, tentunya otak merupakan organ yang penting dibandingkan organ yang lain, karena fungsi otak itu sebagai organ pengendali tertinggi (executive control) dari hampir seluruh aktivitas manusia. 

Kecerdasan merupakan faktor psikologis yang paling penting dalam proses belajar siswa, karena menentukan kualitas belajar siswa. Semakin tinggi inteligensi seorang individu, semakin besar peluang individu tersebut meraih sukses dalam belajar. Sebaliknya, semakin rendah tingkat intelegensi individu, semakin sulit individu itu mencapai kesuksesan belajar. Oleh karena itu, perlu bimbingan belajar dari orang lain, seperti guru, orang tua, dan lain sebagainya.

Sebagai faktor psikologis yang penting dalam mencapai kesuksesan belajar, maka pengetahuan dan pemahaman tentang kecerdasan perlu dimiliki oleh setiap calon guru professional, sehingga mereka dapat memahami tingkat kecerdasannya.

b) Motivasi
Motivasi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan kegiatan belajar siswa. Motivasilah yang mendorong siswa ingin melakukan kegiatan belajar. Para ahli psikologi mendefinisikan motivasi sebagai proses di dalam diri individu yang aktif, mendorong, memberikan arah, dan menjaga perilaku setiap saat (Slavin, 1994). Motivasi juga diartikan sebagai pengaruh kebutuhan-kebutuhan dan keinginan terhadap intensitas dan arah perilaku seseorang.

Dari sudut sumbernya motivasi dibagi menjadi dua, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah semua faktor yang berasal dari dalam diri individu dan memberikan dorongan untuk melakukan sesuatu. Seperti seorang siswa yang gemar membaca, maka ia tidak perlu disuruh-suruh untuk membaca, karena membaca tidak hanya menjadi aktifitas kesenangannya, tapi bisa jadi juga telah mejadi kebutuhannya.

Dalam proses belajar, motivasi intrinsik memiliki pengaruh yang efektif, karena motivasi intrinsik relatif lebih lama dan tidak tergantung pada motivasi dari luar (ekstrinsik).

Menurut Arden N. Frandsen yang termasuk dalam motivasi intrinsik untuk belajar antara lain adalah:
  1. Dorongan ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas.
  2. Adanya sifat positif dan kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju.
  3. Adanya keinginan untuk mencapai prestasi sehingga mendapat dukungan dari orang-orang penting, misalkan orang tua, saudara, guru, atau teman-teman, dan lain sebaginya.
  4. Adanya kebutuhan untuk menguasai ilmu atau pengetahuan yang berguna bagi dirinya.
  5. Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman-teman.
  6. Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru.
Motivasi ekstrinsik adalah faktor yang datang dari luar diri individu tetapi memberi pengaruh terhadap kemampuan untuk belajar. Seperti pujian, peraturan, tata tertib, teladan guru, orangtua, dan lain sebagainya. Kurangnya respons dari lingkungan secara positif akan mempengaruhi semangat belajar seseorang menjadi lemah.

c) Minat
Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.
Menurut Reber (Syah, 2008) minat bukanlah istilah yang populer dalam psikologi disebabkan ketergantungannya terhadap berbagai faktor internal lainnya, seperti pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan.

Namun terlepas dari kepopulerannya, minat sama halnya dengan kecerdasan dan motivasi, karena memberi pengaruh terhadap aktivitas belajar, ia akan tidak bersemangat atau bahkan tidak mau belajar. Oleh karena itu, dalam konteks belajar di kelas, seorang guru atau pendidik lainnya perlu membangkitkan minat siswa agar tertarik terhadap materi pelajaran yang akan dihadapainya atau dipelajarinya.

Untuk membangkitkan minat belajar tersebut, banyak cara yang bisa digunakan. Antara lain, pertama, dengan membuat materi yang akan dipelajari semenarik mungkin dan tidak membosankan, baik dari bentuk buku materi, desain pembelajaran yang membebaskan siswa mengeksplor apa yang dipelajari, melibatkan seluruh domain belajar siswa (kognitif, afektif, psikomotorik) sehingga siswa menjadi aktif, maupun performansi guru yang menarik saat mengajar. Kedua, pemilihan jurusan atau bidang studi. Dalam hal ini, alangkah baiknya jika jurusan atau bidang studi dipilih sendiri oleh siswa sesuai dengan minatnya.

d) Sikap
Dalam proses belajar, sikap individu dapat mempengaruhi keberhasilan proses belajarnya. Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons dangan cara yang relatif tetap terhadap obyek orang, barang, peristiwa dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif.

Sikap siswa dalam belajar dapat dipengaruhi oleh perasaan senang atau tidak senang pada performan guru, pelajaran, atau lingkungan sekitarnya. Dan untuk mengantisipasi munculnya sikap yang negatif dalam belajar, guru sebaiknya berusaha untuk menjadi guru yang profesional dan bertanggung jawab terhadap profesi yang dipilihnya.

Dengan profesionalitas, seorang guru akan berusaha memberikan yang terbaik bagi siswanya, berusaha mengembangkan kepribadian sebagai seorang guru yang empatik, sabar, dan tulus kepada muridnya, berusaha untuk menyajikan pelajaran dengan baik dan menarik sehingga membuat siswa dapat mengikuti pelajaran dengan senang dan tidak menjemukan; meyakinkan siswa bahwa bidang studi yang dipelajari bermanfaat bagi diri siswa.

e) Bakat
Faktor psikologis lain yang mempengaruhi proses belajar adalah bakat. Secara umum, bakat (aptitude) didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang (Syah, 2008). Berkaitan dengan belajar, Slavin (1994) mendefinisikan bakat sebagai kemampuan umum yang dimiliki seorang siswa untuk belajar.

Dengan demikian, bakat adalah kemampuan seseorang menjadi salah satu komponen yang diperlukan dalam proses belajar seseorang. Apabila bakat seseorang sesuai dengan bidang yang sedang dipelajarinya, maka bakat itu akan mendukung proses belajarnya sehingga kemungkinan besar ia akan berhasil Pada dasarnya setiap orang mempunyai bakat atau potensi untuk mencapai prestasi belajar sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Karena itu, bakat juga diartikan sebagai kemampuan dasar individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa tergantung upaya pendidikan dan latihan. Individu yang telah mempunyai bakat tertentu, akan lebih mudah menyerap informasi yang berhubungan dengan bakat yang dimilikinya. Misalnya, siswa yang berbakat di bidang bahasa akan lebih mudah mempelajari bahasa-bahasa yang lain selain bahasanya sendiri.

Karena belajar juga dipengaruhi oleh potensi yang dimiliki setiap individu, maka para pendidik, orangtua, dan guru perlu memperhatikan dan memahami bakat yang dimiliki oleh anaknya atau peserta didiknya, antara lain dengan mendukung, ikut mengembangkan, dan tidak memaksa anak untuk memilih jurusan yang tidak sesuai dengan bakatnya.

Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan di sekitar.
Selain karakteristik siswa atau faktor-faktor eksogen, faktor-faktor eksternal juga dapat mempengaruhi proses belajar siswa. Dalam hal ini Syah (2008) menjelaskan bahwa faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi balajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan nonsosial.

1) Faktor lingkungan sosial
a) Lingkungan sosial sekolah
Lingkungan sosial sekolah, seperti guru, administrasi, dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi proses belajar seorang siswa. Hubungan harmonis antara ketiganya dapat menjadi motivasi bagi siswa untuk belajar lebih baik di sekolah. Perilaku yang simpatik dan dapat menjadi teladan seorang guru atau administrasi dapat menjadi pendorong bagi siswa untuk belajar.

b) Lingkungan sosial masyarakat
Kondisi lingkungan masyarakat tempat tinggal siswa akan mempengaruhi belajar siswa. Lingkungan siswa yang kumuh, banyak pengangguran dan anak terlantar juga dapat mempengaruhi aktivitas belajar siswa, paling tidak siswa kesulitan ketika memerlukan teman belajar, diskusi, atau meminjam alat-alat belajar yang kebetulan belum dimilikinya.

c) Lingkungan sosial keluarga
Lingkungan ini sangat mempengaruhi kegiatan belajar.
Ketegangan keluarga, sifat-sifat orangtua, demografi keluarga (letak rumah), pengelolaan keluarga, semuannya dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Hubungan antara anggota keluarga, orangtua, anak, kakak, atau adik yang harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik.

2) Faktor lingkungan nonsosial
Seperti kondisi udara yang segar, tidak panas dan tidak dingin, sinar yang tidak terlalu silau/ kuat, atau tidak terlalu lemah/ gelap, suasana yang sejuk dan tenang. Lingkungan alamiah tersebut merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas belajar siswa. Sebaliknya, bila kondisi lingkungan alam tidak mendukung, proses belajar siswa akan terhambat.

c. Faktor instrumental
Yaitu perangkat belajar yang dapat digolongkan dua macam. Pertama, hardware, seperti gedung sekolah, alat-alat belajar, fasilitas belajar, lapangan olah raga dan lain sebagainya. Kedua, software, seperti kurikulum sekolah, peraturan-peraturan sekolah, buku panduan, silabus dan lain sebagainya.

d. Faktor pendekatan belajar (approach to learning)
Yakni upaya siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran.

Pendekatan belajar dapat dipahami sebagai segala cara atau strategi yang digunakan siswa dalam menunjang efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran materi tertentu. Strategi dalam hal ini berarti seperangkat langkah operasional yang direkayasa sedemikian rupa untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan belajar tertentu.

Faktor pendekatan belajar juga berpengaruh terhadap taraf keberhasilan proses pembelajaran siswa, karena seorang siswa yang terbiasa mengaplikasikan pendekatan belajar deep misalnya, akan berpeluang untuk meraih prestasi belajar yang bermutu daripada siswa yang menggunakan pendekatan belajar surface atau reproductive.

Ada bermacam-macam pendekatan belajar dari paling klasik sampai yang modern:
1) Pendekatan Hukum Jost
Menurut pendekatan hukum jost, siswa yang lebih sering mempraktekkan materi pelajaran akan lebih mudah memanggil kembali memori lama yang berhubungan dengan materi yang sedang ia tekuni. Berdasarkan asumsi hukum jost belajar dengan kiat 4 x 2 adalah lebih baik daripada 2 x 4 walaupun hasil perkalian kedua tersebut sama. Maksudnya mempelajari sebuah materi khususnya yang panjang dan kompleks dengan alokasi waktu 2 jam perhari selama 4 hari akan lebih efektif daripada mempelajari materi tersebut dengan alokasi waktu 4 jam, sehari tetapi hasilnya hanya selama 2 hari.

Perumpamaan pendekatan belajar dengan cara mencicil seperti contoh di atas hingga kini masih dipandang cukup berhasil guna terutama untuk materi-materi yang bersifat hafalan.

2) Pendekatan Billard dan Clancy
Menurut pendekatan Billard dan Clancy, pendekatan belajar siswa pada umumnya dipengaruhi oleh sikap terhadap ilmu pengetahuan (attitude to knowledge). Ada dua macam siswa dalam menyikapi ilmu pengetahuan yaitu: Sikap melestarikan apa yang sudah ada (conserving) dan sikap memperluas (extending)

3) Pendekatan Biggs
Pendekatan belajar siswa dapat dikelompokkan ke dalam tiga prototype (bentuk dasar), yaitu:
  • Pendekatan surface (permukaan atau bersifat lahiriyah),
  • Pendekatan deep (mendalam),
  • Pendekatan achieving (pencapaian prestasi tinggi) 
Siswa yang menggunakan pendekatan surface misalnya, mau belajar karena dorongan dari luar (ekstrinsik) antara lain takut tidak lulus dan mengakibatkan dia malu. Oleh karena itu gaya belajarnya nyantai, asal hafal dan tidak mementingkan pemahaman yang mendalam.

Sedangkan siswa yang menggunakan deep biasanya mempelajari materi karena memang ia tertarik dan mereka membutuhkannya (intrinsik). Oleh karena itu, gaya belajarnya serius dan berusaha memahami materi secara mendalam serta memikirkan cara mengaplikasikannya. Bagi siswa ini, lulus dengan nilai baik adalah penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah memiliki pengetahuan yang cukup banyak dan bermanfaat bagi kehiupannya.

Sementara itu, siswa yang menggunakan pendekatan achieving pada umumnya dilandasi oleh motif ekstrinsik yang berciri khusus yang disebut ego-enhancement yaitu ambisi pribadi yang besar dalam meningkatkan prestasi keangkuhan dirinya dengan cara meraih indeks prestasi setinggi-tingginya. Gaya belajar siswa ini lebih serius daripada siswa-siswa yang memakai pendekatan-pendekatan lainnya.

Dia memiliki keterampilan belajar (study skill) dalam arti sangat cerdik dan efisien dalam mengatur ruang kerja, waktu, dan penelaahan isi silabus. Baginya berkompetisi dengan teman-teman dalam meraih nilai tertinggi adalah penting, sehingga ia sangat disiplin, rapi dan sistematis serta berencana maju ke depan.

Untuk melengkapi penjelasan mengenai protipe-protipe pendekatan belajar yang dikembangkan Biggs, berikut ini penulis sajikan sebuah tabel perbandingan.

Tipe-Tipe Hasil Belajar PAI
Dalam proses belajar, seorang guru harus mengetahui tipe-tipe hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa. Agar seorang guru dapat merancang/ mendesain pengajaran secara tepat dan penuh arti. Setiap proses belajar-mengajar keberhasilannya diukur dari seberapa jauh hasil belajar siswa yang telah mereka capai, di samping diukur dari segi prosesnya. Artinya seberapa jauh tipe hasil belajar dimiliki siswa. Tipe hasil belajar harus nampak dalam tujuan pengajaran, sebab tujuan itulah yang akan dicapai dalam proses belajar mengajar.

a. Tipe hasil belajar bidang kognitif
Tipe ini terbagi menjadi 6 poin, yaitu tipe hasil belajar :
  1. Pengetahuan hafalan (Knowledge), yaitu pengetahuan yang sifatnya faktual. Merupakan jembatan untuk menguasai tipe hasil belajar lainnya.
  2. Pemahaman (Comprehention), kemampuan menangkap makna atau arti dari suatu konsep 
  3. Penerapan (aplikasi), yaitu kesanggupan menerapkan dan mengabtraksikan suatu konsep, ide, rumus, hukum dalam situasi yang baru, misalnya memecahkan persoalan dengan menggunakan rumus tertentu.
  4. Analisis, yaitu kesanggupan memecahkan, mengurai suatu intergritas (kesatuan yang utuh) menjadi unsur-unsur atau bagian-bagian yang mempunyai arti, atau mempunyai tingkatan hierarki.
  5. Sintesis, yaitu kesanggupan menyatukan unsur atau bagian menjadi satu integritas.
  6. Evaluasi, yaitu kesanggupan memberikan keputusan tentang nilai sesuatu berdasarkan pendapat yang dimilikinya dan kriteria yang dipakainya.
b. Tipe hasil belajar afektif
Bidang afektif di sini berkenaan dengan sikap. Bidang ini kurang diperhatikan oleh guru, tetapi lebih menekankan bidang kognitif. Hal ini didasarkan pada pendapat beberapa ahli yang mengatakan, bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya, bila seseorang telah menguasai bidang kognitif tingkat tinggi.

Beberapa tingkatan bidang afektif sebagai tujuan dan tipe hasil belajar dari yang sederhana ke yang lebih komplek yaitu: 
  1. Receiving atau attending, yakni semacam kepekaan dalam menerima rangsangan dari luar yang datang pada siswa, baik dalam bentuk masalah situasi dan gejala.
  2. Responding atau jawaban, yakni reaksi yang diberikan seseorang terhadap stimulus dari luar .
  3. Valuing atau penilaian, yakni berhubungan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala stimulus.
  4. Organisasi, yakni pengembangan nilai ke dalam sistem organisasi, termasuk menentukan hubungan satu nilai dengan nilai lainnya dan kemantapan prioritas yang dimilikinya .
  5. Karakteristik nilai atau internalisasi, yakni keterpaduan dari semua nilai yang dimiliki seseorang yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya.
c. Tipe hasil belajar bidang psikomotor
Hasil belajar bidang psikomotorik tampak dalam bentuk keterampilan, kemampuan bertindak individu. Ada 6 tingkatan keterampilan yaitu :
  1. Gerakan refleks yaitu keterampilan pada gerakan tidak sadar.
  2. Keterampilan pada gerakan-gerakan dasar.
  3. Kemampuan pesreptual termasuk di dalamnya membedakan visual, auditif, motorik, dan lain-lain. 
  4. Kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan keharmonisan dan ketetapan.
  5. Gerakan-gerakan skill, mulai dari dari keterampilan sederhana sampai pada keterampilan yang kompleks .
  6. Kemampuan yang berkenaan dan komunikasi non decursive seperti gerakan ekspresif, interpretatif.
Indikator Hasil Belajar PAI
Pada prinsipnya, pengungkapan hasil belajar ideal meliputi segenap ranah psikologis yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa.

Namun demikian, pengungkapan perubahan tingkah laku seluruh ranah itu, khususnya ranah rasa murid, sangat sulit. Hal ini disebabkan perubahan hasil belajar itu ada yang bersifat intangible (tidak dapat diraba). Oleh karena itu, yang dapat dilakukan guru dalam hal ini adalah hanya mengambil cuplikan perubahan tingkah laku yang dianggap penting dan diharapkan dapat mencerminkan perubahan yang terjadi sebagai hasil belajar siswa, baik yang berdimensi cipta dan rasa maupun yang berdimensi karsa.

Kunci pokok untuk memperoleh ukuran dan data hasil belajar siswa sebagaimana yang terurai di atas adalah mengetahui garis-garis besar indikator (penunjuk adanya prestasi tertentu) dikaitkan dengan jenis prestasi yang hendak diungkapkan dan diukur.

Batas Minimal Hasil Belajar PAI
Setelah mengetahui indikator hasil belajar di atas, guru perlu pula mengetahui bagaimana kiat menetapkan batas minimal keberhasilan belajar para siswanya. Hal ini penting karena mempertimbangkan batas terendah prestasi siswa yang dianggap berhasil dalam arti luas bukanlah perkara mudah. Keberhasilan dalan arti luas berarti keberhasilan yang meliputi ranah cipta, rasa dan karsa siswa.

Ranah-ranah psikologis, walaupun berkaitan satu sama lain, kenyataannya sukar diungkap sekaligus bila hanya melihat perubahan yang terjadi pada salah satu ranah. Contoh: seorang siswa yang memiliki nilai tinggi dalam bidang studi agama Islam, misalnya belum tentu rajin beribadah shalat.

Sebaliknya siswa lain yang hanya mendapat nilai cukup dalam bidang studi tersebut, justru menunjukkan perilaku yang baik dalam kehidupan beragama sehari-hari.

Jadi, nilai hasil evaluasi sumatif “X” dalam raport, misalnya mungkin secara afektif dan psikomotor “X-” atau “X+”. Inilah tantangan berat yang harus dihadapi oleh para guru sepanjang masa. Untuk menjawab tantangan ini guru seyogyanya tidak hanya terikat oleh kiat penilaian yang bersifat kognitif, tetapi juga memperhatikan kiat penilaian afektif dan psikomotor siswa.

Menetapkan batas minimum keberhasilan belajar siswa selalu berkaitan dengan upaya pengungkapan hasil belajar. Ada beberapa alternatif norma pengukuran tingkat keberhasilan siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar. 

Di antara norma-norma pengukuran tersebut ialah:
a. Norma skala angka dari 0 sampai 10.
b. Norma skala angka dari 0 sampai 100.

Angka terendah yang menyatakan kelulusan/ keberhasilan belajar (passing grade) skala 0-10 adalah 5,5 atau 6, sedangkan bentuk untuk skala 0-100 adalah 55 atau 60. Alhasil pada prinsipnya jika seorang siswa dapat menyelesaikan lebih dari separuh tugas atau dapat menjawab lebih dari setengah instrument evaluasi dengan benar, maka ia dianggap telah memenuhi target minimal keberhasilan belajar.

Pengertian Efektifitas Menurut Ahli

Pengertian Efektifitas 
Secara harfiah efektivitas sama dengan keefektifan. Menurut Kaluge & Bert (2005) istilah “pembelajaran efektif”tidak lazim digunakan. Yang kerap dipakai ialah ‘keefektifan mengajar’ dan ‘keefektifan pendidikan’. Tetapi keefektifan pendidikan tidak menunjukkan elemen pendidikan yang dimaksudkan: pendidikan pada level sekolah, kebijakan pendidikan, sistem pendidikan ataukah pendidikan pada level ruang kelas. Istilah ‘keefektifan pengajaran’ memberikan tekanan pada pendidikan di level ruang kelas, yang terutama dipengaruhi sebagian besar oleh perlakuan guru. 

Keefektifan berhubungan dengan tujuan atau sasaran yang ditentukan sejak awal yang dapat diukur dengan tes prestasi, baik berupa kognitif, afektif maupun psikomotor. Faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan pembelajaran tidak hanya disebabkan oleh faktor guru dan kurikulum. Banyak faktor lain, mulai dari kondisi di kelas sampai aktivitas-aktivitas guru bisa mempengaruhi prestasi siswa atau menjelaskan perbedaan prestasi siswa termasuk status sosial ekonomi, etnis dan jender.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan efektifitas tersebut dapat disimak pada pendapat Samsons, et al dan Krech. Samsons, et al., (Macbeath & Peter, 2005) menyebutkan 11 faktor yang berkaitan dengan efektivitas yakni: (1) kepemimpinan profesional, (2) visi dan tujuan bersama, (3) situasi lingkungan pembelajaran, (4) konsentrasi pada belajar dan mengajar, (5) harapan tinggi, (6) dorongan positif, (7) memonitor kemajuan, (8) hak dan kewajiban murid, (9) pengajaran yang punya tujuan, (10) suatu organisasi pembelajaran, dan (11) kemitraan sekolah rumah. Sedangkan Krech (Sudarwan Danim, 2004: 119) menyebutkan bahwa secara umum ukuran efektivitas kelompok adalah: (1) jumlah hasil yang bisa dikeluarkan oleh kelompok, (2) tingkat kepuasan yang diperoleh oleh anggota kelompok, (3) produk kreatif kelompok, dan (4) intensitas emosi yang dicapai oleh seseorang karena dia menjadi anggota kelompok.

Untuk memperoleh hasil belajar yang efektif, guru harus mempunyai pengetahuan yang baik mengenai matari yang diajarkan, keterampilan bertanya yang baik, strategi pengelompokan yang seimbang, tujuan pembelajaran yang jelas, manajemen waktu yang baik, perencanaan yang efektif, dan organisasi kelas yang baik. Primary Matters (Muijs & Reinol, 2005: 3) mengikhtisarkan faktor-faktor efektifitas guru mengajar yang berhubungan dengan hasil belajar yang positif secara umum yaitu: 1) good subject knowledge, 2) good questioning skills, 3) an emphasis upon instruction, 4) a balance of grouping strategies, 5) clear objectives, 6) good time management, 7) effective planning, 8) good claasroom organization, and 9) effective use of other adults in the claasroom. 

Kaluge & Bert (2005) memandang adanya hubungan antara karakteristik formal dan keefektifan pembelajaran. Hubungan itu memperlihatkan adanya: (1) konsistensi artinya bahwa pada level sekolah syarat-syarat keefektifan pembelajaran berada pada level yang sama dengan yang lainnya, (2) kohesi artinya semua anggota tim sekolah memperlihatkan konsistensi dari karakteristik, (3) konstansi berarti bahwa pembelajaran efektif disiapakan selama kegiatan para siswa seluruhnya disekolah, dan (4) kontrol yang bukan hanya mengacu pada evaluasi dari perkembangan siswa dan prilaku guru tetapi juga adanya keterlibatan iklim sebuah sekolah yang menentukan hasil pembelajaran.

Borich (Muijs & Reinol, 2005) menyebutkan bentuk-bentuk perilaku guru yang efektif dalam konteks social-ekonomi rendah yaitu: 
1. generating a warm and supportive climate by letting children know help is available
2. getting a response, any response, before moving on to the next bit of material
3. showing how bits fit together before moving on
4. emphasizing knowledge and applications before abstraction, putting the concrete first
5. giving immediate help ( through use of peers perhaps)
6. generating strong structure, ground-flow and well-planned transitions
7. the use of individually differentiated material
8. the use of the experiences of pupils.

Perilaku guru yang dimaksud di atas adalah: 1) menciptakan iklim yang sangat suportif dengan memberitahu anak-anak bahwa bantuan selalu siap diberikan kepada mereka, 2) mendapatkan respons sebelum melanjutkan kebagian materi berikutnya, 3) menunjukkan bagaimana bagian-bagian materi itu berkaitan satu sama lain sebelum melanjutkan pelajaran, 4) menekankan pengetahuan dan aplikasi sebelum menuju abstraksi, yang kongkrit lebih didahulukan, 5) memberikan pertolongan segera ( mungkin dengan memanfaatkan sesame murid), 6) menciptakan transisi yang memiliki struktur yang kuat, berjalan lancer dan terencana dengan baik, 7) menggunakan bahan yang dideferensiasikan secara indifidual, dan 8) memanfaatkan pengalaman anak.

Studi tentang efektivitas pembelajaran pada umumnya bertolak pada dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Sehubungan dengan itu, Sudarwan Danin (2004) menyebutkan bahwa studi tentang efektivitas kelompok bertolak dari telaah terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi efektivitas kelompok. Variabel yang dimaksud meliputi: variabel bebas (independent variable) adalah variabel pengelola yang mempengaruhi veriabel terikat dan bersifat given pada kelompok, variabel terikat (dependent variable) adalah variabel yang dikelola yang dipengaruhi atau dapat diikat oleh variabel lain terutama variabel bebas, variabel perantara (interdependent variable) adalah variabel yang dapat ditentukan oleh suatu proses individu atau kelompok yang turut menentukan efek variabel bebas.

Menurut Mortimore (Muijs & Reinol, 2005) menyebutkan bahwa pada ditingkat kelas karakteristik guru yang efektif adalah: 
1. teachers having responsibility for ordering activities during the day for pupils, i.e. structured teaching
2. pupils having some responsibility for their work in independence within these sessions
3. teacher covering only one curriculum area at a time
4. high levels of interaction with the whole class
5. teacher providing ample, challenging work
6. high levels of pupil involvement in tasks
7. a positive atmosphere in the classroom
8. teacher showing high levels of praise and encouragement.

Dari pendapat di atas, dapat tegaskan bahwa ada 8 (delapan) karakter guru yang efektif dalam kelas. Kedelapan karakter tersebut adalah yaitu: 1) guru bertanggung jawab memerintahkan berbagai kegiatan selama jam sekolah, yakni mengajar yang terstruktur, 2) murid memiliki tanggung jawab atas tugasnya dan bersikap mandiri selama sesi-sesi tugas tersebut, 3) setiap giru hanya mengampu satu bidang kurikulum saja, 4) interaksi yang tinggi dengan seluruh kelas, 5) guru memberikan banyak tugas yang menantang, 6) keterlibatan murid yang tinggi diberbagi tugas, 7) atmosfer yang positif di kelas, dan 8) guru menunjukan penghargaan dan dorongan yang besar kepada anak didiknya.

Efektifitas kelompok dalam mencapai tujuan pembelajaran sangat tergantung pada karakteristik perseorangan tiap anggota yang membentuk kelompok dan pola kepribadian siswa yang membentuk kelompok. Sehubungan dengan itu, Schutz (Sudarwan Danim, 2004) menyimpulkan bahwa ada pengaruh kompabilitas kelompok terhadap produktifitas sangat positif. Produktifitas meningkat sejalan dengan meningkatnya kerumitan tugas sebaliknya pada pemecahan masalah yang sederhana, yang tidak memerlukan kerja sama antar anggota, tidak terdapat perbedaan yang nyata. Makin rumit masalah yang dihadapi didalam pekerjaan, makin nyata bahwa kelompok yang kompatibel lebih baik penampilannya daripada yang tidak kompatibel.

Dalam proses pembelajaran guru hendaknya memiliki keterampilan dasar yang berhubungan dengan mata pelajaran yang diajarkan. Kaluge & Bert (2005) menyebutkan bahwa guru yang efektif dalam pengajaran harus memiliki keterampilan dasar dalam menyusun pengalaman belajar, mempersiapkan rencana pembelajaran, memberikan pengajaran secara detail dan jelas, memberikan sejumlah pertanyaan, memberikan umpan balik, koreksi dan mempunyai target keberhasilan siswa sebesar 80% atau lebih terutama pada awal belajar, membagi tugas kepada rincian pekerjaan-pekerjaan lebih kecil, dan menemukan cara untuk mengontrol secara teratur, memberikan praktik yang berkelanjutan kepada siswa sehingga siswa berhasil antara 90 – 100% dan lebih cepat. 

Karakteristik guru yang efektif diatas dapat dibandingkan dengan pendapat Borich. Guru yang efektif menurut Borich (2000) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) mempunyai tanggung jawab personal pada pembelajaran dan harapan positif pada setiap siswa, 2) mengetahui kesulitan pelajaran sesuai tingkat kemampuan siswa untuk mendapatkan kesuksesan yang tinggi, 3) memberi kesempatan pada siswa untuk berlatih dan umpan balik, 4) memaksimalkan waktu yang diberikan, 5) memberikan arah dan kendali atas pembelajaran siswa melalui bertanya, menyusun, dan memeriksa, 6) dapat menggunakan berbagai materi pembelajaran secara visual dan verbal untuk membantu perkembangan ide-ide siswa, 7) Meminta respon siswa pada setiap pertanyaan sebelum melanjutkan pada pertanyaan berikutnya, 8) Mempersentasikan materi secara bertahap dan memberi kesempatan berlatih pada siswa, 9) Memberi kesempatan pada siswa untuk ber-argumen dan menjabarkan dengan benar, 10) Menempatkan siswa dalam pertanyaan dan jawaban verbal, 11) menciptakan dialog kelas yang terjadi secara alami 12) memberikan tanggung jawab belajar kepada siswa agar berani berpikir untuk memecahankan masalah dan membuat keputusan, 13) Meberikan siswa strategi-strategi mental untuk memilah-milah dan mempelajari materi yang diajarkan.

Mortimore (Muijs & Reinol, 2005) menyimpulkan bahwa factor-faktor kelas yang memberikan kontribusi pada hasil yang efektif pada murid adalah sesi yang terstruktur, cara mengajar yang menantang secara intelektual, lingkungan yang berorientasi- tugas, komunikasi antara guru dengan murid dan focus yang terbatas disetiap sesi. Sehubungan dengan itu Witcher, et al. (2007) dalam penelitianya menggambarkan persepsi siswa tentang karakteristik guru efektif yang mangajar pada perguruan tinggi yaitu: 1) guru yang dapat menjadi komonikator bagi siswa yakni guru yang peka, dapat menjadi penghubung dan penyampai , 2)guru yang dapat menyokong siswa yang dapat berpusat pada siswa secara profesinal, 3) bertanggung jawab dan dapat bertindak sebagai pemimpin yang dapat mengarahkan secara etis dan (4) mempunyai antusias untuk memberdayakan siswa dan dirinya sendiri sesuai keahlian yang dimiliki.

Pembelajaran IPS
Pembelajaran merupakan suatu proses terjadinya interaksi belajar dan mengajar dalam suatu kondisi tertentu yang melibatkan beberapa unsur, baik unsur intrinsik maupun ekstrinsik yang melekat pada siswa dan guru termasuk lingkungan. Pengertian ini sejalan dengan penegasan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Undang-Undang, 2003) yang menyebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

Sehubungan dengan itu, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Peraturan Pemerintah, 2005) mengamanahkan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselengarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotifasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif. Peraturan Pemerintah tersebut memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologi peserta didik.

Siswa sebagai peserta didik yang berada dalam suatu kelompok atau kelas pembelajaran, belum tentu memiliki kemampuan dan karakteristi yang sama. Oleh karena itu, dalam memnyusun perencanaan pembelajaran guru perlu melakukan analisis kemampuam awal dan karakteristik siswa. Dalam melakuka analisis karakteristik siswa menurut Suwardi (2007) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: 1) karakteristik siswa yang terkait denagan kemampuan intelektual, kemampuan berpikir, mengucap dan kemampuan psikomornya, 2) karakteristik siswa yang terkait dengan latar belakang siswa, baik latar belakang ekonomi, sosia dan budaya, dan 3) karakteristik siswa yang terkait dengan sikap, perasaan dan minatnya.

Dalam proses pembelajaran akan ada hasil yang diharapkan. Gagne (Seifert: 2007) menyebutkan lima kategori umum kecakapan dalam pembelajaran sebagai hasil akhir pembelajaran yakni kecakapan intelektual, strategi-strategi kognitif, kecakapan verbal, kecakapan motorik dan kecakapan sikap. Agar pembelajaran lebih efektif, Muijs & Reinol (2005) menyebutkan 6 (enam) elemen utama agar pembelajaran berlangsung efektif yaitu: 1) mempunyai sruktur yang jelas, 2) materinya dipersentasikan secara terstrutur dan jelas, 3) pembelajaran dirancang untuk memberikan keterampilan dasar dengan kecepatan langkah yang telah ditentukan, 4) mendemonstrasikan model pembelajaran secara jelas dan terstruktur, 5) menggunakan pemetaan konseptual dan 6) interaksi tanya jawab.

Hamilton & Elizabeth (1994) mendefinisikan pembelajaran sebagai “learning is a relatively permanent change in an individual’s knowlegde or behavior that results from previous experience”. Definisi ini mengandung pengertian bahwa pembelajaran merupakan perubahan dalam pengetahuan atau prilaku, perubahan yang ditimbulkan oleh pembelajaran relatif permanen dan pembelajaran timbul dari pengalaman sebelumnya.

Kimbles (Hergenhahn &, Olson: 1997) memberikan definisi bahwa learning is a realitively permanent change in behavior or in behavioral potentiality that results from experience and cannot be attributed to temporaly body states such as those induced by illness, fatigue, or drugs. Senada dengan itu, Hergenhahn & Olson (1997: 7) memandang bahwa learning, as we have seen, is a general term that is used to describe changes in behavior potentiality resulting from experience. Kedua pendapt tersebut memandang bahwa dalam pembelajaran terjadi perubahan tingkah laku yang relatif pemanen sebagai hasil pengalaman.

Pembelajaran dapat muncul dalam tiga bentuk. Bruner (Seifert, 2007) membedakan antara bentuk enaktif yakni pembelajaran yang dilakukan dengan cara memanipulasi objek secara aktif, ikonik yakni pembelajaran yang dilakukan melalui representasi gambaran yang diperoleh dari pengalaman inderawi dan simbolik adalah pembelajaran yang dilakukan melalui representasi pengalaman yang abstrak yang sama sekali tidak memiliki kesamaan fisik dengan pengalaman tersebut.

Hamza B Uno, (2007) menyebutkan bahwa secara umum strategi pembelajaran terdiri atas 5 komponen, yaitu: 1) kegiatan pembelajaran pendahuluan, 2) penyampaian informasi, 3) partisipasi peserta didik, 4) tes, dan 5) kegiatan lanjutan. Selanjutnya Hamzah B.Uno, (2007) mengklasifikasikan tiga model atau pendekatan pembelajaran sosial yaitu: 1) model pembelajaran bermain peran, 2) model pembelajaran bermain sosial dan 3) model telaah atau kajian yurisprudensi. 

Dari tiga pendekatan pembelajaran di atas, dapat dijelaskan bahwa strategi pembelajaran dan model pembelajaran sangat berpengaruh terhadap hasil pembelajaran. strategi pembelajan harus diciptakan sedemikian rupa sehingga anak didik bisa tertarik dan menyenangkan untuk belajar. Model pembelajaran juga harus tepat disesuakan dengan materi dan tidak monoton. Keadaan seperti ini akan mengarah pada pencapaian hasil pembelajaran yang efektif.

Orlich, et al., (2007) menyebutkan bahwa langkah-langkah pembelajaran yang efektif adalah: 
  1. give the directions; get the class’s attention, deliver the directions in brief steps (both orally and in writing), explain expectations-what students willproduce and when, ask a student to restate the directions and expectations, and repeat the directions
  2. follow up the directions; closely monitor selected individuals until satisfied that the directions are understood and being applied and if the class or an individual student is having a problem, point out a positive example as an alternative to the problem.
Pendapat di atas menyebutkan dua langkah pembelajaran yang efektif yaitu memberikan petunjuk dan tindak lanjut. Dalam memberikan petunjuk, kegiatan yang dilakukan adalah menarik perhatian siswa, menyampaikan tujuan pembelajaran, menjelaskan harapan dan tujuan pembelajaran, memimta siswa untuk mengemukakan harapan dan tujuan pembelajaran, dan menjelaskan kembali tujuan pembelajaran. Pada tahap tindak lanjut, guru dapat mengawasi siswa sehingga mengerti tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, bila siswa memiliki permasalahan, guru memberikan contoh positif sehingga dapat memecahkan masalah tersebut.

Dalam melaksanakan pembelajaran, guru harus mempunyai manejemen kelas yang efektif. Muijs & Reinol (2005) menyebutkan 10 elemen majemen kelas yang efektif yaitu: 1) starting the lesson, 2) Appropriate seating arrangements, 3) dealing with eksternal disruptions, 4) establishing clear rules and procedures, 5) smooth transitions between lesson segments, 6) pupil talk, 7) giving homework assignments, 8) maintaining momentum during the lesson, 9) downtime and 10) ending the lesson.

Menurut Dick, Carrey & Carrey (2005) langkah-langkah yang harus dilakukan dalam proses pembelajaran adalah: (1) identify instructional goals, (2) conduct instructional analysis, (3) analyze learners and contexts, (4) write performance objectives, (5) develop essessment instruments, (6) develop instructional stategy, (7) develop and select instructional materials, (8) design and conduct formative evaluation of instructional (9) revise instruction, (10) design and conduct summative evaluation.

Pada dasarnya pendapat di atas mengisyaratkan bahwa dalam mengajar seorang guru harus membuat langkah-langkah pembelajaran. Langkah-langkah yang dimaksud adalah mengidentifikasi tujuan umum pembelajaran, melaksanakan analisis pembelajaran, menganalisis karakter siswa sebagai pembelajar, merumuskan tujuan pencapaian pembelajaran, menyusun instrumen penilaian, mengembangkan strategi pembelajaran, mengembangkan dan menyeleksi materi pembelajaran, merancang dan melaksanakan evaluasi formatif pembelajaran, merevisi pembelajaran dan merancang / melaksanakan evaluasi sumatif.

Gagne (Joyce, et al., 1992) menyebutkan enam ragam pencapaian yang merupakan hasil dari pembelajaran yaitu specific responding, chaining, multiple discrimination, classifying, rule using, dan problem solving. Pernyataan tersebut mengandung pengertiaan bahwa hasil yang diharapkan dalam proses pembelajaran adalah dapat memberikan tanggapan khusus terhadap stimulus tertentu, membuat serangkaian respons yang saling berkaitan, digunakan dalam mempelajari beragam respon dengan cara memilahnya dengan benar, memasukan objek kedalam kelas atau golongan yang menunjukan kesamaan fungsi, kemampuan untuk bertindak berdasarkan konsep yang mengimplikasikan perbuatan dan pemecahan masalah.

Sejalan dengan itu, Wina Sanjaya (2006) menyebutkan bahwa terdapat 4 faktor yang mempengaruhi kegiatan proses pembelajaran yaitu: (1) guru, yang merupakan komponen yang sangat menentukan dalam implementasi suatu strategi pembelajaran, (2) siswa, merupakan organisme yang unik yang berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya yang dipengaruhi pupil formative experiences dan pupil properties, (3) sarana dan prasana, misalnya media pembelajaran, perlengkapan sekolah, jalan menuju sekolah, kamar kecil dan lain-lain, dan (4) faktor lingkungan, yang terdiri dari organisasi kelas dan iklim sosial-psikologis.

Sebelum melaksanakan pembelajaran seorang guru telebih dahu menyiapkan desain pembelajaran, yang berisi antara lain: standar kompetensi, kompetensi dasar, materi, kegiatan belajar mengajar, (metode, media, dan waktu) serta Sistem penilaian. Broderick’s (Kanuka, 2006) memberikan definisi desain pembelajaran sebagai berikut:

Instructional Design is the art and science of creating an instructional environment and materials that will bring the learner from the state of not being able to accomplish certain tasks to the state of being able to accomplish those tasks. Instructional Design is based on theoretical and practical research in the areas of cognition, educational psychology, and problem solving (http://www.usq.edu.au/electpub/e-jist/docs/vol9_no2/papers/fullpapers/ kanuka.htm)

Definisi di atas mengandung pengertian bahwa desain pembelajaran merupakan seni dan ilmu pengetahuan dalam menciptakan lingkungan dan materi pembelajaran yang akan membawa siswa dari keadaan tidak mampu menyelesaikan soal-soal tertentu kepada keadaan mampu menyelesaikan soal-soal tersebut. Desain pembelajaran didasarkan pada penelitian teoritis dan praktis di dalam area kognitif, psikologi pendidikan, dan pemecahan masalah.

Mukminan (2006) menyebutkan setidaknya terdapat lima asumsi dasar yang mendasari perlunya desain pembelajaran. Lima asumsi dasar tersebut adalah: (1) diarahkan untuk membantu proses belajar secara individual, (2) desain pembelajaran mempunyai fase-fase jangka pendek dan jangka panjang, (3) dapat mempengaruhi perkembangan individu secara maksimal, (4) didasarkan pada pengetahuan tentang cara belajar manusia, dan (5) dilakukan dengan menerapkan pendekatan sistem (system approach). 

Gagne & Briggs (1979) menyebutkan 4 tingkatan dan meliputi 14 langkah desain pembelajaran yaitu: 1) tingkat sistem, meliputi: (a) menganalisis kebutuhan-kebutuhan, tujuan umum, dan prioritas. (b) analisis sumber, hambatan, dan alternatif sistem peluncuran. (c) Penentuan lingkup dan urutan kurikulum dan matapelajaran, serta desain sistem peluncuran; 2) tingkat mata pelajaran, meliputi: (d) menentukan struktur matapelajaran dan urutan. (e) analisis tujuan matapelajaran; 3) tingkat mata sajian, meliputi: (f) pendefinisian tujuan penampilan. (g) mempersiapkan rencana matasajian. (h) mengembangkan, memilih bahan, media. (i) menilai penampilan mahasiswa; dan 4) tingkat sistem, meliputi, (j) persiapan pengajar. (k) evaluasi formatif. (l) uji coba lapangan dan revisi. (m) evaluasi sumatif. (n) pelaksanaan dan difusi.

Mukminan (2006) menyebutkan bahwa untuk mengembangkan sebuah desain pembelajaran diperlukan 8 langkah sebagai berikut: (a) identifikasi kebutuhan instruksional dan menulis standar kompetensi dan kompetensi dasar, (b) melakukan analisis instruksional/kompetensi, (c) mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa, (d) menulis indikator ketercapaian kompetensi, (e) menulis tes acuan patokan, (f) menyusun strategi instruksional, (g) mengembangkan bahan ajar, dan (h) mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif. 

Selain desain pembelajaran, faktor lain yang dapat mendukung tercapainya tujuan pembelajaran adalah media yang digunakan. Rudy Bretz (Aristo Rahadi, 2003) mengidentifikasi jenis media berdasarkan tiga unsur pokok, yaitu suara, visual, dan gerak. Berdasarkan ketiga unsur tersebut, kemudian diklasifikasikan ke dalam delapan kelompok, yakni: (1) media audio, (2) media cetak, (3) media visual diam, (4) media visual gerak, (5) media audio semi gerak, (6) media semi gerak, (7) media audio visual diam, dan (8) media audio visual gerak.

Media pembelajaran yang digunakan juga harus dievaluasi. Azhar Arsyad (2006) berpendapat bahwa evaluasi terhadap media pembelajaran memiliki tujuan untuk: (1) menentukan keefektifan media pembelajaran, (2) menentukan apakah media pembelajaran dapat diperbaiki atau ditingkatkan, (3) menetapkan apakah media pembelajaran tersebut memiliki cost-effective bagi hasil belajar siswa, (4) memilih media pembelajaran yang akan digunakan di kelas, (5) menentukan apakah isi/materi pelajaran sudah tepat jika disajikan dengan media pembelajaran tersebut, (6) menilai kemampuan guru dalam menggunakan media pembelajaran, (7) mengetahui apakah media pembelajaran benar-benar memberi sumbangan terhadap hasil belajar, dan (8) mengetahui sikap siswa terhadap media pembelajaran. 

Mukminan (2006) memberikan beberapa kriteria yang dapat dijadikan pedoman dalam memilih model desain pembelajaran yang akan digunakan, yaitu: 1) sederhana, artinya bentuk yang sederhana menjadi lebih mudah dimengerti, diiukti, dan dipahami, 2) lengkap, artinya model pengembangan desain yang lengkap paling tidak mengandung tiga unsur pokok identifikasi, pengembangan, dan evaluasi, 3) diterapkan, bahwa model pengembangan pembelajaran hendaknya dapat diterima dan diterapkan (applicable), sesuai dengan situasi dan kondisi setempat 4) luas, artinya model pengembangan pembelajaran hendaknya memiliki jangkauan yang luas, dan 5) teruji, artinya model pengembangan pembelajaran telah teruji/terbukti dapat memberikan hasil yang baik.

Agar pemanfaatan media pembelajaran dapat memberi hasil yang optimal terhadap hasil belajar siswa, menurut Azhar Arsyad (2006) pemilihan media harus mempertimbangkan enam kriteria. Keenam kriteria tersebut adalah: (1) sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, (2) tepat untuk mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta, konsep, prinsip atau generalisasi, (3) praktis, luwes, dan bertahan, (4) guru terampil menggunakannya, (5) pengelompokan sasaran, dan (6) mutu teknis 

Aristo Rahadi (2003) menyebutkan ada beberapa prinsip umum dalam memanfaatkan media dalam pembelajaran. Prinsip umum yang dimaksud adalah: (1) setiap jenis media memiliki kelebihan dan kelemahan, (2) penggunaan beberapa macam media secara bervariasi memang perlu, (3) penggunaan media harus dapat memperlakukan siswa secara aktif, (4) sebelum media digunakan harus direncakan secara matang dalam menyusun rencana pembelajaran, (5) hindari penggunaan media yang hanya dimaksudkan sebagai selingan atau sekedar pengisi waktu kosong saja, dan (6) harus senantiasa dilakukan persiapan yang cukup sebelum penggunaan media. 

Dalam hubungannya dengan IPS sebagai mata pelajaran terpadu Marwati (2006) menyebutkan bahwa model pembelajaran terpadu di dalam lintas peserta didik meliputi: model sequenced yaitu model yang beberapa topik diatur ulang serta diurutkan, model shared yaitu dua mata pelajaran yang sama-sama diajarkan dengan menggunakan konsep-konsep atau keterampilan-keterampilan yang tumpang tindih (overlap), model webbed atau model tematik karena berawal dari tema yang dibangun bersama-sama antara guru dengan siswa atas dasar beberapa topik pada beberapa mata pelajaran yang berhubungan, model threaded yaitu pendekatan metakurikuler dan model integrated yaitu guru masing-masing mata pelajaran bekerjasama melihat dan memberikan topik-topik yang berkaitan dan tumpang tindih.

Mukminan (2006) menyebutkan bahwa pembelajaran IPS secara terpadu penting karena: (1) beranjak dari suatu tema tertentu sebagai gejala-gejala dan konsep lain, (2) menghubungkan berbagai bidang yang mencerminkan dunia nyata di sekeliling dalam rentang kemampuan dan perkembangan siswa, (3) merupakan cara untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan anak secara simultan dan (4) merakit atau menggabungkan sejumlah konsep dalam beberapa bidang yang berbeda dengan harapan anak akan belajar dengan baik dan bermakna.

Setelah melaksanakan pembelajaran, guru dapt mengadakan evaluasi sebagai bentuk penilaian hasil belajar siswa. Menurut Suwardi (2007) bahwa penilaian yang dilakukan oleh guru harus berpegang pada prinsip-prinsip penilaian yaitu valid, mendidik, berorientasi pada kompetensi, adil, terbuka, berkesinambungan, menyeluruh dan bermakna. Sehubungan dengan itu, Abdul majid (2007) menyebutkan langkah-langkah dalam mengadakan penilaian melalui pengukuran skala sikap yaitu: 1) menentukan obyek sikap yang akan dikembangkan skalanya, misalnya mata pelajaran Agama Islam, 2) memilih dan membuat daftar dari konsep dan kata sifat yang relevan dengan obyek penilaian sikap. Misalnya menarik; penting; menyenangkan; mudah dipelajari; dan sebagainya,3) Memilih kata sifat yang tepat dan akan digunakan dalam skala dan 4) menentukan rentang skala pasangan dan penskorannya.

Grondlund (Muijs & Reinol, 2005) menyebutkan lima prinsip agar tes buatan guru efektif. Kelima prinsip tersebut adalah: 1) tes seharusnya dikonstruksikan untuk sedapat mungkin mengukur semua tujuan belajar yang akan dicapai, 2) tes yang baik seharusnya mencakup berbagai tipe pengetahuan yang berbeda, seperti pengetahuan faktual, pengetahuan prosedural, danketerampilan berpikir, 3) tipe item tes yang berbeda cocok untuk tujuan yang berbeda pula, 4) guru seharusnya berusaha memaksimalkan reliabilitas dan validitas tesnya, 5) tes seharusnya digunakan secara diagnortik, murid-murid diberi umpan-balik dan membahas soal-soal bersama murid-murid.

IPS merupakan mata pelajaran yang memadukan konsep-konsep dasar dari berbagai ilmu sosial yang disusun melalui pendekatan pendidikan dan psikologis serta kelayakan dan kebermaknaannya bagi siswa dalam kehidupannya. Fakih Samlawi & B. Maftuh (1998) menyebutkan bahwa ilmu-ilmu sosial (khususnya ilmu sejarah, geografi, ilmu ekonomi/koperasi, ilmu politik dan pemerintahan, sosiologi, antropologi dan psikologi sosial), sangat berperan dalam mendukung mata pelajaran IPS dengan memberikan sumbangan berupa konsep-konsep ilmu yang diubah sebagai “pengetahuan” yang berkaitan dengan kehidupan sosial yang harus dipelajari siswa.

Muhammad Numan Somantri (2001) membedakan ilmu sosial sebagai ilmu yang diorganisasikan secara sistematis dan dibangun melalui penyelidikan ilmiah dan penelitian yang sudah direncanakan, Sedangkan !PS terdiri atas bahan pilihan yang sudah disederhanakan dan diorganisasikansecara psikologis dan ilmiah untuk kepentingan tujuan pendidikan. Senada dengan itu, Craib (Zaini Hasan dan Salladin, 1996: 10) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ilmu sosial adalah pengetahuan yang terorganisir mengenai manusia dan masyarakat sekelilingnya. 

Sehubungan dengan itu, Jarolimek (1986) berpendapat bahwa tujuan IPS adalah “The major mission of social studies education is to help children learn about the social world in which they live and how it got that way, to learn to cope with social realities, and to develop the knowledge, attitudes, and skill needed to help shape an enlightened humanity”. Pernyataan ini mengandung makna bahwa IPS dapat membantu siswa agar mampu menghadapi dan mengatasi permasalahan sosial serta mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, dan berperan serta dalam kehidupan sosial. 

Muhammad Numan Somantri (2001) merumuskan batasan dan tujuan IPS adalah penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial, psikologi, filsafat, ideologi negara dan agama yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. Dalam pembelajarannya, Zaini Hasan dan Salladin (1996) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran pengetahuan sosial pada hakekatnya adalah membentuk siswa agar memiliki rasa integritas sosial yang tinggi, memahami, dan mematuhi nilai-nilai sosial yang berlaku serta memiliki kesadaran untuk ikut mengatasi masalah-masalah sosial yang tengah terjadi di masyarakat. 

Menurut Bart dan Shernis (Mukminan, et al., 2002), yang dikaji dalam IPS adalah: (1) pengetahuan, (2) pengolahan informasi, (3) telaah nilai dan keyakinan, dan (4) Peran serta dalam kehidupan. Keempat komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak berdiri sendiri dan terpisahkan tetapi merupakan komponen yang saling berhubungan satu sama lain. Zaini Hasan dan Salladin (1996) menyebutkan tujuan IPS adalah mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan sosial dalam bentuk konsep dan pengalaman belajar yang dipilih dan terorganisir dalam rangka kajian ilmu sosial. 

The NCSS ( 1992) merumuskan Ilmu Pengetahuan Sosial (Social Studies) sebagai berikut.
Social Studies is the integrated study of social sciences and humanities to promote civics competence. Within the school program, social studies provides coordinated systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of the social studies is to help young people develop the ability to make informated and reasonsed decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world. (http://www.socialstudies.org/standards/introduction/). 

Definisi di atas menegaskan Ilmu pengetahuan social merupakan studi terintegrasi dari ilmu-ilmu sisial untuk mengembangkan potensi kewarganegaraan yang dikoordinasikan dalam program sekolah sebagai pembahasan sistematis yang dibangun di atas disiplin ilmu seperti antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu-ilmu politik, psikologi, agama sosilogi, dan memuat isi humaniora, mate-matika, dan ilmu-ilmu alam. Tujuan utama dari Ilmu Pengetahuan Sosial adalah membantu siswa atau peserta didik dalam mengembangkan kemampuan untuk membuat keputusan yang kritis (informed and reasons) dan bagimana menjadi warga negara yang baik. Ilmu Pengetahuan Sosial mengandung komponen-komponen dasar (basic skills) yang harus dimiliki dan dicapai dalam Ilmu Pengetahuan Sosial yakni Keterampilan Berpikir (dimensi intelektualitas), kemampuan mengadakan penyelidikan/pencarian (inkuiri), keterampilan akademik dan keterampilan sosial.

Mukminan (2002) menyebutkan bahwa fungsi Ilmu Pengetahuian Sosial adalah: (1) membentuk dan merumuskan nilai-nilai moral/etik, (2) membentuk watak dan mental manusia Indonesia dalam rangka mempersiapkannya untuk mampu berani hidup secara penuh mandiri, (3) membentuk dan meningkatkan kecerdasan individu dan masyarakat. 

Savage & Armstrong (1996) berpendapat bahwa dalam merencanakan pembelajaran IPS di sekolah dasar, hendaknya berpedoman pada tiga fungsi IPS di sekolah dasar yaitu sebagai citizenship education, history and social science education, reflektif thinking and problem-solving education. Ini berarti IPS di sekolah dasar bertujuan mengajarkan pendidikan kewarganegaraan, sejarah dan ilmu-ilmu sosial, dan berbikir reflektif dan pemecahan masalah.

Dalam proses pembelajaran, seorang guru hendaknya mengetahui tugas pokok sesuai dengan bidang yang diajarkan. Sehubungan dengan itu, Ellis (1998) menyebutkan bahwa guru IPS yang baik sekurang-kurangnya mempunyai dua belas kompetensi yaitu: (1) use a variety of teaching strategies, (2) build bridges to other subjects, (3) teach to the real world, (4) emphasize hands-on experiences, (5) keep the focus on people, (6) gather materials, (7) encourage reflective thinking, (8) teach values, (9) give students freedom, (10) create a sense of place, (11) promote success and (12) reward excellence. 

Dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial, siswa diharapkan mencapai kompetensi-kompetensi tertentu. Menurut Zamroni (2007) kompetensi yang dimaksud adalah: (a).memahami makna persaingan dalam era global yang melahirkan paradigma produktifitas baru, (b) dapat mengikuti perkembangan yang ada, (c) dapat memanfaatkan perkembangan global guna kebutuhan lokal, (d) dapat mengembangkan sosial kapital dan (e) dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Jarolimek (1986) menyebutkan bahwa karakteristik mata pelajaran IPS yang baik adalah: 1) subjek berasal dari berbagai latar belakang social dan dari pengalaman anak-anak 2) sebuah perspektif global adalah pemikiran yang nyata, 3) banyak aktifitas yang muncul dari banyak partisipasi pelajar, 4) penggunaan sumber-sumber pembelajaran yang bervariasi, 5) aplikasi dari apa yang dipelajari diciptakan sebagai tempat di luar sekolah melalui aksi social, 6) berpikir dikatakan sebagai konsentrasi utama dari pembelajaran social, 7) Keberagaman ditekankan, dan peran serta dari berbagai kebudayaan ditekankan, 8) Sebuah usaha yang berimbang diciptakan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan dan nilai-nilai, 9) Gambaran sejati dari realita sosial diberikan sebagai fokus masyarakat kota yang lebih besar, 10) Rasisme, gender, dan stereotipe ras dan peran seksual merupakan konsentrasi tetap dari program ini, 11) Banyak pilihan tersedia bagi guru dalam berbagai program, teks-teks, materi-materi, dan strategi-strategi mengajar.

Forum Komunikasi II HISPISI tahun 1991 di Yogyakarta menyepakati pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial. Dalam rumusan versi Pendidikan Dasar dan Menengah: ”IPS adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.” Sedangkan menurut definisi dari FPIPS dan JPIPS, IPS adalah: ”seleksi dari disiplin ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. Kedua definisi ini memperlihatkan dimensi yang penting dari Ilmu Pengetahuan Sosial yaitu sebuah program pendidikan yang mengintegrasikan secara interdisipliner konsep-konsep ilmu sosial dan humaniora untuk tujuan Pendidikan Kewarganegaraan. 

Dalam kaitannya dengan rana pembelajaran Bloom (Mukminan, 2002) berpendapat bahwa tujuan pengajaran IPS mencakup tiga kompetensi dasar yakni: (1) kompetensi kognitif terdiri dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisa, sintesis dan evaluasi; (2) kompetensi afektif terdiri dari penerimaan, jawaban atau sambutan, penghargaan, pengorganisasian, karakteristik nilai; dan (3) kompetensi psikomotor terdiri dari penginderaan, kesiapan bertindak, respons atau sambutan terbimbing, mekanisme atau tindakan yang otomatis, keterampilan yang dilakukan secara hati-hati, adaptasi, dan keaslian.

Perkembangan ilmu-ilmu sosial menuntut adanya perubahan dalam praktik pembelajarannya. Zamroni (2007) memandang bahwa perubahan yang diperlukan mencakup: (1) dunia pendidikan harus segera meninggalkan sistem manajemen komando yang sentralistis, (2) dunia pendidikan harus mulai menekankan pada kultur sekolah sehingga memungkinkan warga sekolah untuk bekerja terbaik guna prestasi terbaik, dan (3) prestasi tidak hanya dalam aspek intelektual yang ditunjukkan oleh nilai ujian tetapi juga aspek personal dan social serta keterampilan. Menurut Shaver (Zamroni, 2007) bahwa pada hakekatnya pengajaran ilmu-ilmu sosial mempunyai tiga fungsi yakni sebagai suatu proses untuk membentuk warga negara yang baik, sebagai bentuk kajian ilmu sosial, dan sebagai bentuk proses untuk mengembangkan watak pencarian dan mempertanyakan secara kritis.

Dufty (Zaini Hasan dan Salladin, 1996) menyebutkan 4 (empat) ciri-ciri ilmu sosial. Ciri-ciri yang dimaksud adalah: 1) ilmu sosial merupakan ilmu pengetahuan yang terorganisir yang mengkaji hubungan-hubungan antar manusia, 2) pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan valid dan dapat diteliti, dalam arti terbuka untuk dukaji ulang dengan metoda yang sama, 3) teori serta konsep pengetahuan ini diperoleh dari kajian ilmiah, melalui tahapan-tahapan masalah/pertanyaan, hipotesis, pengumpulan data, dan menganalisis data setelah diukur tingkat validitas maupun reabilitasnya, 4) muara dari kegiatan penelitian diatas dapat digunakan secara generalisasi mendapatkan teori, konsep, hukum maupun dalil dalam pengetahuan sosial. 

Dalam Permendiknas No 22 Tahun 2006 ditegaskan bahwa struktur kurikulum SD/MI meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama enam tahun mulai Kelas I sampai dengan Kelas VI. Struktur kurikulum SD/MI disusun berdasarkan standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran dengan ketentuan sebagai berikut.

a. Kurikulum SD/MI memuat 8 mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri. 
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan. 

Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik.

b. Substansi mata pelajaran IPA dan IPS pada SD/MI merupakan “IPA Terpadu” dan “IPS Terpadu”.
c. Pembelajaran pada Kelas I s.d. III dilaksanakan melalui pendekatan tematik, sedangkan pada Kelas IV s.d. VI dilaksanakan melalui pendekatan mata pelajaran. 

d. Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan.

e. Alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 35 menit. 
f. Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34-38 minggu.

Pengertian Dan Pemberdayaan Masyarakat Menurut Ahli

Pengertian Pemberdayaan Masyarakat 
Istilah pemberdayaan masyarakat yang sering digunakan sebagai terjemahan dari “empowerment” mulai ramai digunakan dalam bahasa sehari-hari di Indonesia bersama-sama dengan istilah “pengentasan kemiskinan” (poverty alleviation) sejak digulirkannya Program Inpres No. 5/1993 yang kemudian lebih dikenal sebagai Inpres Desa Tertinggal (IDT). Sejak itu, istillah pemberdayaan dan pengentasan-kemiskinan (poveerty alleviation) merupakan “saudara kembar” yang selalu menjadi topik dan kata-kunci dari upaya pembangunan

Hal itu, tidak hanya berlaku di Indonesia, bahkan World Bank dalam Bulletinnya Vol. 11 No.4/Vol. 2 No. 1 October-Desember 2001 telah menetapkan pemberdayaan sebagai salah satu ujung-tombak dari Strategi Trisula (three-pronged strategy) untuk memerangi kemiskinan yang dilaksanakan sejak memasuki dasarwarsa 1990-an, yang terdiri dari: penggalakan peluang (promoting opportunity) fasilitasi pem-berdayaan (facilitating empowerment) dan peningkatan keamanan (enhancing security).

Menurut definisinya, oleh Mas’oed (1990), pemberdayaan diartikan sebagai upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau kekuatan (strengthening) kepada masyarakat. 

Sehubungan dengan pengertian ini, Sumodiningrat (1997) mengarti-kan keberdayaan masyarakat sebagai kemampuan individu yang bersenyawa dengan masyarakat dalam membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat dengan keberdayaan yang tinggi, adalah masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, dan memiliki nilai-nilai intrinsik yang juga menjadi sumber keberdayaan, seperti sifat-sifat kekeluargaan, kegotong-royongan, dan (khusus bagi bangsa Indonesia) adalah keragaman atau kebhinekaan.

Keberdayaan masyarakat, adalah unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat mampu bertahan (survive) dan (dalam pengertian yang dinamis) mampu mengembangkan diri untuk mencapai tujuan-tujuannya. Karena itu, memberdayakan masyarakat merupakan upaya untuk (terus menerus) meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat “bawah” yang tidak mampu melepaskan diri dari perang-kap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, pember-dayaan masyarakat adalah meningkatkan kemampuan dan meningka-kan kemandirian masyarakat. Sejalan dengan itu, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat (miskin) untuk berpartisipasi, bernegosiasi, mempengaruhi dan mengendalikan kelembagaan masyarakatnya secara bertanggung-gugat (accountable) demi perbaikan kehidupannya 

Empowerment atau pemberdayaan secara singkat dapat diartikan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice) serta kemampuan dan keberanian untuk memilih (choice) alternatif perbaikan kehidupan yang terbaik . 

Karena itu, pemberdayaan dapat diartikan sebagai proses terencana guna meningkatkan skala/upgrade utilitas dari obyek yang diberdayakan. Dasar pemikiran suatu obyek atau target group perlu diberdayakan karena obyek tersebut mempunyai keterbatasan, ketidakberdayaan, keterbelakangan dan kebodohan dari berbagai aspek. Oleh karenanya guna meng-upayakan kesetaraan serta untuk mengurangi kesenjangan diperlukan upaya merevitalisasi untuk mengoptimalkan utilitas melalui penambahan nilai. 

Penambahan nilai ini dapat mencakup pada ruang bidang aspek sosial, ekonomi, kesehatan, politik dan budaya. Tentang hal ini, World Bank (2001) memberikan beberapa alternatif dalam fasilitasi pemberdayaan (facilitating empowerment) yang dapat dilakukan pemerintah, melalui:
  1. Basis politik dan hukum yang transparan, serta memberikan ruang gerak bagoi demokratisasi dan mekanisme partisipatip dalam pengambilan keputusan, dan pemantauan implementasi kegiatan.
  2. Peningkatan pertumbuhan dan pemerataan administrasi publik yang bertanggung-gugat (accountability) dan responsif terhadap penggunanya.
  3. Menggerakkan desentralisasi dan pengembangan-masyarakat yang memberikan kesempatan kepada “kelompok miskin” untuk melakukan kontrol terhadap semua bentuk layanan yang dilak-sanakan. Desentralisasi itu sendiri harus mampu bekerjasaman dengan mekanisme lain untuk menggerakkan partisipasi serta pemantauan lembaga pemerintah oleh setiap warga-negara.
  4. Menggerakkan kesetaraan gender, baik dalam kegiatan ekonomi maupun dalam kelembagaan politik.
  5. Memerangi hambatan-sosial (social barrier), terutama yang me-nyangkut bias-bias etnis, rasial, dan gender dalam penegakan hukum.
  6. Mendukung modal-sosial yang dimiliki kelompok-miskin, terutama dukungan terciptanya jejaring agar mereka keluar dari kemiskinannya.
Dalam hubungan ini, lemabaga pemerintah perlu meningkatkan aksesibbilitas kelompok miskin terhadaop: organisasi-perantara, pasar global, dan lembaga-lembaga publik.

Bentuk, jenis dan cara pemberdayaan masyarakat atau penguatan masyarakat (strengthening community) sangat beragam, yang hanya berwujud jika ada kemauan untuk mengubah struktur masyarakat (Adam Malik dalam Alfian, 1980). 

Karena itu, usaha untuk mengentaskan masyarakat dari lembah kemiskinan secara hakiki sama sulitnya dengan usaha memberdaya-kan mereka. Tugas itu bukanlah pekerjaan mudah yang bersifat instant (segera dapat dilihat hasilnya). 

Pengalaman menunjukkan, upaya-upaya pengentasan kemiskinan seringkali menghadapi kendala-kendala yang sangat besar, yang berupa:

1) Usaha-usaha untuk menghambat usaha-usaha untuk membela orang-kecil atau orang miskin, yaitu:
a) lemahnya komitmen (khususnya) aparat pemerintah untuk memihak dan membela orang miskin.
b) rendahnya kepedulian untuk memperhatikan orang miskin
c) ketidak-mampuan memahami (kehidupan) orang miskin, ter-utama yang terkait dengan persepi dan asumsi-asumsi tentang “karakteristik” orang-miskin.

2) Kendala yang ada di (lingkungan) orang-miskin, yaitu:
a) kendala fisik alamiah, yang menyangkut kondisi sumberdaya-alam tempat mereka (orang miskin) tinggal, seperti: kesuburan lahan, rawan bencana-alam, dll.
b) Kendala struktural yang bersumber (terutama) pada struktur sosial dalam masyarakatnya; dan kendala-kultural yang (seolah-olah) menyerah terhadap nasib (Alfian, 1980).
c) Kendala sistemik dari kemiskinan, yaitu berlang-sungnya suatu pola-pola (pengontrolan) tertentu terhadap sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang berlaku dalam masyarakat, yang disadari atau tidak, justru tidak selalu menguntungkan pihak-pihak yang telah berada pada posisi diuntungkan, seperti:
  • Kebijakan swa-sembada pangan (beras)
  • Kebijakan “pangan murah”
  • Prioritas pembangunan perkotaan
  • dll.
Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Dalam praktek pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh banyak pihak, seringkali terbatas pada pemberdayaan ekonomi dalam rangka pengentasan kemismkinan (poverty alleviation) atau penang-gulangan kemiskinan (poverty reduction). 

Karena itu, kegiatan pemnberdayaan masyarakat selalu dilakukan dalam bentuk pengembangan kegiatan produktif untuk peningkatan pendapatan (income generating).

Pemahaman seperti itu tidaklah salah, tetapi belum cukup. Sebab hakekat dari pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan kemampuan, mendorong kemauan dan keberanian, serta memberikan kesempatan bagi upaya-upaya masyarakat (setempat) untuk dengan atau tanpa dukungan pihak luar mengembangkan kemandiriannya demi terwujudnya perbaikan kesejahteraan (ekonomi, sosial, fisik dan mental) secara berkelanjutan

Mandiri di sini bukan berarti menolak bantuan ”pihak-luar” tetapi kemampuan dan keberanian untuk mengambil keputusan yang terbaik berdasarkan pertimbangan-pertimbangan: 
  1. Keadaan sumberdaya yang dimiliki dan atau dapat diman-faatkan
  2. Penguasaan dan kemampuan pengetahuan teknis untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi
  3. Sikap kewirausahaan dan ketrampilan manajerial yang dikuasai
  4. Kesesuaian sosial-budaya dan kearifan tradisional yang diwariskan serta dilestarikan secara turun-temurun
Untuk mewujudkan perbaikan kesejahteraan tersebut banyak upaya yang dapat dilakukan. Tetapi untuk mewujudkan ide men-jadi aksi mutlak diperlukan adanya legitimasi, baik dari jajaran birokrasi maupun tokoh-tokoh masyarakat (Beals and Bohlen, 1955). Sayangnya, dalam kehidupan masyarakat sering dijumpai ketidak-konsistenan dan ketidakpastian kebijakan yang lain (inconsistency and uncertainty policy), baik karena perubahan-perubahan tekanan ekonomi. maupun perubahan kondisi sosial-politik. Oleh sebab itu, pemberdayaan masyarakat tidak cukup hanya terbatas pada pening-katan pendapatan (income generating). Tetapi juga diperlukan advokasi hukum/kebijakan, bahkan pendidikan politik yang cukup untuk penguatan daya-tawar politis, kaitannya dengan pemberian legitimasi inovasi dan atau ide-ide perubahan yang akan ditawarkan melalui kegiatan penyuluhan (Gambar 13).

Artinya, tugas kegiatan penyuluhan pertanian sebagai proses pember-dayaan masyarakat tidak cukup hanya berbicara tentang inovasi teknis, perbaikan manajemen dan efisiensi usaha, tetapi harus juga mampu dan berani menyuarakan hak-hak politik petani (kecil) dan pemangku kepentingan yang lain, yang selama 40 tahun terakhir terus menerus dimarjinalkan oleh kebijakan dan kepentingan pemerintah yang sedang berkuasa. Hal ini penting, karena selama ini petani serta masyarakat kelas bawah yang lain lebih sering dijadikan kendaraan politik. Dengan kata lain, tanpa adanya upaya penyadaran dan penguatan daya saing politik, semua upaya penyuluhan/pem-berdayaan akan sia-sia belaka, karena tidak memperoleh legitimasi jajaran birokrasi ataupun elit/tokoh masyarakat.

Terkait dengan tugas penyuluhan/pemberdayaan masyarakat tersebut, harus diakui bahwa masyarakat lapisan bawah pada umumnya, sepanjang perjalanan sejarah selalu menjadi ”sub-ordinat” dari aparat birokrasi yang didukung dan atau memperoleh tekanan dari para politikus dan pelaku bisnis (Gambar . 
Gambar  Proses Pemberdayaan Masyarakat
Gambar  Masyarakat Kelas-bawah

Sebagai Sub-ordinat Politisi dan Pelaku Bisnis
Oleh sebab itu, ide-ide atau program dan kegiatan penyuluhan/ pemberdayaan masyarakat yang akan ditawarkan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat harus mampu mengakomodasikan kepentingan politikus (pilkada, pemilu, dan visi-misi pemerintah) dan pelaku bisnis (Gambar 15). 

Hal ini disebabkan karena antara politikus dan pelaku bisnis sebenar-nya ada kepentingan yang saling membu-tuhkan, yaitu: politikus membutuhkan ”biaya perjoangan”, sementara pelaku bisnis memer-lukan dukungan politik. Dengan kata lain, ide-ide, program dan kegiatan penyuluhan yang ditawarkan bukanlah sesuatu yang bebas nilai, melainkan harus mampu meyakinkan politikus maupun pelaku bisnis.tentang manfaat ekonomi dan politis yang kuat. 

Gambar Target Bisnis dan Politik Program Pembangunan

Aspek-aspek Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat sebagaimana yang tersirat dalam definisi yang diberikan, ditinjau dari lingkup dan obyek pemberdayaan mencakup beberapa aspek, yaitu:
  1. Peningkatan kepemilikan aset (sumberdaya fisik dan finansial) serta kemampuan (secara individual dan kelompok) untuk meman-faatkan aset tersebut demi perbaikan kehidupan mereka.
  2. Hubungan antar individu dan kelompoknya, kaitannya dengan pemilikan aset dan kemampuan memanfaatkannya.
  3. Pemberdayaan dan reformasi kelembagaan.
  4. Pengembangan jejaring dan kemitraan-kerja, baik di tingkat lokal, regional, maupun global
Unsur-unsur Pemberdayaan Masyarakat
Upaya pemberdayaan masyarakat perlu memperhatikan sedikitnya 4 (empat) unsur pokok , yaitu:
  1. Aksesibilitas informasi, karena informasi merupakan kekuasaan baru kaitannya dengan: peluang, layanan, penegakan hukum, efektivitas negosiasi, dan akuntabilitas.
  2. Keterlibatan atau partisipasi, yang menyangkut siapa yang dilibat-kan dan bagaimana mereka terlibat dalam keseluruhan proses pembangunan. 
  3. Akuntabilitas, kaitannya dengan pertanggungjawaban publik atas segala kegiatan yang dilakukan dengan mengatas-namakan rakyat.
  4. Kapasitas organisasi lokal, kaitannya dengan kemampuan bekerja-sama, mengorganisir warga masyarakat, serta memobilisasi sumberdaya untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi.
Syarat Tercapainya Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Untuk mencapai tujuan-tujuan pemberdayaan masyarakat terdapat tiga jalur kegiatan yang harus dilaksanakan, yaitu :
  1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Titik-tolaknya adalah, pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakatnya memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan.
  2. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya untuk mengembang-kannya.
  3. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering).
Dalam rangka ini, diperlukan langkah-langkah lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin dalam berdaya memanfaatkan peluang.

Memberdayakan mengandung pula arti melindungi, sehingga dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah agar tidak bertambah lemah. Karena itu, diperlukan strategi pembangunan yang memberikan perhatian lebih banyak (dengan mempersiapkan) lapisan masyarakat yang masih tertinggal dan hidup di luar atau di pinggiran jalur kehidupan modern. Srtrategi ini perlu lebih dikembangkan yang intinya adalah bagaimana rakyat lapisan bawah (grassroots) harus dibantu agar lebih berdaya, sehingga tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas produksi dan kemampuan masyarakat dengan memanfaat-kan potensi yang dimiliki, tetapi juga sekaligus meningkatkan kemam puan ekonomi nasional (Sumodiningrat, 1995) 

Upaya pemberdayaan masyarakat perlu mengikut-sertakan semua potensi yang ada pada masyarakat. Dalam hubungan ini, pemerintah daerah harus mengambil peranan lebih besar karena mereka yang paling mengetahui mengenai kondisi, potensi, dan kebutuhan masyarakatnya.

Penguatan Kapasitas Masyarakat
Penguatan kapasitas adalah proses peningkatan kemampuan indiividu, kelompok, organisasi dan kelembagaan yang lain untuk memahami dan melaksanakan pembangunan dalam arti luas secara berkelanjutan.

Dalam pengertian tersebut, terkandung pemahaman bahwa:
  1. Yang dimaksud dengan kapasitas adalah kemampuan (indiividu, kelompok, organisasi, dan kelembagaan yang lain) untuk menunjukkan/memerankan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan.
  2. Kapasitas bukanlah sesuatu yang pasif, melainkan proses yang berkelanjutan.
  3. Pengembangan kapasitas sumberdaya manusia merupakan pusat pengembangan kapasitas.
  4. Yang dimaksud dengan kelembagaan, tidak terbatas dalam arti sempit (kelompok, perkumpulan atau organisasi), tetapi juga dalam arti luas, menyangkut perilaku, nilai-nilai, dll.
Penguatan kapasitas untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat tersebut, mencakup penguatan kapasitas setiap individu (warga masyarakat), kapasitas kelembagaan (organisasi dan nilai-nilai perilaku), dan kapasitas jejaring (networking) dengan lembaga lain dan interaksi dengan sistem yang lebih luas. 

Sejalan dengan pemahaman tentang pentingnya pemberdayaan masyarakat, strategi pembangunan yang memberikan perhatian lebih banyak (dengan mempersiapkan) lapisan masyarakat yang masih tertinggal dan hidup di luar atau di pinggiran jalur kehidupan modern. Strategi ini perlu lebih dikembangkan yang intinya adalah bagaimana rakyat lapisan bawah (grassroots) harus dibantu agar lebih berdaya, sehingga tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas produksi dan kemampuan masyarakat dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki, tetapi juga sekaligus meningkatkan kemampuan ekonomi nasional.

Upaya pemberdayaan masyarakat perlu mengikutsertakan semua potensi yang ada pada masyarakat. Dalam hubungan ini, pemerintah daerah harus mengambil peranan lebih besar karena mereka yang paling mengetahui mengenai kondisi, potensi, dan kebu-tuhan masyarakatnya. 

Terkait dengan upaya penguatan kapasitas masyarakat yang dilakukan, keberhasilan proses dalam pemberdayaan masyarakat bukan merupakan keberhasilan pengelola atau fasilitator program, melainkan harus diakui oleh masyarakat sebagai keberhasilan usaha mereka sendiri, sebagaiama yang dikemukakan oleh Lao Tsu.

Gambar  Kredo Pemberdayaan Masyarakat

Obyek Pemberdayaan Masyarakat
Obyek atau target sasaran pemberdayaan dapat diarahkan pada manusia (human) dan wilayah/kawasan tertentu.

Pemberdayaan yang diarahkan pada manusia dimaksudkan untuk menaikkan martabatnya sebagai mahluk sosial yang berbudaya dan meningkatkan derajat kesehatannya agar mereka dapat hidup secara lebih produktif. Upaya ini dilakukan melalui serangkaian program penguatan kapasitas. 

Dalam kerangka perencanaan, penentuan kelompok sasaran pember-dayaan masyarakat dapat dilakukan dengan pendekatan umum (universal) dan pendekatan khusus (ideal). 

Secara universal, pemberdayaan diberikan kepada semua masyarakat. Keuntungan dari penedekatan ini mudah untuk diterapkan, namun kejelekan pendekatan ini adalah adanya disparitas atau kesenjangan pemahaman yang cukup tinggi. Sedangkan pendekatan ideal, menekankan bahwa pola pemberdayaan yang sesuai dengan klasifi-kasi strata masyarakat. Sedang syarat yang harus dipenuhi adalah kelengkapan indikator dan kejelasan mengenai kriteria materi pemberdayaan.

Indikator Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat
Indikator keberhasilan yang dipakai untuk mengukur pelaksanaan program-program pemberdayaan masyarakat mencakup:
  1. Jumlah warga yang secara nyata tertarik untuk hadir dalam tiap kegiatan yang dilaksanakan.
  2. Frekuensi kehadiran tiap-tiap warga pada pelaksanaan tiap jenis kegiatan.
  3. Tingkat kemudahan penyelenggaraan program untuk memper-oleh pertimbangan atau persetujuan warga atas ide baru yang dikemukakan.
  4. Jumlah dan jenis ide yang dikemukakan oleh masyarakat yang ditujukan untuk kelanaran pelaksanaan program.
  5. Jumlah dana yang dapat digali dari masyarakat untuk menunjang pelaksanaan program kegiatan.
  6. Intensitas kegiatan petugas dalam pengendalian masalah.
  7. Meningkat kapasitas skala partisipasi masyarakat 
  8. Berkurangnya masyarakat yang menderita 
  9. Meningkatnya kepedulian dan respon terhadap perlunya pening-katan mutu-hidup
  10. Meningkatnya kemandirian masyarakat.
Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Strategi pemberdayaan pada dasarnya mempunyai tiga arah. Pertama, pemihakan dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, pemantapan otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pemba-ngunan yang mengembangkan peran serta masyarakat. Ketiga, modernisasi melalui penajaman arah perubahan struktur sosial eko-nomi, budaya dan politik yang bersumber pada partisipasi masya-rakat.