Pengertian Dan Sejarah Madrasah Menurut Ahli

Pengertian Madrasah
Istilah madrasah telah dikenal oleh masyarakat muslim sejak masa kejayaan Islam klasik. Dilihat dari segi bahasa, madrasah merupakan isim makãn (nama tempat) berasal dari kata darasa yang berarti tempat orang belajar (Munawir, 1997: 397). Dengan demikian madrasah dipahami sebagai tempat atau lembaga pendidikan Islam.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia madrasah adalah sekolah atau perguruan yang biasanya berdasarkan agama Islam (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994: 611). Madrasah di Indonesia merupakan istilah bagi sekolah agama Islam terutama sekolah dasar dan menengah, sedangkan di negara-negara Timur Tengah madrasah merupakan sekolah secara umum atau lembaga pendidikan pada umumnya terutama pendidikan tinggi (Poerbakawatja, 1982: 199). 

Madrasah juga dinilai berasal dari istilah al-Madãris, suatu istilah yang digunakan oleh para Fuqãha (Ulama ahli Fiqih), sehingga pada masa kekhalifahan Abbasiyyah, madrasah dianggap sebagai tradisi sistem pendidikan bercorak fiqh dan Hadits (Maksum, 1999: 52).

Di Indonesia, peraturan Menteri Agama RI No. 1/1946 dan No.7/1950 memformulasikan madrasah sebagai berikut: 
  1. Tempat pendidikan yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajaran. 
  2. Pondok pesantren yang memberikan pendidikan setingkat dengan madrasah (sekolah) (Tim Dirjen Bimbagais Depag, 2003: 22).  

Sedangkan menurut SKB (Surat Keputusan Bersama) Tiga Menteri 1975, Madrasah diartikan sebagai; Lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran pendidikan agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30%, di samping mata pelajaran umum.

Akhirnya, dalam realitas di lapangan dapat kita jumpai tiga bentuk madrasah yang bermula dari uraian di atas: Madrasah Diniyah disingkat Madin, Madrasah SKB tiga Menteri dan Madrasah Pondok Pesantren (Tim Dirjen Bimbagais Depag, 2003: 22).

Kemudian dalam UU No. 2 tahun 1989 atau Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), kedudukan madrasah posisinya sama dengan  sekolah. Hal itu dapat dilihat dalam peraturan perundangan yang membahas mengenai madrasah yang diterbitkan sebagai pelengkap UU tersebut. Di antaranya adalah: PP No. 28 tahun 1990 jo SK Mendikbud No. 0487/U/1992 dan SK No. 054/U/1993 dalam perundangn tersebut disebutkan bahwa MI sama dengan SD dan MTs sama dengan SLTP yang bercirikhas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. MI dan MTs wajib memberi bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SD dan SLTP selain ciri Khas agama Islam. 

Sedangkan dalam SK Mendikbud No. 0489/U/1992 disebutkan bahwa MA sama dengan SMU bercirikhas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama (Syukur, 2004: 9).

Lebih lanjut dalam UU SISDIKNAS atau UU NO. 20 tahun 2003, di sana sama sekali tidak membedakan antara madrasah dan sekolah, dengan kata lain madrasah adalah sekolah tanpa ada embel-embel berciri khas agama Islam.

Dari penjelasan di atas, kata madrasah mempunyai kata yang sama, yaitu tempat belajar. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kata madrasah memiliki arti sekolah yang pada mulanya kata sekolah itu sendiri bukan sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.

Sejarah Madrasah 
Dalam Sejarah Islam dikenal banyak sekali tempat dan pusat Pendidikan dengan jenis, tingkatan dan sifatnya yang khas. Ahmad Salabi  menyebutkan tempat-tempat itu sebagai berikut: al-kutub, al-qus}ũr, alwaroqin, manãzil al-‘ulamã’, al-bãdiyah, dan madrasah. Ia membagi institusiinstitusi pendidikan tersebut menjadi dua kelompok, yaitu kelompok sebelum Madrasah, dan sesudah Madrasah. 

Madrasah dengan demikian dianggap sebagai tonggak baru dalam penyelenggaraan Pendidikan Islam. Madrasah yang dimaksud adalah Madrasah yang di bangun oleh Nizam al-Mulk, tahun 459 H. Namun demikian ia juga mengatakan bahwa “ institusi-institusi tersebut sebelum Madrasah itu tetap di pakai. Sekalipun jumlah dan peminatnya sedikit (Maksum, 1999: 52). 

Hal penting yang perlu dicatat dari gambaran di atas ialah bahwa institusi Pendidikan Islam mengalami perkembangan, sesuai dengan kebutuhan dan perubahan masyarakat muslim di kala itu, perkembangan dan kebutuhan masyarakat ditandai oleh:
  1. Perkembangan ilmu. Kaum muslimin pada masa awal membutuhkan pemahaman al-Qur'an sebagai apa adanya begitu juga membutuhkan keterampilan membaca dan menulis. 
  2. Perkembangan kebutuhan pada masa awal yang menjadi kebutuhan utama ialah mendakwakan Islam karena itu sasaran pada mulanya di tujukan pada orang-orang dewasa. Ketika keadaan semakin baik, penganut Islam semakin banyak dan kuat, terdapat kebutuhan pendidikan untuk anak-anak.

Al-Maqrizi menyebutkan bahwa Madrasah merupakan prestasi abad kelima Hijriyah. Ia mengatakan “Madrasah-Madrasah yang timbul dalam Islam, tidak dikenal pada masa sahabat dan tabi‟in, melainkan sesuatu yang baru setelah 400 tahun sesudah Hijriyah”. Madrasah pertama yang didirikan pada abad kelima Hijriyah (11 Masehi) adalah Madrasah Nizamiyah yang didirikan pada tahun 457 H oleh Nizam al-Mulk. Banyak pula penulis kontemporer yang menyimpulkan demikian. 

Banyak bukti yang signifikan justru menunjukkan bahwa Madrasah telah berdiri pada abad keempat Hijriyah dan dihubungkan dengan penduduk Naisabur. Hasan Abd al-„Al yang secara khusus melakukan kajian mengenai pendidikan Islam pada abad itu, memperkuat pendapatnya dengan mengajukan bukti-bukti berdasarkan karya penulis-penulis abad keempat sendiri. Beberapa sumber yang ia kutip antara lain Ah}san al-Taqsim fi Ma’rifat al-Aqãlim karya al-Maqdisi (wafat 378 H), Tabaqãt} al-Syafi’iyyah al-Kubrã karya al-Subki (316-388 H), al-Rasãil karya Badi‟ al-Zaman al-Hamadani (wafat 398 H). Adam Metz, dengan mengutip alHakim al-Naisaburi (wafat 406 H/1015 M), pengarang Tarikh Naisãbur, bahkan menyebutkan bahwa Abi Ishaq al-Isfirayini (wafat 418 H/1027 M) adalah orang pertama yang mendirikan Madrasah di Naisabur (Maksum, 1999: 60).  

Tercatat dalam sejarah, bahwa segera setelah wafatnya Rasulullah, persoalan yang pertama timbul dalam Islam adalah persoalan politik. Dari persoalan politik itu kemudian berkembang menjadi persoalan teologi. Ini berarti bahwa persoalan politik timbul mendahului perkembangan pemikiran, atau dengan kata lain yang menjadi pendorong perkembangan pemikiran dalam Islam adalah masalah politik.

Latar belakang sejarah yang demikian itu, ternyata sangat mempengaruhi perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam Islam pada masa-masa selanjutnya. Dalam hal ini dominasi kepentingan politik telah menentukan bentuk pendidikan dan corak ilmu pengetahuan yang dikembangkan dan diajarkan didalamnya. Diatas telah disinggung latar belakang berdirinya Madrasah Niz}amiyah yang dapat menjelaskan hal di atas, dengan dipilihnya model Madrasah dengan corak keilmuan Sunni karena alasan-alasan politik tertentu. Kuatnya pengaruh tersebut juga dapat dipahami dari cara pemikir Islam dalam menjelaskan institusi pendidikan Islam. 

Selain itu sejalan dengan perkembangan masyarakat dan sebagai hasil persentuhan dengan kebudayaan lain, berkembang pemikiran-pemikiran di bidang fiqih, hadits, filsafat serta tasawuf. Namun demikian tampak bahwa persoalan politik tetap mempengaruhi dinamika dan pergumulan pemikiran itu. Sejarah Islam memang mencatat bahwa antara aliran pemikiran dan kekuasaan saling mengambil keuntungan (Maksum, 1999: 64). 

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, Madrasah merupakan transformasi dari masjid. Madrasah tetap menampakkan elemen masjid meskipun menunjukkan perubahan dari segi kekhususan dalam penyelenggaraan pendidikan sampai tingkat lanjutan. Secara fisik, Madrasah pada masa abad pertengahan Islam pada dasarnya adalah bangunan masjid yang ditambah dengan lokal-lokal khusus untuk pendidikan (‘iwan) dan penginapan (pemondokan). Disamping itu, Madrasah mencerminkan transformasi dalam bidang administrasi dan manajemen. Berbeda dengan  masjid, Madrasah telah mengarah pada sistem pengelolaan pendidikan yang lebih profesional. 

Madrasah memiliki aturan-aturan tertentu menyangkut hampir seluruh komponen pendidikan. Sebagai contoh jika di masjid seseorang dapat bebas dan tidak terikat dalam memilih guru atau halãqah, hal itu tidak dapat lagi dilakukan di Madrasah. Madrasah membedakan tingkatan dan tugas pengajar antara mudarris (guru), mu’îd (asisten) dan mu’adz (tutor). Disamping itu, Madrasah mengenal adanya nazîr atau wali yang mempunyai tanggung jawab terhadap aktivitas Madrasah, dan mereka dipilih dari orang-orang yang ahli di bidangnya (Maksum, 1999: 66-67). Jika diamati lebih lanjut ternyata tempattempat pendidikan di atas kecuali Madrasah, bukan tempat yang dipersiapkan untuk pendidikan (Fajar, 1999: 54). 

Mencermati pola pendidikan pondok pesantren pada tahap awal-awal pertumbuhan dan perkembangannya, pada dasarnya kita mengamati terjadinya peristiwa “okulasi” kebudayaan. Agar lembaga adaptif dengan pranata yang telah ada sebelumnya, maka isi ajaran yang disampaikan selama masa pembelajaran berupa pelajaran Islam yang lebih bercorak mistik.  

Tentu dari segi ini ada alasan internal di dalam Islam dan dunia Islam yang sampai ke wilayah Nusantara ini. Secara lambat laun, nuansa mistik ini di pondok pesantren makin berkurang bersamaan dengan semakin dekatnya ke dalam jaringan Islam, ke H}aramain, tempat sumber yang “asli”

Para pengamat dan pengkaji keislaman melihat fenomena Islam di pondok pesantren (dan sudah barang tentu juga di Indonesia) terus bergerak ke arah proses ortodoksi. Atau, pengamat peradaban di Indonesia menyebut adanya proses bergerak dari Islam yang bercorak mistik menuju ke Islam Sunni.

Suatu catatan menarik haruslah diberikan. Bahwasanya, proses bergerak menuju Islam yang lebih Sunni ini pun tidak menampilkan fenomena tunggal. Kita menyaksikan sekali lagi “kebhinekaan” di dalam proses menuju Islam yang lebih Sunni, yang secara tersembunyi maupun kadang secara terang-terangan menampilkan ketegangan dan gesekan kehidupan bermasyarakat ber-Tamaddun. 

Sementara terjadi proses perubahan isi pembelajaran di dalam format pembelajarannya, persentuhan “global” dengan pusat Islam h}aramain memungkinkan para pelaku pendidikan Islam melihat sistem pembelajaran yang lebih terprogram. Maka tumbuh dan berkembanglah pola pembelajaran pelajaran-pelajaran Islam yang dikelola dengan sistem “Madrasi”

Pengelolaan pendidikan Islam dengan sistem Madrasi memungkinkan cara pembelajaran secara klasikal. Hal ini berbeda dengan cara yang berkembang di pondok pesantren yang semula telah membaku, yakni yang bersifat individual seperti terdapat pada sistem sorogan dan wetonan. Pengelolaan sistem Madrasi juga memungkinkan adanya pengelompokan pelajaran-pelajaran tentang pengetahuan Islam yang penyampaiannya diberikan secara bertingkat-tingkat. Pengelompokan ini sekaligus memperhitungkan rentang waktu yang dibutuhkan. Kalau dibahasakan secara teknis pendidikan sekarang, maka sistem madrasi mengorganisasikan kegiatan kependidikannya dengan sistem kelas-kelas berjenjang dengan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pelajaran sudah dipolakan. 

Format Madrasah dari waktu ke waktu menjadi semakin jelas sosoknya, sementara isi dan visi keislaman terus mengalami perubahan. Sejak lahir abad ke-19, kepustakaan mencatat perubahan-perubahan pemikiran Islam di Wilayah Nusantara (Indonesia). Hal ini seiring dengan semakin kuatnya proses pembentukan intellectual web (jaringan intelektual) di kalangan umat Islam. Jaringan ulama semakin mengentalkan corak Islam murni. Nuansa mistik tentu tidak hilang, namun semakin mendekati kaidah-kaidah Syariah yang lebih Sunni. Hal ini kelak ditandai dengan muncul dan berkembangnya neosufisme dalam kehidupan Islam (Fajar, 1999: 20-23). 

Dua faktor yang melatarbelakangi pertumbuhan Madrasah di Indonesia secara konkrit adalah adanya desakan politik pendidikan kolonial di semua pihak dan munculnya pembaharuan pemikiran keagamaan di pihak lain. Kolonialisme dapat dikatakan ikut memberi sumbangan bagi pertumbuhan Madrasah atau sekolah Islam di Indonesia karena kebijakan mereka yang menawarkan pola pendidikan yang berbeda dengan sistem pendidikan tradisional. Organisasi dan struktur pendidikan kolonial sedikit banyak diadopsi oleh Madrasah dengan tetap menjaga karakter pendidikan keagamaannya. Pada tahap ini, target dan tujuan sekuler dalam proses pendidikan dijadikan sebagai salah satu muatan dari target dan tujuan pendidikan Islam. Sebelum ini, apa yang disebut dengan pendidikan Islam secara formal tampaknya identik dengan pendidikan keakhiratan.

Bersamaan dengan desakan kolonialisme di atas, perkembangan pemikiran keagamaan di Indonesia pada akhir abad ke-9 telah secara langsung menjadi faktor yang berpengaruh bagi pertumbuhan Madrasah. Para pelaku dan pendukung gerakan pembaharuan pada umumnya memiliki pengalaman pendidikan di Timur Tengah yang sudah menerima pengaruh dari kaum pembaharu Islam seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. 

Perhatian mereka di bidang pendidikan diwujudkan dalam gerakan rasionalisasi kelembagaan pendidikan Islam sehingga dapat menjawab tantangan dan kebutuhan zaman yang mendesak. Hal ini membawa pada lahirnya pandangan progresif yang memandang bahwa sistem pendidikan Islam tidak dapat lagi bertumpu pada sistem pendidikan tradisional yang terfokus pada pelajaran agama dan metode hafalan. Bentuk nyata dari pandangan ini adalah pendidikan dan pengembangan Madrasah. Pengembangan madrasah itu dapat dilihat dari perkembangan kurikulum Madrasah di segala tingkatannya, baik yang berkaitan dengan perbandingan prosentase, variasi komposisi, maupun model pemaduan antara mata pelajaran agama, umum dan keterampilan, yang pada gilirannya juga memunculkan keragaman madrasah itu sendiri. 

Selain itu, eksistensi madrasah sebagaimana eksistensi pendidikan lainnya dipengaruhi oleh perkembangan eksternal. Namun demikian, disisi lain ia juga mempengaruhi eksternal dimaksud. Hal ini menimbulkan proses dialektika yang terus menerus. Perkembangan Madrasah yang cukup pesat sejak akhir abad 19 dirasakan sangat berperan bagi terbentuknya kelompok terdidik muslim di Indonesia. Kenyataan ini sampai akhir dekade 1990-an telah ikut menentukan pola hubungan antara agama dan negara yang bersifat simbiotik, keterlibatan umat Islam terdidik dalam tingkat yang cukup penting ke dalam jabatan-jabatan politik menunjukkan hal tersebut, atau berarti semakin pragmatisnya politik Islam sehingga tidak lagi terjebak ke dalam romantisme politik Islam yang idealis. 

Namun demikian, karena faktor-faktor lain, sangat boleh jadi perkembangan politik Indonesia pada masa depan akan berubah ke arah format tertentu yang hingga sekarang masih sulit untuk diprediksi. Dengan demikian, bagaimana perkembangan Madrasah di Indonesia pada masa depan juga sangat tergantung pada perkembangan politik mutakhir ini. Sebagaimana semua institusi yang sedang mengalami masa transisi dewasa ini, madrasah pun dituntut untuk mereposisi diri dan sekaligus mengembangkan paradigma baru yang lebih transformatif. Namun bagaimanapun arah dan tren perkembangan madrasah pada masa mendatang, kecenderungannya akan semakin memperkuat eksistensinya sekaligus memperbesar peran pentingnya bagi pertumbuhan masyarakat madani di Indonesia (Fajar, 1999: 163-165).

Dalam peraturan Menteri Agama RI No. 1/1946 dan No. 7/ 1950, Madrasah berarti: 
  1. Tempat pendidikan yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan dan Ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajaran, 
  2. Pokok dan pesantren yang memberi singkat dengan madrasah. 
Sementara itu, dalam surat keputusan bersama tiga menteri 1975, Madrasah diartikan sebagai “lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran  pendidikan Agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30%, disamping mata pelajaran umum.” Dengan Madrasah sebagaimana diartikan di atas, pendidikan Islam tidak saja mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan, tetapi juga ilmu-ilmu umum dalam jumlah yang cukup banyak.

Dalam kenyataan di lapangan, sistem pendidikan madrasah di Indonesia menampilkan tiga model, 
  1. Madrasah diniyah, 
  2. Madrasah SKB tiga menteri dan 
  3. Madrasah pesantren. 
Madrasah diniyah sepenuhnya mengajarkan ilmu-ilmu agama yang diatur oleh keputusan menteri agama 1964 (Sirodj, 1999: 195). 

Kurikulum Madrasah 
Kurikulum adalah program pengalaman belajar serta hasil-hasil belajar yang diharapkan yang diformulasikan melalui pengetahuan dan kegiatan yang tersusun secara sistematis, diberikan kepada siswa dibawah tanggungjawab sekolah untuk membantu pertumbuhan/perkembangan pribadi dan kompetensi sosial anak didik (Sudjana, 1996: 5-6). 

Kurikulum sebagai program pendidikan mencakup sejumlah mata pelajaran atau organisasi pengetahuan, pengalaman belajar atau kegiatan belajar, program belajar untuk siswa dan hasil belajar yang diharapkan /ditaati. 

Kurikulum madrasah sebagai pendidikan Islam harus memiliki dua komponen pokok yakni komponen pendidikan umum dan Islam. Karena status madrasah pada semua jenjang disamakan dengan sekolah umum, maka madrasah telah sepenuhnya mengikuti kurikulum yang ditetapkan Depdiknas (terakhir kurikulum 1994). Dengan penerapan kurikulum 1994 maka isi pendidikan madrasah tidak memiliki perbedaan yang selalu substansial dan substansif dengan sekolah umum. Padahal dipihak lain madrasah sesuai dengan akar eksistensi dan pengalaman historis harus memiliki ciri dan karakter pendidikan Islam. Pembinaan dan pengembangan karakter ciri Islam tersebut sejauh ini kelihatan sulit diwujudkan melalui kurikulum 1994.

Kurikulum 1994 hanya mengalokasikan waktu selama dua jam pelajaran dalam sepekan buat pelajaran agama (Islam). Karena itu madrasah perlu mengembangkan kurikulum pendidikan Islamnya, baik melalui celah “muatan lokal” maupun dengan penambahan waktu belajar yang dikhususkan untuk materi-materi keislaman. Dilihat dari pengelolaan dan pengembangan kurikulum dibedakan antara sistem pengelolaan terpusat (sentralisasi) dan tersebar (desentralisasi).

Madrasah adalah lembaga pendidikan yang merupakan kenyataan hidup di dalam masyarakat. Madrasah di dalam perkembangannya memilih struktur dengan penjenjangan baik secara vertikal, seperti Raud}ãt al-Ath}fãl, MIN, MTs, MAN maupun Horizontal dalam bentuk sekolah-sekolah kejuruan seperti PGA, PHIN, PPUPA, Mualimin dan lainnya.

Dengan demikian madrasah bukanlah sekolah kejuruan agama, melainkan bentuk sekolah umum yang menjadi jenjang persekolahan bagi anak didik yang hendak melanjutkan sekolah-sekolahnya dengan disertai keinginan untuk mendalami agama lebih banyak.

Kenyataan demikian menjadi lebih jelas lagi dengan realisasi keputusan Direktur Jendral pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No.1.3.049 – Kep. 1974 tertanggal 4 oktober 1974 tentang penerimaan murid pada sekolah-sekolah yang selain dari sekolah dasar untuk tingkatan sekolah lanjutan pertama diterima pula dari Madrasah Tsanawiyah Negeri atau yang sederajat. Kemudian di dalam keputusan menteri P & K RI No.0161 / U / 1974 tertanggal 28 Juli 1975 tentang peraturan Evaluasi Belajar guna memperoleh surat tanda tamat belajar untuk tahun 1975, surat tanda tamat belajar dari madrasah dipersamakan dan diakui sama dengan surat Tanda Tamat Belajar dari sekolah umum yang sederajat. 

Kalau diperbandingkan antara tujuan yang ditetapkan pada madrasah (dalam pengelolaan Departemen Agama) dan pada sekolah umum (dalam pengelolaan Departemen P & K), maka keduanya mencantumkan perumusan yang sama.

Pada tingkatan sekolah dasar/Ibtidaiyah menghendaki pemikiran/ penguasaan dasar-dasar pengetahuan untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi dan kecakapan atau ketrampilan dasar agar dapat membekali hidup apabila terpaksa harus terjun ke dalam masyarakat.

Pada tingkatan sekolah lanjutan (SMP/SMA dan Tsanawiyah/Aliyah) digunakan agar anak didik meluaskan pendidikan dan pengajaran yang diberikan sekolah rendah untuk mengembangkan cita-cita hidup serta bimbingan kesanggupan murid sebagai anggota masyarakat dan dapat mempersiapkan bagi pendidikan dan pengajaran tinggi.

Perbedaannya terletak pada adanya penyertaan agama/bahasa Arab sebagai dasar dan tujuan penguasaan dalam pengenalan dan sikap. Oleh karena itu agar tugas nasional di dalam pendidikan ini dapat diemban oleh dunia madrasah dan oleh sekolah umum diperlukan pendekatan yaitu dengan jalan mengintensifikasi pendidikan umum di madrasah dan mengintensifkan agama di sekolah umum. Guna memenuhi hajat masyarakat akan pendidikan agama yang lebih banyak, jumlah jam pelajaran agama di sekolah umum dapat diemban (Soejoeti, 1999: 5-6). 

Kurikulum MIN, MTs dan MA disusun oleh masyarakat kurikulum Direktorat Pendidikan Agama pada tanggal 10 s/d 17 Februari 1973 di Cibogo Bogor, dengan titik tolak dan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : 
  1. Dasar tujuan sekolah yang diterapkan 
  2. Kurikulum madrasah-madrasah negeri tahun 1971 
  3. Kurikulum SD, SMP, SMA, tahun 1968  
Adapun orientasi dan pendekatannya berdasarkan tujuan yang ditetapkan dengan struktur organisasi terdiri dari susunan mata pelajaran yang diajarkan secara keseluruhan disebutkan di dalam rekapitulasi kurikulumnya.

Masing-masing mata pelajaran ditetapkan tujuan umumnya, bahan pelajarannya. Kegiatan dan petunjuk-petunjuk yang diperlukan serta buku pegangan yang hendak dipakai kemudian barulah diperinci dengan susunan itu pula pada setiap kelas.

Kurikulum 1973 disempurnakan kembali melalui rapat kerja Direktorat Pendidikan tanggal 20 s/d 24 November 1974 dan tanggal 4 s/d 10 Desember 1974. jadi kurikulum MIN, MTsN, MAN yang ada sekarang ini telah mengalami pengembangan dan revisi-revisi yang diperlukan sesuai dengan keadaan pada waktunya.

Keadaan lain dapat dikemukakan disini adalah bahwa sampai akhir tahun 1974, di sekolah-sekolah umum dirasakan adanya problem-problem dengan berbagai kurikulum yang berjalan : 
  1. Kurikulum tahun 1968 
  2. Kurikulum menurut sistematika materi pokok buku 
  3. Kurikulum menurut hasil rapat kerja sukabumi 
  4. Kurikulum proyek-proyek perintis sekolah pembangunan 
  5. Kurikulum SMP pembangunan 
Kurikulum yang bermacam-macam itu akan disederhanakan sebagaimana digariskan oleh Menteri Pendidikan dan kebudayaan pada rapat koordinasi proyek-proyek perintis sekolah pembangunan (PPSP) seluruh Indonesia tanggal 24 Juli 1974 di Bandungan Semarang, bahwa akan ada 2 kurikulum yang dijalankan pada setiap lembaga pendidikan : 
  1. Kurikulum di lingkungan PPSP 
  2. Kurikulum peralihan (transisi) untuk sekolah-sekolah di daerah PPSP 

Dalam keterangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dihadapan rapat kerja dengan DPR tanggal 7 Februari 1974 dikemukakan bahwa pembangunan pendidikan formil ditingkat menengah akan dititik beratkan pada pembangunan kurikulum teknologi, science dan bahasa yang sudah termasuk dalam kurikulum akan lebih diintensifkan dan diarahkan disamping pengetahuan sosial yang sangat berguna untuk pembangunan. 

Berdasarkan pengarahan tersebut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melakukan serangkaian lokakarya untuk menyusun kurikulum SD, SMP, SMA yang kemudian sekarang ini disebut kurikulum 1975 (Soejoeti, 1999: 5-6) dan tujuan nasionalnya mendidik para siswa untuk menjadi manusia pembangunan sebagai warga Indonesia yang berpedoman pada Pancasila, Bahasa Indonesia, IPS, Ketrampilan Matematika, Biologi, Fisika, Kimia (Sudjano, 1991: 90). 

Jenis mata pelajaran umum antara madrasah negeri dan sekolah umum negeri adalah sama persis yang membedakan hanya jamnya. 

Maka dari itu pendekatan antara sekolah umum dengan madrasah seharusnya dilakukan dengan mempertimbangkan saling mengurangmenambah mata pelajaran umum dan mata pelajaran agama, sehingga diperoleh dan ditemukan sistem penyelenggaraan pendidikan nasional yang memperhatikan kenyataan hidup di dalam masyarakat. Tujuan peningkatan mutu pendidikan pada madrasah agar tingkat mata pelajaran umum dan madrasah mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum di sekolah umum yang setingkat. 

Hasil yang diharapkan adalah : 
  1. Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat. 
  2. Lulusan Madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas 
  3. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. 
Agar mata pelajaran umum di madrasah mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum di sekolah umum, dilakukan peningkatan-peningkatan di bidang: 
  1. Kurikulum 
  2. Buku pelajaran, alat pendidikan lainnya dan sarana pendidikan pada umumnya 
  3. Pengajar 
Dalam keistimewaan madrasah SKB tiga Menteri adalah diakuinya madrasah SKB tiga Menteri setaraf dengan sekolah-sekolah umum yang setingkat. Atas dasar itulah maka tamatan madrasah tidak lagi hanya sematamata diperuntukkan untuk melanjutkan studi ke IAIN tetapi juga telah berhak untuk melanjutkan pelajarannya ke berbagai fakultas lainnya pada lingkungan universitas umum (Daulani, 2001: 83-84). Kemudian kegiatan yang dilakukan agar ada kesetaraan antara madrasah dan sekolah maka perlu adanya pengadaan buku dan alat-alat pendidikan lainnya penataran dan pengadaan tenaga guru serta bantuan rehabilitas gedung sekolah. 

Kedudukan kurikulum adalah sebagai terjemah pertama dari tujuantujuan yang harus dicapai oleh sekolah dan berfungsi sebagai pemberi arah dan pengembangan kurikulum selanjutnya. Dalam perbandingan kurikulum madrasah dengan kurikulum sekolahsekolah umum penulis sengaja menggunakan kurikulum 1975 sebagai dasar perbandingan karena mulai tahun 1976 mulai dengan kelas 1 dan IV untuk tingkat SD, kelas 1 untuk tingkat SMP dan SMA akan berlaku kurikulum 1975 tersebut. Dalam keputusan Bersama Tiga Menteri yang akan peneliti perbandingan hanya terbatas pada alokasi waktu yang disediakan pada pelajaran non agama pada madrasah maupun sekolah umum dan sedikit ulasan perbandingan tentang materi pelajaran yang telah dipilih oleh masing-masing kurikulum. 

Yang dimaksud pelajaran umum adalah bidang-bidang studi berikut : 
  1. Bahasa Indonesia 
  2. Pendidikan mortal Pancasila dan ilmu pengetahuan sosial 
  3. IPA 
  4. Matematika 
  5. Olahraga dan Kesehatan 
  6. Kesenian 
  7. Ketrampilan 
Pada SD kurikulum 1975 hanya merencanakan sejumlah 8 jenis pelajaran sedangkan MI 12 pelajaran. Pada SMP direncanakan setiap minggunya 12 pelajaran, sedangkan pada MTs 22 pelajaran. Pada SMA sekitar 8 sampai 12 pelajaran perminggu, sedangkan pada Madrasah Aliyah 21 pelajaran perminggunya. Kurikulum 1975 mungkin mengurangi jumlah pelajaran yang diberikan perminggunya karena menggunakan organisasi pelajaran yang berorientasi kepada bidang-bidang studi. 

Perbandingan antar SMA IPA (paspal) dengan MA masih menggunakan, IPA, IPS dan bahasa. Kurikulum 1975 akan menggunakan pokok-pokok materi yang baru dalam pemberian pelajaran IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) bahan-bahan baru untuk pelajaran bahasa.

Kurikulum yang sebagaimanapun merupakan lembaga Islam seharusnya memiliki dua komponen pokok, yakni komponen pendidikan umum dan komponen pendidikan Islam karena status madrasah pada semua jenjang telah disamakan dengan sekolah umum, maka komponen pendidikan umum madrasah telah sepenuhnya mengikuti kurikulum yang ditetapkan Depdiknas (terakhir adalah kurikulum 1994). Dengan penerapan ini maka isi pendidikan madrasah tidak memiliki perbedaan yang terlalu substansial dan substantif dengan sekolah umum (Azra, 2002: 12).

Struktur kurikulum madrasah memuat jenis-jenis mata pelajaran dan penjatahan waktu yang dialokasikan bagi setiap mata pelajaran yang terdapat dalam struktur kurikulum madrasah masing-masing, yaitu pada dasarnya struktur kurikulum madrasah sama dengan kurikulum sekolah umum.

Perbedaannya pada mata pelajaran pendidikan agama, baik jenisnya maupun alokasi waktunya. Pendidikan agama di sekolah umum diberikan waktu 2-3 jam, sedangkan di madrasah sekitar antara 7 sampai 12 jam pelajaran untuk setiap minggunya (Shaleh, 2004: 195-196). 

1 comment:

  1. " masyarakat kurikulum Direktorat Pendidikan Agama pada tanggal 10 s/d 17 Februari 1973 di Cibogo Bogor, dengan titik tolak dan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :

    1.Dasar tujuan sekolah yang diterapkan
    2.Kurikulum madrasah-madrasah negeri tahun 1971
    3.Kurikulum SD, SMP, SMA, tahun 1968 "

    mas.. pernyataan diatas sumbernya dari mana ya ?
    terimakasih

    ReplyDelete