Pengertian Dan Tujuan Model Pembelajaran Kooperatif
1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif adalah rangkaian kegiatan belajar
yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.
Slavin dalam Isjoni (2009: 15) pembelajaran kooperatif adalah suatu
model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompokkelompok
kecil secara kolaboratif yang anggotanya 5 orang dengan struktur
kelompok heterogen. Sedangkan menurut Sunal dan Hans dalam Isjoni (2009:
15) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan suatu cara
pendekatan atau serangkaian strategi yang khusus dirancang untuk memberi
dorongan kepada siswa agar bekerja sama selama proses pembelajaran.
Selanjutnya Stahl dalam Isjoni (2009: 15) menyatakan pembelajaran
kooperatif dapat meningkatkan belajar siswa lebih baik dan meningkatkan
sikap saling tolong-menolong dalam perilaku sosial.
Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang berfokus
pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam
memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar (Sugiyanto,
2010: 37). Anita Lie (2007: 29) mengungkapkan bahwa model pembelajaran
cooperative learning tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok.
Ada lima unsur dasar pembelajaran cooperative learning yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan.
Pelaksanaan model pembelajaran kooperatif dengan benar akan menunjukkan
pendidik mengelola kelas lebih efektif.
Johnson (Anita Lie,2007: 30) mengemukakan dalam model
pembelajaran kooperatif ada lima unsur yaitu: saling ketergantungan positif,
tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antar anggota, dan
evaluasi proses kelompok.
Pembelajaran kooperatif (Cooperative learning) adalah model
pembelajaran yang menekankan pada saling ketergantungan positif antar
individu siswa, adanya tanggung jawab perseorangan, tatap muka,
komunikasi intensif antar siswa, dan evaluasi proses kelompok (Arif
Rohman, 2009: 186).
Cooperative learning menurut Slavin (2005: 4-8) merujuk pada
berbagai macam model pembelajaran di mana para siswa bekerja sama dalam
kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari berbagai tingkat prestasi, jenis
kelamin, dan latar belakang etnik yang berbeda untuk saling membantu satu
sama lain dalam mempelajari materi pelajaran. Dalam kelas kooperatif, para
siswa diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan, dan
berargumentasi untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan
menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing. Cooperative
learning lebih dari sekedar belajar kelompok karena dalam model
pembelajaran ini harus ada struktur dorongan dan tugas yang bersifat
kooperatif sehingga memungkinkan terjadi interaksi secara terbuka dan hubungan-hubungan yang bersifat interdependensi efektif antara anggota
kelompok.
Agus Suprijono (2009: 54) mengemukakan bahwa pembelajaran
kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja
kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau
diarahkan oleh guru. Secara umum pembelajaran kooperatif dianggap lebih
diarahkan oleh guru, di mana guru menetapkan tugas dan pertanyaanpertanyaan
serta menyediakan bahan-bahan dan informasi yang dirancang
untuk membantu siswa menyelesaikan masalah yang dimaksudkan. Guru
biasanya menetapkan bentuk ujian tertentu pada akhir tugas.
Anita Lie (Agus Suprijono, 2009: 56) menguraikan model
pembelajaran kooperatif ini didasarkan pada falsafah homo homini socius.
Berlawanan dengan teori Darwin, filsafat ini menekankan bahwa manusia
adalah makhluk sosial. Dialog interaktif (interaksi sosial) adalah kunci
seseorang dapat menempatkan dirinya di lingkungan sekitar.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran kooperatif adalah model
pembelajaran yang menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok kecil
yang anggotanya bersifat heterogen, terdiri dari siswa dengan prestasi tinggi,
sedang, dan rendah, perempuan dan laki-laki dengan latar belakang etnik
yang berbeda untuk saling membantu dan bekerja sama mempelajari materi
pelajaran agar belajar semua anggota maksimal.
2. Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Slavin (2005) mengemukakan tujuan yang paling penting dari model
pembelajaran kooperatif adalah untuk memberikan para siswa pengetahuan,
konsep, kemampuan, dan pemahaman yang mereka butuhkan supaya bisa
menjadi anggota masyarakat yang bahagia dan memberikan kontribusi.
Wisenbaken (Slavin, 2005) mengemukakan bahwa tujuan model
pembelajaran kooperatif adalah menciptakan norma-norma yang proakademik
di antara para siswa, dan norma-norma pro-akademik memiliki
pengaruh yang amat penting bagi pencapaian siswa.
3. Unsur-unsur Dasar dalam Pembelajaran Kooperatif
Lungdren dalam Isjoni (2009: 16) mengemukakan unsur-unsur dalam
pembelajaran kooperatif sebagai berikut.
- para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “ tenggelam atau berenang
bersama”;
- para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau siswa lain
dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam
mempelajari materi yang dihadapi;
- para siswa harus berpendapat bahwa mereka semua memiliki tujuan yang
sama;
- para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab di antara para anggota
kelompok;
- para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut
berpengaruh terhadap evaluasi kelompok
- para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh
keterampilan bekerja sama selama belajar;
- setiap siswa akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual
materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Roger dan David (Agus Suprijono, 2009: 58) mengatakan bahwa tidak
semua belajar kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk
mencapai hasil yang maksimal, lima unsur dalam model pembelajaran
kooperatif harus diterapkan. Lima unsur tersebut adalah sebagai berikut.
1) Positive interdependence (saling ketergantungan positif)
Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada dua
pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang ditugaskan
kepada kelompok. Kedua, menjamin semua anggota kelompok secara
individu mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut.
2) Personal responsibility (tanggung jawab perseorangan)
Pertanggungjawaban ini muncul jika dilakukan pengukuran terhadap
keberhasilan kelompok. Tujuan pembelajaran kooperatif adalah membentuk
semua anggota kelompok menjadi pribadi yang kuat. Tanggungjawab
perseorangan adalah kunci untuk menjamin semua anggota yang diperkuat
oleh kegiatan belajar bersama. Artinya, setelah mengikuti kelompok belajar
bersama, anggota kelompok harus dapat menyelesaikan tugas yang sama.
3) Face to face promotive interaction (interaksi promotif)
Unsur ini penting karena dapat menghasilkan saling ketergantungan
positif. Ciri–ciri interaksi promotif adalah saling membantu secara efektif dan efisien, saling memberikan informasi dan sarana yang diperlukan, memproses
informasi bersama secara lebih efektif dan efisien, saling mengingatkan,
saling membantu dalam merumuskan dan mengembangkan argumentasi serta
meningkatkan kemampuan wawasan terhadap masalah yang dihadapi, saling
percaya, dan saling memotivasi untuk memperoleh keberhasilan bersama.
4) Interpersonal skill (komunikasi antaranggota)
Untuk mengkoordinasikan kegiatan siswa dalam pencapaian tujuan
siswa harus adalah saling mengenal dan mempercayai, mampu
berkomunikasi secara akurat dan tidak ambisius, saling menerima dan saling
mendukung, serta mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif.
5) Group processing (pemrosesan kelompok)
Pemrosesan mengandung arti menilai.
Melalui pemrosesan kelompok
dapat diidentifikasi dari urutan atau tahapan kegiatan kelompok dan kegiatan
dari anggota kelompok. Siapa di antara anggota kelompok yang sangat
membantu dan siapa yang tidak membantu. Tujuan pemrosesan kelompok
adalah meningkatkan efektivitas anggota dalam memberikan kontribusi
terhadap kegiatan kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok. Ada dua
tingkat pemrosesan yaitu kelompok kecil dan kelas secara keseluruhan.
Thompson, et al (Isjoni,2009: 17) mengemukakan bahwa
pembelajaran kooperatif turut menambah unsur-unsur interaksi sosial pada
pembelajaran. Di dalam pembelajaran kooperatif siswa belajar bersama dalam
kelompok-kelompok kecil yang saling membantu satu sama lain. Kelas
disusun dalam kelompok yang terdiri dari 4-5 siswa dengan kemampuan yang heterogen. Maksud kelompok heterogen adalah terdiri dari campuran
kemampuan siswa, jenis kelamin, dan suku. Hal ini bermanfaat untuk melatih
siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan teman yang berbeda latar
belakangnya.
Isjoni (2009: 17) menguraikan bahwa pada pembelajaran kooperatif
yang diajarkan adalah keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja
sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang
baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang
direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota
kelompok adalah mencapai ketuntasan.
4. Kelemahan Pembelajaran Kooperatif
Kelemahan pembelajaran kooperatif bersumber pada dua faktor, yaitu
faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern). Faktor dari dalam
yaitu sebagai berikut.
- guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping itu
memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran dan waktu;
- agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan dukungan
fasilitas, alat dan biaya yang cukup memadai;
- selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik
permasalahan yang sedang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan, dan
- saat diskusi kelas, terkadang didominasi oleh seseorang, hal ini
mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif.
Slavin (Miftahul, 2011: 68) mengidentifikasi tiga kendala utama atau
apa yang disebutnya pitfalls (lubang-lubang perangkap) terkait dalam
pembelajaran kooperatif sebagai berikut.
a. Free Rider
Jika tidak dirancang dengan baik, pembelajaran kooperatif justru
berdampak pada munculnya free rider atau “pengendara bebas”. Yang
dimaksud free rider disini adalah beberapa siswa yang tidak bertanggung
jawab secara personal pada tugas kelompoknya mereka hanya “mengekor”
saja apa yang dilakukan oleh teman-teman satu kelompoknya yang lain. Free
rider ini sering kali muncul ketika kelompok-kelompok kooperatif ditugaskan
untuk menangani atu lembar kerja, satu proyek, atau satu laporan tertentu.
Untuk tugas-tugas seperti ini, sering kali ada satu atau beberapa anggota yang
mengerjakan hampir semua pekerjaan kelompoknya, sementara sebagian
anggota yang lain justru “bebas berkendara”, berkeliaran kemana-mana.
b. Diffusion of responsibility
Yang dimaksud dengan diffusion of responsibility (penyebaran
tanggung jawab) ini adalah suatu kondisi di mana beberapa anggota yang
dianggap tidak mampu cenderung diabaikan oleh anggota-anggota lain yang
“lebih mampu”. Misalnya, jika siswa ditugaskan untuk mengerjakan tugas
IPA, beberapa anggota yang dipersepsikan tidak mampu menghafal atau
memahami materi tersebut dengan baik sering kali tidak dihiraukan oleh
teman-temannya yang lain. Siswa yang memiliki skill IPA yang baik pun
terkadang malas mengajarkan keterampilannya pada teman-temannya yang kurang mahir di bidang IPA. Hal ini hanya membuang-buang waktu dan
energi saja.
c. Learning a Part of Task Specialization
Beberapa model pembelajaran tertentu, seperti Jigsaw, Group
Investigation, dan metode-metode lain yang terkait, setiap kelompok
ditugaskan untuk mempelajari atau mengerjakan bagian materi yang berbeda
antarsatu sama lain. Pembagian semacam ini sering kali membuat siswa
hanya fokus pada bagian materi lain yanng dikerjakan oleh kelompok lain
hampir tidak dihiraukan sama sekali, padahal semua materi tersebut saling
berkaitan satu sama lain.
Slavin (Miftahul,2011: 69) mengemukakan bahwa ketiga kendala ini
bisa diatasi jika guru mampu melakukan beberapa faktor sebagai berikut
- mengenakan sedikit banyak karakteristik dan level kemampuan siswanya,
- selalu menyediakan waktu khusus untuk mengetahui kemajuan setiap
siswanya dengan mengevaluasi mereka secara individual setelah bekerja
kelompok, dan yang paling penting
- mengintegrasikan metode yang satu
dengan metode yang lain.
5. Aspek-aspek Pembelajaran
Kooperatif
Miftahul (2011) memaparkan beberapa aspek pembelajaran kooperatif
sebagai berikut.
a. Tujuan
Semua siswa ditempatkan dalam kelompok-kelompok kecil (sering
kali yang beragam/ ability grouping/ heterogenous group) dan diminta untuk
- mempelajari materi tertentu dan
- saling memastikan semua anggota
kelompok juga mempelajari materi tersebut.
b. Level kooperatif
Kerja sama dapat diterapkan dalam kelas (dengan cara memastikan
bahwa semua siswa di ruang kelas benar-benar mempelajari materi yang
ditugaskan) dan level sekolah (dengan cara memastikan bahwa semua siswa
di sekolah benar-benar mengalami kemajuan secara akademik).
c. Pola interaksi
Setiap siswa saling mendorong kesuksesan antarsatu sama lain. Siswa
mempelajari materi pembelajaran bersama siswa lain, saling menjelaskan cara
menyelesaikan tugas pembelajaran, saling menyimak penjelasan masingmasing,
saling mendorong untuk bekerja keras, dan saling memberikan
bantuan akademik jika ada yang membutuhkan. Pola interaksi ini muncul di
dalam dan di antara kelompok-kelompok kooperatif.
d. Evaluasi
Sistem evaluasi didasarkan pada kriteria tertentu. Penekanannya
biasanya terletak pada pembelajaran dan kemajuan akademik setiap siswa,
bisa pula difokuskan pada setiap kelompok, semua siswa, ataupun sekolah.
Koes (Isjoni, 2009: 20) menyebutkan bahwa belajar kooperatif
didasarkan pada hubungan antara motivasi, hubungan inter personal, strategi
pencapaian khusus, suatu ketegangan dalam individu memotivasi gerakan ke
arah pencapaian hasil yang diinginkan. Nurhadi (Isjoni, 2009)
mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif memuat elemen-elemen yang saling terkait di dalamnya, diantaranya adalah saling ketergantungan positif,
interaksi tatap muka, akuntabilitas individual, keterampilan untuk menjalin
hubungan antar pribadi atau keterampilan sosial yang sengaja diajarkan.
Keempat elemen tersebut tidak bisa dipisahkan dalam pembelajaran
kooperatif karena sangat mempengaruhi kesuksesan dari pembelajaran
koperatif sendiri.
Effandi Zakaria (Isjoni, 2009: 21) berpendapat bahwa pembelajaran
kooperatif dirancang bagi tujuan untuk melibatkan pelajar secara aktif dalam
proses pembelajaran melanjutkan perbincangan dengan teman-teman dalam
kelompok kecil. Ia memerlukan siswa bertukar pendapat, memberi tanya
jawab serta mewujudkan serta membina proses penyelesaian kepada suatu
masalah. Kajian eksperimental dan diskriptif yang dijalankan mendukung
pendapat yang mengatakan pembelajaran kooperatif dapat memberikan hasil
yang positif kepada siswa.
6. Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif
Isjoni (2009: 27) memaparkan beberapa ciri-ciri pembelajaran
kooperatif yaitu sebagai berikut.
a. setiap anggota memiliki peran;
b. terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa;
c. setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga temanteman
sekelompoknya;
d. guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal
kelompok, dan
e. guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.
Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran
kooperatif sebagaimana dikemukakan Slavin (Isjoni, 2009) yaitu penghargaan
kelompok, pertanggung jawaban individu, dan kesempatan yang sama untuk
berhasil.
1) Penghargaan kelompok
Pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan-tujuan kelompok untuk
memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh jika
kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan. Keberhasilan
kelompok didasarkan pada penampilan individu sebagai anggota kelompok
dalam menciptakan hubungan antar personal yang saling mendukung, saling
membantu, dan saling peduli.
2) Pertanggung jawaban individu
Keberhasilan kelompok tergantung dari pembelajaran individu dari
semua anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitik beratkan
pada aktivitas anggota kelompok yanng saling membantu dalam belajar.
Adanya pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan setiap anggota
siap untuk menghadapi tes dan tugas-tugas lainnya secara mandiri tanpa
bantuan teman sekelompoknya.
3) Kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan
Pembelajaran kooperatif menggunakan metode skoring yang
mencakup nilai perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang
diperoleh siswa dari yang terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini setiap siswa baik yang berprestasi rendah, sedang, atau tinggi sama-sama
memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi
kelompoknya.
Slavin (2005: 36) memaparkan bahwa teori motivasi dalam
pembelajaran kooperatif menekankan pada derajat perubahan tujuan
kooperatif mengubah insentif bagi siswa untuk melakukan tugas-tugas
akademik, teori kognitif menekankan pada pengaruh dari kerja sama itu
sendiri (apakah kelompok tersebut mencoba meraih tujuan kelompok ataupun
tidak).
Panintz (Agus Suprijono, 2009: 54) menjelaskan bahwa pembelajaran
kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja
kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau
diarahkan oleh guru. Secara umum pembelajaran kooperatif dianggap lebih
diarahkan oleh guru, di mana guru menetapkan tugas dan pertanyaanpertanyaan
serta menyediakan bahan-bahan dan informasi yang dirancang
untuk membantu siswa menyelesaikan masalah yang dimaksud. Guru
biasanya menetapkan bentuk ujian tertentu pada akhir tugas.
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil
belajar berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keragaman, dan
pengembangkan keterampilan sosial. Untuk mencapai hasil belajar itu model
pembelajaran kooperatif menuntut kerja sama dan interdependensi siswa
dalam struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur reward-nya. Struktur tugas
berhubungan bagaimana tugas diorganisir. Struktur tujuan dan reward mengacu pada derajat kerja sama atau kompetisi yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan maupun reward.
Salah satu aksentuasi model pembelajaran kooperatif adalah interaksi
kelompok. Interaksi kelompok merupakan interaksi interpersonal (interaksi
antaranggota). Interaksi kelompok dalam pembelajaran kooperatif bertujuan
mengembangkan inteligensi interpersonal. Inteligensi ini berupa kemampuan
untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, sifat,
temperamen orang lain. Kepekaan akan ekspresi wajah, suara, isyarat dari
orang lain juga termasuk dalam inteligensi ini. Secara umum inteligensi
interpersonal berkaitan dengan kemampuan seseorang menjalin relasi dan
komunikasi dengan berbagai orang. Interaksi kelompok dalam interaksi
pembelajaran kooperatif dengan kata lain bertujuan mengembangkan
keterampilan sosial (social skill). Beberapa komponen keterampilan sosial
adalah kecakapan berkomunikasi, kecakapan bekerja kooperatif dan
kolaboratif, serta solidaritas.
7. Langkah-Langkah Pembelajaran
Kooperatif
Agus Suprijono (2009) memaparkan sintak model pembelajaran
kooperatif terdiri dari enam fase sebagai berikut.
Tabel Fase-fase Dalam Pembelajaran Kooperatif
a. Fase pertama
Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa. Guru
mengklasifikasi maksud pembelajaran kooperatif. Hal ini penting untuk
dilakukan karena siswa harus memahami dengan jelas prosedur dan aturan
dalam pembelajaran.
b. Fase kedua
Guru menyampaikan informasi, sebab informasi ini merupakan isi
akademik.
c. Fase ketiga
Guru harus menjelaskan bahwa siswa harus saling bekerja sama di
dalam kelompok. Penyelesaian tugas kelompok harus merupakan tujuan
kelompok. Tiap anggota kelompok memiliki akuntabilitas individual untuk
mendukung tercapainya tujuan kelompok. Pada fase ketiga ini terpenting
jangan sampai ada free-rider atau anggota yang hanya menggantungkan tugas
kelompok kepada individu lainnya.
d. Fase keempat
Guru perlu mendampingi tim-tim belajar, mengingatkan tentang
tugas-tugas yang dikerjakan siswa dan waktu yang dialokasikan. Pada fase ini
bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, pengarahan, atau
meminta beberapa siswa mengulangi hal yang sudah ditunjukkan.
e. Fase kelima
Guru melakukan evaluasi dengan menggunakan strategi evaluasi yang
konsisten dengan tujuan pembelajaran.
f. Fase keenam
Guru mempersiapkan struktur reward yang akan diberikan kepada
siswa. Variasi struktur reward dapat dicapai tanpa tergantung pada apa yang
dilakukan orang lain. Struktur reward kompetitif adalah jika siswa diakui
usaha individualnya berdasarkan perbandingan dengan orang lain. Struktur
reward kooperatif diberikan kepada tim meskipun anggota tim-timnya saling
bersaing.
8. Manfaat Pembelajaran Kooperatif
Sadker (Miftahul, 2011: 66) menjabarkan beberapa manfaat
pembelajaran kooperatif. Selain itu, meningkatkan keterampilan kognitif dan
afektif siswa, pembelajaran kooperatif juga memberikan manfaat-manfaat
besar lain seperti berikut ini.
a. siswa yang diajari dengan dan dalam struktur-struktur kooperatif akan
memperoleh hasil pembelajaran yang lebih tinggi;
b. siswa yang berpartisipasi dalam pembelajaran kooperatif akan memiliki sikap
harga-diri yang lebih tinggi dan motivasi yang lebih besar untuk belajar;
c. dengan pembelajaran kooperatif, siswa menjadi lebih peduli pada temantemannya,
dan di antara mereka akan terbangun rasa ketergantungan yang
positif (interdependensi positif) untuk proses belajar mereka nanti;
d. pembelajaran kooperatif meningkatkan rasa penerimaan siswa terhadap
teman-temannya yang berasal dari latar belakang ras dan etnik yang berbedabeda.
9. Perbandingan Pembelajaran Kooperatif dan Pembelajaran Tradisional
Tabel Perbandingan Pembelajaran Kooperatif dan Pembelajaran
Tradisional
10. Tipe-tipe Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif menurut Slavin (2009:11-26) ada
berbagai macam tipe, yaitu Student Teams-Achievement Division (STAD),
Team Game Tournament (TGT), Jigsaw II, Cooperative Integrated Reading
and Composition (CIRC), Team Assisted Individualization (TAI), Group
Investigation, Learning Together, Complex Instruction, dan Structure Dyadic
Methods.