Landasan Teoritis Teori Keagenan

Landasan Teoritis Teori Keagenan : Pentingnya praktek pengungkapan laporan keuangan oleh manajemen kepada pemegang saham didasarkan kepada teori keagenan (agency theory). Teori keagenan menjelaskan hubungan antara agent (agen yang mengatur manajemen sebuah usaha) dan principal (pemilik usaha). Teori keagenan menjelaskan berbagai konflik kepentingan dalam perusahaan baik antara manajer dengan pemegang saham, manajer dengan kreditur atau antara pemegang saham, kreditur dan manajer yang disebabkan adanya hubungan keagenan (agency relationship). 

Teori keagenan mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer sebagai agent dan pemilik sebagai principal. Asimetri informasi timbul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan dimasa yang akan datang, jika dibanding dengan pemegang saham dan stakeholders lainnya. Dalam hubungan tersebut menurut Jensen dan Meckling (1976) bahwa pengungkapan laporan keuangan yang lengkap akan mengurangi asimetri informasi tersebut. 


Laporan Keuangan 1) Pengertian Laporan Keuangan 
Laporan keuangan adalah bagian dari proses pelaporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara seperti misalnya sebagai laporan arus kas atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan (IAI, 2009:2). 

Tujuan Laporan Keuangan 
Tujuan umum laporan keuangan menurut Standar Akuntasi Keuangan No.1 paragraf 12 disebutkan bahwa ȅtujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomiȅ. 

Karakteristik Laporan Keuangan 
Karakteristik laporan keuangan menurut IAI (2009), yaitu: 
a. Dapat dipahami 
b. Relevan 
c. Keandalan 
d. Dapat dibandingkan 
e. Penyajian wajar 

Pengungkapan (Disclosure) dalam Laporan Keuangan 1) Pengertian Pengungkapan Laporan Keuangan 
Pengungkapan secara sederhana dapat diartikan sebagai pengeluaran informasi (the release of information). Akuntan cenderung menggunakan istilah ini dalam batasan yang lebih sempit, yaitu pengeluaran informasi tentang perusahaan dalam laporan keuangan (Hendriksen dan Breda, 2002:429). 

laporan keuangan menurut Chariri dan Ghozali (2007:382), antara lain: 
a) Memberikan informasi dalam mengambil keputusan secara rasional. 
b) Memberikan informasi untuk membantu menilai jumlah, pengakuan penerimaan kas. 
c) Memberikan informasi sumber ekonomi suatu perusahaan. 
d) Menyediakan informasi hasil usaha suatu perusahaan selama satu periode. 
e) Menyediakan informasi bermanfaat bagi manajer dan direktur 
f) Untuk membandingkan antar perusahaan dan antar tahun. 
g) Untuk menyediakan informasi aliran kas masuk dan keluar dimasa mendatang. 
h) Untuk membantu investor dalam menetapkan return dan investasinya 

Konsep Pengungkapan 
Menurut Hendriksen dan Breda (2002:432) ada tiga konsep pengungkapan yang umumnya diusulkan, yaitu : 
a) Pengungkapan Cukup 
Yaitu pengungkapan minimum yang disyaratkan oleh peraturan yang berlaku. 

b) Pengungkapan Wajar 
Pengungkapan yang wajar secara tidak langsung merupakan tujuan etis agar memberikan perlakuan yang sama kepada semua pemakai laporan keuangan menyediakan informasi yang layak terhadap pembaca potensial. 

c) Pengungkapan Penuh 
Menyangkut kelengkapan penyajian informasi yang diungkapkan secara relevan. 

Jenis Pengungkapan 
Darrough (2000) mengemukakan ada dua jenis pengungkapan , yaitu : 
a) Pengungkapan Wajib (mandatory disclosure) 
Merupakan pengungkapan minimum yang disyaratkan oleh standar akuntansi yang berlaku. 

b) Pengungkapan Sukarela (voluntary disclosure) 
Merupakan pengungkapan yang dilakukan sukarela oleh perusahaan tanpa diharuskan oleh peraturan yang berlaku. 

Kelengkapan Pengungkapan 
Kelengkapan (comprehensiveness) adalah suatu bentuk kualitas. Kualitas pengungkapan dapat diukur dan digunakan untuk menilai manfaat potensial isi suatu laporan keuangan. 

Faktor-Faktor Fundamental 1) Likuiditas Perusahaan 
Weston dan Brigham (1993:115) mendefinisikan rasio likuiditas sebagai rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek yang jatuh tempo. 

Leverage Perusahaan 
Leverage berkaitan dengan bagaimana perusahaan didanai, lebih banyak menggunakan utang atau modal yang berasal dari pemegang saham. 

Profitabilitas Perusahaan 
Menurut Brigham dan Houston (2001:89) profitabilitas adalah hasil bersih dari serangkaian kebijakan dan keputusan. 

Ukuran Perusahaan 
Ukuran perusahaan merupakan karakteristik suatu perusahaan dalam hubungannya dengan stuktur perusahaan (Lang dan Lundholm, 1996). 

Status Perusahaan 
Status perusahaan menunjukkan tingkat kepemilikan saham dalam suatu perusahaan. Status perusahaan terbagi dua, yaitu : Perusahaan berstatus asing dan perusahaan berstatus domestik. 

Umur Perusahaan 
Umur perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan dapat bertahan hidup dan menjalankan operasionalnya. 

Porsi Saham Publik 
Menurut Suta (2002:93) umumnya komposisi saham perusahaan yang telah go public, sekitar 70% saham masih dikuasai oleh founder dan 30% sisanya dimiliki oleh publik. 

Tinjauan Penelitian Terdahulu 
Wallace et al. (1994) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kelengkapan pengungkapan perusahaan dalam laporan tahunan. Berdasarkan perhitungan dengan analisis regresi linear berganda diperoleh hasil bahwa indeks kelengkapan pengungkapan secara signifikan berpengaruh positif dengan ukuran perusahaan dan status perusahaan. Ukuran perusahaan berhubungan positif dengan pengungkapan, karena perusahaan­perusahaan besar rata-rata cenderung berpotensi besar atas permintaan publik (publik banyak menginginkan informasi perusahaan tersebut). Oleh sebab itu, semakin besar ukuran perusahaan, semakin besar informasi yang perlu diungkapkan. Perusahaan yang berstatus asing lebih banyak mengungkapkan laporan keuangan dibandingkan dengan yang domestik. Alasannya karena perusahaan berstatus asing memiliki keahlian yang lebih baik dalam mengelola laporan keuangan sehingga informasi yang diungkapkan semakin lengkap. 


Marwata (2001) melakukan penelitian mengenai pengaruh ukuran perusahaan, likuiditas, dan status perusahaan terhadap tingkat kelengkapan pengungkapan pada laporan keuangan. Hasil pengujian menunjukkan hanya variabel ukuran perusahaan yang memiliki hubungan signifikan dengan kelengkapan pengungkapan. Marwata menyimpulkan bahwa perusahaan besar memiliki sumber daya yang besar yang mampu membiayai penyediaan informasi untuk keperluan internal, sehingga tidak perlu ada tambahan biaya yang besar untuk dapat melakukan pengungkapan dengan lebih lengkap. Sebaliknya, perusahaan dengan sumber daya yang relatif kecil mungkin tidak memilki informasi siap saji sebagaimana perusahaan besar. 


Penelitian yang dilakukan Subiyantoro (1996) meneliti sejauh mana karakteristik perusahaan memberi kontribusi terhadap tinggi rendahnya tingkat kelengkapan pengungkapan laporan keuangan tahunan perusahaan publik di Indonesia. Hasil pengujian menunjukkan bahwa hanya ada 3 karakteristik perusahaan yang berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kelengkapan pengungkapan wajib laporan tahunan yaitu :total aktiva, leverage dan likuiditas. Perusahaan dengan rasio leverage yang tinggi memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan informasi kreditur jangka panjang, sehingga perusahaan akan menyediakan informasi secara lebih lengkap. Kekuatan perusahaan yang ditunjukkan dengan rasio likuiditas tinggi akan berhubungan dengan tingkat pengungkapan tinggi. 


Naȃim dan Rakhman (2000) melakukan penelitian tentang analisis hubungan antara kelengkapan pengungkapan laporan keuangan dengan struktur modal dan tipe kepemilikan perusahaan. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa leverage keuangan memiliki hubungan yang signifikan terhadap indeks kelengkapan pengungkapan. Alasannya perusahaan dengan rasio hutang atas modal tinggi akan mengungkapkan lebih banyak informasi dalam laporan keuangan untuk memenuhi debitur jangka panjang dibandingkan perusahaan dengan rasio rendah. Di sisi lain tidak ditemukan adanya hubungan signifikan antara kepemilikan saham oleh publik dengan kelengkapan pengungkapan. Hal ini berarti bahwa tinggi rendahnya porsi saham publik tidak mempengaruhi kelengkapan pengungkapan laporan keuangan. 

Gunawan (2001) menganalisis tentang ȄPengungkapan Informasi 
Laporan Tahunan Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesiaȅ. Dari hasil pengujian firm size, dept to total assets, dan porsi saham publik didapat hasil yang signifikan. Ketiga variabel tersebut berarti mempengaruhi tingkat pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan. Semakin luas firm size, semakin tinggi dept to total assets, dan semakin besar porsi saham publik maka semakin lengkap pula pengungkapan informasi (2000) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kelengkapan pengungkapan laporan keuangan pada perusahaan manufaktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel profitabilitas dan porsi kepemilikan saham oleh investor luar (publik) secara signifikan positif mempengaruhi kelengkapan pengungkapan laporan keuangan pada perusahaan manufaktur. Profitabilitas yang tinggi akan mendorong para manager untuk memberikan informasi yang lebih rinci sebab mereka ingin meyakinkan investor terhadap profitabilitas perusahaan. Porsi saham publik berpengaruh positif, karena semakin besar porsi saham yang dimiliki oleh publik maka akan semakin banyak pula butir-butir pengungkapan laporan keuangan yang dituntut oleh para investornya, sehingga akan semakin tinggi kelengkapan penelitian tentang perbedaan tingkat kelengkapan pengungkapan wajib dan sukarela pada laporan keuangan. Dari penelitian disimpulkan bahwa terdapat faktor yang mempengaruhi kelengkapan pengungkapan wajib adalah ukuran perusahaan, status perusahaan, umur perusahaan, net profit margin. semakin lama perusahaan tersebut berdiri dan beroperasi, maka semakin banyak informasi laporan keuangan yang diungkapkan. Hal ini disebabkan karena perusahaan tersebut sudah memiliki banyak pengalaman dalam mengelola laporan keuangannya. 

Almilia dan Retrinasari (2003) meneliti pengaruh rasio likuiditas, rasio leverage, profitabilitas, ukuran perusahaan dan status perusahaan terhadap kelengkapan pengungkapan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 200 perusahaan selama tahun 2000-2002. Hasil penelitian bahwa tidak ada variabel yang mempengaruhi kelengkapan pengungkapan wajib laporan keuangan. Tingkat pengungkapan kemungkinan dapat meningkat, tetap atau menurun sejalan dengan struktur maupun kinerja perusahaan. Pada penelitian ini tingkat profitabilitas, ukuran perusahaan, status perusahaan leverage dan likuiditasnya rendah sehingga tidak mempengaruhi kelengkapan pengungkapan laporan keuangan.

Pengertian Geopolitik Menurut Ahli

Pengertian Geopolitik 
Geopolitik berasal dari dua kata, yaitu “geo” dan “politik“. Maka, Membicarakan pengertian geopolitik, tidak terlepas dari pembahasan mengenai masalah geografi dan politik. “Geo” artinya Bumi/Planet Bumi. Menurut Preston E. James, geografi mempersoalkan tata ruang, yaitu sistem dalam hal menempati suatu ruang di permukaan Bumi. Dengan demikian geografi bersangkut-paut dengan interrelasi antara manusia dengan lingkungan tempat hidupnya. Sedangkan politik, selalu berhubungan dengan kekuasaan atau pemerintahan.

Dalam studi Hubungan Internasional, geopolitik merupakan suatu kajian yang melihat masalah/hubungan internasional dari sudut pandang ruang atau geosentrik. Konteks teritorial di mana hubungan itu terjadi bervariasi dalam fungsi wilayah dalam interaksi, lingkup wilayah, dan hirarki aktor: dari nasional, internasional, sampai benua-kawasan, juga provinsi atau lokal.

Dari beberapa pengertian di atas, pengertian geopolitik dapat lebih disederhanakan lagi. Geopolitik adalah suatu studi yang mengkaji masalah-masalah geografi, sejarah dan ilmu sosial, dengan merujuk kepada percaturan politik internasional. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografi, yang mencakup lokasi, luas serta sumber daya alam wilayah tersebut. Geopolitik mempunyai 4 unsur pembangun, yaitu keadaan geografis, politik dan strategi, hubungan timbal balik antara geografi dan politik, serta unsur kebijaksanaan.

Negara tidak akan pernah mencapai persamaan yang sempurna dalam segala hal. Keadaan suatu negara akan selalu sejalan dengan kondisi dari kawasan geografis yang mereka tempati. Hal yang paling utama dalam mempengaruhi keadaan suatu negara adalah kawasan yang berada di sekitar negara itu sendiri, atau dengan kata lain, negara-negara yang berada di sekitar (negara tetangga) memiliki pengaruh yang besar terhadap penyelenggaraan suatu negara.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa terdapat dua golongan negara, yaitu golongan negara “determinis” dan golongan negara “posibilitis”. Determinis berarti semua hal yang bersifat politis secara mutlak tergantung dari keadaan Bumi/posisi geografisnya. Negara determinis adalah negara yang berada di antara dua negara raksasa/adikuasa, sehingga, secara langsung maupun tidak langsung, terpengaruh oleh kebijakan politik luar negeri dua negara raksasa itu.

Sebenarnya, faktor keberadaan dua negara raksasa, bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi keadaan suatu negara yang berada diantaranya. Faktor lain seperti faktor ideologi, politik, sosial, budaya dan militer, juga merupakan faktor yang mempengaruhi. Hanya saja, karena besarnya kekuasaan dua negara besar tersebut, maka keberadaannya menjadi faktor yang begitu dominan dalam mempengaruhi keadaan negara yang bersangkutan.

Golongan negara yang kedua adalah golongan negara posibilitis. Golongan ini merupakan kebalikan dari golongan determinis. Negara ini tidak mendapatkan dampak yang terlalu besar dari keberadaan negara raksasa, karena letak geografisnya tidaklah berdekatan dengan negara raksasa. Sehingga, faktor yang cukup dominan dalam mempengaruhi keadaan negara ini adalah faktor-faktor seperti ideologi, politik, sosial, budaya dan militer, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Tentunya, keberadaan negara-negara lain di sekitar kawasan tersebut juga turut menjadi faktor yang berpengaruh, hanya saja tidak terlalu dominan.

Geopolitik, dibutuhkan oleh setiap negara di dunia, untuk memperkuat posisinya terhadap negara lain, untuk memperoleh kedudukan yang penting di antara masyarakat bangsa-bangsa, atau secara lebih tegas lagi, untuk menempatkan diri pada posisi yang sejajar di antara negara-negara raksasa.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keadaan geografi suatu negara sangat mempengaruhi berbagai aspek dalam penyelenggaraan negara yang bersangkutan, seperti pengambilan keputusan, kebijakan politik luar negeri, hubungan perdagangan dll. Maka dari itu, muncullah organisasi-organisasi internasional yang berdasarkan pada keberadaannya dalam suatu kawasan, seperti ASEAN, Masyarakat Ekonomi Eropa, The Shanghai Six dll. Komunitas-komunitas internasional ini berperan dalam hal kerjasama kawasan, penyelesaian masalah bersama, usaha penciptaan perdamaian dunia, dll.

Hal ini berkaitan langsung dengan peranan-peranan geopolitik. Adapun peranan-peranan tersebut adalah: 
  • Berusaha menghubungkan kekuasaan negara dengan potensi alam yang tersedia; 
  • Menghubungkan kebijaksanaan suatu pemerintahan dengan situasi dan kondisi alam; 
  • Menentukan bentuk dan corak politik luar dan dalam negeri; 
  • Menggariskan pokok-pokok haluan negara, misalnya pembangunan; 
  • Berusaha untuk meningkatkan posisi dan kedudukan suatu negara berdasarkan teori negara sebagai organisme, dan teori-teori geopolitik lainnya; 
  • Membenarkan tindakan-tindakan ekspansi yang dijalankan oleh suatu negara. 
Wawasan Nusantara sebagai Geopolitik Indonesia
Cara pandang suatu bangsa memandang tanah air dan beserta lingkungannya menghasilkan wawasan nasional. Wawasan nasional itu selanjutnya menjadi pandangan atau visi bangsa dalam menuju tuannya. Namun tidak semua bangsa memiliki wawasan nasional Inggris adalah salah satu contoh bangsa yang memiliki wawasan nasional yang berbunyi” Britain rules the waves”. Ini berarti tanah inggris bukan hanya sebatas pulaunya, tetapi juga lautnya. Adapun bangsa Indonesia memiliki wawasan nasional yaitu wawasan nusantara.

Apakah wawasan Nusantara itu? Secara konsepsional wawasan nusantara (Wasantara) merupakan wawasan nasionalnya bangsa Indonesia. Perumusan wawasan nasional bangsa Indonesia yang selanjtnya disebut Wawasan Nusantara itu merupakan salah satu konsepsi politik dalam ketatanegaraan Republik Indonesia.

Sebagai Wawasan nasional dari bangsa Indonesia naka wilayah Indonesia yang terdiri dari daratan, laut dan udara diatasnya dipandang sebagai ruang hidup (lebensraum) yang satu atau utuh. Wawasan nusantara sebagai wawasan nasionalnya bangsa Indonesia dibangunatas pandangan geopolitik bangsa. Pandangan bangsa Indonesia didasarkan kepada konstelasi lingkungan tempat tinggalnya yang menghasilakan konsepsi wawasan Nusantara. Jadi wawasan nusantara merupakan penerapan dari teori geopolitik bangsa Indonesia.

Wawasan Nusantara berasal dari kata Wawasan dan Nusantara. Wawasan berasal dari kata wawas (bahasa Jawa) yang berarti pandangan, tinjauan atau penglihatan indrawi. Selanjutnya muncul kata mawas yang berarti memandang, meninjau atau melihat. Wawasan artinya pandangan, tujuan, penglihatan, tanggap indrawi. Wawasan berarti pula cara pandang, cara melihat.

Nusantara berasal dari kata nusa dan antara. Nusa artinya pulau atau kesatuan kepulauan. Antara artinya menunjukkan letak anatara dua unsur. Nusantara artinya kesatuan kepulauan yang terletak antara dua benua, yaitu benua Asia dan Australia dan dua samudera, yaitu Samudera Hindia dan Pasifik. Berdasarkan pengertian modern, kata “Nusantara” digunakan sebagai pengganti nama Indonesia.

Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya sebagai negara kepulauan dengan semua aspek kehidupan yang beragam. Atau cara pandang dan sikap bangsa Indonesia menganai diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayahh dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Kedudukan wawasan nusantara adalah sebagai visi bangsa. Visi adalah keadaan atau rumusan umum mngenai keadaan yang dinginkan. Wawasan nasional merupakan visi bangsa yang bersangkutan dalam menuju masa depan. Visi bangsa Indonesia sesuaidengan konsep wawasan Nusantara adalah menjadi bangsa yang satu dengan wilayah yang satu dan utuh pula. 

Latar Belakang Konsepsi Wawasan Nusantara
Latar belakang yang mempengaruhi tumbuhnya konsespi wawasan nusanatara adalah sebagai berikut :

Aspek Historis
Dari segi sejarah, bahwa bangsa Indonesia menginginkan menjadi bangsa yang bersatu dengan wilayah yang utuh adalah karena dua hal yaitu : 

Kita pernah mengalami kehidupan sebagai bangsa yang terjajah dan terpecah, kehidupan sebagai bangsa yang terjajah adalah penederitaaan, kesengsaraan, kemiskinan dan kebodohan. Penjajah juga menciptakan perpecahan dalam diri bangsa Indonesia. Politik Devide et impera. Dengan adanya politik ini orang-orang Indonesia justru melawan bangsanya sendiri. Dalam setiap perjuangan melawan penjajah selalu ada pahlawan, tetapi juga ada pengkhianat bangsa. 

Kita pernah memiliki wilayah yang terpisah-pisah, secara historis wilayah Indonesia adalah wialayah bekas jajahan Belanda . Wilayah Hindia Belanda ini masih terpisah0pisah berdasarkan ketentuan Ordonansi 1939 dimana laut territorial Hindia Belanda adalah sejauh 3 (tiga) mil. Dengan adanya ordonansi tersebut , laut atau perairan yang ada diluar 3 mil tersebut merupakan lautan bebas dan berlaku sebagai perairan internasional. Sebagai bangsa yang terpecah-pecah dan terjajah, hal ini jelas merupakan kerugian besar bagi bangsa Indonesia.Keadaan tersebut tidak mendudkung kita dalam mewujudkan bangsa yang merdeka, bersatu dan berdaulat.Untuk bisa keluar dari keadaan tersebut kita membutuhkan semangat kebangsaan yang melahirkan visi bangsa yang bersatu. Upaya untuk mewujudkan wilayah Indonesia sebagai wilayah yang utuh tidak lagi terpisah baru terjadi 12 tahun kemudian setelah Indonesia merdeka yaitu ketika Perdana Menteri Djuanda mengeluarkan pernyataan yang selanjutnya disebut sebagai Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957. Isi pokok dari deklarasi tersebut menyatakan bahwa laut territorial Indonesia tidak lagi sejauh 3 mili melainkan selebar 12 mil dan secara resmi menggantikam Ordonansi 1939. Dekrasi Djuanda juga dikukuhkan dalam UU No.4/Prp Tahun 1960 tenatang perairan Indonesia yang berisi : 

  1. Perairan Indonesia adalah laut wilayah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia
  2. Laut wilayah Indonesia adalah jalur laut 12 mil laut
  3. Perairan pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis dasar.
Keluarnya Deklarasi Djuanda melahirkan konsepsi wawasan Nusantara dimana laut tidak lagi sebagai pemisah, tetapi sebagai penghubung.UU mengenai perairan Indonesia diperbaharui dengan UU No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia

Deklarasi Djuanda juga diperjuangkan dalam forum internasional. Melalui perjuangan panjanag akhirnya Konferensi PBB tanggal 30 April menerima “ The United Nation Convention On The Law Of the Sea”(UNCLOS) . Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut Indonesia diakui sebagai negara dengan asas Negara Kepulauan (Archipelago State).

Kepemimpinan Tradisional Jawa-Islam Dalam Masyarakat Jawa

Kepemimpinan Tradisional Jawa-Islam Dalam Masyarakat Jawa 
Dalam masyarakat Jawa Tengah dan masyarakat Indonesia umumnya, dibutuhkan kehadiran seorang pemimpin yang selaras baik dengan selera masyarakat pendukungnya maupun kondisi masyarakat yang majemuk. Berkaitan dengan hal itu, dalam artikel saya akan membahas tentang tipologi kepemimpinan dan sifat pemimpin yang sesuai dengan cita rasa masyarakat Jawa Tengah. Harapan terhadap munculnya tipe dan sifat-sifat pemimpin yang ideal pada dasarnya merupakan cerminan dari kerinduan masyarakat terhadap pemimpin mereka.

Dalam artikel ini juga akan dibicarakan tentang sifat pemimpin berdasarkan model kepemimpinan tradisonal Jawa dan Islam. Dalam model kepemimpinan tradisional Jawa, khususnya Jawa Tengah, seorang pemimpin ditekankan untuk mengutamakan kerukunan dan hormat kepada pencipta, leluhur, dan orang tua. Sementara itu dalam model kepemimpinan Islam diterangkan tentang pentingnya sifat-sifat pemimpin pasca-Nabi Muhammad SAW. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan Islam dipegang oleh para khalifah dan akhirnya terfragmentasi ke dalam kelompok-kelompok, di antaranya yang terbesar adalah Sunni dan Syiah. Kedua kelompok ini mempunyai pemahaman tentang kepemimpinan yang jauh berbeda walaupun keduanya menggunakan sumber yang sama. Hal itu belum termasuk kelompok-kelompok kecil yang lain, misalnya kelompok Islam sekular. 

Perbedaan pemahaman mengenai kepemimpinan Islam terasa pula di Indonesia. Sebagian tokoh Islam, salah satunya adalah Abdurrahman Wahid, berusaha meredam perbedaan pemahaman itu dengan menyodorkan solusi tentang bagaimana cara mengatasi masyarakat Indonesia yang plural terutama menyangkut masalah kepemimpinan baik dalam konteks kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Namun dalam perkembangan patut disayangkan bahwa dalam setiap pemilihan pemimpin baik di tingkat desa, kota maupun pusat telah dinodai dan dikotori dengan penyelewengan, janji-janji manis dalam kampanye yang tidak ditepati setelah seseorang terpilih sebagai pemimpin, dan praktik politik uang. Kondisi ini terus berjalan seolah-olah tanpa tersentuh oleh hukum. Lalu, bagaimanakah kerinduan masyarakat kepada pemimpinnya yang notabene selalu diidolakan dan didambakan terutama mengenai tipe dan sifat-sifat ideal yang melekat pada seorang pemimpin?

1. Hipotesis tentang Kepemimpinan
Ketika membahas kepemimpinan kita akan berbicara antara lain mengenai perihal pemimpin, konsep kepemimpinan, dan mekanisme pemilihan pemimpin. Sebelum membicarakan lebih jauh soal kepemimpinan, ada baiknya dilakukan peninjauan terlebih dahulu definisi konsep pemimpin. Pendefinisian ini dapat membantu kita untuk memahami dan melakukan pembahasan menurut alur yang sistematis. 

Banyak definisi tentang pemimpin baik itu menurut ahli politik, ekonomi, sosial, antropologi (budaya) maupun agama. Saya hanya akan menyampaikan definisi yang relevan dengan pokok pembahasan. Seorang ahli sosiologi, Soerjono Soekanto, menghubungkan kepemimpinan (leadership) dengan kemampuan seseorang sebagai pemimpin (leader) untuk mempengaruhi orang lain (anggotanya), sehingga orang lain itu bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpinannya (Soekanto, 1984: 60). Ahli sosiologi yang lain, Wahyusumijo, lebih melihat kepemimpinan sebagai suatu proses dalam mempengaruhi kegiatan-kegiatan seseorang atau sekelompok orang dalam usahanya mencapai tujuan yang sudah ditetapkan (Wahyusumijo, 1984: 60).

Di pihak lain, dalam antropologi budaya, muncul pandangan yang membedakan antara kepemimpinan sebagai suatu kedudukan sosial dan sebagai suatu proses sosial (Koentjaraningrat, 1969: 181). Kepemimpinan sebagai kedudukan sosial merupakan kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sementara sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau suatu badan yang mendorong gerak warga masyarakat.

Apabila kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain sehingga mereka mengikuti kehendaknya, maka seseorang itu dapat disebut mempunyai pengaruh terhadap oarang lain. Pengaruh itu dinamakan kekuasaan atau wewenang. Istilah kekuasaan dalam hal ini merujuk pada kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang atau pihak lain, sedangkan wewenang merupakan kekuasaan seseorang atau sekelompok orang yang mendapat dukungan atau pengakuan dari masyarakat. Dalam hubungan dengan kepemimpinan, Kartini Kartono (1982) mengatakan bahwa kepemimpinan harus dikaitkan dengan tiga hal penting yaitu kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan. 

Sementara itu dilihat dari sudut pandang agama (Islam), istilah kepemimpinan berasal dari kata ‘pemimpin’, artinya orang yang berada di depan dan memiliki pengikut, terlepas dari persoalan apakah orang yang menjadi pemimpin itu menyesatkan atau tidak. Dalam konteks Islam, setidaknya ada dua konsep penting yang berkaitan dengan kepemimpinan, yaitu imamah dan khilafah. Masing-masing kelompok Islam memiliki pendefinisian berbeda tentang kedua konsep itu, meskipun ada juga yang menyamakannya. 

Kaum Sunni menyamakan pengertian khilafah dan imamah. Dengan perkataan lain, imamah disebut juga sebagai khilafah. Bagi kaum Sunni, orang yang menjadi khilafah adalah penguasa tertinggi yang menggantikan Rasulullah SAW. Oleh karena itu khilafah juga disebut sebagai imam (pemimpin) yang wajib ditaati (As-Salus, 1997: 16). 

Sebaliknya, kaum Syiah membedakan pengertian khilafah dan imamah. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah kepemimpinan Islam setelah Rasulullah SAW wafat. Kaum Syiah bersepakat bahwa pengertian imam dan khilafah itu sama ketika Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi pemimpin. Namun sebelum Ali bin Abu Thalib menjadi pemimpin, mereka membedakan pengertian antara imam dan khilafah. Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Ustman adalah khalifah namun mereka bukanlah imam (Amini, 205: 18). Dalam pandangan kaum Syiah, sikap seorang imam haruslah mulia sehingga menjadi panutan para pengikutnya. Imamah didefinisikan sebagai kepemimpinan masyarakat umum, yakni seseorang yang mengurus persoalan agama dan dunia sebagai wakil dari Rasulullah SAW. Rasulullah SAW yang menjaga agama dan kemuliaan umat wajib dipatuhi dan diikuti. Imam mengandung makna lebih sakral daripada khalifah. Secara implisit kaum Syiah menganut pandangan bahwa khalifah hanya mencakup ranah jabatan politik, tidak melingkupi ranah spiritual-keagamaan; sedangkan imamah meliputi seluruh ranah kehidupan manusia baik itu agama maupun politik. 

Seperti halnya kaum Sunni dan Syiah, kalangan Islam sekular memiliki pandangan sendiri tentang kepemimpinan. Konsep kepemimpinan kelompok Islam sekular dalam hal ini cenderung mengacu pada kepemimpinan model Barat. 

Meskipun kelompok Sunni, Syiah, dan Islam sekular mempunyai sudut pandang yang berbeda mengenai kepemimpinan, ketiganya menunjukkan kesepahaman bahwa suatu masyarakat haruslah memiliki seseorang pemimpin. Setiap masyarakat dengan demikian tidak mungkin dapat dipisahkan dari masalah kepemimpinan.

Pemilihan Pemimpin dan Legitimasi Kepemimpinan
Cara Pemilihan Pemimpin
Derap pembangunan di Indonesia baik di kawasan pedesaan maupun perkotaan sangat bergantung pada kepemimpinan para kepala daerah. Menurut Koentjaraningrat (1980: 201), pemilihan kepala-kepala daerah, terutama di Jawa Tengah, sebagian besar masih memperhatikan faktor keturunan. Kepala-kepala daerah yang memerintah pada masa belakangan masih keturunan dari kepala daerah yang berkuasa pada masa sebelumnya. Hal itu dapat dilihat dari dari silsilahnya. 

Berdasarkan laporan mengenai struktur pemerintahan desa yang disusun oleh DPRD Jawa Tengah dapat ditarik simpulan bahwa proses pemilihan kepala desa dilakukan oleh suatu panitia di bawah pimpinan camat. Sebagai calon kepala desa atau pimpinan desa, maka realitanya dapat disimak pada kutipan di bawah ini.

Dalam praktiknya, para calon yang dipilih biasanya bukan orang–orang yang memiliki kemampuan tapi orang-orang kaya. Ini disebabkan kebiasaan warga desa memilih seorang calon bukan berdasarkan kemampuan calon itu, melainkan berdasarkan banyaknya pemberian kepada mereka. Ini malahan nampak lebih jelas di desa–desa yang makmur, sehingga pemilihan lurah menjadi suatu gelanggang pertikaian yang ramai sekali. Alasan utama dari konflik itu berpangkal pada tanah bengkok atau tanah lungguh yang diberikan pada calon yang sukses (Koentjaraningrat, 1984: 201).

Dengan melihat kutipan di atas tampak bahwa pemimpin desa dipilih tidak hanya didasarkan pada keturunan, namun juga pada pemberian yang biasanya berupa uang. Para calon kepala desa berusaha melakukan pendekatan kepada para pemilih terutama pada masa kampanye. Tidak mengherankan jika para calon kepala desa pada masa kampanye melakukan berbagai cara dalam rangka mendapatkan dukungan dari warga masyarakat yang telah memiliki hak pilih. Mereka bahkan tidak segan-segan untuk melakukan praktik politik uang sambil menebar janji-janji manis kepada warga masyarakat agar mau memilihnya. Sudah barang tentu hal ini tidak dibenarkan baik oleh negara maupun agama. Namun demikian praktik semacam itu tetap berjalan dengan lancar dan seolah-olah tidak tersentuh oleh hukum.

Sejalan dengan hal itu Sartono Kartodirdjo (1982: 226) menyatakan bahwa latar belakang kepemimpinan dalam masyarakat tradisional ataupun pedesaan dipengaruhi oleh kelahiran, kekayaan, dan status. Sebagaimana dikatakan oleh Prasadjo (1982: 54), latar belakang politik dan agama juga memiliki pengaruh yang penting dalam kepemimpinan di pedesaan.

Asal-usul Legitimasi Kepemimpinan
Pemimpin yang terpilih harus mendapatkan legitimasi dari anggotanya atau warga masyarakat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin dapat memiliki wewenang untuk memimpin secara resmi setelah mendapat legitimasi berdasarkan pada prosedur yang telah ditetapkan dalam adat-istiadat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Prosedur itu tentu saja dapat berbeda baik antara masyarakat yang satu dan yang lain maupun dari waktu ke waktu.

Dalam masyarakat tradisional, misalnya, legitimasi atas kepemimpinan seseorang pada umumnya dilakukan melalui rangkaian upacara yang melibatkan kehadiran roh nenek moyang atau dewa-dewa. Pada zaman kerajaan, prosedur untuk melegitimasi kepemimpinan seseorang dapat dilakukan melalui pemilihan, pemilihan bertingkat atau pemilihan oleh sebagian masyarakat. Wahyu, nurbuat, pulung, ngalamat, dan mimpi juga merupakan unsur-unsur yang berperan penting baik dalam pemilihan pemimpin maupun legitimasi atas kepemimpinannya (Kartodirdjo, 1973: 8). 

Oleh karena itu, untuk mendapatkan kekuasaan dalam kepemimpinan, seseorang harus menempuh berbagai jalan (laku) yang panjang. Kekuasaan dapat juga diperoleh melalui keturunan atau lewat kekuatan fisik. Pada zaman modern ini, kepemimpinan dapat pula diperoleh melalui pendidikan dan pemilihan berdasarkan keahlian atau spesialisasi. Untuk menduduki jabatan pada berbagai level tidak lagi didasarkan terutama pada keturunan, melainkan pada tingkat pendidikan formal (Sutherland, 1983: passim).

Calon pemimpin yang berhasil terpilih harus mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Masyarakat Indonesia, terutama yang berada di daerah pedesaan, masih mempercayai bahwa seorang pemimpin mempunyai wibawa, wewenang, kharisma, dan kekayaan. Persyaratan ini penting bagi para pemimpin di tingkat kota atau pedesaan, sebab mereka pada masa sekarang atau zaman demokrasi dipilih secara langsung oleh rakyat.

Model Kepemimpinan
Model Kepemimpinan Tradisional
Kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa lebih mengutamakan prinsip kerukunan dan sikap hormat kepada alam, pencipta, leluhur, guru, orang tua, bangsa, negara, dan agama (Magnis-Suseno, 1985: 36-38). Orang Jawa umumnya juga mengutamakan keselarasan dalam hidup bermasyarakat (Mulder, 1981: 17). Pandangan hidup dan pola pikir yang demikian sudah barang tentu sangat mempengaruhi masyarakat Jawa dalam meletakkan dasar-dasar kemasyarakatan dan kebudayaan. Apabila hal ini dihubungkan dengan masalah kepemimpinan, maka seorang pemimpin sedapat mungkin harus mampu memperlihatkan sikap hidup yang sederhana, jujur, adil, bertenggang rasa (tepa selira), hemat, disiplin, dan taat kepada hukum (Koentjaraningrat, 1981: 64).

Berbagai piwulang dan pitutur telah mengajarkan tentang sifat-sifat seorang pemimpin. Dalam ajaran Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan, misalnya, dinyatakan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai tiga pilar, yaitu: “Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Demikian pula dalam kakawin Ramayana dan Mahabarata, dinyatakan bahwa seorang pemimpin harus memperlihatkan sikap yang merujuk pada ajaran tentang Hasta Bhrata, yaitu mencontoh sikap delapan dewa, di antaranya Dewa Surya, Candra, Bayu, dan Baruna Dewa Air yang antara lain mempunyai sifat sabar. Dalam filsafat Jawa pun terdapat banyak istilah tentang sifat-sifat pemimpin yang yang dikenal dengan “empat t”, yaitu teteg–sebagai pengayom, tatag–berani, tangguh–kuat, dan tanggon–pantang mundur, mrantasi sabarang karya (gawe).

Model Islam dan Etika Kedaifan
Dalam era pascamoderen yang mengagungkan multikulturalisme sebagai pandangan hidup, etika kedaifan identik dengan menghargai orang lain (liyan) atau menganggap diri sebagai sosok yang lemah dan membutuhkan keberadaan orang lain dalam menjalani kehidupan bersama yang semakin berat. Kehidupan dalam etika kedaifan, menurut Goenawan Muhammad sebagaimana disitir oleh Triyanto Tiwikromo, sama halnya dengan tidak menganggap orang lain seperti yang dikatakan oleh Sartre yaitu sebagai neraka. Semangat multikulturalisme dan demokrasi menempatkan rakyat sebagai sahabat, kanca, untuk mencapai masyarakat yang aman dan sejahtera (Tiiwikromo, 2008: 4)

Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin harus mempunyai kualitas spiritual, terbebas dari segala dosa, memiliki kemampuan sesuai dengan realitas, tidak terjebak pada dan menjauhi kenikmatan dunia, dan harus memiliki sifat adil. Adil dalam hal ini dapat dipahami sebagai cara menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak. Penerapan sifat keadilan oleh seorang pemimpin dapat dilihat dari bagaimana caranya mendistribusikan sumberdaya politik, ekonomi, sosial, dan budaya kepada rakyatnya.

Melihat kemajemukan masyarakat Indonesia, maka tantangannya adalah bagaimana cara mengembangkan pluralisme dalam konteks membangun kepemimpinan dan kedaulatan bangsa. Fungsi kepemimpinan adalah sebagai ulil amri dan khadimul ummah, artinya amanah jabatan dan kekuasaan harus digunakan sesuai dengan tuntutan Allah dan Rasul–Nya, berlaku adil, dan melindungi kepentingan masyarakat.

Dengan demikian, meskipun Islam adalah agama mayoritas, jangan sampai kepentingan umat Islam mengakibatkan negara lebih banyak melayani kepentingan segelintir orang yang mengusai aparatur negara. Sementara mereka yang berusaha menyuarakan ide-ide demokrasi, pluralisme, dan perlindungan hak-hak asasi manusia cenderung dituding tidak memiliki nasionalisme.

Menurut Abdurrahaman Wahid (1988), terdapat lima jaminan dasar dalam menampilkan universalisme Islam, baik pada perorangan atau kelompok. Kelima jaminan dasar yang dimaksud meliputi keselamatan fisik masyarakat dan tindakan badani di luar ketentuan hukum, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan keselamatan profesi. 

Dalam pandangan Abdurahman Wahid, kelima jaminan dasar umat manusia akan sulit diwujudkan tanpa adanya kosmopolitanisme peradaban Islam. Kosmopolitanisme peradaban Islam harus menghilangkan batasan etnis, pluralisme budaya, dan heterogenitas politik. Hal ini akan tercapai apabila terjadi keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum muslimin dan kebebasan berpikir semua masyarakat termasuk kalangan nonmuslim. Oleh karena itu, rahmatan lil alamin harus dibuktikan dalam wujud kehidupan bermasyarakat dan berbangsa serta bernegara. Di samping itu, kosmopolitanisme Islam mengacu pada modernisasi religiusitas, artinya harus berlandaskan pada keagamaan dan pembebasan masyarakat untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini berartik bahwa konsistensi terhadap demokrasi dan hak asasi manusia mutlak diperlukan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam universalisme Islam terdapat beberapa hal yaitu toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian terhadap unsur-unsur utama kemanusiaan, dan perhatian dengan kearifan akan keterbelakangan dan kebodohan serta kemiskinan (Wahid, 1988).

Universalisme Islam juga berarti kesalehan sosial (Munir, 2005). Meskipun demikian, dalam konteks yang demikian bukan berarti bahwa negara Islam maupun kepemimpinan Islam adalah yang ideal. Universalisme Islam dan pluralisme lebih tepat dipahami sebagai ruh dalam konteks membangun kepemimpinan nasional. Bagi bangsa Indonesia, syariat tidak harus menjadi fondamen dan jiwa dari agama dan negara.

Perlu diperhatikan pula bahwa multikulturalitas bangsa Indonesia dapat bermakna ganda, ibarat dua sisi mata pedang. Di situ sisi multikulturalitas itu merupakan modal sosial yang dapat menghasilkan energi positif dan memperkaya kultur bangsa, namun di sisi sebaliknya juga dapat menjadi energi negatif berupa ledakan destruktif yang setiap saat dapat menghancurkan struktur dan pilar-pilar bangsa. Masalah yang krusial adalah bagaimana cara mengatasi dan mencari solusi atas perpecahan yang terjadi akibat keanekaragaman itu tidak bisa dikelola dengan kebijakan politik yang demokratis dan egaliter termasuk di dalamnya pola-pola kepemimpinan. Apabila ditangani dengan baik, keanekaragaman itu justru merupakan aset dan kekayaan bangsa.

Oleh karenanya, penting dibangun hubungan intersubjektif yang mampu melahirkan keikhlasan yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Keikhlasan merupakan peleburan ambisi pribadi ke dalam pelayaran kepentingan seluruh bangsa. Harus ada konsensus antarpemimpin dan ketundukan pada keputusan yang dirumuskan sang pemimpin. Untuk mencapai hal itu ada dua prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu kejujuran sikap dan ucapan yang disertai dengan sikap mengalah untuk kepentingan bersama (Wahid, 2006).

Pengembangan Sifat Pemimpin
Sifat pemimpin harus dikembangkan sendiri karena sifat seseorang berbeda satu sama lain. Kepribadian ikut mempengaruhi sifat dan perilaku kepemimpinan seseorang. Pemimpin harus senantiasa meningkatkan kemampuan, mempraktikkan keterampilan, mencari peluang, dan mengembangkan potensi anak buah. Sebagai pedoman bagi pemimpin adalah “perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan”. Dengan cara itu seorang pemimpin berusaha memandang suatu keadaan dari sudut pandang orang lain atau tenggang rasa. 

Merujuk pada pendapat Geofrey G. Meredith, kualitas pemimpin dapat diukur dengan memperhatikan sejumlah hal berikut: (1) yakinkan bahwa dirinya seorang pemimpin, (2) banyak orang yang mencari bapak untuk minta dipimpin atau bertanya, (3) kembangkan dan terapkan ide-ide baru, (4) mainkan peranan aktif dalam kehidupan masyarakat, (5) tingkatkan kekuasaan dan hilangkan kelemahan, (6) tingkatkan program dan rencana tentang kepemimpinan, (7) belajarlah dari kesalahan terdahulu, (8) berorientasilah kepada hasil dan selesaikan sesuatu yang telah dimulai, (9) gunakan kekuatan sebagai pemimpin untuk membantu orang lain, (10) yakinkan orang lain tentang kemampuan, (11) dengarkan masukan, saran, dan nasihat atau kritik sekalipun, dan (12) lakukan perubahan ke arah kemajuan (Meredith, t.t.: 18-21).

Hubungan Pemimpin dan Rakyat dalam Pembangunan
Dalam membicarakan hubungan antara pemimpin dan rakyat dalam pembangunan, perlu dilihat berbagai variabel yang dapat dikelompokkan ke dalam independent variable dan dependent variable. Sebagai independent variable adalah bahwa seorang pemimpin seharusnya mempunyai dasar antara lain mengabdi pada kepentingan umum, memperhatikan rakyat baik di dalam maupun di luar pekerjaan, dan menciptakan komunikasi yang lancar dengan bawahan (rakyat). Dependent variable atau variabel yang dipengaruhi meliputi antara lain semangat kerja, displin kerja, gairah kerja, dan hubungan yang harmonis dengan bawahan. Kedua variabel ini akan mempengaruhi keberhasilan kepemimpinan seseorang dalam sebuah lembaga, baik itu di tingkat desa, kota ataupun pusat. Hubungan antara sejumlah variable yang telah disebutkan di atas dengan keberhasilan kepemimpinan dapat dilihat secara geometrik sebagai berikut.


Gambar Variabel-variabel yang mempengaruhi keberhasilan kepemimpinan

Pendapat lain dikemukakan oleh Kartini Kartono (1982: 31), yang menyatakan bahwa keberhasilan pemimpinan berhubungan dengan pengelolaan kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan. Keberhasilan seorang pemimpin juga dapat ditentukan dari bentuk kerja sama dalam pembangunan yang tidak hanya untuk anggotanya, namun dari masyarakat untuk masyarakat (Syawani, 1978: iii). Pembangunan di sini dapat diartikan sebagai usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan terencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (Siagian, 1981: 99). Seorang pemimpin harus mempunyai kekuasaan yang bersumber pada hak milik kebendaan, kedudukan, kekuasaan, birokrasi, dan juga kemampuan khusus (supranatural) yang lain daripada orang biasa. Menurut Max Weber, kekuasaan itu cenderung pada kekuasaan yang kharismatik. Selain itu, seorang pemimpin biasanya juga mempunyai legitimasi berupa benda-benda pusaka dan sebagainya.

Masyarakat tidak dapat bergerak tanpa adanya pemimipin sebagai mediator dan motivator serta komunikator dalam pembangunan di berbagai bidang. Pemimpin harus dapat menjalankan ketiga fungsi itu dalam kelompoknya. Dalam struktur organisasi, peran seorang pemimpin tidak ada artinya tanpa dukungan rakyatnya. Hubungan antara pemimpin dan rakyat merupakan hal yang mutlak karena keduanya saling membutuhkan dan saling melengkapi. Hubungan yang demikian itu dapat digambarkan dengan menggunakan sebuah pepatah Jawa: kaya godhong suruh lumah lan kurebe yen disawang beda rupane, yen dimamah gineget padha rasane.

Hubungan antara pemimpin dan rakyat dapat pula digambarkan sebagai hubungan patron-cilent (patronase), yaitu hubungan antara bapak dan anak. Bapak (pemimpin) berkewajiban melindungi anak-anaknya, sedangkan anak-anak harus patuh kepada bapaknya sebagai pemimpin (Koentjaraningrat, 1981: 191). Hubungan antara pemimpin dan anggotanya sering kali bertolak dari kebutuhan anggotanya (Legg, 1983: 21).

Dalam kedudukan sosial, seorang pemimpin berperan mengontrol dan mengawasi serta menggerakkan segala aktivitas dalam masyarakatnya. Pemimpin yang baik akan dianggap oleh anggotanya sebagai cermin, guru, dan tokoh kunci (key person) dalam pembangunan.

DAFTAR PUSTAKA
Amini, Ibrahim. 2006. Para Pemimpin Teladan. Jakarta: Al-Huda.
As-Salus, Ali. 1997. Imamah dan Khalifah dalam Tinjauan Syar’i. Jakarta: Gema Insani Press.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
Kartono, Kartini. 1982. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Rajawali.
Khomeini, Imam. 2002. Sistem Pemerintahan Islam. Jakarta: Pustaka Zahra.
Koentjaraningrat. 1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara.
Koentjaraningrat. 1980. Beberapa Pokok Antropologi. Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Legg, Keit R. 1983. Tuan Hamba dan Politisi. Jakarta: Sinar Harapan.
Meredith, Geofrey G.. t.t.. Kewirausahaan: Teori dan Praktek. Jakarta: PPM.
Prasojo, Budi. 1982. Pembangunan Desa dan Masalah Kepemimpinnya. Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.
Rakhmat, Jalalaludin. 2003. Filsafat Politik Islam antara Al-Farabi dan Khomeini dalam Rahmaini. Bandung: Mizan.
Sartono Kartodirdjo. 1975. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Depdikbud.
Sartono Kartodirdjo. 1976. Protest Movement in Rural Java. London: Oxford University Press.
Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta; PT. Gramedia.
Siagian, Sondang. 1981. Administrasi Pembangunan. Jakarta: Gunung Agung.
Soekanto, Soejono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Djakarta: PT. Radjawali.
Soekanto, Soejono. 1982. Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Subagyo, Rahmat. 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan dan Loka Cipta Caraka.
Sumiyo, Wahyu. 1984. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sutherland, Heather. 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi (diindonesiakan oleh Sunarto). Jakarta: Sinar Harapan.
Syarmani, Abdullah. 1978. Pembangunan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Pertanian di Pedesaan dalam Repelita III. Jakarta: Agro Ekonomi.
Tiwikromo, Triyanto. 2008. “Kepemimpinan Jawa dalam Masyarakat Kotemporer”, makalah disajikan dalam Seminar Budaya untuk Memperingati Hari Jadi Kota Semarang ke-461 di Gedung Balaikota Semarang, 17 Mei 2008.

Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat

Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat 

Dasar Hukum
1. Keputusan Presiden RI No. 42 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan APBN
· Menteri/Pimpinan Lembaga wajib menyelenggarakan pertanggungjawaban penggunaan dana yang dikuasainya berupa laporan realisasi anggaran dan neraca departemen/lembaga bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Keuangan.
· Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota/kepala satuan kerja yang menggunakan dana bagian anggaran yang dikuasai Menteri Keuangan wajib menyampaikan pertanggungjawaban penggunaan dana kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala BAKUN. 


2. Keputusan Menteri Keuangan No. 337/KMK.012/2003 Tanggal 18 Juli 2003 tentang Sistem Akuntansi dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
1. Keputusan Kepala Badan Akuntansi Keuangan Negara No. KEP-16/AK/2004 tanggal 24 Juni 2004 tentang Pelaksanaan Penyusunan Laporan Keuangan Kementerian Negara /Lembaga Tahun Anggaran 2004 


Tanggung Jawab Fungsi Akuntansi Departemen/Lembaga
1. Kakanwil mempunyai wewenang/tanggungjawab terhadap akuntansi dan pelaporan keuangan yang meliputi seluruh kantor dan proyek di wilayahnya
2. Sekjen, Dirjen dan Unit Eselon I lainnya mempunyai wewenang/ tanggungjawab terhadap seluruh kantor dan proyek dibawah kendalinya. Juga mempunyai tanggungjawab untuk penyusunan laporan konsolidasi atas seluruh kantor dan proyek yang di bawah kendali masing-masing Eselon I dimaksud
3. Sekjen bertanggung jawab untuk menyiapkan laporan keuangan konsolidasi untuk tingkat departemen/lembaga 


Keluaran Sistem Akuntansi Menurut Pusat PertanggungJawaban

1. Pusat Pertanggungjawaban
* Seluruh Pemerintah Pusat
* Departemen/Lembaga
* Eselon I
* Propinsi
* Satuan Kerja
* Proyek 

2. Penanggung Jawab
* Presiden
* Menteri/Ketua Lembaga
* Sekjen/Irjen/Dirjen/Kepala
* Kepala Kantor Wilayah 


Unit Pelaksana SAPP

1. Departemen Keuangan
* BAKUN Pusat
* Kantor Akuntansi Regional
* Kantor Akuntansi Khusus 


2. Departemen/Lembaga
* Unit Akuntansi Kantor Pusat Instansi (UAKPI)
* Unit Akuntansi Eselon I (UAE I)
* Unit Akuntansi Wilayah (UAW) 


Laporan Departemen/Lembaga

1. Laporan Realisasi Anggaran
* Laporan Realisasi Anggaran bertujuan untuk melaporkan Pelaksanaan anggaran selama periode tertentu
* Laporan ini memperlihatkan perbandingan realisasi belanja dengan allotment yang dirinci menurut tujuan dan klasifikasi belanja atau perbandingan realisasi pendapatan denganestimasi pendapatan 


Neraca
* Neraca bertujuan untuk melaporkan posisi keuangan pada suatu tanggal tertentu
* Neraca menginformasikan saldo perkiraan aset, hutang dan ekuitas dana pada akhir periode pelaporan 

Pemrosesan Data SAPP

1. Buku Besar
* Penerimaan/pengeluaran Anggaran
* Aktiva tetap
* Hutang Jangka Panjang
* Investasi Permanen 

2. Laporan
* Laporan Realisasi Anggaran
* Laporan Bulanan Inventaris, Laporan Mutasi Barang Triwulanan, Laporan Tahunan
* Laporan Hutang Jangka Panjang
* Laporan Investasi Permanen 

3. Pelaksanaan Penyusunan Neraca Departemen/Lembaga 

Waktu Penyampaian Laporan
1. Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca , selambat-lambatnya disampaikan ke BAKUN pada akhir bulan bulan Maret tahun berikutnya. 


OTONOMI DAERAH dan PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAN DERAH
Diperkirakan penerapan kewenangan otonomi daerah baru akan terlaksana pada tahun 2002 atau bahkan tahun berikutnya. Perubahan ini sekaligus ditandai dengan pergantian pemerintahan pada pemilu mendatang. Sudah menajdi persoalan publik, perihal akan berlakunya pelaksanaan otonomi yang luas.

Berbagai tulisan mengenai tinjauan terhadap otonomi daerah pernah dimuat pada edisi 17 dan 18 pada Buletin Pengawasan ini. Namun yang patut disayangkan, tinjauan tentang otonomi daerah tersebut masih mengacu pada UU yang lama, yakni UU No. 5 tahun 1974 dan PP No. 45 tahun 1992. Padahal UU tersebut kurang menyiratkan asas demokrasi dan jauh dari rumusan mengenai kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan secara luas. Belum bersinggungan terhadap proses perubahan urusan daerah masing-masing secara penuh dan bertanggung jawab serta adanya proses reformasi yang tengah berlangsung dalam rangka penyerahan urusan pemerintahan dan pembangunan ke daerah masing-masing.

Oleh karena itu melalui tulisan ini, saya mencoba mengetengahkan UU yang baru (No. 22/99 dan No. 25/99) tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai tinjauan umum tentang otonomi daerah yang dikehendaki oleh masyarakat dan pemerintah daerah, juga mencoba mencari solusi dan visi kewenangan otonomi daerah sebagai upaya membangun paradigma baru otonomi yang luas.

Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomr 22/1999, otonomi daerah akan diimplementasikan ke daerah. Bahkan dengan adanya perubahan tahun anggaran yang akan dimulai 1 Januari 2001 mendatang, sangat mungkin implementasi tersebut juga dipercepat, karena idealnya tahun anggaran 2001 harus sudah ditopang oleh kewenangan-kewenangan serta struktur organisasi/kelembagaan baru yang harus disesuaikan dengan paradigma baru otonomi.


Pada pasal 11 UU no. 22/1999 yang mengatur tentang (1) Kewenangan daerah kabupaten/kotamadya mencakup semua kewenangan yang dikecualikan pasal 7 ayat (2). Substansi kewenangan daerah khususnya kabupaten/ kotamadya yang selama ini diketahui, keculai kewenangan dalam bidang politik luar negeri, Pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, fiskal serta agama sebagai diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) yang menjabarkan pasal 7 ayat (2) dan pasal 9 yang saat ini sedang dimantapkan di pusat (disosialisasikan ke daerah).

Pada pasal 11 ayat (2) bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kotamadya meliputi pekerjaan umum (sekarang kimbangwil), kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.

Sedangkan Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah sampai saat ini belum jelas seperti apa penjabarannya ke dalam PP. Yang jelas, saat ini pemerintah daerah sangat berharap agar pendelegasian kewenangan dalam bidang keuangan yang juga sedang dirumuskan di Pusat, harus memberi kesempatan pada daerah untuk secara aktif dan kreatif serta bertanggung jawab mengembangkan potensi daerahnya. Memang, pada saat ini untuk sementara masih berlaku UU no. 18 tahun 1997 tentang Pajak dan Restribusi Daerah yang justru sangat membatasi kewenangan daerah.

Pendelegasian Kewenangan 
Uraian mengenai pengertian dan visi dari pendelegasian kewenangan dalam otonomi daerah sebagai perwujudan dalam upaya membangun paradigma baru otonomi dapat dijelaskan sebagai berikut :


Pertama
Pendelegasian kewenangan pengelolaan keuangan. Pendelegasian kewenangan ini menyangkut khususnya pada pembagian keuangan pusat-daerah berdasarkan UU no. 25/1999 menurut pandangan daerah. Bagi kabupaten/kotamadya yang memiliki sumber minyak bumi, gas, kehutanan, pertambangan umum maupun perikanan yang berdasarkan formula baru akan menerima lebih banyak dari pusat, serta harus segera menyiapkan program belanja yang benar-benar berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat daerah sesuai tuntutan otonomi. Di lain pihak, pemerintah pusat/propinsi harus mampu menyediakan dana alokasi khusus untuk menghindari ketimpangan penerimaan antar kabupaten/kotamadya di satu propinsi antara lain karena tidak meratanya ketersediaan sumber-sumber alam atau potensi lainnya. Sebaliknya, bagi daerah yang tidak memiliki sumber alam sebagaimana dimaksud UU No. 25/1999, maka untuk menjaga tingkat kesejahteraan yang sudah dicapai sampai saat ini, sebaiknya menerima alokasi bantuan/subsidi yang minimal sama dengan sebelum diberlakukannya sistem alokasi baru nanti. Di sisi lain, kewenangan mengatur yang berkaitan dengan kebijakan atas perencanaan dan pelaksanaan program/proyek/kegiatan yang bersumber dana dari bantuan pusat/propinsi harus didelegasikan sepenuhnya kepada kabupaten/kotamadya. Artinya tidak perlu ada lagi mekanisme semacam rapat teknis yang hanya menambah tenaga hierarki dan pendanaan.


Kedua
Pendelegasian kewenangan politik. Mekanisme Pendelegasian kewenangan politik yang berlaku efektif pada saat dan setelah pelaksanaan Pemilu 1999 yang lalu, telah mencapai suatu perkembangan yang sangat signifikan dibanding bidang-bidang lainnya. Pelimpahan kekuasaan politik kepada daerah, di samping telah memberdayakan peran DPRDnya, juga secara pasti sedang mengarah pada terwujudnya sistem check and balance dalam sistem kekuasaan di daerah. Bahkan dalam hal-hal tertentu, implementasi kewenangan politik sudah berkembang jauh melampaui batas-batas etika dan bahkan terkadang berbenturan dengan fungsi birokrasi. Kondisi ini terjadi dimungkinkan karena :
1. Terputusnya hierarki kewenangan pusat dan propinsi atas sistem politik di kab/kota. Dengan demikian perlu diimbangi dengan tumbuhnya peran kontrol masyarakat (internal control) kepada DPRDnya, agar dalam menjalankan fungsi kontrolnya yang ketat kepada eksekutif dan perlu diimbangi pula adanya kontrol masyarakat atas perilaku politiknya. Dengan kedudukan yang sejajar bahwa DPRD merupakan mitra bagi pemerintah daerah, maka fungsi kontrol dapat dilaksanakan secara efektif.


Pemilu tahun 1999 yang menghasilkan DPRD yang representatif telah mewakili politik rakyat daerah, sehingga memiliki kewenangan politik yang sangat otonom. Dalam konteks otonomi daerah, kekuasaan politik yang dimiliki DPRD tersebut didukung oleh kedudukan dan fungsi legislatif yang terpisah dari eksekutif. DPRD sebagai badan legislatif daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah (pasal 16 ayat 2 UU no. 22/99). Kewenangan dalam politik yang demikian independen di daerah, nampaknya tidak memungkinkan lagi terbukanya peluang intervensi kepentingan pusat atau propinsi dalam proses maupun keputusan politik di daerah, termasuk dalam proses

2. pemilihan kepala daerah (Gubernur/ Walikota/Bupati). Dengan demikian, dengan melalui pendelegasian kewenangan politik ini sebagai upaya membangun paradigma baru otonomi, diharapkan masalah calon titipan atau pendamping dari pusat yang selama ini selalu menyertai dalam pemilihan Kepala daerah hanya tinggal cerita.

3. Adanya kewajiban bagi Gubernur, Walikota dan Bupati untuk menyampaikan pertanggungjawaban pada setiap akhir tahun anggaran akan memperkuat posisi politik DPRD dalam melaksanakan fungsi kontrolnya. Sehingga, pihak eksekutif akan bekerja keras untuk tidak melakukan kesalahan sekecil apapun dalam melaksanakan tugasnya.

4. Dalam rangka menuju bangsa yang demokratis seperti yang tersirat dalam UU no. 22/99 ini, kadangkala sering muncul berbagai kasus yang terkesan keluar dari nilai-nilai demokrasi yang universal seperti isu politik uang atau sejenisnya di daerah. Mudah-mudahan itu hanya merupakan dampak dari keterkejutan sesaat atas terjadinya perubahan yang drastis dan global dalam sistem politik. Pada saatnya akuntabilitas publik dari para aktor politik maupun para birokrat akan menjadi syarat utama yang dituntut masyarakat.

Ketiga
Pendelegasian kewenangan urusan daerah. Dalam konteks UU No. 22/99 pada prinsipnya bukan merupakan sesuatu yang didelegasikan dari atas seperti pada pemerintahan orde lalu, melainkan lebih sebagai tuntutan dari bawah sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah. Yang menjadi pertanyaan, apakah benar akan demikian kenyataannya pada saat nanti? Hal ini perlu dibuktikan dan sangat tergantung pada substansi peraturan pemerintah yang mengatur kewenangan pemerintah dan propinsi yang rencananya akan dikeluarkan pada bulan (Juli 2000).

Seperti yang telah kita ketahui, berdasarkan rancangan PP yang sedang disosialisasikan ke daerah, yang pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari pasal 7 dan 9 UU No.22/99 di dalamnya mengatur 26 bidang kewenangan pusat dan propinsi yang mencakup 426 urusan yang masih menjadi kewenangan pusat dari 203 urusan yang menjadi kewenangan propinsi. Oleh karena itu, diharapkan urusan-urusan yang dalam PP dirancang masih menjadi kewenangan pusat atau propinsi tersebut diharapkan tidak menyimpang (meskipun) melalui berbagai cara apapun) dari maksud otonomi luas dari UU no. 22/99 ini. Sedangkan di luar kewenangan pusat sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 ayat 1 maupun kewenangan propinsi sebagaimana ditetapkan dalam pasal 9 ayat 1 adalah merupakan kewenangan kab/kota sebagai daerah otonom untuk mengatur (legislasi) dan kewenangan untuk mengurusi (eksekusi). Sebagai upaya mengaktualisasikan mengatur (fungsi legislatif), khususnya dalam menyusun, menetapkan dan mensahkan peraturan daerah sejak diberlakukan UU no. 22/99, kewenangan mulai ada pada daerah. Banyak kebijakan bisa diputuskan dengan cepat dan memungkinkan pelayanan berjalan dengan lebih baik, jika dimilikinya kewenangan mengatur oleh daerah khususnya kabupaten/kotamadya. Sedangkan upaya untuk mengaktualisasikan kewenangan mengurus, tentu akan terkait langsung dengan urusan yang benar-benar dibutuhkan oleh daerah dan tidak termasuk ke dalam urusan propinsi atau pusat berdasarkan PP. Sehingga diharapkan dengan paradigma baru bahwa urusan daerah merupakan sesuatu yang harus lahir dari bawah, maka daerah akan menata ulang kelembagaan maupun SDMnya segera setelah PP tersebut ditetapkan. Seperti Badan/Dinas/Bagian yang ada saat ini akan disesuaikan dengan urusan yang wajib dilaksanakan berdasarkan UU No. 22/99 (pasal 11) maupun urusan yang harus dilakukan sesuai dengan tuntutan nyata daerah. Dengan demikian, akan lebih bijaksana apabila makna otonomi luas dapat diartikan sebagai kebebasan yang bertanggung jawab untuk memilih dan menentukan urusan sesuai kebutuhan daerah dan dalam batas-batas kemampuan anggaran yang tersedia untuk membiayainya. Selanjutnya, otonomi yang luas tidak diartikan bebas semaunya dan dengan begitu maka daerah akan selalu mempertimbangkan bukan hanya soal banyak atau sedikitnya urusan yang ditangani, tetapi lebih kepada manfaat (benefit) yang diperoleh bagi masyarakat daerah tersebut. Diharapkan dari sini akan lahir dan terbangun akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.


Kesiapan Daerah untuk Otonomi
Kesiapan daerah untuk melaksanakan otonomi di samping karena memadainya kewenangan otonom yang dimiliki, juga harus didasarkan pada suatu keyakinan bahwa pelayanan yang dilakukan oleh lembaga yang terdesentralisasi adalah lebih baik daripada yang tersentralisasi. Pada akhirnya, untuk melaksanakan otonomi, perlu ada sikap konsistensi dari substansi peraturan pemerintah yang mengatur pelaksanaan lebih lanjut UU No. 22/99 dan UU No.25/99. Di pihak lain, segi materi (keuangan) memang sangat penting, tetapi bukan segalanya dalam mengatur pemerintahan. Karena yang lebih penting lagi adalah diberikannya kebebasan kewenangan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi pemerintahannya yang sebenarnya sudah menjadi hak atau milik daerah sejak lama. Yang terpenting lagi, masyarakat daerah harus mampu bersikap kritis dan berani menyatakan hal yang benar bila para politikus (DPRD) dan birokrat menyimpang dari rel yang benar. Karena tanpa dukungan dari masyarakat daerah tersebut, membangun visi otonomi daerah yang diinginkan oleh bangsa ini sulit akan diwujudkan.

Pengertian Dan Penjelasan Globalisasi Menurut Ahli

Pengertian Dan Penjelasan Globalisasi 
Kata ‘globalisasi’ makin lama makin menjadi sajian sehari-hari melalui berbagai pemyataan publik dan liputan media massa; dan kalau semuanya itu kita perhatikan secara saksama, maka akan ternyata betapa kata ‘globalisasi’ itu cenderung dilontarkan tanpa terlalu dihiraukan apa maknanya. Pernyataan seperti “dalam era globalisasi dewasa mi” berarti bahwa kita telah berada dalam era globalisasi; lain lagi halnya kandungan pernyataan “menjelang era globalisasi” yang berarti kita belum berada dalam era tersebut. Kelatahan dalam penggunaan kata ‘globalisasi’ sedemikian itu akhimya mengesankan kesembarangan arti kata globalisasi, dan makin mengaburkan implikasi dan komplikasi makna yang terkandung di dalamnya. (Sudarmajid, 2003 : 23).

Menurut Aditya (2004 : 11) globalisasi pada hakikatnya adalah proses yang ditimbulkan oleh sesuatu kegiatan atau prakarsa yang dampaknya bekelanjutan melampaui batas­batas kebangsaan (nation-hood) dan kenegaraan (state-hood); dan mengingat bahwa jagad kemanusiaan ditandai oleh pluralisme budaya, maka globalisasi sebagai proses juga menggejala sebagai peristiwa yang melanda dunia secara lintas-budaya (trans-cultural). Dalam gerak lintas-budaya mi terjadi berbagai pertemuan antar-budaya (cultural encounters) yang sekaligus mewujudkan proses saling-pengaruh antar-budaya, dengan kemungkinan satu fihak lebih besar pengaruhnya ketimbang fihak lainnya. Pertemuan antar-budaya memang menggej ala sebagai keterbukaan (exposure) fihak yang satu terhadap lainnya; namun pengaruh-mempengaruhi dalarn pertemuan antar-budaya itu tidak selalu berlangsung sebagai proses dua-arah atau timbal-balik yang berimbang, melainkan bolehjadi juga terjadi sebagai proses imposisi budaya yang satu terhadap lainnya; yaitu, terpaan budaya yang satu berpengaruh dominan terhadap budaya lainnya.

Apakah yang kita maksudkan dengan ‘budaya’ atau ‘kebudayaan’ itu? Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan mi banyak cara dapat ditempuh. Kita dapat mencari jawaban berdasarkan etimologi; cara mi mungkin menarik secara akademik namun mungkin terlalu steril untuk diturunkan sebagai medium analisis dalam terapan empirikal. Cara lain ialah memperbandingkan berbagai definisi yang dapat dipandang terkemuka dalam literatur; cara mi akan membutuhkan uraian panjang lebar karena biasanya perlu diperjelas dengan tafsiran konseptual dan kontekstual. Mungkin juga kita lakukan pendekatan komparatif antara suatu teori dengan lainnya; cara mi jelas dapat memperkaya wawasan kita tentang kebudayaan, tapi keunggulan suatu teori berkenaan dengan sesuatu gej ala budaya tidak selalu bearti keunggulan teori itu secara menyeluruh; tiap teori bisa saja memiliki keunggulan dalam satu dan lain hal, sehingga konvergensi antar-teori mungkin saja digunakan dalam usaha memahami berbagai manifestasi budaya.

Kalau kita sarikan muatan berbagai definisi yang terkemuka, maka tidak terlalu keliru kiranya kalau kita mengartikan kebudayaan sebagai sehimpunan nilai-nilai yang oleh masyarakat pendukungnya dijadikan acuan bagi perilaku warganya. Nilai-nilai itu juga berpengaruh sebagai kerangka untuk membentuk pandangan hidup yang kemudian relatif menetap dan tampil melalui pilihan warga budaya itu untuk menentukan sikapnya terhadap berbagai gejala dan peristiwa kehidupan. Nilai-nilai itu pada sendirinya barn merupakan acuan dasar yang keberlakuannya disadarkan melalui ikhtiar pendidikan sejak dini, seperti misalnya usaha pengenalan dan penyadaran tentang apa yang ‘baik’, ‘buruk’, ‘dosa’, ‘indah’, dsb dalam tindak-tanduk seseorang. Sebagai sumber acuan, persepi terhadap nilai-nilai itu masih besifat umum; batas antara apa yang dinilai sebagai kebajikan (good) atau kejahatan (evil) berlaku dalam garis besar yang memisahkan satu dan lainnya; belum lagi antara keduanya diperbedakan dalam perbandingan ‘seberapa balk’ atau ‘seberapa buruk’ dipandang dan tolokukur tertentu; tolokukur itu baru menjelma melalui norma-norma sebagai pengatur kepantasan perllaku. Norma (nomos) adalah tolokukur yang memungkinkan terjadinya konformisme perilaku dalam sesuatu masyarakat, dan dengan demikian tersedia pula ukuran untuk non­konformisme. Adanya tolokukur normatif mi menjadi dasar bagm berkembangnya peradaban (civilization) sebagai bagian dan dinamika budaya tertentu.

Dan uraian di atas mi dapat disimpulkan, bahwa kebudayaan adalah kerangka acuan perilaku bagi masyarakat pendukungnya berupa nilai-nilai (kebenaran, keindahan, keadilan, kemanusiaan, kebajikan, dsb), sedangkan peradaban adalah penjabaran nilai-nilai tersebut melalui diwujudkannya norma-norma yang selanjutnya dijadikan tolokukur bagi kepantasan perilaku warga masyarakat ybs. Nilai keadilan diwujudkan melalui hukum dan sistem peradilan; nilai keindahan dijabarkan melalui berbagai norma artistik, nilai kesusllaan dinyatakan melalui berbagai tatakrama, nilai religius diungkapkan melalui berbagai norma agama, dan begitu seterusnya. Singkatnya, penjabaran nilai kebudayaan menjadi norma peradaban dapat dipandang sebagai pengalihan dan sesuatu yang transenden menjadi sesuatu yang immanen. Terjalinnya kesadaran transendensi dan immanensi inilah yang menjadikan dinamika sejarah kemanusiaan sebagai kaleidoskop perkembangan kebudayaan dan peradaban.

Pasang-surutnya kebudayaan sepanjang sejarah kemanusiaan nyata sekali ditentukan oleh sejaubmana kebudayaan itu masih berlanjut sebagai kerangka acuan untuk dijabarkan melalui sesuatu tatanan normatif. Misalnya, kebudayaan Pharaonic yang benlaku dalam masyarakat Mesir kuno surut seiring dengan klan memudarnya kebudayaan itu sebagai sumber acuan untuk penjabaran norma-norma perilaku bagi masyarakat Mesir sekarang. Tapi juga dalam era kontemporer mi suatu kebudayaan sebagai sistem nilai dapat dengan suatu rekayasa didesak oleh sistem nilai barn, sehingga kebudayaan yang lama kehilangan dayanya sebagai acuan untuk menjabarkan norma-norma perllaku. Perhatikan misalnya “Revolusi Kebudayaan” yang secara berencana dilancarkan di Republik Rakyat Cina pada pertengahan tahun 6Oan; perubahan serupa pun teijadi tatkala Partai Komunis Rusia berhasil menggulingkan kekaisaran di Rusia dan memperkenalkan nilai-nllai barn sebagai acuan bagi norma perllaku barn yang ideal bagi suatu masyarakat komunis. Perhatikan pula perubahan yang terjadi di Turki, ketika Kemal Attaturk melancarkan gerakan modernisasi (yang diartikan sebagai ‘westemisasi’). Kesemuanya mi sekaligus menunjukkan bahwa kebudayaan adalah suatu pengejawantahan yang hidup selama ada masyarakat pendukungnya; hal mi berlaku balk bagi kebudayaan yang surut oleh perubahan zaman maupun yang kehadirannya dipaksakan untuk mendesak kebudayaan lama.(Kariadi, 2002)

Dalam sejarah kemanusiaan banyak contoh yang menunjukkan, bahwa timbul-tenggelamnya kebudayaan sangat dipengaruhi oleh apa yang tenjadi dalam pertemuan antarbudaya, yaitu sejauh mana satu di antara fihak yang saling bertemu kurang atau tidak lagi memiliki ketahanan budaya (cultural resilience). Kebudayaan adalah suatu daya yang sekaligus tersimpan (latent) dan nyata (actual). Demikianlah kebudayaan mengandung dua daya sekaligus, yaitu sebagai daya yang cenderung melestanikan dan daya yang cenderung berkembang atas kemekarannya sendiri. Antara kedua daya inilah tiap masyarakat pendukung kebudayaan tertentu berada; satu daya mempertahankannya agar lestani dan daya lainnya menariknya untuk maju; satu daya dengan kecenderungan preservatif dan satunya lagi dengan kecenderungan progresif. 

Dalam kondisi demikian itulah pertemuan antar­budaya sangat berpengaruh atas perimbangan antara kedua daya tersebut. Sampai batas tertentu dan saling-pengaruh yang terjadi itu dapat terpantul seberapa tinggi derajat kesadaran dan tingkat ketahanan budaya masing-masing fihak yang saling bertemu. Tangguh atau rapuhnya ketahanan budaya biasanya dilatani oleh menurunnya kesadaran masyarakat yang bersangkutan terhadap kebudayaannya sebagai pengukuh jatidirinya. Makin rendah derajat ketahanan budaya masyarakat pendukungnya, makin kuat pula budaya asing yang menerpanya berpengaruh dominan terhadap masyarakat itu.

Proses globalisasi yang diakibatkan oleh berbagai prakarsa dan kegiatan pada skala internasional sebagaimana menggej ala dewasa mi pun penlu kita cermati sejauhmana siginifikan pengaruhnya dalam pertemuan antar-budaya. Dalam kaitan mi pertemuan antar-budayajangan terutama digambarkan sebagai pertemuan antara dua fihak belaka, melainkan terjadi dengan ketenlibatan sejumlah fihak secara segera (instantaneous) serta serempak (simultaneous). Kesanggupan sesuatu satuan budaya untuk mempertahankan kesejatiannya dalam pertemuan antar-budaya yang demikian majemuknya itu sangat ditentukan oleh tinggi-rendahnya derajat kesadaran budaya dan tanguh­rapuhnya tingkat ketahanan budaya masyarakat pendukungnya. Budaya asing yang berpengarnh dominan terhadap satuan budaya asli bisa membangkitkan kesan sebagai ‘model’ untuk ditiru. Kecenderungan meniru itu dalam kelanjutannya bisa terpantul melalui berkembangnya gayahidup (ljfestyle) barn yang dianggap superior dibandingkan dengan gayahidup lama. Berkembangnya gayaliidup baru itu dapat menimbulkan kondisi sosial yang ditandai oleh heteronomi, yaitu berlakunya herbagai norma acuan penilaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Perubahan gayahidup yang ditiru dan budaya asing bisa berkelanjutan dengan timbulnya gejala keterasingan dan kebudayaan sendiri (cultural alienation).(Ekawati, 2003)

Karena perhatian akan kita pusatkan pada persoalan pertemuan antar­budaya dalam era globalisasi, maka ada baiknya kita bahas dahulu hal-ihwal yang berkenaan dengan globalisasi sebagai proses maupun globalisme sebagai carapandang yang dewasa mi cenderung dianut dalam tata-pergaulan intemasional. Sebagai proses, globalisasi benlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antarbangsa, yaitu dimensi ruang (space) dan waktu (time). Ruang/jarak makin diperdekat dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala mondial. Seantero jagad seolah-olah tertangkap dalam satu janingan besar tanpa adanya suatu pusat tunggal. Kendatipun dalam periode Perang Dingin kondisi bipolar seakan-akan membelah-dua dunia mi dengan pengendalian dan dua pusat kekuatan dunia yang saling bertentangan, usainya Perang Dingin tidak menjadikan dunia kita monosentnik. Justru plunisentrisme dan multipolaritas menjadi cmi dunia menjelang akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke-2 1. Tidak ada kekuatan tunggal yang mutlak dan sanggup mengabaikan -apalagi mengungguli- kondisi global yang plurisentnik dan multipolar dalam era kontemporer. Dalam kondisi demikian itulah globalisme menjadi cara pandang dalam interaksi antarbangsa, dan hal ml pada gllirannya mendorong berlangsungnya proses globalisasi yang terus berkembang atas kemekarannya sendiri.

Dalam perkembangan sedemikian itu dirasakan makin dipenlukannya suatu tatanan dunia baru yang perwujudannya memperhatikan plurisentrisme dan multipolanitas sebagai kenyataan global masakini. Tatanan itu tentu menuntut dirancangnya berbagai sistem dan pelembagaan yang hams diwujudkan sebagai konsekuensinya. Rancangan demikian itu tentunya hams dapat ditenima oleh majonitas eksponen yang ambilbagian dalam janingan global yang plunisentrik dan multipolar. Ditenimanya suatu tatanan global barn mestinya dapat diandalkan pada tergalangnya konsensus maksimal di antara segenap eksponen yang berperan dalam janingan itu. Dewasa mi sistem dan pelembagaan termaksud tenutama nyata perkembangannya dalam bidang ekonomi dan perdagangan internasional; globalisasi dalam bidang ml sudah dijangkau oleh sistem dan pelembagaan yang makin dijadikan acuan dalam hubungan internasional.

Dalam bidang mi tampaknya tiada altematif lain bagi kita kecuali turut berperan di dalamnya, suka-tak-suka; sedang kesiapan untuk ambilbagian dalam tatanan barn itu merupakan imperatif yang sukar dielakkan, mau-tak-mau.

Dalam naskah mi perhatian kita pusatkan pada penjelmaan globalisme dalam bidang yang jelas berdampak terhadap wawasan budaya kita, yaitu bidang informasi dan komunikasi yang sangat tertunjang oleh pesatnya laju perkembangan teknologi yang semakin canggih. Dalam bidang inilah terjadi pemadatan dimensi rnang dan waktu (yang disebut Harvey ‘time-space compression’); jarak makin diperdekat dan waktu makin dipersingkat. Dalam bidang informasi, maka terjadilah banjir deras informasi (information glut) yang menghujani kita dan nyanis tak lagi terkendali; dan sebagaimana terjadi dengan setiap banj in, maka dalam hal mi pun terbawa limbah yang samasekali tidak berguna; maka betapa pun paradoksal kedengarannya, banjir informasi melalui sistem dan pelembagaan yang didukung oleh teknologi canggih tidak dengan sendirinya mempenkaya wawasan kita, melainkan bisa juga mencemani kita secara mental. Maka tidaklah mengherankan kalau banjir informasi itu akhirya juga bisa benpengaruh terhadap carapandang maupun gayahidup kita; dan inilah awal dan suatu proses yang akhimya bisa bermuara pada pernbahan sikap mental dan kultural.


Teknologi informasi dan komunikasi dalam era globalisasi mi merupakan pendukung utama bagi tenselenggaranya pertemuan antarbudaya. Dengan dukungan teknologi modem infonmasi dalam berbagai bentuk dan untuk benbagai kepentingan dapat disebarluaskan begitu rnpa, sehingga dengan mudah dapat mempengaruhi carapandang dan gayahidup kita. Kesegeraan dan keserampakan anus informasi yang dengan derasnya menerpa kita seolah-olah tidak membenikan kesempatan pada kita untuk menyerapnya dengan filter mental dan sikap knitis. Perlu dicatat, bahwa dalam pertemuan antar-budaya mengalirnya anus informasi itu tidak senantiasa terjadi secara dua-arah; dominasi cendernng terjadi dan fihak yang memiliki dukungan teknologi lebih maju terhadap fihak yang lebih terbelakang. Makin canggih dukungan tersebut makin besar pula anus informasi dapat dialirkan dengan jangkauan dan dampak global. Kalau dewasa ml dianut asas ‘kebebasan arns informasi’ (free flow of information), maka yang sesungguhnya terjadi bukanlah ‘pertukanan informasi’ (exchange of information) berupa proses dua-arah yang cukup bermmbang, melainkan dominasi anus informasi dan fihak yang didukung oleh kesanggupan merentangkan sistem informasi dengan jangkauan global. Dengan jangkaun sedemikian itu, maka fmhak yang lebih unggul dalam menguasai teknologi informasi dan komunikasi niscaya lebih berkesanggupan untuk membiaskan pengaruhnya secara global. (Ridwansyh, 2001)

Gejala tersebut nyata berpengaruh atas terbentuknya sikap mental dan kultural pada fihak yang diterpa (expose) oleh fihak yang menerpanya (impose) dengan anus informasi. Maka tidak mustahil kemajuan masyarakat yang diterpa cenderung diukur secara memperbandingkan dengan hal-ihwal yang dipenkenalkafl melalui informasi dan fihak yang menerpa. Kecenderungan mi adakalanya dianggap sebagai bagian dan upaya ‘modemisasi’, dan ditenima dengan alasan ‘mengikuti kecenderungafl global’. Sikap yang naif mi antara lain juga ditandai oleh kecenderungan glonifikasi terhadap fihak yang diunggulkan sebagai sumber informasi global dan tampil sebagai penentu kecendeningafl (trend-setter) dalam pembentukan sikap mental dan kultural serta gaya hidup barn.

Pengertian Perubahan Sosial Menurut Ahli

Pengertian Perubahan Sosial 
Pengertian tentang perubahan sosial mudah dijumpai. Hal ini disebabkan oleh luasnya cakupan pembahasan perubahan sosial. Perubahan sosial mencakup ilmu sosial politik, budaya, ekonomi, bahkan pada persoalan tehnik sipil, industri, dan informasi. Perubahan sosial dapat terjadi disegala bidang, dan pendorong perubahan sosial dapat disebabkan oleh segala bidang utamanya bidang ilmu yang disebutkan di atas. Meskipun perubahan sosial terjadi disegala bidang seperti yang disebutkan tadi, perubahan sosial memiliki satu arti yang sama, yaitu pergeseran sesuatu menuju yang baru. Namun menjadi arti yang berbeda ketika didefinisikan berdasarkan bidang/spesifikasi ilmu. Berikut definisi perubahan sosial menurut beberapa ahli.

William F. Ogburn mengemukakan bahwa ruang lingkup perubahan- perubahan sosial mencakup unsur- unsur kebudayaan yang materiil maupun immateriil dengan menekankan bahwa pengaruh yang besar dari unsur-unsur immaterial.

Kinglesy Davis mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi dalam fungsi dan struktur masyarakat. Perubahan- perubahan sosial dikatakannya sebagai perubahan dalam hubungan sosial (sosial relationship) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial tersebut.

Gillin dan Gillin mengatakan bahwa perubahan – perubahan sosial untuk suatu variasi cara hidup yang lebih diterima yang disebabkan baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, kempetisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi atau perubahan- perubahan baru dalam masyarakat tersebut.

Sole Soemardjan mengatakan perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan di dalam sutau masyarakat yang mempengaruhi sitem sosial, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap- sikap dan pola perilaku diantara kelompok dalam masyarakat.

Prof. Dr. M. Tahir Kasnawi mengartikan perubahan sosial merupakan suatu proses perubahan, modifikasi, atau penyesuaian-penyesuaian yang terjadi dalam pola hidup masyarakat, yang mencakup nilai-nilai budaya, pola perilaku kelompok masyarakat, hubungan-hubungan sosial ekonomi, serta kelembagaan-kelembagaan masyarakat, baik dalam aspek kehidupan material maupun nonmateri.

Definisi perubahan sosial yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas memiliki kesimpulan yang sama bahwa perubahan sosial terjadi adanya pergeseran orientasi manusia dari yang lama menuju sesuatu yang baru dan disebabkan oleh pola pikir manusia yang dipengaruhi lingkungan yang ada. Perubahan tersebut berada pada dua bidang terdiri dari perubahan materiil dan immaterial. Perubahan materiil yaitu perubahan fisik yang dilakukan dan dialami oleh manusia misalnya dalam hal teknologi telah merubah pola interaksi manusia dari tatap muka menjadi perantara. Perubahan immaterial yang oleh Soetomo disebut perubahan idealistik, yaitu perubahan keyakinan dan prinsip hidup manusia, misalnya berkaitan dengan HAM.

Pendekatan Teori Perubahan Sosial
Pembahasan pendekatan teori dalam diskusi perubahan sosial menjadi hal penting. Karena pendekatan adalah kacamata awal untuk melihat, menganalisa, bahkan menjadi paradigma pemikiran dalam memahami realitas sosial termasuk perubahan sosial. Perbedaan pendekatan akan menghasilkan perbedaan pendefinisian realitas sosial (perubahan sosial).

Prof. Dr. M. Tahir Kasnawi membagi tiga pendekatan teori perubahan sosial, yaitu: Pendekatan teori klasik, Pendekatan teori equilibrium, Pendekatan teori modernisasi, dan Pendekatan teori konflik. Berikut diuraikan pendekatan-pendekatan tersebut.

Pendekatan Teori Klasik.
Dalam kelompok teori-teori perubahan sosial klasik dibahas empat pandangan dari tokoh-tokoh terkenal yakni August Comte, Emile Durkheim, dan Max Weber.

August Comte menyatakan bahwa perubahan sosial berlangsung secara evolusi melalui suatu tahapan-tahapan perubahan dalam alam pemikiran manusia, yang oleh Comte disebut dengan Evolusi Intelektual. Tahapan-tahapan pemikiran tersebut mencakup tiga tahap, dimulai dari tahap Theologis Primitif; tahap Metafisik transisional, dan terakhir tahap positif rasional. setiap perubahan tahap pemikiran manusia tersebut mempengaruhi unsur kehidupan masyarakat lainnya, dan secara keseluruhan juga mendorong perubahan sosial.

Emile Durkheim melihat perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari faktor-faktor ekologis dan demografis, yang mengubah kehidupan masyarakat dari kondisi tradisional yang diikat solidaritas mekanistik, ke dalam kondisi masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas organistik.

Max Weber pada dasarnya melihat perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat adalah akibat dari pergeseran nilai yang dijadikan orientasi kehidupan masyarakat. Dalam hal ini dicontohkan masyarakat Eropa yang sekian lama terbelenggu oleh nilai Katolikisme Ortodox, kemudian berkembang pesat kehidupan sosial ekonominya atas dorongan dari nilai Protestanisme yang dirasakan lebih rasional dan lebih sesuai dengan tuntutan kehidupan modern.

Dengan jelas pandangan teori klasik tentang perubahan sosial di atas disimpulkan bahwa perubahan sosial berlangsung secara bertahap (step by step). Perubahan sosial yang demikian disebut juga perubahan sosial alami (perubahan yang terjadi dengan sendirinya melalui akal fikiran manusia sebagai mahluk sosial).

Pendekatan Teori Eqiulibrium
Pendekatan ekuilibrium menyatakan bahwa terjadinya perubahan sosial dalam suatu masyarakat adalah karena terganggunya keseimbangan di antara unsur-unsur dalam sistem sosial di kalangan masyarakat yang bersangkutan, baik karena adanya dorongan dari faktor lingkungan (ekstern) sehingga memerlukan penyesuaian (adaptasi) dalam sistem sosial, seperti yang dijelaskan oleh Talcott Parsons, maupun karena terjadinya ketidakseimbangan internal seperti yang dijelaskan dengan Teori kesenjangan Budaya (cultural lag) oleh William Ogburn.

Teori ekuiliberium yang dijelaskan diatas cenderung mengatakan bahwa perubahan sosial dikarenakan adanya salah satu bagian sistem yang tidak berfungsi dengan baik. Dalam pendekatan ini perubahan sosial berjalan dengan lambat dan perubahan sosial diatur dan dikendalikan oleh struktur yang ada (behind design) atau rekayasa sosial.

Secara eksplisit pendekatan ini tidak menginginkan adanya perubahan sosial, dibukti dengan adanya keharus aktor atau institusi sosial untuk memiliki prinsip Adaptasi, Gold, Integrasi, (AGIL) dalam sistem sosial. Keseimbangan sistem dibutuhkan dalam mencapai tujuan bersama.

Pendekatan Teori Modernisasi
Pendekatan modernisasi yang dipelopori oleh Wilbert More, Marion Levy, dan Neil Smelser, pada dasarnya merupakan pengembangan dari pikiran-pikiran Talcott Parsons, dengan menitikberatkan pandangannya pada kemajuan teknologi yang mendorong modernisasi dan industrialisasi dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Hal ini mendorong terjadinya perubahan-perubahan yang besar dan nyata dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk perubahan dalam organisasi atau kelembagaan masyarakat.

Pendekatan Teori Konflik
Adapun pendekatan konflik yang dipelopori oleh R. Dahrendorf dan kawan-kawan, pada dasarnya berpendapat bahwa sumber perubahan sosial adalah adanya konflik yang intensif di antara berbagai kelompok masyarakat dengan kepentingan berbeda-beda (Interest groups). Mereka masing-masing memperjuangkan kepentingan dalam suatu wadah masyarakat yang sama sehingga terjadilah konflik, terutama antara kelompok yang berkepentingan untuk mempertahankan kondisi yang sedang berjalan (statusquo), dengan kelompok yang berkepentingan untuk mengadakan perubahan kondisi masyarakat.

Pendekatan teori konflik terinspirasi dari teori perubahan sosial Karl Marx yang mangatakan pada dasarnya melihat perubahan sosial sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam tata perekonomian masyarakat, terutama sebagai akibat dari pertentangan yang terus terjadi antara kelompok pemilik modal atau alat-alat produksi dengan kelompok pekerja.

Pada dasarnya ke empat pendekatan yang dijelaskan di atas adalah satu kesatuan yang memiliki perbedaan pendefinisian atas perubahan sosial. Dikatan demikian, karena munculnya pendekatan- pendekatan yang dijelaskan tadi atas dasar perbaikan dan kritikan pendekatan sebelumnya (proses ini sering disebut proses dialektika). Setiap pendekatan pasti memiliki kelebihan dan kekurangan (ini hal yang alami dan tidak terbantahkan dalam realitas sosial). Berikut digambarkan bagan hubungan pendekatan dalam teori perubahan sosial.

Bagan Hubungan Pendekatan dalam Teori Perubahan Sosial (Bagan tidak bisa ditampilkan).
Pendekatan equiliberium dan pendekatan modernisasi memiliki arti yang sama dan saling melengkapi dan terinsipirasi dari pendekatan teori klasik. Sedangkan Pendekatan teori konflik muncul mengritisi kekurangan dan kelemahan pendekatan equiliberium dan modernisasi. Perspektif pendekatan teori konflik, perubahan sosial pendekatan ekuiliberium dan modernisasi adalah perubahan yang diatur oleh struktur sosial yang berkuasa dan bermodal, oleh karena itu peluang terjadi eksploitasi terhadap masyarakat yang tidak memiliki modal sangat memungkinkan. Tolak ukur pendekatan konflik adalah perubahan sosial harus mengangkat hak- hak masyarakat bukan penguasa maupun pengusaha. Demikian hubungan antar pendekatan dan teori perubahan sosial.

Tipe- Tipe Perubahan Sosial
Berdasarkan pendekatan – pendekatan perubahasan sosial yang dijelaskan di atas perubahan sosial dapat dibagi dua, yaitu tipe evolusi (perubahan bertahap), dan tipe revolusi (perubahan cepat). Ditinjau dari perencanaan, tipe perubahan sosial terdiri dari, perubahan terencana dan tidak terencana. Diukur dari pengaruh, maka perubahan sosial dibagi dua tipe, yaitu perubahan sosial yang pengaruhnya kecil dan perubahasan sosial yang pengaruhnya besar.

Jadi disimpulkan perubahan sosial ada enam tipe: Perubahan sosial evolusi, Perubaan sosial revolusi, perubahan sosial terencana, perubahan sosial tidak terencana, perubahan sosial berpengaruh kecil, dan perubahasan sosial berpengaruh besar. Berikut penjelasan definisi serta contoh tipe- tipe perubahan sosial tersebut.

Perubahan Sosial Evolusi
Menurut Paul Bohannan dalam Soerjono Soekanto (1982,315), perubahasan sosial evolusi adalah perubahan- perubahan yang memerlukan waktu yang lama, dimana terdapat suatu rentetan perubahan- perubahan kecil yang saling mengikuti dengan lambat. Pada evalusi, perubahan- perubahan terjadi dengan sendirinya, tanpa suatu rencana ataupun suatu kehendak tertentu. Perubahan- perubahan terjadi oleh karena usaha- usaha masyarakat untuk menyusaikan diri dengan keperluan- keperluan, keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi baru, yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Rentetan perubahan-perubahan tersebut, tidak perlu sejalan dengan rentetan peristiwa –peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang bersakutan.

Berdasarkan penjelasan Paul di atas maka ciri-ciri perubahan evolusi adalah: 
  • Perubahan terjadi dengan sendirinya (perubahan alami) 
  • Perubahan membutuhkan rentan waktu yang lama 
  • Perubahan terjadi karena usaha manusia untuk mendapatkan kebutuhan sesuai dengan kondisi yang ada disekitar kehidupan manusia (kondisi-kondisi baru). 
  • Penggerak perubahan bukan tergantung institusi/struktur sosial namun kebutuhan dan kondisi riil yang ada. 
Perubahan sosial evolusi biasanya terjadi pada masyarakat tradisional, yaitu masyarakat yang memiliki struktur sosial tertutup (tidak memiliki akses informasi dari lingkungan eksternal). Dan biasanya persoalan yang terkait dengan immaterial tidak dapat dilakukan perubahan. Contoh, masyarakat di bali yang memiliki strata sosial ksatria, brahmana, waisyak, dan sudra. Masyarakat digolongkan pada kelas tertentu atas dasar keturunan bukan keterampilan seperti di masyarakat modern (open society). Oleh karena itu masyarakat sulit merubah status sosial yang dimiliki.

Teori perubahan sosial evolusi seperti yang dijelaskan di atas menenuai banyak kritikan dan pertanyaan. Misalnya Soerjono Soekanto dalam buku pengantar sosiologi (buku rujukan sosiologi sekolah dasar hingga perguruan tinggi) mempertanyakan seperti berikut ini “apakah suatu masyarakat berkembang melalui tahap- tahap tertentu. Lagipula adalah sangat sukar untuk memastikan bahwa tahap yang telah dicapai dewasa ini, merupakan tahap terakhir dan sebaliknya telah berkembang secara pasti, apakah pasti menuju ke bentuk kehidupan sosial yang lebih sempurna apabila dibandingkan dengan keadaan dewasa ini, atau bahkan sebaliknya?”. Atas pertanyaannya itu Soerjono Soekanto mengatakan “para sosilog telah banyak meninggalkan teori-teori evolusi tentang masyarakat.

Perubahan Sosial Revolusi
Secara sederhana arti perubahan sosial revolusi adalah perubahan yang terjadi dengan cara cepat mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok daripada kehidupan manusia (Soerjono Soekanto, 1982, 317). Di dalam revolusi, perubahan sosial dapat terjadi dengan terencana dan tidak terencana (spontan). Dan perubahan revolusi yang terencana membutuhkan waktu yang agak lama namun secara psikologis dirasakan cepat, seperti misalnya revolusi industri yang dimulai di Inggris, dimana terjadi perubahan – perubahan dari tahap produksi tanpa mesin menuju ke tahap produksi dengan menggunakan mesin. Perubahan tersebut dianggap cepat, karena merubah sendi-sendi pokok daripada kehidupan masyarakat, seperti misalnya sistem kekeluargaan , hubungan antara buruh dengan majikan dan seterusnya (contoh dikutip dari Soerjono Soekanto).

Revolusi yang tidak terencana (direncanakan dalam waktu yang singkat), yaitu perubahan sosial yang terjadi pada struktur politik dan pemerintahan yang disebabkan oleh adanya gerakan sosial melawan ketidakadilan Negara dalam distribusi kekuasaan, kewenangan, dan distribusi ekonomi kepada masyarakat umum, seperti misalnya gerakan reformasi 1998 di Indonesia, gerakan sosial 2011 di Tunisia dan Mesir. Perubahan struktur politik dan pemerintahan di ketiga negara tersebut terjadi dalam waktu yang sangat cepat (hitungan bulan). Untuk menuju revolusi yang demikian dibutuhkan hal- hal berikut ini, memiliki pimpinan revolusi (gerakan sosial), memiliki kesadaran bersama, memiliki kondisi yang sama, memiliki solidaritas sosial yang tinggi, momentum yang tepat, dan memiliki kekuatan finansial dan fisik.

Secara teoritis perubahan sosial revolusi terjadi pada masyarakat terbuka (open society), yaitu masyarakat yang sadar akan informasi dan teknologi. Kekuatan revolusi di Mesir dan Tunisia digalang melalui teknologi internet program Twiter dan Facebook. Ini menjadi buktinyata pengaruh teknoligi terhadap perubahan sosial revolusi.

Perubahan Sosial Terencana
Perubahan sosial terencana merupakan perubahan yang diatur oleh aktor-aktor tertentu dalam mewujudkan tujuan yang sama. Aktor-aktor tersebut menyusun strategi, ide, dan program dengan sistimatis bahkan dijadikan sebagai acuan normatif seperti misalnya Negara melalui birokrasi untuk mewujudkan tujuan kesejahteraan masyarakat (merubah Negara miskin menjadi Negara berkembang, Negara berkembang menjadi Negara maju) direncanakan dan ditetapkan program-program bersama jadwal untuk mewujudkan tujuan tersebut.

Perubahan Sosial Tidak Terencana
Perubahan sosial tidak terencana adalah perubahan sikap dan perilaku manusia disebakan oleh lingkungan dan kondisi yang ada seperti misalnya perubahan perilaku komunikasi manusia, sebelum memasuki abad teknologi manusia tidak pernah membayangkan diabad sekarang ini (abad modern) manusia tidak lagi hanya komunikasi tatap muka namun bisa dilakukan dengan cara jarak jauh melalui Handpon (HP), Internet (Email, Twiter, Feecbook, dll).

Perubahan Sosial Pengaruhnya Kecil
Perubahan sosial pengaruhnya kecil adalah perubahan yang dampaknya tidak langsung pada perubahan struktur sosial politik dan pemerintahan. Pengaruhnya hanya pada wilayah perilaku manusia secara individu misalnya seperti mode/tren pakaian.

Perubahan Sosial Pengaruhnya Besar
Perubahan sosial yang dirasakan oleh orang banyak (institusi sosial) seperti misalnya perubahan dari agraris menuju industri. Perubahan tersebut membawa dampak pada perubahan struktur sosial yang ada. Dari struktur sosial yang orientasi agraris menjadi industri. Contoh lain, perubahan struktur politik pemerintahan otoriter menuju politik pemerintahan demokratis mebawa dampak besar bagi perubahan sikpa dan budaya politik masyarakat.

Perubahan Materiil dan Immateriil
Selain tipe-tipe perubahan sosial yang didiskusikan di atas masih ada beberapa tipe perubahan sosial yang ditinjau dari perspektif struktur sosial sebagaimana yang didiskusikan oleh Drs. Wawan Ruswanto, M.Si dalam buku modul/bahan ajar (reviuwer Juli Astutik, belum dipublikasikan dalam bentuk buku). Berdasarkan teori-teori perubahan sosial strukturasi Ruswanto menguraikan tipe perubahan sosial berdasarkan perspektif struktur sosial sebagai berikut. 

Perubahan dalam personel (changes in personnel), yang berhubungan dengan perubahan peran dan individu-individu baru dalam sejarah kehidupan manusia yang berkaitan dengan keberadaan struktur. 

Perubahan dalam cara bagian-bagian dari struktur berhubungan (changes in the way parts of structures relate). Perubahan pada tipe ini menyangkut hubungan-hubungan peran (role relationships). 

Perubahan dalam fungsi-fungsi struktur (changes in the functions of structures). Perubahan dalam tipe ini berkaitan dengan apa yang dilakukan masyarakat dan bagaimana masyarakat tersebut melakukannya. 

Perubahan dalam hubungan antara struktur yang berbeda (changes in the relationships between different structures). 

Kemunculan struktur baru (the emergence of new structures). Perubahan yang terjadi merupakan peristiwa munculnya struktur baru untuk menggantikan struktur sebelumnya. 

Tipe perubahan sosial yang dijelas Ruswanto di atas menggunakan pendekatan struktural fungsional Talcott Parson yang terfokus pada analisa peran struktur. Meskipun banyak kritikan namun pendekatan tersebut memberikan kontribusi banyak dalam memahami realitas sosial tentang perubahan sosial. Sedikit banyak yang disampaikan oleh Ruswanto di atas adalah fenomena riil yang terjadi pada kehidupan masyarakat.

Faktor Pendorong dan Penghambat Perubahan Sosial

Faktor Pendorong Perubahan Sosial
Sudah menjadi kesepakatan umum perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat akan dan pasti terjadi baik dengan lambat maupun cepat, terencana maupun tidak terencana, dan berpengaruh besar maun kecil. Pertanyaannya apa faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial? Sebagai bentuk jawaban atas pertanyaan ini telah melahirkan banyak teori.

Soejono Sukanto mengatakan perubahan sosial disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Sebab-sebab yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri adalah antara lain: 
  • Bertambah atau berkurangnya penduduk. Dengan bertambahnya penduduk menyebabkan terjadinya perubahan struktur masyarakat, terutama yang menyangkut lembaga- lembaga kemasyarakatan. Berkurangnya penduduk yang disebabkan oleh adanya aktivitas transmigrasi juga berpengaruh pada perubahan struktur masyarakat. 
  • Penemuan- penemuan baru. Penemuan baru ditengah kehidupan masyarakat berdampak luas pada cara hidup masyarakat seperti misalnya pada pengolahan lahan dengan menggunakan pacul/tembilang yang menguras tenaga manusia lebih besar. Karena inovasi manusia, cara tersebut mulai ditinggalkan dan digantikan dengan cara baru, hasil temuan manusia yaitu pengolahan lahan dengan menggunakan mesin traktor. 
  • Pertentangan (conflict) didalam masyarakat. Konflik antar individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok dapat berpengaruh besar pada perubahan sosial budaya seperti misalnya pertentangan individu dengan tradisi kebudayaan dilingkungan sekitar. 
  • Terjadinya pemberontakan atau revolusi. Gerakan revolusi berpengaruh lebih besar dalam perubahan sosial dibandingkan penyebab lain. Karena revolusi merubah bentuk dan struktur Negara dan pemerintahan. 
Soetonomo (2009, 83) menjelaskan ada lima faktor yang mendorong perubahan sosial diantaranya: sebagai upaya pemecahan masalah sosial, percepatan perubahan, proses reintegrasi, memotong lingkaran kemiskinan, transformasi struktur dan antisipasi dampak. Faktor perubahan sosial tersebut oleh Soetonomo diistilahkan sebagai perubahan sosial terencana menuju kondisi sosial yang lebih baik.

1. Pemecahan Masalah Sosial
Soetomo menguraikan “sebagaimana diketehui, masalah sosial kondisi yang tidak diharapkan, karena mengandung unsur yang merugikan, baik fisik maupun non fisik, atau merupakan pelanggaran terhadap norma maupun standar sosial”.

Masalah sosial juga dapat dikatakan sebagai penyakit sosial yang meresahkan masyarakat bahkan negara seperti misalnya tindakan teroris yang melakukan bom bunuh diri, bom buku, bom senter, bom tarmos,dll terhadap tempat umum atau individu. Ini menjadi masalah sosial ditengah kehidupan masyarakat dan bernegara. Oleh karena itu masyarakat, negara, dan pihak tertentu harus mengambil langkah untuk merubah tindakan terorisme menjadi sesuatu yang lebih baik dan dapat menciptakan keamanan dan kedamaian.

2. Percepatan Perubahan
Definis percepatan perubahan dalam konteks ini adalah mendorong perubahan alami menjadi perubahan terencanakan dengan tujuan dapat berubah lebih cepat. Langkah ini diatur oleh struktur sosial yang memiliki otoritas untuk mengatur dan mengarahkan struktur sosial dibawahnya seperti misalnya untuk merubah pola pikir tradisional masyarakat Baduy menuju pola pikir moderen dengan cara alami cenderung lambat, oleh karena itu perlu direncanakan oleh pemerintah terkait untuk merubah lebih cepat melalui program pembangunan yang dianggap tepat.

3. Memotong Lingkaran Kemiskinan
Perubahasan sosial dalam model ini mengarah pada pembangunan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang berada pada lingkaran kemiskinan diusahakan untuk merubah menuju masyarakat yang sejahtera sandang pangan. Langkah ini tentu berawal dari inisiatif negara dan didorong oleh kemauan keras masyarakat itu sendiri.

4. Transformasi Struktur dan Antisipasi Dampak
Berdasarkan perspektif struktural fungsional, kondisi pembangunan sangat tergantung dari struktur sosial yang ada. Jika struktur sosial korup maka pembangunan akan bertumpu pada struktur sosial tertentu dan distribusi kekuasaan terpusat pada struktur tertentu pula akhirnya keadilan yang dinginkan tidak dapat terwujud dalam kehidupan manusia. Oleh sebab itu, perlu dilakukan perubahan atau reformasi struktur sosial menuju struktur yang mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Good and Political Will seluruh lapisan sosial utamanya negara adalah hal utama yang harus dimiliki dalam melakukan transformasi struktur serta menjaga struktur baru agar berjalan dengan baik dan dapat mewujudkan cita- cita dan tujuan yang dinginkan.

Faktor Penghambat Perubahan Sosial
Ada beberapa alasan atau faktor kenapa perubahan sosial cenderung lambat dan bahkan jalan ditempat. Berikut diuraikan penghambat perubahan sosial.

Kurangnya Hubungan Dengan Masyarakat Lain
Individu atau masyarakat yang tidak memiliki atau tidak mau memiliki akses untuk berhubungan dengan masyarakat lain. Dadot (2011) “bahwa masyarakat tersebut tidak dapat mengetahui perkembangan-perkembangan apa yang terjadi pada masyarakat lain di luarnya. Jika hal tersebut tetap berlangsung, atau bahkan tidak sepanjang masa maka akan menyebabkan kemunduran bagi masyarakat yang bersangkutan, sebab mereka tidak memperoleh masukan-masukan misalnya saja pengalaman dari kebudayaan lain, yang dapat memperkaya bagi kebudayaan yang bersangkutan. Oleh karena itu, faktor ketertutupan atau kurangnya hubungan dengan masyarakat atau kebudayaan lain, menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat atau menghalangi bagi proses perubahan sosial dan budaya di dalam masyarakat”.

Tradisi dan Adat
Karena tradisi dan adat merupakan aktivitas yang dilakukan secara berulang-ulang dan dianggap sebagai aktivitas yang sakral oleh masyarakat tertentu maka tidak gampang untuk dirubah meskipun aktivitas itu mengorbankan harta bahkan jiwa seperti misalnya tradisi Ngayau (potong kepala) suku Dayak Iban di Kalimantan Barat.

Kepentingan Politik yang Tertanam Kuat
Negara – negara yang memiliki sistem politik tertutup (otoriter, monarki, sosialis) memiliki kepentingan politik yang tertanam kuat akhirnya perubahan pada struktur sangat sulit dilakukan termasuk pergantian pimpinan negara.

Manusia Pasrah pada Nasib (takdir Tuhan)
Manusia seperti ini sulit untuk merubah hidup karena prinsip yang dimiliki hidup tergantung tuhan sedangkan manusia hanya menunggu dan menerima nasib/takdir. Biasanya manusia yang berprinsip seperti ini tidak memiliki wawasan luas tentang ketuhanan dan mereka berada jauh dari akses pendidikan dan informasi.

Penutup, Mitos Pembangunan dan Perubahan Sosial
Pada bagian ini penulis mendiskusikan pembangunan dan perubahan sosial perspektif kritis. Maksud dari topik ini adalah melihat dan menganalisa pembangunan dan perubahan sosial yang sedang dan telah terjadi berdasarkan pandangan kritis. Pembangunan di era globalisasi dan modernisasi telah banyak yang melakukan kritikan. Karena pembangunan di era tersebut menyampingkan hak asasi manusia (HAM) dan mengagungkan teknologi dan industrialisasi.

Menurut Mansour Fakih (2006), teori pembangunan dan globalisasi yang begitu diagung-agungkan oleh negara maju telah gagal dalam mewujudkan tujuannya bagi negara di Asia. Negara NIC (Newly Industrial Countries) yang menjadi percontohan telah hancur dan tidak bisa bertahan diterpa oleh badai krisis multidimensi yang melanda dunia. Revolusipun bukan suatu langkah yang tepat dalam pembangunan politik. Karena menurut Irma Adelman (dalam Fakih, 2006: 66), 40-60 % penduduk di negara miskin menjadi semakin buruk. Yang diperlukan adalah human resource development untuk mencapai pertumbuhan dengan pemerataan. Dengan pembangunan sumberdaya manusia diharapkan akan dapat menumbuhkan kesadaran dan daya kritis masyarakat terhadap proses pembangunan politik (http://duniapolitik-wibiono.blogspot.com,2011).

Indonesia, salah satu contoh negara berkembang yang melakukan pembangunan tetapi mengorbankan kepentingan (masyarakat). Masyarakat digusur dari tempat tinggalnya untuk kepentingan industri dan kapitalisme. Ambil contoh kasus penggusuran di Surabaya seperti yang dimuat di blog http://www.blogger.com/profile/18269832098847358043 sebagai berikut:
“212 KK atau 50% dari jumlah KK warga korban penggusuran stren kali jagir memilih menolak dan tidak mau menempati rusun yang dipersiapkan. Realitas diatas, dalam pandangan teori kebutuhan bertingkat psikologi humanistik dilatar belakangi oleh asumsi bahwa tindakan penggusuran menjadi ancaman pemenuhan kebutuhan fisiologis (physiological needs) dan kebutuhan akan rasa aman (need for self-security) sehingga bila tidak diimbangi dengan mekanisme pertahanan (defence mechanism), maka akan berpengaruh pada ketidak menentuan kondisi psikologis yang tercermin dari kelainan perilaku sehari-hari. Dengan demikian, tragedi penggusuran yang berdampak pada ketidak menentuan kondisi psikologis warga korban penggusuran tentu menjadi masalah yang memerlukan langkah-langkah solutif agar normalisasi kondisi psikologis warga minimal kembali pada kondisi sebelum terjadi penggusuran. Namun untuk mempertajam langkah-langkah solutif dipandang perlu menemukan gambaran perasaan tertekan yang dialami oleh warga korban penggusuran”.

Contoh di atas adalah sebagian kecil dari banyak kasus penggusuran lainnya. Model pembangunan seperti ini yang dikedepankan adalah kepentingan penguasa dan pengusaha. Mol, Rumah Susun, Ruko, Perusahaan Tambang, kanor- kantor mewah, gedung- gedung bertingkat, semuanya adalah milik penguasa dan pemodal. Ironisnya, pembangunan tersebut dibangun diatas penderitaan rakyat.

SUMBER-SUMBER

  • Soetomo, Cetakan 1, 2009. Pembangunan Masyarakat Merangkai Sebuah Kerangka. Penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta.
  • Soerjono Soekanto, Cetakan 1, 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Penerbit Rajawali Pers.
  • Ruswanto, dkk, 2011. Modul Mata Kuliah Perubahan Sosial Universitas Terbuka.
  • (http://duniapolitik-wibiono.blogspot.com,2011).
  • Perubahan Sosial dan Pembangunan oleh Prof. Dr. M. Tahir Kasnawi dalam http://pustaka.ut.ac.id/web/index.php.