PENGERTIAN AKHLAK ISLAMYAH MENURUT BEBERAPA AHLI

PENGERTIAN AKHLAK ISLAMYAH 
1. Pengertian Akhlak Islamiyah
Secara etimologi kata akhlak berasal dari bahasa arab اخلاق (akhlak) bentuk jamak dari mufradatnya خلق (khuluq), yang berarti budi pekerti. Secara terminlogi akhlak ialah budi pekerti, watak, kesusilaan (berdasarkan etik dan moral), yaitu kelakuan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap Khaliknya dan terhadap sesama manusia. 

Akhlak Islamiyah ialah tingkah laku rutin (kebiasaan) yang baik, yang diawali dari timbulnya keinginan untuk melakukan sesuatu perbuatan baik karena telah adanya rangsangan melalui inderanya yang menimbulkan kebimbangan pada dirinya antara melakukan atau tidak, kemudian ia memutuskan untuk bertindak dan bertingkah laku, karena perbuatan itu sesuai dengan norma hukum Islam, yang menimbulkan kecenderungan hati yang kuat, sehingga ia merasa senang melakukannya secara rutin dan memiliki rasa harga diri yang tinggi dalam pandangan Allah SWT. dan sesamanya. Lihat Ruang Lingkup akhak Islmiyah pada bab terdahulu!

2. Proses Terbentuknya Akhlak
Akhlak manusia tebentuk melalui proses kehendak dan pembiasaan, yaitu الخلق عادة الارادة (akhlak ialah membiasakan dan kehendak):
  1. Kehendak (الارادة). Proses terbentuknya melalui tiga proses, yaitu: Pertama, atimbulnya keinginan untuk melakukan sesuatu itu, setelah terlebuh dahulu adanya rangsangan melalui indera, Kedua timbul kebimbangan antaa dua pilihan, yaitu dilakukan atau tidak, dan ketiga, mengambil keputusan mana yang harus dilakukan.
  2. Membiasakan (عادة). Terbentuknya kebiasaan melalui dua proses, yaitu: pertama, adanya kecenderungan hati untuk melakukan sesuatu perbuatan. Kedua, dilakukan secara kontiniu (terus-menerus).
Maka iradah ialah keinginan yang dimenangkan. Apabila keinginan yang dimenangkan itu berupa perbuatan baik yang sesuai dengan syari’ah Islamiyah (norma hukum Islam) dan dilakukan secara rutin, maka ia menjadi terbiasa dan akhirnya menjadi ‘adah hasanah (kebiasaan yang baik). Apabila sudah menjadi kebiasaan, itulah dia akhlak al-karimah (akhlak yang terpuji), yang disebut juga dengan akhlaq mahmudah (akhlak yang terpuji), dan begitu pula sebaliknya yang melahirkan akhlaq mazmumah (akhlak yang tercela/akahlak jahiliyah).

3. Akhlak Terhadap Allah SWT. dan Rasul-Nya
Akhlak terhadap Allah SWT mencakup taqwa, cinta dan redha, ikhlas, khauf dan raja’, tawakkal, syukur, murakabah dan taubat.
  1. Taqwa ialah memelihara diri dari siksaan Allah swt. dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (Q.S. 2:177, 3:133-135, 3:102, 49:13, 8:29, 7:96, 65:2-4, 8:29).
  2. Cinta dan redha adalah kesadaran diri, perasaan jiwa dan dorongan hati yang menyebabkan seseorang terpaut hatinya terhadap apa yang dicintainya dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang (Q.S. 2:165, 9:24, 3:31, 8:2).
  3. Ikhlas ialah beramal semata-mata mengharapkan redha Allah swt. (Q.S. 98:5, 6:162, 4:142, 2:264-265).
  4. Khauf dan raja’ ialah sepasang sikap batin yang harus dimiliki secara seimbang oleh setiap muslim. Khauf adalah kegalauan hati membayangkan sesuatu yang tidak disukai yang akan menimpanya, atau membayangkan hilangnya sesuatu yang disukai, yang bersumber dari rasa takut kepada azab Allah swt. karena azab Allah swt.-lah yang paling berhak ditakuti (Q.S. 9:13, 35:28, 33:39). Raja’ adalah memautkan hati kepada sesuatu yang disukai pada masa yang akan datang, karena itu raja’ harus didahului oleh usaha yang sungguh-sungguh. Harapan tanpa usaha adalah merupakan angan-angan kosong (tamanny) (Q.S. 2:218, 12:87, 39:53).
  5. Tawakkal ialah membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada selain Allah swt. dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada Allah swt. semata (Q.S. 11:12, 5:23, 64:13). Tawakkal harus diawali dengan kerja keras dan usaha maksimal (ikhtiar), tidaklah dinamai tawakkal kalau hanya pasrah menunggu nasib tanpa ada usaha. Hakikat tawakkal ialah melibatkan kekuasaan Allah swt. pada setiap usaha atau kegiatan dari awal sampai akhir (Q.S. 3:159, 4:71 dan 102, 9:25, 65:3).
  6. Syukur ialah memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya. Syukurnya seorang hamba kepada Allah swt. harus bermuatan tiga dimensi sekaligus, yaitu hati, ucapan, dan perbuatan. (Q.S. 23:1-7, 2:152, 31:12, 14:7).
  7. Muraqabah adalah kesadaran seorang muslim bahwa ia selalu berada dalam pengawasan Allah swt., karena kesadaran itu lahir dari keimanannya terhadap Allah swt. yang maha mengetahui, maha Melihat dan maha Mendengar. (Q.S. 6:59, 4:1, 33:52, 40:19).
  8. Tobat ialah berarti kembali, orang yang bertobat adalah orang yang kembali dari sifat-sifat yang tercela kepada sifat-sifat yang terpuji, kembali dari larangan Allah SWT. kepada perintah Allah swt., kembali dari maksiat kepada taat, kembali dari segala yang dibenci Allah SWT. kepada yang diredhoi-Nya, kembali dari permusuhan kepada perdamaian dan persaudaraan, kembali dari meninggalkan Allah SWT. kepada dekat kepada Allah swt. (Q.S. 24:31, 66:8). Tidak ada istilah terlambat untuk bertobat, karena Allah SWT. maha penerima tobat terhadap hamba-Nya, betapapun besarnya dosa seseorang manusia apabila dia bertobat, kecuali syirik setelah bertauhid. (Q.S. 20:82, 20:14, 2:177, 1-5, 2:21-22, 98:5, 2:139, 3:104, 4:59, 47:33, 8:20, 22:41.
4. Akhlak terhadap Ibu Bapak
Berbakti dan Berbuat baik kepada ibu bapak merupakan kewajiban bagi setiap anak sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. 17:23-24, 2:83, 4:36, 6:51, 29:, 46:15, 31:14-15, 71:28. Setiap individu wajib berbuat baik dan bertanggung jawab atas keselamatan ibu/Bapaknya, yang dikenal dengan istilah birr al-walidain (berbuat baik pada ibu bapak) yang langsung diucapkan Rasulullah saw. dalam hadisnya, yang artinya: diriwayatkan dari Abu Abdirrahman Abdullah Ibn Mas’ud ra., dia berkata: Aku bertanya kepada Rasul; apa amalan yang paling disukai Allah swt.? beliau menjawab shalat tepat waktu. Aku bertanya lagi: Kemudian apa lagi? Beliau menjawab: Berbuat baik kepada ibu bapak, dan kemudian aku bertanya lagi: Apa lagi? Beliau menjawab jihad pada jalan Allah SWT. (H.R. Muttafaqun ‘alaih).

Setelah kedua orang tua wafat, berbuat baik kepada mereka masih bisa diteruskan dengan cara: menyelenggarakan jenazahnya, melunasi hutang-hutangnya, melaksanakan wasiatnya, meneruskan silaturrahmi yang telah dibinanya, memuliakan sahabat-sahabatnya dan mendo’akannya, (H.R. Abu Daud).

5. Akhlak Terhadap Anggota Keluarga dan Karib Kerabat 
Akhlak terhadap anggota keluarga dan karib kerabat merupakan kewajiban setiap pribadi muslim, yairu memelihara keluarga dari segala macam bentuk kesusahan dan kesengsaraan, yang meliputi kewajiban memelihara anak dan berbuat baik terhadap karib kerabat (Q.S. 18:46, 8:28, 64:14, 28:74, 66:6, 41:13-19 dan 25, 4:1, 8 dan 36, 13:21, 47:22-23).

6. Akhlak Terhadap Diri Sendiri
  1. Shiddiq artinya benar atau jujur, lawan dari dusta atau bohong (al-Kizb). Seorang muslim dituntut selalu berada dalam keadaan benar, lahir dan batin (benar pikiran, perasaan, nafsu, ucapan, dan perbuatan). (Q.S. 19:54, 9:75-77, 8:27, 4:107, 25:72, 49:6 dan 12).
  2. Amanah artinya dipercaya seakar dengan kata iman. Sifat ini lahir dari kekuatan iman seseorang. Amanah dalam pengertian sempit memelihara titipan dan mengembalikannya kepada pemiliknya dalam bentuk semula, dalam arti luas amanah mencakup banyak hal, antara lain menyimpang rahasia orang, menjaga kehormatan orang, menjaga diri sendiri, menunaikan tugas yang diterima atau yang pikulkan baik dari orang maupun dari Allah swt. (Q.S. 4:58, 33:72, 99:7-8, 8:27).
  3. Istiqamah ialah sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan keislaman sekalipun menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan. (Q.S. 41:6, 42:15, 11:112, 6:153, 29:4, 41:30-32).
  4. ‘Iffah adalah memelihara kehormatan diri dari segala yang akan merendahkan, merusak dan menjatuhkannya (Q.S. 24:30-33, 33:59, 17:32, 25:72, 2:273, 4:6).
  5. Mujahadah ialah mencurahkan segala kemampuan untuk melepaskan diri segala yang menghambat pendekatan diri kepada Allah swt. (Q.S. 29:6 dan 69, 91:7-10 dan 73, 25:43-44, 35:6, 2:109, 120 dan 208, 9:38, 3:104).
  6. Syaja’ah artinya berani berlandaskan kebenaran yang dilakukan dengan penuh pertimbangan yang bukan ditentukan oleh kekuatan fisik tetapi oleh kekuatan hati dan kebesaran jiwa (Q.S. 8:15-16, 33:39, 3:173, 9:38, 4:77-78, 2:249, 65:3).
  7. Tawadhu’ ialah rendah hati, lawan dari sombong atau takabur (Q.S. 16:53, 25:63, 7:146).
  8. Malu (al-Haya’) adalah sifat atau perasaan yang menimbulkan keengganan melakukan sesuatu yang hina, rendah, tidak baik atau dosa (H.R. Mutafaqun ‘alaih).
  9. Sabar ialah menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharapkan redho Allah swt. dan menerima kenyataan secara wajar (Q.S. 2:155-157 dan 177, 19:65, 31:17, 14:19, 3:15-17, 25:75, 14:21, 70:19-22).
  10. Tawadhu’ ialah rendah hati, lawan dari sombong dan takabur (QS:16:530
  11. Pemaaf ialah sikap suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain walaupun orang tersebut tidak meminta maaf tanpa ada sedikitpun rasa benci dan keinginan untuk membalas (Q.S. 2:19, 3:133-134, 5:13, 24:22).
7. Akhllak Terhadap Sesama Manusia
Berbuat baik terhadap orang lain sebagaimana berbuat baik terhadap diri sendiri. Pelihara rasa persatuan dan kesatuan persaudaraan “ukhuwah Islamiyah”. Akhlak terhadap sesama manusia meliputi akhlak bertamu dan menerima tamu, hubungan baik dengan tetangga dan masyarakat serta ukhuwah Islamiyah (Q.S. 24:27-28, 4:36 dan 86, 109:6, 2:213, 28:77). 

8. Akhlak Terhadap Guru dan Dosen
Ketaatan kepada guru berarti ketaatan kepada Rasul, ketaatan kepada Rasul mengikuti ketaatan terhadap Allah SWT.(QS.4:59). Dilihat dari tugas guru/dosen dihubungkan dengan kewajiban orang tua dalam mendidik anaknya, maka guru/Dosen berperan membantu orang tua dalam mendidik anak mereka melalui amanah melalui lembaga pendidikan dimana para siswa/mahasiswa mengikuti pendidikan. Pada kenyataannya terdapat beberapa fungsi guru/dosen dalam kehiduipan siswa/mahasiswa, yaitu:

Guru/dosen sebagai pengganti orang tua
Rasullah SAW. dalam hadis Riwayat Al-Hakim bersabda, yaitu: Kewajiban orang tua kepada anaknya adalah: memberi nama anak yang baik, mendidik akhlaknya,mengajarkan ilmu pengetahauan, mengajarkan berenang, mengajarkan memanah, memberi makan/minum yang halal dan baik, dan menikahkannya apabila telah menemukan jodohnya. Dari tujuh kewajiban orang tua kepada anak, empat diantaranya diamanahkan kepada guru/dosen melalui lembaga pendidikan tempat dimana guru/dosen tersebut mengajar/mendidik, yaitu: mendidik akhlaknya, mengajarkan ilmu pengetahauan, mengajarkan keterampilan berenang, dan mengajarkan keterampilan memanah.

Guru dan Dosen sebagai Pemimpin/Maha guru
Sebagai guru/maha guru, guru/dosen adalah tempat siswa/mahasiswa menimba ilmum pengetahuan, berdiskusi, bertannya tentang sesuati ilmu yang belum diketahui, karena guru/dosen, khususnya dalam bidang ilmu/keahliannya adalah bagaikan kemus/inseklopedi berjalan. Hal ini diperintahkan oleh Allah SWT. dalam frman-Nya, yang artinya: Tanyakanlah kepada para ahlinya (guru/dosen) jika kamu tidak tahu (QS.16:43, QS.21:7)

Guru dan Dosen sebagai teman
Sebagai teman, guru/dosen adalah sebagai patner bagi siswa/mahasiswa dalam mencurahkan isi hatinya (curhat) manakala siswa/mahasiswa mengalami problem/kendala dalam kehidupannya dan pelajaran dan perkuliahannya yang akan berakibat terganggunya proses pendidikan yang sedang diikutinya.

9. Akhlak Tarhadap Masyarakat, Bangsa dan Negara
Setiap individu bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keadilan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Bina hubungan persaudaraan dengan sesama manusia tanpa memanda latar belakang etnis, suku, bangsa dan agama dengan bangsa-bangsa di dunia. Akhlak terhadap masyarakat dan negara meliputi musyawarah, menegakkan keadilan, amar ma’ruf nahi mungkar, dan hubungan pemimpin dengan yang dipimpin (Q.S. 43:37-38, 3:113-115 dan 159, 2:223 dan 257, 7:29, 57:25, 16:90, 4:3, 58-59, 104, 110 dan 135, 49:9, 5:8, 31:17, 9:71, 22:41, 5:78-79, 5:55).

10. Akhlak Terhadap Lawan Jenis
Pria wajib menahan pandangannya melihat wanita dan wajib menjaga kesucian kehormatannya (kelaminnya) dari perbuatan zina, homoseks, dan onani dan sejenisnya. Wanita wajib menahan pandangannya melihat pria, menjaga kesucian kehormatannya (keluannya) dari perbuatan zina, lesbian, masturbasi dan sejenisnya, dan wajib berbusana muslimah, sebagaimana dalam Q.S. 24:27 dan 30-32, 23:5, 7:26, 33:59, 70:29. 

Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda dalam haditsnya, yang artinya Barang siapa beriman kepada Allah swt. dan hari akhirat, maka janganlah sekali-kali dia bersunyi-sunyi dengan seorang perempuan yang tidak bersama muhrimnya, karena yang ketiganya ialah setan. (HR. Ahmad). Dari Jabir bin Abdullah, Ia berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah saw. Tentang melihat dengan mendadak. Maka jawab Nabi: palingkan pandanganmu itu!. (HR. Ahmad, Muslim Abu Daud dan Tirmidzi).

11. Akhlak Berbusana (Tata Busana)
1. Tata Busana Laki-laki
Pria dilarang memakai celana pendek di atas lutut, karena sekurang-kurangnya aurat pria ialah sebatas pusat dan lutut. Wanita Muslim wajib berbusana menurut aturan berpakaian dalam Islam, sebagaimana diaturdalam Q.S. 7:26, 24:30-31, 33:59. (Lihat pembahasan Ibadah Mu’amalah Pergaulan lawan jenis dan tata busana!).

Rasulullah SAW. dalam sebuah Sabdanya menjelaskan: Wanita itu adalah tiang negara, apabila baik akhlaknya, maka baik dan sejahterlah negara tersebut. Dan jika wanitanya rusak akhlaknya, maka akan rusak binasa dan runtuhlah negara tersebut. Baca! Q.S. 7:26, 24:30-31, 33:33,53,59, 4:34, 58:22, 66:6. Batas aurat laki-laki antara pusar dan lutut wajib ditutup.

2. Tata Busana Wanita
Beberapa persyaratan mutlak tata busana Muslimah antara lain:
  1. Busana (jilbab) yang tidak merupakan yang menampakkan kecantikan tubuh. (Q.S. 24:31., 33:33).
  2. Merupakan busana rangkap dan Tidak Tipis. 
  3. Longgaratau tidak empit. Rasulullah memerintahkan agar wanita pakaian rangkap bagian dalam agar jangan sampai bentuk tubuhnnya kelihatan. 
  4. Tidak berbau wangi-wangian yang dapat merangsang nafsu syahwat laki-laki. Sabda Rasulullah SAW: Siapa saja dari wanita yang memakai wangi-wangian kemudian berjalan ditengah-tengah orang banyak dengan maksud agar mengetahui baunya yang harum, termasuk perbuatan zina.
  5. Tidak menyerupai busana laki-laki, sehingga penampilannya seperti laki-laki. Hadis riwayat Abu Hurairah, berkata rasulullah saw. Bahwa Rasulullah saw. Mengutuk seorang laki-laki yang memakai busana perempuan, dan sebaliknya seorang wanita yang memakai pakaian laki-laki. 
  6. Tidak Menyerupai Busana Wanita-wanita kafir. Rasulullah saw. bersabda, yang artinya: Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia itu dari golongan mereka. (HR. Thabarani). Baca Q.S. 2:120!
12. Akhlak Terhadap Alam Sekitar
Setiap individu dilarang merusak/membinasakan lingkungan alam sekitar, bertanggung jawab dan menjaga/memelihara lingkungan serta melestarikannya demi kelangsungan hidup manusia itu sendiri, dan memanfaatkan lingkungan untuk memenuhikebutuhan hidup tanpa merusak kelestariannya. (Q.S. 28:77, 30:41-42, 2:22, 16:10, 41, 65, 31:20,45:13). 

DAFTAR PUSTAKA
  • Al-Hufy, Muhammad Ahmad, DR., Akhlak Nabi Muhammad SAW., Bulan Bintang Jakarta, t.tt 
  • Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Diponegoro Bandung, 2009
  • Djatmika, Rahamat, DR., Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), Pustaka Islam Surabaya, 1985
  • Ilyas, Yunahar MA, Kuliah Akhlak, Lembaga Pengkajian dan Pengemangan Islam (LPPI), UMY, Yogyakarata, 2001
  • Masykur, Kahar, H. Drs., Membina Moral dan Akhlak Mulia, Kalam Mulia Jakarta, 1997
  • Drs. Izharman, M.Ag., Pendidikan Agama Islam, Buku Pegangan Kulaih Mahasisiw, 2010

Pengertian, Dasar, dan Tujuan Pendidikan Islam Menurut Beberapa Ahli

Pengertian, Dasar, dan Tujuan Pendidikan Islam 
Pengertian Pendidikan Islam
Menurut Abuddin Nata pendidikan Islam adalah proses pembentukan individu berdasarkan ajaran Islam untuk mencapai derajat yang tinggi sehingga mampu melaksanakan fungsi kekhalifahannya dan berhasil mewujudkan kebahagian dunia dan akhirat.1 Ahmadi mendefinisikan pendidikan Islam sebagai “ usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagamaan (religiousity) subyek didik agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam.2

Sedangkan Muhaimin menjelaskan bahwa pendidikan Islam meliputi tiga pengertian, yaitu: pertama, pendidikan Islam adalah pendidikan menurut Islam atau pendidikan Islami, yaitu pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam pengertian ini, dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang berdasarkan sumber-sumber dasar Islam. 

Kedua, pendidikan Islam adalah pendidikan ke-Islaman atau pendidikan agama Islam, yaitu upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life (pandangan hidup) dan sikap hidup seseorang. Dalam pengertian ini pendidikan Islam dapat berwujud: 1) segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk membantu seorang atau sekelompok peserta anak didik dalam menanamkan dan/atau menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya, 2) segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya dan/atau tumbuhkembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak. 

Ketiga, pendidikan Islam adalah pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktek penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam realitas sejarah ummat Islam. Dalam pengertian ini, pendidikan Islam dalam realitas sejarahnya mengandung dua kemungkinan, yaitu pendidikan Islam tersebut benar-benar sesuai dengan idealitas Islam dan/atau mungkin mengandung jarak kesenjangan dengan idealitas Islam.3 

Dari definisi yang dikemukan diatas, dapat ditegaskan bahwa pendidikan Islam adalah proses pembentukan individu untuk mengembangkan fitrah keagamaannya, yang secara konseptual dipahami, dianalisis serta dikembangkan dari ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah melalui proses pembudayaan dan pewarisan dan pengembangan kedua sumber Islam tersebut pada setiap generasi dalam sejarah ummat Islam.

Dasar Pendidikan Islam
Dasar pendidikan Islam dapat ditelusuri dalam filsafat pendidikan Islam. Dalam menentukan dasar pendidikan Islam dapat ditinjau dari perspektif filosofis dan teologis. Dalam perspektif teologis, pendidikan Islam harus didasari dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan al-Hadits yang berintikan tauhid. Tauhid dalam posisi ini menempati inti yang bersifat fundamental, dan merupakan nilai dasar pendidikan Islam. Tauhid adalah keyakinan seorang muslim yang termanifestasikan dalam hal-hal sebagai berikut:
  •  Tauhîd Ulûhîyah, yaitu suatu keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya zat yang patut disembah serta satu-satunya sumber nilai, ajaran, dan kehidupan.6 Implikasi dari keyakinan seperti ini adalah bahwa pendidikan Islam harus diniatkan (direncanakan), dilaksanakan, dan dievaluasi dalam kerangka menyembah (beribadah) kepada Allah. Implikasi lainnya adalah bahwa anak didik harus ditumbuhkan inisiatif dan kreativitasnya sehinggga dapat menemukan suatu pola pembelajaran yang ideal bagi dirinya tanpa dihinggapi rasa takut, waswas dan khawatir kepada pihak eksternal termasuk kepada gurunya.
  • Tauhîd Rubûbîyah, yaitu suatu keyakinan dalam agama Islam bahwa Allah adalah yang menciptakan, memelihara dan merawat alam semesta. Keyakinan ini memberikan implikasi pada pelakasanaan pendidikan bahwa pendidikan diarahkan kepada upaya merawat, memelihara dan membimbing peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Dalam perspektif anak didik, keyakinan tauhid ini memberikan kesempatan kepada anak didik untuk membaca, mengkaji dan meneliti keteraturan alam semesta dengan segala isinya. Dengan telaah, bacaaan dan penelitian ini anak didik dapat memperoleh nilai-nilai positif berupa sikap rasional, obyektif-empirik dan obyektif-matematis.4
  • Tauhîd Mulkîyah, adalah keyakinan akan kekuasaan kerajaan Allah SWT. Dengan keyakinan ini seorang Muslim meyakini bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu dimuka bumi ini, dan juga penguasa hari kemudian. Implikasi dari keyakinan ini adalah seorang guru adalah pemimpin dalam pendidikan harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anak didiknya. Ini sesuai dengan pernyataan Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa setiap Muslim adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban terhadap kepemimpinannya.
  • Tauhîd Rahmâniyah, adalah keyakinan yang bertolak dari pandangan bahwa Allah SWT adalah Tuhan semesta alam yang mengasihi makhluk-Nya. Dengan kasih sayang yang diberikan Allah kepada makhluk-Nya, maka kehidupan ini berjalan dengan damai, tenang, sentosa, meskipun terdapat banyak manusia yang durhaka kepada-Nya. Dengan sifat-Nya yang Maha Pengasih dan Penyayang itulah maka manusia ini tetap dalam keteraturan, keseimbangan dan harmoni alam, meskipun masih banyak musibah sebagai peringatan kepada manusia.
Implikasi dalam dunia pendidikan dari keyakinan demikian adalah bahwa dalam proses pendidikan, seorang guru/pendidik harus dapat mendidik dan membimbing anak didiknya dengan kasih sayang. Sebagaimana dinyatakan oleh al-Ghazâlî bahwa guru berfungsi sebagai penuntun dan pembimbing bagi anak didik. Dalam menjalankan tugasnya, al-Ghazâlî menganjurkan agar guru mengajar dan membimbing dengan penuh kasih sayang sebagaimana ia mengajar dan mendidik anaknya sendiri. “Didiklah muridmu dan perlakukanlah mereka seperti anakmu sendiri”, pesan al-Ghazâlî pada para guru. Bahkan al-Ghazâlî mengutip Sabda Rasulullah; “Sesungguhnya aku ini bagimu adalah seumpama seorang ayah bagi anaknya.”5 (HR. Abû Dawud , al-Nasâ’i, Ibn Mâjah, Ibn Hibbân dari Abû Hurairah).

Tujuan Pendidikan Islam
Dalam suatu kegiatan/aktivitas tidak terlepas dari tujuan-tujuan yang itu sangat bermanfaat dalam mengukur apakah aktivitas itu telah mencapai keberhasilan atau tidak. Dalam proses pendidikan Islam telah terumuskan tujuan-tujuan yang menjadi arah bagi pelaksanaannya. Sebelum dibahas apa tujuan pendidikan Islam, maka perlu disebutkan sifat dari tujuan pendidikan Islam, yaitu: (1) bernuansa agama dan penanaman aqidah. (2) komprehensif yaitu meliputi semua aspek perkembangan anak didik baik itu kognitif, afektif dan psikomotor dan tentunya aspek religiousity. (3) bersifat seimbang dan teratur, yang ini berimplikasi pada sistimatisnya dan keteraturan pendidikan Islam, baik dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan maupun dalam evaluasi. (4) realistis dan memperhatikan perubahan perilaku pada anak didik, memperlakukan anak didik dengan memperhitungkan perbedaan individual yang ada.6

Sedangkan tujuan pendidikan Islam secara umum adalah pembentukan kepribadian yang utama atau pembentukan dan pembinaan al-akhlâq al-karîmah, yaitu sikap dan perilaku yang terpuji sesuai dengan misi diutusnya Rasulullah SAW ke seluruh manusia, yakni untuk memperbaiki dan membina akhlak yang mulia.7

Secara idealitas, pendidikan Islam yang bertujuan menciptakan dan membina akhlaq yang terpuji sangat mengharuskan adanya pewarisan, pembudayaan dan pemberian contoh yang baik terhadap anak didik. Secara lebih rinci, Ahmadi memaparkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah sebagai berikut:

a. Tujuan tertinggi
Tujuan tertinggi adalah tujuan yang bersifat mutlak dan universal, yaitu tujuan yang sesuai dengan tujuan penciptaan manusia. Tujuan penciptaan manusia adalah sebagai berikut:

1. Menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukannya.
Beribadah kepada Allah dengan melaksanakan seluruh perintah- Nya sesuai dengan tuntunan dan aturan yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan beribadah ini sesuai dengan firman Allah: “Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (kepada-Ku).8 Dalam agama Islam ibadah dibedakan menjadi ibadah mahdah, yaitu ibadah yang telah diatur dan dicontohkan pelaksanaannya oleh Rasulullah SAW. Bentuk ibadah ini berupa kegiatan ritual yang telah pasti dan jelas aturannya seperti sholat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Sementara itu bentuk ibadah lainnya adalah ghair mahdah, yaitu seluruh bentuk aktivitas–dalam cakupan yang seluas-luasnya sebagai pengabdian dan penghambaan kepada Allah yang diniatkan dalam kerangka mencari keridhaan-Nya dan dilaksanakan sesuai dengan prinsip ajaran Islam. 

1. Melaksanakan tugas khalîfah di muka bumi. Dengan tujuan ini, maka pendidikan Islam mempunyai arah untuk mencetak anak didik menjadi “wakil 

Tuhan” untuk memakmurkan bumi dan mensejahterakan penghuninya. Tugas ini dapat terwujud dengan mempersiapkan anak didik dengan ilmu pengetahuan, eterampilan, dan profesionalisme dalam bidang tertentu.9
b. Tujuan umum, yaitu tujuan pendidikan Islam yang berkaitan dengan perubahan sikap, perilaku, dan kepribadian anak didik, sehingga mampu menghadirkan diri sebagai suatu kepribadian yang utuh. Inilah yang disebut dengan realisasi diri (self realization). Upaya realisasi diri dapat ditempuh dengan aktualisasi diri (self actualization) berupa penggalian potensi-potensi diri pada peserta didik.
c. Tujuan khusus adalah tujuan pendidikan Islam yang dijabarkan dari tujuan tertinggi dan tujuan umum. Tujuan ini dapat dirumuskan secara kondisional dan situasional namun harus tetap berdasar kepada tujuan tertinggi dan tujuan umum.10 Dengan kata lain tujuan ini adalah penjabaran dari tujuan tertinggi dan tujuan umum berdasarkan karakteristik, visi dan misi lembaga pendidikan.

2. Definisi Modernisasi
Istilah “modern” secara bahasa berarti “baru”, “kekinian”, “akhir”, “up-todate”, atau semacamnya. Bisa dikatakan sebagai kebalikan dari “lama”, “kolot”, atau semacamnya. Istilah modern juga bisa berkaitan dengan karakteristik. Oleh karena itu, istilah modern ini bisa diterapkan untuk manusia dan juga untuk lainnya: dari konsep bangsa, sistem politik, ekonomi, Negara, kota, lembaga (sekolah, rumah sakit, dan lain-lain), barang, sampai pada perilaku, sifat, dan hampir apa saja. 

Predikat modern terhadap perilaku, pemikiran seseorang, negara modern, pakaian dan rumah yang modern, serta musik yang modern. Namun, setelah menjadi istilah yang merupakan predikat sesuatu, istilah tersebut akan mempunyai pengertian/definisi tersendiri. Lebih lagi setelah menjadi “modernisme” akan mempunyai arti tersendiri pula. Istilah “modernisme” ini biasa diberi definisi dengan “fase sejarah dunia yang paling akhir yang ditandai dengan kepercayaan terhadap sain, perencanaan, sekularisme dan kemajuan”.11 Sedangkan setelah menjadi “modernisasi” (suatu proses untuk menjadikan sesuatu itu modern) mempunyai pengertian yang spesifik lagi. Batasan modernisasi dari Huntington (tokoh pengembang istilah modernisasi politik) menekankan pada organizing (pengorganisasian) dan doing (tindakan), yang memerlihatkan pada pendekatan sosiologis dan politik. Ada pendekatan lain yang menekankan pada thinking (pemikiran) dan feeling (perasaan) yang mengarah pada sifat individual dan lebih merupakan pendekatan sosiologis dan psikologis. Pendekatan sosio-psikologis terhadap modernisasi akan menekankan pada pada sebuah proses untuk perubahan dalam hal pandangan, pengungkapan, dan penilaian. 

Dengan demikian maka modern lebih merupakan cara memungsikan individu untuk bertindak secara tertentu. Hal ini seperti pikiran Max Weber yang beranggapan bahwa “modern” hendaknya diartikan sebagai ethos, sehingga ungkapan ini harus dilihat tidak selalu dalam bentuk kemegahan fisik. Lebih kongkrit lagi Robert N. Bellah menganggapnya sebagai fenomena spiritual atau sesuatu mentalitas, tidak berkonotasi pada politik atau ekonomi.12 Berbeda dengan Kategorisasi hadharah dan madaniyah untuk menyaring modernisasi yang diperkenalkan syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab “Nidzamul Islam”. Hadharah, yang banyak diartikan peradaban, sedangkan madaniyah didefinisikan sebagai bentuk-bentuk materiil berupa benda-benda hasil karya manusia yang digunakan dalam kehidupannya.

Kaitannya dengan dunia Barat, ada beberapa teori mengenai modernisasi, apakah modernisasi ini identik dengan Westernisasi. Pemikir-pemikir terkenal yang biasanya dikelompokkan pada pluralis dan liberalis, seperti Daniel Lerner (ahli sosiologi), Gabriel Almond, James Coleman, Karl Deutsch, dan Mc T. Kahin (ahli ilmu politik), beranggapan bahwa modernisasi identik dengan Westernisasi, sekularisasi, demokratisasi, dan pada akhirnya liberalisasi. Pengertian seperti ini akan menghasilkan hipotesis bahwa religiousitas (sikap keberagamaan) akan bertentangan dengan modernisasi. Meskipun Alex Inkeles dan David Smith dalam bukunya Becoming Modern, mencoba menjelaskan arti modern dari segi pemikiran (thinking) dan perasaan (feeling) sambil menekankan untuk tidak imitasi buta terhadap Barat, namun pada akhirnya mereka mengungkapkan bahwa bangsa-bangsa yang dianggap modern adalah bagian dari tradisi Eropa (termasuk AS). 

Lebih khusus lagi, menurut Inkeles dan Smith, bahwa elemen esensial modernisasi adalah industrialisasi, yang selalu dirasa sebagai model kapitalis. Ini berarti bahwa menurut mereka pada hakikatnya modernisasi tidak bisa lepas dari asal mula munculnya istilah tersebut, yaitu Barat; atau tidak bisa lepas dari Westernisasi. Dari sini jelas pula bahwa proses modernisasi tidak lepas dari ramalan Toynbee (sejarahwan kondang pertengahan abad ke dua puluh, 1948): “Para ahli sejarah di masa mendatang akan berkata bahwa kejadian yang besar di abad ke dua puluh adalah pengaruh kuat peradaban Barat terhadap semua masyarakat di dunia. Mereka juga akan berkata bahwa pengaruh tersebut sangat kuat dan bisa menembus, yang mampu menjungkir balikkan korbannya….”. Industrialisasi yang menghasilkan kemajuan ilmu dan teknologi dapat memroduksi alat canggih yang mampu mewujudkan era komunikasi dan informasi – atau era internet- yang mampu bekerja tanpa mengenal batas waktu dan wilayah.

2. Pendidikan Islam dan Tantangan Modernisasi
Dalam proses pembudayaan umat manusia, adanya kelembagaan pendidikan dalam masyarakat merupakan conditisine qua non (syarat mutlak) dengan tugas dan tanggung jawabnya yang kultural edukatif terhadap anak didik dan masyarakatnya yang semakin berat. Tanggung jawab lembaga-lembaga pendidikan dalam segala jenisnya menurut pandangan Islam adalah berkaitan dengan usaha mensukseskan missi dalam 3 macam tuntutan hidup seorang muslim yaitu:
a. Pembebasan manusia dari ancaman api neraka sesuai dengan perintah Allah:
“ jagalah dirimu dari ancaman api neraka.

نارا أهليكمو أنفسكمقوا 

b. Pembinaan umat manusia menjadi hamba Allah yang memiliki keselarasan dan keseimbangan hidup bahagia di dunia dan di akhirat sebagai realisasi cita-cita seseorang yang beriman dan bertaqwa yang senantiasa memanjatkan do’a sehari-hari:

“Wahai Tuhanku, berilah aku kehidupan di dunia yang sejahtera dan kehidupan di akhirat yang bahagia dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka”

النار با عذوقنا حسنة خرة الأوفي حسنةالدنيا في أتناربنا 

c. Membentuk diri pribadi manusia yang memancarkan sinar keimanan yang kaya dengan ilmu pengetahuan, yang satu sama lain saling mengembangkan hidupnya untuk menghambakan dirinya kepada khaliqnya. Keyakinan dan keimanannya berfungsi sebagai penyuluh terhadap akal budi yang sekaligus mendasari ilmu pengetahuannya, bukan sebaliknya, keimanan dikendalikan oleh akal budinya.

رجاتد العلم أوتوا والذين منكم أمنوا الذين اللهيرفع 

Di atas dasar pandangan inilah maka lembaga-lembaga pendidikan Islam berpijak untuk mencapai cita yang ideal yaitu bahwa idealitas Islam dijadikan elanvitale-nya (daya pokok) tugas dan tanggung jawab kultural edukatif daripadanya. Maka jelaslah bahwa lembaga-lembaga pendidikan yang berkembang dalam masyarakat merupakan cermin daripada idealitas umat (Islam) itu sendiri. Pada suatu tahap perkembangan masyarakat tertentu, lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi dinamisator (pembangkit) semangat dan dinamika umat yang terpancar dari sumber idealitas ajaran islam yang di analisa dan dikembangkan oleh lembaga tersebut.

Dengan demikian, lembaga pendidikan harus mampu melakukan 2 fungsi bersamaan yang kelihatannya berlawanan satu sama lain, akan tetapi dapat mengumpul menjadi satu kekuatan ideal yang saling menggerakkan dan mengendalikan.

Di hadapan idea-idea modernisme, terutama yang didasari dan didorong oleh pengaruh kemajuan teknologi modern, maka lembaga-lembaga pendidikan tidak terlepas dari tantangan (challange) yang harus diberi jawaban-jawaban. Dalam memberikan jawaban itu, lembaga pendidikan Islam terikat oleh norma-norma dari nilai agama yang dibawakannya. Oleh karena itu selain berlaku selektif dan korektif terhadap ide-ide modernisme, juga melakukan penganalisaan yang tajam terhadapnya yang berakhir dengan pengambilan keputusan apakah ide pembaharuan/modernisme tersebut seirama dan senada dengan nilai-nilai dasar agamanya, sehingga dapat diterima untuk dikembangkan olehnya. Alternatif-alternatif seperti memilih pendiri “ hidup atau mati” sering harus dihadapi dengan penuh mengandung risiko bagi “mundur atau majunya” agama yang didukungnya.

Bentuk tantangan yang di hadapi oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam saat ini meliputi bidang-bidang:
  • Politik, dalam kehidupan politik, terutama politik kenegaraan banyak barkaitan dengan masalah bagaimana negara itu membimbing, mengarahkan dan mengembangkan pendidikan, sebagaimana penelitian Hasan Bektas, Yilmaz Bilsel, dan Metin Tilki pada tahun 2010 yang bertema “The Impact of Western Physicians on the Modernization of Turkish Surgery and Medicine”, mengungkapkan bahwa modernisasi Kekaisaran Otsman dan masyarakat dimulai pada abad ke-19. Mulanya reformasi telah dibatasi oleh institusi seperti angkatan kekuatan, politik, teknik dan kedokteran. Setelah pembentukan Republik Turki muda, bentuk barat politik, ilmu pengetahuan, kedokteran, seni dan sastra menembus budaya dan terus berkembang. Inilah kehidupan politik kenegaraan ikut berperan utama dalam pengembangan pendidikan Islam. 
  • Kebudayaan yaitu suatu hasil budi daya manusia baik bersifat material maupun mental sepiritual dari bangsa itu sendiri ataupun dari bangsa lain. Suatu bangsa yang mampu survive (mempertahankan diri dalam kehidupannya) di tengah-tengah bangsa lain, adalah bangsa yang mampu mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan bangsa di dunia ini, sebagaimana diungkapkan oleh peneliti Eugene B. Gallagher (University of Kentucky) dengan tema “Convergence or Divergence in Third World Medical” mengungkapkan bahwa masyarakat dunia ketiga telah mengadopsi model Barat dalam medis; pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran, dan peran dokter. Hal ini menunjukkan "konvergensi hipotesis”. Kehadiran studi baru didirikan Saudi Arab ditemukan bahwa aspirasi mahasiswa, administrasi-dosen-mahasiswa dan konteks sosial dipengaruhi oleh identifikasi budaya- politik-agama, keluarga dan peran nilai-nilai tradisional.
  • Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah suatu segi dari peradaban dan kebudayaan manusia, dimana perkembangannya yang lebih cepat menjelajahi ke jantung masyarakat sesuatu bangsa, merupakan salah satu ciri khas dari zaman modern saat ini. Teknologi sebagai ilmu pengetahuan terapan (technology is an applied science) adalah hasil kemajuan budaya manusia yang banyak bergantung kepada manusia yang menggunakannya. Sebagaimana hasil penelitian Tom Misteli dengan tema the changing world of modern cell biology, menggambarkan bahwa Perubahan selalu ambigu, tetapi ilmu pengetahuan dan teknologi mampu mengungkap hal ini sebagaimana komunitas biologi sel dan sebagai trend setter dengan cepat mengubah dunia biologi sel modern.
  • Ekonomi adalah suatu aspek pengetahuan manusia yang memberitahukan tentang bagaimana seharusnya manusia itu memenuhi kebutuhan hidup jasmaninya. Ekonomi merupakan tulang punggung dari kehidupan bangsa yang dapat menentukan maju mundurnya, lemah-kuatnya, lambat-cepatnya suatu proses pembudayaan bangsa. Pengaruh kehidupan ekonomi banyak corak perkembangan sistem kependidikan dalam masyarakat bangsa, sebagaimana penelitian A. C. Huntsman & N. G. White dalam tema “Modernization in Bali, Indonesia and The Influence of Socio-Economic Factors on The Nutritional Status of Preschool Children, mengungkapkan bahwa modernisasi di Bali Indonesia telah mengalami modernisasi ekonomi yang pesat selama 30 tahun terakhir, beberapa studi antropometrik telah meneliti dampak variabel modernisasi pada gizi status anak-anak Bali . Tujuannya adalah meneliti hubungan antara variabel yang terkait dengan modernisasi proses pada status gizi anak-anak Bali, dan diprediksi faktor ekonomi dan pendidikan orang tua lebih banyak berpengaruh terhadap modernisasi anak-anak di Bali daripada variabel lainnya seperti tinggi badan, berat badan dan sebagainya. Ini menandai bahwa faktor ekonomi menjadi faktor penentu yang berpengaruh terhadap modernisasi seseorang. 
  • Kemasyarakatan adalah merupakan suatu lapangan hidup manusia yang mengandung ide-ide yang sangat laten terhadap pengaruh kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai suatu sistem kehidupan, kemasyarakatan adalah tidak setatis dan beku, melainkan kecenderungan ke perubahan perubahan yang biasa kita kenal sebagai “perubahan sosial” (sosial cange), sebagaimana hasil penelitian Tomsk, Russia dengan tema “Teaching Medical Informatics at SSMU” mengungkapkan bahwa pendidikan adalah dasar untuk menjalankan sistem perawatan kesehatan secara efektif dan efisien. Hal ini diintegrasikan ke dalam kurikulum bagi mahasiswa kedokteran dan didukung dengan pelatihan. Partisipasi internasional dalam konsep dan praktek akan diperlukan untuk sukses dan pengembangan lebih lanjut dengan mengembangkan budaya kemasyarakatan yang syarat dengan ide-ide dalam kehidupan bermasyarakat.
  • Sistem nilai adalah suatu tumpuan norma-norma yang dipegangi oleh manusia sebagai makhluk individual dan sebagai makhluk sosial, baik itu berupa norma agama yang telah berkembang dalam masyarakat. Sistem nilai juga dijadikan tolak ukur bagi tingkah laku manusia dalam sisitem masyarakat yang mengandung potensi mengendalikan, mengatur dan mengarahkan perkembangan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu lembaga pendidikan perlu memberikan jawaban yang tepat, sehingga berfikir masyarakat tidak terombang-ambing tanpa arah yang jelas.
3. Modernisasi Pendidikan Islam
Umat Islam pada masa sekarang menghadapi tantangan yang berat dari pihak luar yang berimplikasi terhadap masa depan kehidupan beragamanya. Tantangan itu mulai dari kolonialisme dan imperialism yang menghasilkan benturan keras antara kebudayaan Barat dengan ajaran/nilai-nilai Islam, sampai kepada materialisme, kapitalisme, industrialisme yang telah berhasil merubah sistem berpikir dan struktur sosial. Sebagai respon dari tantangan di atas para pemikir dan intelektual muslim melancarkan berbagai upaya modernisasi yang muncul dalam berbagai ragam dan karakteristiknya. Hal ini sesuai dengan setting sosio-historis yang modernis.

Dalam berbagai upaya modernisasi itulah, pendidikan merupakan sarana yang paling ampuh dan utama. Melalui pendidikan inilah transfer nilai-nilai dan ajaran Islam dapat dilakukan secara terencana dan sistematis. Modernisasi pendidikan adalah salah satu pendekatan untuk suatu penyelesaian jangka panjang atas berbagai persoalan ummat Islam saat ini dan masa yang akan datang. Maka modernisasi pendidikan adalah sesuatu penting dalam melahirkan peradaban Islam yang modern.

Namun demikian modernisasi pendidikan Islam tidaklah dapat dirasakan hasilnya pada satu dua hari saja namun memerlukan suatu proses yang panjang yang setidaknya akan menghabiskan sekitar dua generasi.17 Mengingat pentingnya modernisasi pendidikan Islam, maka setiap lembaga pendidikan Islam haruslah mendapatkan penanganan yang serius, setidaknya ini untuk menghasilkan para pemikir dan intelektual yang handal dan berperan sentral dalam pembangunan.

Modernisasi dalam pendidikan Islam pertama kali harus tertuju kepada tujuan pendidikan Islam itu sendiri, yang meliputi tujuan tertinggi yaitu sebagai suatu proses pendidikan yang akan menghasilkan peserta didik yang beribadah kepada-Nya dan sebagai khalîfah di muka bumi yang dijabarkan menjadi tujuan umum dan secara operasional dirumuskan dalam bentuk tujuan pendidikan Islam secara institusional, kurikuler18 maupun tujuan instruksional.

Daftar Pustaka
  • Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta;Pustaka Pelajar, 2005
  • Akbar, Ahmed S., Postmodernism and Islam: Predicament and Promise, London: Routledge, 1992
  • Alex, Inkeles dan Smith, David., Becoming Modern: Individual Charge in Six Developing Countries. Cambridge: Harvard University Press, 1974
  • Daradjat, Zakiyah., Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara dan Dirjen Bagais Kemenag RI, 2001.
  • Dhofir, Zamakhsyari., Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES, 1994
  • Faisal, Jusuf Amir., Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Inszani Press,1995.
  • Al-Ghazâlî, Ihyâ’ Ulumuddîn, Kairo : Dâr al Kutub, tt .
  • Hasan Langgulung, Hasan., Pendidikan Islam dalam Abad Ke 21, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003
  • Hasibuan, Lias., Melejitkan Mutu Pendidikan, Relevansi dan Rekonstruksi Kurikulum Jambi: SAPA Project, Cetakan I, 2004
  • Hasyim, M. Affan., Konvergensi Pesantren dan Perguruan Tinggi, dalam Dinamika, Edisi 1 Juli 2003.
  • Husein, Syed Sajjad dan Ashraf, Syed Ali., Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Isam, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Gema Risalah Press, 1994.
  • Muawanah, Elvi., Pelakasanaan Kurikulum Agama Islam Melalui Akumulasi Pendekatan Pembelajaran Kurukulum Agama di Madrasah Aliyah al Islam Jerosan Mlarak Ponorogo, Laporan Penelitian, STAIN Tulung Agung, 2002
  • Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003,
  • Nata, Abuddin., Filsafat Pendididikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
  • ----------------- ., Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2004
  • Omar al-Toumiy Al-Syaebani, Omar al-Toumiy., Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
  • Rahman, Fazlur., Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1984.
  • Rasyid, M. Ardi., Pertumbuhan dan Perkembangan pondok Pesantren di Indonesia,” Akademika, Majalah STAIN Jurai Siwo Metro, Vol 8, Nomor 01, 2003.
  • Zaini, A Wahid., “Orientasi Pondok Pesantren Tradisional Dalam Masyarakat Indonesia” dalam Tarekat, Pesantren dan Budaya Lokal, ed. M. Nazim Zuhdi, et.al., Surabaya: Sunan Ampel Surabaya Press, 1999
CATATAN KAKI ARTIKEL DI ATAS
  • 1 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2004), hlm. 10
  • 2 Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam ( Yogyakarta;Pustaka Pelajar, 2005), hlm.29
  • 3 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 23-24.
  • 4 Ahmadi, Ideologi, hlm. 85
  • 5 Muhamimin, Wacana Pengembangan, hlm. 158
  • 6 Al-Ghazâlî, Ihyâ’ Ulumuddîn (Kairo : Dâr al Kutub, tt) , hlm 231
  • 7 Omar al-Toumiy Al-Syaebani, Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979.) hlm.536.
  • 8 Abuddin Nata, Filsafat Pendididikan Islam (Jakarfta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm. 49. Al-Ghazâlî menyebutkan akhlaq yang mulia sebagai al-munjiyât, sebagai kebalikan dari sifat yang tercela yang ia sebut sebagai al-muhlikât.
  • 9 QS. al-Dzâriyât : 56
  • 10 Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, hlm. 95-97
  • 11 Ibid, hlm.103. Tujuan khusus ini dapat berupa tujuan instruksional, yaitu tujuan yang terdapat pada masing-masing pembelajaran yang dapat berbeda satu sama lain. Misalnya pembelajaran Ilmu Tauhid, maka tujuan instruksional dapat berupa memberikan pemahaman yang benar terhadap konsep keesaan Allah dan sebagainya. Tujuan khusus lainnya berupa tujuan institusional yaitu tujuan kelembagaan pendidikan Islam, yang dirumuskan berdasarkan visi dan misi lembaga pendidikan yang bersangkutan.
  • 12 Ahmed, Akbar S, Postmodernism and Islam: Predicament and Promise, London: Routledge, 1992: 6
  • 13 Inkeles, Alex dan David Smith, Becoming Modern: Individual Charge in Six Developing Countries. Cambridge: Harvard University Press, 1974: 16

PENGERTIAN EKONOMI ISLAM MENURUT BEBERAPA AHLI

PENGERTIAN EKONOMI ISLAM 
1. Pengertian Ekonomi Islam
Ekonomi asal katanya ialah ekos yang berarti rumah tangga dan nomos yang berarti aturan, dalam khzazanah ilmu pengetahuan keIslaman ekonomi diistilahkan dengan الأقتصاد (al-iqtishad). Ekonomi Islam ialah kegiatan usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya untuk mencapai keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia di akhirat, yang dilasanakan sesuai dengan ajaran Isalam. 

Aktivitas ekonomi secara umum mencakup kegiatan produksi (menghasilkan) distribusi (pembagian), dan konsumsi (pemakaian pemanfaatan). Ekonomi adalah masalah yang sangat urgen dalam kehidupan, baik secara nasional maupun internasional. Bandingkanlah antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi barat. Ekonomi Islam didasarkan kepada filsafat theosentris dan etiko religius dengan prinsip perimbangan yang sesungguhnya antara kesejahteraan dan kebutuhan pribadi, keluarga dan masyarakat, dengan landasan hidup yang mardhatillah untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan serta kemakmuran bersama yang hasanah di dunia serta hasanah di akhirat. Ekonomi barat didasarkan kepada filsafat liberalisme, kapitalisme, sosialisme dan komunisme, dengan prinsip modal yang kecil dapat menghasilkan laba yang sebesar-besarnya, serta dengan menghalalkan segala cara, seperti bunga (riba) dan mempenarkan spekulasi perekonomian dan sebagainya. 

2. Agama Islam dan ilmu Ekonomi
Pada kenyataannya, agama berhubungan dengan keyakinan agama dan tingkah laku manusia. Karena itu, setiap agama mestilah mempunyai sikap ekonomi yang khusus, dan setiap agama mestilah mempunyai orientasi ekonomi yang khusus. Hal itu karena ilmu ekonomi sesuai dengan definisi yang biasa dipahami, bagaimanapun, dapat dipandang sebagai studi tingkah laku manusia, yaitu tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan produksi, distribusi, konsumsi barang-barang komoditi dan pelayanan. Karena itu, ilmu ekonomi mestilah bagian dari agama. Barangkali itulah sebab adanya pengutukan terhadap kriteria-kriteria ekonomi, praktek-praktek ekonomi yang berlaku pada masa permulaan al-Qur’an diwahyukan. Perhatikan empat kelompok ayat yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SWT. Dalam Q.S al-Muthaffifin ayat (83):1-6.

Sekiranya kita dapat memberi tingkah laku dan klasifikasi para nabi yang diutus Allah SWT. sebelum Nabi Muhammad SWT. Menurut tugas masing-masing. Maka kita akan menemukan bahwa salah seorang dari mereka yaitu Nabi Syu’aib adalah seorang Nabi perekonomian, seperti dengan senang hati dijuluki oleh sementara ahli ekonomi muslim kepada beliau. 

Syu’aib tegas sekali dalam membangun sikap ekonominya di atas keimanan kepada Allah swt. dan hari perhitungan. Pada hakekatnya, bahwa beliau menghubungkan antara sikap ekonomi dengan shalat dan akidah, boleh jadi telah membuat heran sementara pengikut beliau. Apakah hubungan sikap ekonomi dengan shalat dan akidah? Syu’aib dengan tegas sekali dengan pendapatnya, bahwa dengan shalat dan iman ia memilih model tertentu sikap ekonomi. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam QS. 11:84-87. Dengan demikian, kita dapat merumsukan kongklusi pertama kita dengan mengatakan bahwa sikap ekonomi manusia dan masyarakat dapat dipandang sebagai bagian dari kekuasaan agama. 

Islam berbeda dengan agama-agama lain dalam memecahkan masalah ekonomi. Agama lain melihat masalah tertentu dengan pandangan yang berbeda. Orientasi Islam dalam hal ini mempunyai ciri khusus. Ciri ini dapat dilihat dari sistem khusus mengenai norma-norma yang berhubungan dengan tingkah laku ekonomi. Sifat dasar prinsip-prinsip moral ekonomi meletakkan perimbangan. Islam mengajak untuk tunduk sepenuhnya kepada Allah swt., dan mengarahkan seluruh kehidupan dan tenaga untuk mengabdi kepada Allah SWT. sebagimana dalam QS. 6:162-163 .

Dengan demikian walaupun tujuan hidup yang sebenarnya adalah kesuksesan akhirat, namun tujuan ini tidak mungkin dicapai dengan merasa bodoh terhadap segala sesuatu yang ada dalam kehidupan di dunia. (QSA. 28:77, QS.61:10-14).

3. Sistem Ekonomi Islam
Ada empat hal yang perlu dipertimbangkan dalam pembicaraan sistem ekonomi Islam, yaitu:
Untuk dapat mencapai hasil yang diinginkan, seluruh sistem harus betul-betul jalan, penerapan total dari sistem ekonomi Islam menghendaki seluruh segi-segi yang lain dalam masyarakat serasi dengan tuntunan-tuntunan sistem ekonomi. Sesuai dengan definisi yang kita berikan, hal ini karena sistem ekonomi berhubungan dengan berbagai segi sosial dalam Negara. Segi-segi lain harus sejalan dan cocok dengan sistem ekonomi Islam yang melarang riba. Pelarangan ini harus dilakukan dengan legalisasi dan hukum. Sistem ekonomi Islam juga meminta Negara mengumpulkan zakat dan mendistribusikannya. Sistem Islam meminta Negara mengadakan pengaturan melalui hukum. Karena itu penerapan sistem ekonomi Islam menghendaki adanya keserasian jalan kerja semua segi yang ada dalam konstruksi sosio-politik untuk mencapai tujuan yang sama. Sungguhpun demikian, tidaklah berarti bahwa untuk menerapkan sistem ekonomi Islam diperlukan terlebih dahulu penerapan semua prinsip Islam. Hukum-hukum, aturan-aturan dan kaedah-kaedah ekonomi mungkin diterapkan tanpa melihat cara-cara yang dilakukan dalam pengaturan segi lain dalam masyarakat. Apabila masyarakat dapat menerima pelarangan riba sebagai bahagian dari ekonomi Islam, pelarangan ini akan jalan tanpa melihat apakah “khamar” juga dilarang atau tidak. Larangan itu juga akan jalan tanpa memperhatikan apakah keputusan ini keluar dari pemerintah yang menjalankan prinsip “al-syura” sistem ekonomi Islam dapat jalan apabila didukung oleh segi-segi lain yang berhubungan, dan yang berhubungan, dan yang dapat bersaham dalam bentuk sosial. Suatu masyarakat dapat menjadi “Islami” (Islamic) tidak cukup dengan menerapkan sistem ekonomi Islam saja. Tetapi diperlukan penerapan semua, akidah, norma, prosedur dan kaedah yang digariskan al-Qur’an dan al-Sunnah.

Sistem ekonomi Islam dilengkapi dengan nilai-nilai. Sistem Islam mempunyai tujuan dan tindakan bersifat netral. Ia bertujuan untuk meningkatkan norma-norma moral Islam seperti persaudaraan, kejujuran dan keadilan. 

Walaupun sistem ekonomi Islam terpengaruh oleh keteguhan moral dan sistem mental keagamaan, namun sistem ini dalam prakteknya tidaklah berdasarkan kepada perbuatan-perbuatan kemauan bebas (al-ikhtiariyah/free will). Dengan kata lain, walaupun sistem ekonomi Islam sangat menghargai derma berdasarkan kemauan bebas, seperti sedekah, namun struktur dan jalan usaha tidak hanya terbatas pada sedekah, tetapi tergantung kepada aksioma-aksioma dasar dan kaedah-kaedah yang tampak jelas dalam pengeturan-penaturan aktivitas ekonomi seperti akan kita ketahui selanjutnya. Karena itu, sikap yang diambil oleh sistem Islam, bukanlah sikap keagamaan, tetapi begitu jauh adalah sikap keduniaan.

Sistem ekonomi Islam berciri dinamis. Ini berarti bahwa ekonomi Islam tidaklah mempunyai hukum beku yang memberikan perincian, tetapi hanya menetapkan garis-garis besar dan prinsip-prinsip pokok. Perincian dari kaedah-kaedah pokok ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan kondisi yang selalu berubah berdasarkan ijtihad.

4. Filsafat Ekonomi Islam 
Secara filosofis Ekonomi Islam didasarkan kepada tiga dasar fasafah, yaitu:

Pertama: Alam Raya ini adalah Milik Allah SWT.

Semua kekayaan, hak milik dan sumber-sumber pemasukan merupakan kepunyaan Allah swt. Allah swt. Yang mengatur semua ini sesuai dengan cara yang diredhai-Nya. Manusia berbuat dan berkuasa terhadap sumber-sumber kekayaan ini hanya dalam batas keinginan dan iradah-Nya.

Sistem ekonomi Islam sangat unik dalam hal ini. Pemahaman hak milik seperti ini berbeda dari pemahaman “kapitalisme” dan “Marxisme”. Pemilik yang sebenarnya dalam kapitalisme adalah individu, pada marxisme adalah proletariat. Dalam Islam hak milik seseorang terhadap sesuatu terbatas dan tidak mutlak. Pemahaman ini dalam sistem ekonomi Islam berdasarkan petunjuk Allah swt. yaitu bahwa Allah swt. adalah pencipta satu-satunya untuk segala sesuatu dan semua kehidupan yang ada di ala mini. Atas dasar ini, selanjutnya akan jelas bahwa pengertian ini meletakkan dasar-dasar bagi satu deret prinsip dan kaedah-kaedah khusus aktifitas ekonomi dalam Islam.

Allah SWT. adalah Khalik dan selain Allah SWT. adalah Makhluk dan tunduk sepenuhnya kepada Allah SWT. Allah swt. adalah pencipta dan selainnya adalah hasil dari ciptaan-Nya. Sesuai dengan hal ini, semua manusia berasal dari satu asal. Semua sama, tidak terdapat adanya kelas manusia dan diskriminasi. Semua manusia mempunyai kedudukan dan status yang sama.

Kepercayaan akan hari perhitungan, dari seluruh aktifitas manusia, termasuk kegiatan ekonomi. Prinsip filsafat ini mempengaruhi tingkah laku ekonomi. Iman ini memperluas jarak waktu dari perbuatan atau dari pilihan sikap apa saja. Seorang insane muslim ingin melakukan sesuatu, terlebih dahulu ia akan memikirkan apa pengaruhnya perbuatan itu terhadap kehidupannya kelak di akhirat. Dengan mempergunakan bahasa ekonomi, ini berarti seseorang membandingkan keuntungan dan ongkos atau harga dari sesuatu perbuatan yang dilakukannya. Ia akan memilih nilai sekrang yang dapat membawa hasil di masa depan. Hasil itu bukan saja yang akan didapat sebelum mati, tetapi juga setelah mati. QS. 3:189, 2:284, 61:10. 

5. Prinsip Umum Ekonomi Islam
Manusia memiliki sesuatu hanyalah sebagai hak milik untuk pakai.

Pada dasarnya segala sesuatu dari hasil usaha manusia, baginya hanyalah hak milik untuk pakai, bukan hak milik mutlak untuk menguasai/memiliki. Hak milik ini tetap kepunyaan manusia selama manfaatnya dapat diambil oleh orang yang diberi hak milik sesuai dengan tujuan-tujuan untuk apa benda atau bang itu diadakan. Kalau hak pakai ii tidak dapat merealisasikan tujuan yang dimaksud, tidak terdapat hak untuk memilikinya sama sekali. Dalam ekonomi Islam, seseorang yang tidak dapat mengeluarkan hasil dari sumber yang ada di bawah kekuasaannya, tidak lagi mempunyai hak untuk memilikinya. Hal ini khususnya diterapkan kepada hak milik tanah. Pengertian kedua hak milik terbatas selama hidup pemilina. Pemilik tidak lagi mempunyai hak untuk pengaturan hak miliknya setelah ia meninggal dunia. Itulah sebabnya distribusi warisan harus dijalankan sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Pemilik tidak dibenarkan membuat wasiat yang tidak sejalan dengan ketentuan al-Qur’an tidak dianggap sah. Hal ini disebabkan karena hak milik yang bersyarat. Pengertian ketiga hak milik berhubungan dengan beberapa hak milik yang tidak mungkin dimaksudkan ke dalam hak individu, umpamanya, mengenai sumber-sumber alami. Seperti kita sebutkan, hak milik pribadi bersyarat. Sumber-sumber alami sesuai dengan pendapatan mayoritas umat Islam, tidak mungkin termasuk hak milik pribadi. Sumber-sumber alami ini harus diolah untuk kepentingan masyarakat seluruhnya.

Berimbang
Perimbangan ini jelas sekali kelihatan dalam tingkalh laku umat Islam, seperti “tidak terlalu”, “tidak boros” dan “tidak bakhil”. Orang yang boros bahkan dalam berderma, dalam hal-hal terentu kadang-kadang termsuk ke dalam golongan orang-orang bodoh, walaupun derma mereka bukan untuk hal-hal yang dilarang, bahkan dalam mempergunakan uang untuk hal-hal yang sah, orang disuruh untuk tidak terlalu. Termasuk pemikiran yang tidak terlalu, tidak menganggap konsumsi itu sendiri sebagai memuaskan. Manusia hanya harus mengkonsumsikan sesuatu sesuai dengan kebutuhannya dalam kadar yang patut. Dalam hal ini, ia bukanlah mengkonsumsikan kualitas terbesar. Prinsip perimbangan ini juga kita temukan dalam hal-hal seperti kebebasan, pengaturan hak milik individu, hak milik kelompok dan sebagainya. Walaupun penguasaan sumber-sumber alami dilakukan melalui masyarakat secara keseluruhan dan penguasaan hal-hal lain melalui individu, namun terdapat perimbangan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Kalau sewaktu-waktu perimbangan ini tidak jalan, harus ada perbaikan, walaupun umpamnya dengan melakukan prosedur buatan, seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah II, “Umar bin Khatab”. Ia berkata; “Kalau saya terima apa yang saya rencanakan, saya telah mengambil kelebihan harta orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin”. Barangkali ia melihat sistem ekonomi sedang tidak stabil. Ia ingin mengembalikan kestabilan. Kemungkinan menasionalisasikan pabrik-pabrik tertentu atau aktifitas ekonomi tertentu adalah salah satu inti prinsip perimbangan, karena hal ini akan merupakan salah satu cara untuk mengembalikan keseimbangan sistem ekonomi.

Keadilan Hakiki
Kita mungkin terkejut melihat kenayataan bahwa kata “keadilan” (al-‘adl) adalah kata ketiga setelah kata Allah swt. dan ilmu pengetahuan (al-ma’rifah) yang sering diulang-ulang dalam al-Qur’an. Kata keadilan dan kata lain yang berasal dari akar kata yang sama diulang lebih dari seribu kali dalam al-Qur’an. Keadilan mempunyai pengertian dalam sekali dalam Islam.

6. Prinsip-Prinsip Khusus Ekonomi Islam
1. Prinsip khusus secara konseptual
Sumber daya alam adalah milik Allah SWT. secara mutlak, sebagaimana dalam Q.S. 20:6, 2:255,284, 3:189-191, 5:120.

Sumber daya alam adalah nikmat Allah swt. untuk manusia: Q.S. 14:32-34, 30:20-27, 31:20, 1:2.

Allah swt. melarang menguras/memanfaatkan sumber daya alam secara berlebihan: Q.S. 6:141-144, 28:77.

Hak milik perseorang diakui, apabila diperoleh secara halal, dan mempergunakannya kepada yang halal: Q.S. 2:168, 5:87-88, 16:114, 8:69, 2:42, 261-274.

Allah swt. melarang menimbun kekayaan, tanpa ada manfaat bagi sesama manusia: Q.S.9:34, 59:7, 17:99-100.

Pada harta orang kaya, terdapat hak-hak orang-orang tertentu yang wajib dikelaurkan, sebasgai zakat, infak dan sedekah: Q.S. 9:60, 2:177, 59:7

Ekonomi Islam Menganut Prinsip “Ekonomi Tauhid”: Q.S. 4:134, 63:9, 102:1-2, 9:24, 4:29-30, 2:219.

Laksanakan transaksi ekonomi sesuai dengan ketentuan Allah swt. dalam Q.S. 2:282-283.

Praktek riba haram, Q.S. 2:275-281, 30:39, 3:130.

Prinsip Khusus Ekonomi Islam secara praktis

Cara produksi dapat diperoleh melalui jalan iktisab (usaha), dengan jalan waratsa (mewarisi) dan dengan jalan hibah (pemberian) (Q.S. 4:32, 7:20).

Dilarang memperoleh harta kekayaan dengan cara yang tidak sah (haram) (Q.S. 4:29, 2:188, 5:33, 38, 4:58, 2:219, 5:90-91). 

Harta milik dipergunakan dengan motivasi untuk mensyukuri nikmat Allah swt. maka pemanfaatannya harus sesuai dengan hukum Allah swt. (Q.S. 25:67, 17:29, 4:5, 2:228, 3:134, 9:34-35).

Harta milik wajib dipelihara (Q.S. 2:254).

Utamakan kejujuran dalam urusan perjanjian dan transaksi perdagangan (Q.S. 2:282-283, 83:1-3, 17:35, 26:181-183)

Modal utama dalam segala bentuk perdagangan adalah imankepada Allah swt. dan rasul-Nya serta berjihad di jalan kebenaran (Q.S. 61:10-14).

DAFTAR PUSTAKA
  • Al-Qur’an al-karim
  • Al-Hufy, Ahmad Muhammad, DR., Akhlak Nabi Muhammad saw., Bulan Bintang, Jakarta, 1978
  • Departemen Agama RI., al-Qur’an dan Terjemahnya, PT. Intermasa, Jakarta, 1978
  • Gazalba, sidi, Drs. Asas Kebudayaan Islam, Bulang Bintang, Jakarta, 1978
  • _______________, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Pustaka Antara, Jakarta, 1975
  • Jatnika, Rahmat, DR., Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), Pustaka Islam, Surabaya, 1985
  • Khaf, Monzer, DR., Deskripsi Ekonomi Islam, Minaret, Jakarta, 1987
  • Salim, Hadiyah, Mukhtar al-Hadis, PT. al-Ma’arif, Bandung, 1985
  • Tim Departemen Agama RI., Islam Untuk Disiplin Ilmu Ekonomi, Dir. Pemb. PTA., 1988
  • T.H. Muhammad, DR., Kedudukan Ilmu dalam Islam, Ikhlas, Surabaya, 1982

Pengertian ‘Aqidah Islamiyah Menurut Para Ahli

‘AQIDAH ISLAMIYAH 
1. Pengertian ‘Aqidah Islamiyah
‘Aqidah Islamiyah alah keyakinan yang mendalam tentang ke-Maha Esaan Allah swt. dan tentang kebenaran bahwa Muhammad itu adalah Rasul Allah SWT. Keyakinan mana berfungsi sebagai penggerak (motor) di dalam diri seseorang sehingga seluruh aktifitasnya tunduk kepada ketentuan-ketentuan Allah swt. dan rasul-Nya sebagaimana yang terkandung dan dikehendaki oleh dua kalimah syahadat.

Rukun Iman secara berurutan dalam Hadits Dari Umar bin Khattab r.a juga, beliau berkata: Nabi bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan engkau beriman kepada takdir baik dan buruk”. (HR. Muslim).

Berdasarkan kepada hadits ini jelaslah bahwa rukun iman secara berurutan ialah:

2. Hubungan Keimanan dan Ketaqwaan
Keimanan dan ketaqwaan dalam al-Qur’an selalu dijelaskan dalam satu paket, karena sasaran akhir darikeimanan adalah ketaqwaan, sebagaimana dalam QS. al-Baqarah (2): 177 dan 183, dan QS:3:110. Penjelasan tentang pembagian rukun iman terdapat dalam al-Qur’an QS. al-Baqarah (2): 177 dinatas QS. al-Nisâ’ (4): 136 hanya dijelaskan 5 dari rukun Iman dan QS al-A’lâ (87):1-3 rukun iman yang keenam, dan dalam Hadits dijelaskan lengkap keenamnya. Dalam QS. al-Nisâ’ (4): 136.

3. Kausalitas Rukun Iman
Beriman kepada qadar baik dan buruk yang telah ditetapkan Allah SWT. Akibat beriman kepada Allah SWT., Malaikat-Nya, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan Hari Akhirat.

6

Beriman kepada hari kiamat yang ditetapkan Allah swt. Akibat beriman kepada Allah SWT., Malaikat-Nya, Kitab-Nya dan kepada Nabi dan Rasul-Nya, sebagai sebab yang kelima.

  5
Beriman kepada Nabi dan Rasul Allah SWT. Akibat berman kepada Allah SWT, Malaikat-Nya dan Kitab-Nya, sebagai sebab yang keempat.

  4
Beriman kepada Kitab-kitab Allah swt.  (kalamullah). Akibat beriman kepada Allah SWT dan malaikat-Nya, sebagai sebab yang ketiga.

  3
Beriman kepada Malaikat-malaikat Allah swt. Akibat beriman kepada Allah SWT., sebagai sebab yang kedua.
  2
Beriman kepada Allah swt. Yang Maha Esa (tauhid), sebagai sebab yang pertama, sebab dari segala sebab. Tidak ada keimanan yang lain tanpa mengimani Allah SWT terlenbih dahulu

  1

4. Konsep Ketuhanan dalam Islam 
Siapakah Tuhan? Tuhan adalah Khaaik (Yang Maha Menciptaka) makhluk (Ciptaan-Nya), yaitu angkasa dan bumi beserta selaga isinya dalam enam masa. Dialah pemilik kerajaan langit dan bumi yang mengatur segala yang terjadi di langit dan dibumi dari ‘Arsy-Nya (singgasana-Nya), sebagiamana yang dijelaskan Allah SWT dalam QS. Yunus (10):3 yang telah dikemukakan di atas. Oleh sebab itu Allah SWT. adalah pemikik mutlak semuanya, dan Dia Maha berkuasa terhadap segala-galanya, sebagaimana dalam firma-Nya QS. ‘Ali ÎMrân (3):189. Dengan demikian bahwa segala sesuatu yang ada ini (makhluk-Nya) bergantung kepada Allah SWT., sebagimana dijelaskan Allah SWT. dalam QS. al-Ikhlash (112):2. Hingga semua makhluk yang ada di langit dan bumi selalu betyasbih memuji-Nya, baca QS.57:1, 59:1, 62:1. Allah SWT adalah Tuhan yang satu-satunya yang berhak disembah oleh manusia. baca QS.20:14. dan kepada-Nya manusia memohon perlindungan dan pertolongan, Baca: QS.1.5-7. 

Tuhan itu tunggal atau banyak? Tuhan sendiri yang memberi tahu bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa (Tunggal) sabagaimana dalam QS. al-Baqarah (2):163.

Siapakah nama Tuhan? Allah SWT. sendiri yang memberi tahu bahwa Nama Tuhan adalah Allah SWT. sebagaimana yang dijelaskan Allah SWT. dalam QS. Yunus (10):3-4. Karena Allah SWT. sendiri yang memberi tahu bahwa nama-Nya adalah Allah SWT., maka bahwa penamaan terhadap nama Tuhan itu Allah SWT. bukanlah inisiatif Nabi Muhammad SAW. untuk memberi nama-Nya Allah. Ini berarti Tuhan kita bukanlah Tuhan hasil penemuan manusia atau ciptaan pikiran nabi Muhammad SAW., sebagimana nama Tuhannya orang kafir. Hanya saja nabi Muhammd SAW. di utus Allah SWT. kepada manusia untuk memberi tahu kepada manusia melalui wahyu-Nya bahwa nama-Nya adalah Allah, QS. al-Taubah (9):33. 

Nabi Muhammad SAW. sendiri mengetahui bahwa nama Tuhan itu Allah, juga diberi tahu oleh Allah SWT. lewat melaikat Jibril AS. yang diutus-Nya untuk menyempaikan wahyu-Nya (firman-Nya). 

5. Ma’rifatullah (Mengenal Allah SWT.) 
Mengenal Adanya Allah SWT, perlu dibuktikan, baik menurut wayhu sebagai kebenaran mutlak (haqq al-yaqin), maupun secara ilmiah sebagai kebenaran yang nisbi (terbatas), sehingga keimanan kita kepada Allah SWT. sebagai pondasi fundamental Agama Islam yang kita anut, dapat kita terima secara rasional berdasarkan ilmu (ilmu al-yaqin), berdasarkan fakta (‘ainul-yaqin) dan berdasarkan kebenaran mutlak (haqqul-yaqin), sebagaimana teori yang dirumuskan oleh para ahli flsafat Islam: Tafakkaruu fi khalqillah, wala tafakkaru fi zaatillaah (Fikirkan tentang apa yang diciptakan Allah, engkau akan sampai kepada mengenal Allah, jangan engkau fikirkan tentang Zat Allah, karena Zat-Nya maha ghaib( tidak terjangkau oleh fikiranmu).

Dengan memiliki keimanan yang rasional, kita akan merasakan bahwa iman kita menjadi hidup, aktif dan dinamis, yang berfungsi sebagai motor yang menggerakan dan mengontrol semua sikap dan tingkah laku kita. Secara praktis untuk melakukan ma’rifatullah (mengenal Allah SWT.) lebih dekat lagi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu sebagai berikut.

5.1. Ma’rifatullah (Mengenal Allah SWT.) Melalui Tadabbur-‘Alam (Memperhatikan Penciptaan Alam Semesta)
Adanya Alam Semesta sebagai bukti ada-Nya Allah SWT. Menurut Wahyu dapat diklasifikasikan kepada dua bukti: Bukti Pertama terdapat dalam Q.S. 41:11. Bahwa proses fundamental peciptaan kosmos (angkasa dan bumi) diawali dengan penciptaan kumpulan gas dengan bagian-bagian kecil yang sangat halus (dukhaan) yang berarti asap. Asap terdiri dari stratum (lapisan) gas dengan bagian-bagian kecil yang mungkin memasuki dua tahap keadaan, yaitu tahap keadaan keras (membeku) atau tahap keadaan cair dan dalam suhu rendah atau tinggi.

Bukti Kedua terdapat dalam Q.S. al-Ambiyâ’ (21):30.Pembentukan kosmos selanjutnya berdasarkan teori pertama di atas menyatakan adanya proses pemisahan yang dalam ayat tersebut diistilahkan dengan fatqun yang berarti memisahkan menjadi potongan-potongan dari kumpulan pertama yang unik yang terdiri dari unsur-unsur yang dipadukan yang disebut dengan ratqun yang berarti; perpaduan atau persatuan beberapa unsur untuk dijadikan suatu kumpulan yuang homogen. Dari informasi wahyu dalam Q.S. 41:11 dan 21:30 itu jelaslah bahwa awal terciptanya alam semesta ini bermula dari suatu ledakan dahsyat dengan kekuasaan Allah swt. yang dikenal dalam istilah wahyu dalam QS. Yasin (36):82.

Periodesasi penciptaan alam semesta menurut wahyu, bahwa Allah SWT menciptakan alam semesta ini dari proses awal sampai sempurna melalui enam periode (masa) sebagaimana dalam Q.S. 10:3 di atas dan 11:7, 50:38, 5:59, 7:54, 32:5 dan 70:4. Namun di dalam keterangan wahyu tidak dijelaskan secara rinci tahapan-tahapan masing-masing periode. 

Kejadian alam semesta menurut penemuan ilmiah adalah sebagaimana yang diungkapkan dalam teori “palaentologi”, yaitu ilmu yang mempelajari tentang yang ada pada zaman dahulu. Yang dikembangkan oleh ahli biologi. Menurut waktu geologi (waktu pertumbuhan bumi) proses fundamental pembentukan kosmos dan kesudahannya dengan penyusunan alam semesta adalah melalui enam periode. Pada tiap-tiap akhir periode itu ditandai oleh peristiwa, seperti munculnya gunung-gunung, benua dan lain-lain sebagainya. Enam periodesasi tersebut ialah sebagai berikut: 

5.1.1. Periode AZOICUM, yaitu zman tidak/belum ada hidup, mula pertama bumi ini tumbuh. Lamanya satu milyar tahun.
5.1.2. Periode ARCHOZOICUM, yaitu zaman hidup primitif, ditandai oleh aktifitas gunung api dan pembentukan gunung-gunung. Sedikit sekali tanda-tanda yang menunjukkan adanya hidup. Bilapun ada yang hidup hanya mungkin gang-gang primitif dan barangkali hewan satu sel muncul pada zaman ini. Lamanya 800 juta tahun.
5.1.3. Periode PROTEOROZOICUM, yaitu zaman hidup yang pertama, meskipun jarang. Tapi hidup sudah jelas ada. Hal ini dibuktikan dengan adanya fosil. Lamanya 650 juta tahun.
5.1.4. Periode PALAEZOICUM, yaitu zaman purba, hampir semua phylum (jenis binatang) meninggalkan fosil. Lamanya 350 juta tahun. (Berarti awal zaman ini sudah sempurna kehidupan makhluk hidup).
5.1.5. Periode MESOZOICUM, yaitu zaman pertengahan, invertebrata (hewan yang tidak bertulang punggung) laut jumlahnya menurun. Tetapi crustacean (binatang yang berkulit keras) modern laut muncul. Lamanya 140 juta tahun.
5.1.6. Periode CENOZOICUM, yaitu zaman sekarang, dimulai sejak 60 juta tahun yang lalu. Pada zaman inilah munculnya makhluk-makhluk tingkat tinggi. Dan akhirnya muncullah manusia.

5.2. Asal Usul Kehidupan Makhluk 
Asal usul kehidupan makhluk hidup dijelaskan Allah SWT. dalam wahyu-Nya bahwa segala sesuatu yang hidup dijadikan Allah swt. dari air sebagimana dalam Q.S. al-Ambiyâ’ (21):30.

Penemuan ilmiah membuktikan kebenaran wahyu, bahwa alam semesta ini dengan segala isinya yang tersusun rapi bukan merupakan proses sebab akibat kosmologi tetapi ciptaan Allah swt. Hal ini terbukti dengan adanya suatu kesatuan sistem yang berlaku pada alam semesta ini yang dikenal dengan Sunnatullah.

5.3. Ma’rifatullah Melalui Tadabbur Insan (Memperhatikan Penciptaan Manusia)
Selain mengetahui tentang penciptaan alam semesta untuk membuktikan tentang adanya Allah SWT., maka kajian tentang penciptaan manusia perlu pula kita dalami, karena semua yang ada di alam ini diciptakan Allah SWT., untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT. Sehingga pembuktian itu akan mengantarkan kita kepada rasa dekat dengan Allah SWT. setiap saat. Sebagaimana teori yang dirumuskan oleh para sufi: Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu (siapa yang mengenal tentang dirinya, dialah yang akan kenal dan dekat dengan Tuhannya).

Menurut wahyu manusia pertama diciptakan Allah SWT. dari bermacam-macam tanah Antara lain disebut dari tanah, tanah kering, tanah liat dan tanah berlumpur. Setelah jasmani dibentuk Allah SWT. meniupkan Ruh-Nya (yang berasal dari-Allah) ke dalam jasmani.. Dengan bersatunya ruhani dan jasmani, manusia tidak hanya memiliki kehidupan jasmaniah, melainkan juga kehidupan ruhaniah, sebagaimana dalam Q.S. 76:1, QS.71:14,17, QS.3:59, QS.15:28, QS.32:7-9, QS.23:12-16.

Dari ayat-ayat al-Qur’an di atas dapat di pahami bahwa jasad manusia diciptakan Allah SWT. berasal tanah, atau dari sperma dan ovum yang berasal sari pati makanan yang berasal dari tanah, sedangkan ruh manusia berasal dari Allah SWT. Ketika manusia mati berpisahlah ruh dengan jasadnya, masing-masing kembali ke asalnya. Jasad yang berasal dari tanah diembalikan ke asalnya yaitu dikuburkan ke dalam tanah. Ruh yang berasal dari Allah SWT. kembali keasalnya yaitu kepada Allah SWT., sebagaimana dalam firman Allah SWT. dalam QS.al-Baqarah (2): 156.

Ditempatkan Allah SWT. di alam barzakh sambai terjadi kiyamat dan berbangkit, kemudian bergabung kembali dengan jasad yang baru untuk mengalami kehidupan yang kedua di yaumil-mahsyar menunggu waktu dihisab di hadapan Allah SWT, guna mempertanggung jawabkan amal perbuatan selama di dunia, dan akhirnya manusia yang yang beriman yang beramal shaleh dan yang bertaubat dimasukan Allah SWT. ke surga, dan yang sebaliknya dimasukan Allah SWT. ke neraka. 

Menuurt al-Qur’an kejadian dan petumbuhan dan perkembangan manusia sebagai jenis (genus atau species) berlangsung secara berevolosi, yaitu bertumbuh dan berkembang secara bertahap dan perlahan-lahan. Tapi proses evolusi itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan evolusi hewan, sebagaimana teori Darwin. 

Allah SWT. menunjukkan perbedaan yang asasi antara manusia dengan hewan, yaitu dengan peniupan ruh yang berasal dari Allah, yang diciptakan Allah SWT. khusus untuk manusia. Sedangkan unsur kehidupan hewan hanya berasal dari air, sebagaiana dalam Q.S. al-Ambiyâ’ (21):30.

Manusia adalah manusia dari awal penciptaannya, hewan adalah hewan dari awal penciptaannya dan tidak ada hubungan asal penciptaannya antara keduanya. Karena menurut wahyu manusia diciptakan Allah SWT. untuk menjadi pemimpin terhadap semua makhluk di bumi ini. Makhluk lainnya diciptakan Allah SWT. untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, sebagaimana dijeladskan Allah SWT dalam QS. al-Baqarah (2):22 dan 29.

Dalam hubungannya dengan sesama manusia, manusia diciptaan Allah SWT. untuk saing bekerjsama membangun kehidupan di dunia, sebagaimana dalam QS. al-Hujurat (49):13. Dalam hubungannya dengan alam sekitar, manusia berkewajiban memanfaatkan sumber daya alam (SDA) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang mendorong aktivitas hidupnya, dan sekaligus juga bertanggung jawab untuk melestarikan alam semesta ini, sebagaiaman dalam QS: al-Qashash (28):77. Baca! Runtuhnya Teori Darwin. Karya Harun Yahya/lihat CD-nya.

6. Fungsi Iman Kepada Allah SWT. Dalam Kehidupan: 
Iman akan berfungsi dalam kehidupan apabila telah dibenarkan oleh hati (keyakinan yangh mendalam di dalam hati sesuai dengan rukun iman), diucapkan oleh lidh (ucapan dan perkataan yang sesuai dengan ketentuan yang diimani, yaitu menurut al-Qur’an dan Hadits), dan diaplikasikan oleh perbuatan (sikap dan tingkah laku melaksanakan amar makruf nahi mungkar). Ketiga pilar fungsi iman tersebut akan melahirkan perilaku tahuid (sikap dan tingkah laku beriman ) dalam bentuk tindakan Perilaku tauhid sebagai aplikasi dari Iman kepada Allah SWT, diwujudkan dengan perilaku sebagai berikut: 

6.1. Perilaku Tauhid Rububiyah dan Mulkiyah:
Meyakini/mengakui bahwa Allah SWT. itu Maha Esa dalam menciptakan. (Q.S. 7:54, 10:3, 114:1).
Meyakini/mengakui bahwa alam ini adalah milik Allah SWT. (QS: 3:189, 114:2, 9:60,103). 
Meyakini/mengakui/mengimani bahwa Allah swt. itu Maha Esa dalam mengatur alam semesta sebagai sember saya ekonomi (Q.S. 10:3, 32:5-6).

Meyakini/mengakui/mengimani bahwa Allah SWT. itu Maha Esa dalam menentukan syari’ah (hukum) untuk mengatur seluruh aktifitas manusia di dalam kehidupannya. Maka setiap aktifitas ekonomi wajib dilaksanakan dengan sistem syari’ah yang disebut dengan Ekonomi Syari’ah(Q.S. 8:19,85, 5:48, 45:18). 

Meyakini/mengakui/mengimani bahwa Allah SWT. itu Maha Esa dalam menentukan takdir yang membentuk sikap selalu optimis dan tidak boleh berputus asa dalam hidup, termasuk dalam kegiatan ekonomi (Q.S. 10:107, 87:1-3).

6.2. Perilaku Tauhid Uluhiyah 
Tauhid Uluhiyah ialah hanya bertuhan kepada Allah SWT. saja. Konsekuensi logisnya ialah tidak akan menghambakan diri kepada apapun atau kepada sipapapun, kecuali hanya kepada Allah SWT. semata, sesuai dengan pernyataannya dalam kalimah syahadat yang berbunyi: اشهد ان لا اله الا الله Artinya: Aku naik saksi/menyatakan bahwa tiada Tuhan kecuali Allah swt. (Q.S. 20:14, 10:3 dan 3:18, 114:3). Ada empat ciri perilaku yang bertauhid Uluhiyah: 

6.2.1. Tidak ber-ilah (tidak bertuhan) tidak menghambakan diri kepada materi/uang, pangkat, harta dan kebutuhan material lainnya. Lihat Q.S. 9:24, 3:14. 

6.2.1. Tidak ber-ilah (tidak bertuhan) kepada hawa nafsu. Hawa nafsu dalam al-Qur’an diistilahkan dengan syahwat (keinginan) Q.S. 3:14 . Di antara yang menjadi objek dari pada keinginan tersebut menurut ayat itu adalah keinginan memenuhi nafsu sex, keinginan memiliki anak, keinginan memiliki harta yang banyak (uang). kesemuanya itu adalah merupakan perlengkapan hidup di dunia yang memang disenangi, akan tetapi bukan untuk dijadikan ILAH (Tuhan yang disembah) Q.S. 45:23-24. Nafsu menurut al-Qur’an terbagi tiga: Pertama, Nafsu al-muthmainnah (Q.S. 89:27-30 = nafsu yang tenang, yang tunduk/berkeinginan menyembah Allah SWT. Kedua, Nafsu Lawwamah (Q.S. 75:2) ialah nafsu yang cenderung menyesali diri sendiri, maksudnya Bila ia berbuat kebaikan ia juga menyesali kenapa ia tidak berbuat kebaikan ia juga menyesali kenapa ia tidak berbuat lebih banyak, dan apabila ia berbuat kejahatan ia juga menyesali kenapa ia tidak berbuat lebih banyak. Ketiga, Nafsu Amarah (Q.S. 12:53) ialah nafsu yang selalu mendorong manusia berbuat dosa/kejahatan atau kafir terhadap Allah swt.

6.2.3. Tidak meng-ilahkan (tidak mengkultuskan) manusia Lihat Q.S. 9:241, 
6.2.4. Tidak meng-ilahkan setan (Q.S. 36:60).

Perilaku Tauhid Asma’ wa al-Shiftullah 
Perilaku Tauhid Asma’ wa al-Shiftullah, ialah mewujudkan Sifat-sifat Allah SWT. yang terkandung dalam Asmâul-Husna dalam setiap sikap dan tingkah laku, karena kita meyakini bahwa Tuhan kita Allah SWT. mempunyai nama lain sebagai sifat-Nya selain nama-Nya yang Agung (Allah) QS. 10:3 dan QS:20:14. Allah berarti Tuhan Yang disembah mempunyai banyak nama yang sifat-sifat-Nya yang melekat pada Zat-Nya, sekaligus sebagai nama (panggilan) lain terhadap Zat-Nya yang Maha Agung itu. Dalam al-Qur’an disebut dengan Asmaa-ul-husna, sebagaimana dalam QS:7:180. Allah SWT. mempunyai nama 99, 1 nama Zat-Nya, yaitu Allah SWT. dan 98 nama bagi sifat-Nya. Lihat dalam al-Qur'an dan Terjemahannya pada bagian dalam kulitnya! 99 nama Allah SWT, 1 nama Zat-nya, yaitu ALLAH. 98 nama sifat-Nya yang menjadi sifat bagi nama Zat-Nya (ALLAH). 98 Nama sifatnya dipercikannya kedalam ruh manusia yang berasal dari-Nya, sehingga manusia memiliki sifat yang mendekati sifat-Nya.

7. Fungsi Iman Kepada Malaikat-Malikat Allah
Fungsi dan hikmah mengimani Malaikat-malaikat Allah swt. dalam kehidupan ialah manusia akan selalu berhati-hati dalam setiap aktifitas hidupnya, selalu punya harapan positif, karena amalnya tidak sia-sia, sehingga timbul sifat jujur, amanah dalam perilakunya, dan sifat terpuji lainnya. Misalnya, ketika perdagangan merugi secara material, tetap beruntung secara moral di sisi Allah, yaitu pahala penghubung antara dua kelompok yang membutuhkan (produsen dan konsumen).

7. Fungsi Iman Kepada Kitab Allah: 
7.1. Al-Qur’an pedoman, pegangan, petunjuk dalam memakai kehdupan bagi manusia. QS:2:185, dan QS:10:57.
7.2. Dengan membaca al-Qur’an, manusia dapat membaca sejarah perilaku umat yang dahulu, semenjak Adam sampai Muhammad, sebagai bahan perbandingan yang berharga.
7.3. Dengan memahami al-Qur’an, kehidupan manusia pada umumnya, secara khusus contohnys dalam berperilaku ekonomi akan terarah sesuai dengan Syari’ah (ekonomi syari’ah), penuh keteraturan dan ketenteraman untuk mencapai hidup yang sejahtera dan bahagia di dalam ridha Allah SWT.
7.4. Membaca al-Qur’an bernilai ibadah kepada Allah SWT. dan mengamalkan ajarannya menjadi petunjuk dalam memakai kehidupan akan menjadi amal shaleh bagi manusia.
7.5. Al-Qur’an sumber inspirasi berpikir dan merasa bagi manusia dalam menciptakan kreatifitas kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya dalam bidang ekonomi.

9. Fungsi Iman Kepada Nabi dan Rasulullah. 
Nabi Muhammad SAW. sebagai panutan dan tauladan dalam segenap aspek kehidupan manusia pada umumnya dan dalam kehidupan ekonomi khususnya, karena nabi Muhammd SAW. di samping beliau sebagai seorang Rasul, juga sebagai seorang pemimpin dan beliau bersama Istrinya (Khadijah) adalah pelaku ekonomi; sebagai pengusaha dan pedagang (Q.S. 33:21). Muahmad SAW. Adalah satu-satunya tauladan kehidupan yang bertugas memperbaiki akhlak manusia pada umumnya, khususnya dalam bidang akhlak ekonomi (Q.S. 33:21). Karena tugas utama kerasulannya adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. (al-Hadis).

9. Fungsi Iman Kepada Hari Akhirat 
Fungsi mengimani hari akhirat, merupakan motivasi bagi setiap pribadi muslim untuk memperbanyak amal ibadah maliyah (ekonomi) mencari hidup yang ridha Allah. Semakin kaya seorang muslim, semakin banyak amal maliyah dan amal soaialnya. Maka beriman kepada hari akhirat dijadikan sebagai motivasi kuat untuk sukses dalam berekonomi secara halal lagi baik.

10. Fungsi Iman Kepada Qadha dan Qadar Baik/Buruk 
Manusia tidak akan putus asa jika usahanya tidak berhasil, karena dengan niat beramal shaleh dalam setiap mengawali usaha, telah dinilai sebagai satu amal saleh di sisi Allah SWT; bahkan manusia yang mengimani takdir akan selalu tawakkal (melibatkan Allah swt. dalam setiap usahanya). 

Manusia tidak akan sombong jika usahanya berhasil gemilang, karena ia bersyukur kepada Allah SWT. atas keberhasilannya; bahkan manusia tersebut akan menjadi manusia yang selalu bersyukur kepada Allah swt. setiap ia berhasil. 

Dengan beriman kepada takdir hidup manusia akan terasa lebih berarti jika manusia dapat menghadapi kehidupannya tersebut dengan sikap penuh harap (optimisme), sabar, dan tawakkal (melibatkan Allah dalam sertiap usaha) dan tidak bersifat fatalisme/pesimistis, karena takdir itu tidak dapat diketahui sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA
  • Abdurrahim, Muhammad Imaduddin Ir.M.Sc., Kuliah Tauhid, pustaka Salman ITB, Bandung, 1982.
  • Anshari, H. Endang Saifuddin, MA., Ilmu, Filsafat dan Agama, Bina Ilmu Surabaya, 1983
  • Ary Ginanjar Agustian, ESQ (Emosional Spritual Quotien) Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Arga, Jakarta 2001 
  • Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, Postern. Intermasa, Jakarta, 1978
  • Gazalba, Sidi, Drs. Asas Ajaran Islam, Seri Ilmu Islam 1, Bulan Bintang, Jakarta, 1984
  • _______________, Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1982
  • Kusumamihardja, Supan. Drh. H. M.Sc., Studia Islamica, Giri Mukti Pasaka, Jakarta, 1985
  • Muhammad TH DR. H.., Kedudukan Ilmu dalam Islam, al-Ikhlas, Surabaya, 1984
  • Raousidi, TA. Lathief, Agama dalam Kehidupan Manusia (‘Aqidah I), Rimbou/Medan, Jakarta, 1986
  • Sabiq, Sayyid, DR, ‘Aqidah Islam, Diponegoro, Bandung, 1983Qardhawy, Yusuf, DR, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Rabbani Press,Jakarta, 2001