Pengertian Autism, Apa Autisme Itu?
Siapakah penyandang autisme itu? Istilah ‘autisme’ pertama kali diperkenalkan pada tahun 1943 oleh Leo Kanner. Yang diartikan secara singkat yaitu orang yang hidup dalam dunianya sendiri.
Secara etimologis kata “autisme” diartikan sebagai suatu paham yang hanya tertarik pada dunianya sendiri. Perilakunya timbul semata-mata karena dorongan dari dalam dirinya sendiri. Penyandang autisme seakan-akan tidak peduli dengan stimulus-stimulus yang datang dari orang lain.
Menurut Sunartini tahun 2000 menjelaskan bahwa autistik adalah gangguan perkembangan neurobiologis berat yang mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan berelasi (berhubungan) dengan orang lain.
Lambang sekolah
Pendidikan Formal Bagi Penyandang Autisme
Pengertian Pendidikan Formal
Pendidikan formal anak autis adalah pendidikan yang diselenggarakan secara formal bagia anak yang telah diterapi awal dengan baik dan memperlihatkan keberhasilan yang menggembirakan, anak tersebut sudah dapat dikataan sembuh dari gejala autismenya.
Landasan yudiris
Menurut UU nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 8 ayat (1) berbunyi: “Warga negara yang memilki kelainan fisik dan/atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa, selanjutnya pasal 147 ayat (1) berbunyi: “Masyarakat sebagai mitra pemerintah berkesempatan seluas-luasnya dalam penyelenggaraan pendidikan nasional”. Selanjutnya ayat (2) berbunyi: “Ciri khas satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan”.
Berdasarkan pengertian dan landasan yudiris di atas, bahwa negara sudah memngetur hak-hak yang dapat diterima khususnya oleh para penyandang autisme. Dimana hak-hak tersebut dilindungi oleh negara. Serta pentingnya sebuah pendidikan untuk masyarakat luas sangatlah diperlukan.
Pendidikan formal bagi penyandang autisme memang sangatlah penting dan pada sebenarnya pemerintah telah memberikan bebrapa model pendidikan formal untuk para penyandang autisme, diantaranya kelas transisi, pendidikan terpadu, pendidikan inklusi, sekolah khusus, sekolah di rumah, dan panti rehabilitasi (Quill, 1995). Yang dimaksud dari masing adalah sebagai berikut:
1. Kelas Transisi
Model ini merupakan kelas persiapan dan pengenalan akan pengajaran dengan menggunakan acuan kurikulum SD yang berlaku. Namun, kurikulum tersebut telah dimodifikasi sesuai kebutuhan anak autistik. Untuk beberapa waktu kelas ini berada dalam satu lingkungan sekolah reguler utnuk memudahkan proses transisi, misal memulai latihan bergabung dengan kelas reguler pada saat olahraga atau istirahat atau prakarya dan sebagainya.
2. Pendidikan Terpadu
Model transisi terevaluasi, dimana tidak semua anak-anak penyandang autisme dapat bergabung dengan anak reguler, ini dikarenakan faktor kebutuhan masing-masing penyandang autisme yang berbeda. Jadi dalam model ini diperlukan kelas khusus yang hanya diperlukan untuk anak autistik.
3. Pendidikan Inklusi
Model ini dilakasanakan pada sekolah reguler yang menerima anak yang memerlukan layanan khusus, termasuk anak autistik.
4. Sekolah Khusus
Sekolah ini diperuntukan bagi anak autistik yg tidak memungkinkan mengikuti pendidikan dan pengajaran di sekolah reguler (terpadu dan inklusi). Anak-anak ini sangat sulit untuk berkonsentrasi,. Dalam hal ini anak tersenut diberi pendidikan dan pengajaran yang difokuskan dalam program fungsional, misalnya Program Bina Diri (ADL).
5. Sekolah di Rumah
Model ini diperuntukan bagi penyandang autisme yang tidak memungkinkan untuk mengikuti sekolah khusus karena keterbatasannya, misalnya anak non verbal, masalah motorik, dan lain sebagainya. Anak ini diberi kesempatan iktu serta dalam Model Sekolah di Rumah penanganannya melalui suatu tim yang terdiri dari orang tua, tim medis, dan tim psikolog, othopedagogik, guru para terapis dan pekerja sosial untuk merancang program pelayanan anak tersebut.
6. Panti Rehabilitasi
Anak autistik yang kemampuannya sangat rendah/terbatas yang diprediksi tidak dapat mengikuti pendidikan di sekolah khusus dan banyak memerlukan perawatan, sebaiknya mereka dilayani di Panti Rehabilitasi Autistik.
Berdasarkan penjabaran di atas, bahwa penanganan terhadap masing-masing anak penyandang gangguan autistik berbeda-beda. Itu dikarenakan oleh beberapa penyebab yang telah diuraikan pada masing-masing model pendidikan yang berhak diikuti oleh para penyandang autistik.
Tetapi pada kenyataannya ada beberapa model yang jarang atau bahkan sulit kita temui di Indonesia yaitu model kelas transisi, model pendidikan terpadu, dan kelas inklusi. Di Indonesia hanya ada beberapa model yang sering kami temui, yaitu model sekolah khusus sekolah di rumah, panti rehabilitasi selain itu banyak juga penyandang autistik tidak melakukan penanganan dan perawatan sama sekali. Itu dikarenakan faktor biaya yang tidak memadai dari pihak keluarga. Kebanyakan hanya pihak-pihak yang berada dari kalangan ataslah yang mendapatkan perawatan, sehingga bagi para penyandang autistik yang tidak mampu mendapatkan perawatan kebanyakan hanya di pasung, kondisi ini sangat memprihatinkan. Faktor ekonomi mencekik hak asasi manusia.
Oleh sebab itulah penulis bermaksud mengenalkan informasi seputar gangguan autistik dan membantu memberikan perawatan dan penanganan khusus untuk para penyandang autistik. Agar dikemudian hari mereka dapat dengan mandiri dan kreatif membangun sautu bangsa. Selain itu, dibuatnya gagasan ini berkeinginan untuk mendirikan sebuah yayasan yang akan memakai ketiga model di atas, dimana yayasan tersebut diperuntukan untuk para penyandang autistik baik dari kalangan bawah hingga kalangan atas dengan perawatan yang. Pendirian yayasan tersebut diharapkan dapat menemui titik keberhasilan dimana masing-masing penyandang minimal harus dapat mengenali dirinya sendir serta mengembangkannya.
Untuk pembuatan sebuah yayasan dengan label sosial bukan komersial, diperlukan tenaga-tenaga pendidik dan pengajar yang mau serta terampil dalam memenuhi kebutuhan para penyandang autistik sehingga para penyandang autistik dapat terbebas dari dunianya sendiri. Dan untuk mencapai keberhasilan tersebut ada beberapa faktor yang musti dipedomi:
1. Berat ringannya kelainan yang dialami anak
2. Usia pada saat diagnosis dilakukan
3. Tingkat kemampuan berbicara dan berbahasa
4. Tingkat kelebihan (streng) dan kekurangan (weakness) yang dimiliki anak
5. Kecerdasan
6. Kesehatan dan kestabilan anak
7. Terapi yang tepat dan terpadu meliputi guru, kurikulum, metode, sarana pendidikan, lingkungan (keluarga, sekolah, dan masyarakat)
Dari ketujuh faktor itu, kita bisa membantu untuk keberhasilan perawatan dan penyembuhan para penyandang autistik terutama pada point ketujuh. Pendidikan sarana dan prasarana berupa sebuah yayasan dengan penggabungan 3 metode itu diharapkan dapat memberikan titik terang bagi para penyandang autistik terutama dari kalangan yang kurang mampu.
Implementasi beberapa metode
Dalam usaha membantu penyandang autistik agar berperilaku ‘normal’ beberapa program bisa coba lakukan adalah menjalan metode-metode atau model-model pendidikan formal bagi para penyandang autisme sehingga memungkinkan program tersebut dapat memperlihatkan efektivitas dan keberhasilannya. Menurut pendapat Djamaludin (2003) “keberhasilan dan efektivitas sutu program pada seorang anak dapat berbeda dan tidak efektif bahkan kontradiksi bila dilakukan pada nak lain. Kerangka teori pada setiap program akan berpengaruh dalam strategi dan metode evaluasi. Maka keluarga, dokter, dan penyedia pelayanan perlu mengetahui filosifi pada masing-masing program untuk membuat keputusan yang tepat dalam strategi intervensi”. Jadi ada beberapa metode yang dewasa ini sedang popular dalam membantu penyandang autistik, diantaranya, metode ABA (Applied Behavior Analysis) dimana metode ini menggunakan prosedur-prosedur ilmiah yang telah terbukti melatih anak berprihatin dan bercakap-cakap. dan metode Lovaas atau Discrete Trial Training (DTT) dimana pada teori ini menerapkan teori dan prinsip dari teori prilaku untuk autisme. Masing-masing medode memiliki keunggulan dan kelemahan. Semua bisa diterapkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dari penyandang autistik.
Pelayanan secara individu