a. Kemiskinan
Dalam arti proper, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas. Chambers (dalam Chriswardani Suryawati, 2005) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.
Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti tingkat kesehatan dan pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidak berdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri (Chriswardani Suryawati, 2005). Kemiskinan dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
a. Kemiskinan absolut, kondiai dimana seseorang memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang dibutuhkan untuk bisa hidup dan bekerja.
b. Kemiskinan relatif, kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan.
c. Kemiskinan kultural, mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar.
d. Kemiskinan struktural, situasi miskin yang disebabkan oleh rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.
Kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
a. Kemiskinan alamiah, berkaitan dengan kelangkaan sumber daya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus.
b. Kemiskinan buatan, lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak mendapat menguasai sumber daya, sarana, dan fasilitas ekonomi yang ada secara merata.
Menurut Nasikun dalam Chriswardani Suryawati (2005), beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu:
a. Policy induces processes, yaitu proses pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan, diantaranya adalah kebijakan anti kemiskinan, tetapi relitanya justru melestarikan.
b. Socio-economic dualism, negara bekas koloni mengalami kemiskinan karena poal produksi kolonial, yaitu petani menjadi marjinal karena tanah yang paling subur dikuasai petani sekala besar dan berorientasi ekspor.
c. Population growth, prespektif yang didasari oleh teori Malthus , bahwa pertambahan penduduk seperti deret ukur sedangkan pertambahan pangan seperti deraet hitung.
d. Resaurces management and the environment, adalah unsur mismanagement sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas.
e. Natural cycle and processes, kemiskinan terjadi karena siklus alam. Misalnya tinggal dilahan kritis, dimana lahan itu jika turun hujan akan terjadi banjir, akan tetapi jika musim kemarau kekurangan air, sehingga
tidak memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terus-menerus.
f. The marginalization of woman, peminggiran kaum perempuan karena masih dianggap sebagai golongan kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang lebih rendah dari laki-laki.
g. Cultural and ethnic factors, bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya pada pola konsumtif pda petani dan nelayan ketika panenj raya, serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan.
h. Exploatif inetrmediation, keberadaan penolong yang menjadi penodong, seperti rentenir.
i. Inetrnal political fragmentation and civil stratfe, suatu kebijakan yang diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya kuat, dapat menjadi penyebab kemiskinan.
j. Interbational processe, bekerjanya sistem internasional (kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi miskin.
b. Ukuran Kemiskinan
Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu 2100 kalori per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada dilapisan bawah), dan konsumsi nonmakanan (dari 45 jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan). Patokan kecukupan 2100 kalori ini berlaku untuk semua umur, jenis kelamin, dan perkiraan tingkat kegiatan fisik, berat badan, serta perkiraan status fisiologis penduduk, ukuran ini sering disebut dengan garis kemiskinan. Penduduk yang memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan dikatakan dalam kondisi miskin.
Menurut Sayogyo, tingkat kemiskinan didasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan
(Criswardani Suryawati, 2005).
Daerah pedesaan:
a. Miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 320 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
b. Miskin sekali, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 240 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
c. Paling miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 180 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
Daerah perkotaan:
a. Miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 480 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
b. Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 380 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
c. Paling miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 270 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
Bank Dunia mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada pendapatan seseorang. Seseorang yang memiliki pendapatan kurang dari US$ 1 per hari masuk dalam kategori miskin (Criswardani Suryawati, 2005).
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), mengukur
kemiskinan berdasarkan dua kriteria (Criswardani Suryawati, 2005), yaitu:
a) Kriteria Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) yaitu keluarga yang tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan perintah agama dengan baik, minimum makan dua kali sehari, membeli lebih dari satu stel pakaian per 40 orang per tahun, lantai rumah bersemen lebih dari 80%, dan berobat ke Puskesmas bila sakit.
b) Kriteria Keluarga Sejahtera 1 (KS 1) yaitu keluarga yang tidak berkemampuan untuk melaksanakan perintah agama dengan baik, minimal satu kali per minggu makan daging/telor/ikan, membeli pakaian satu stel per tahun, rata-rata luas lantai rumah 8 meter per segi per anggota keluarga, tidak ada anggota keluarga umur 10 sampai 60 tahun yang buta huruf, semua anak berumur antara 5 sampai 15 tahun bersekolah, satu dari anggota keluarga mempunyai penghasilan rutin atau tetap, dan tidak ada yang sakit selama tiga bulan.