Pendidikan Dalam Dinamika Globalisasi
Seperti kata Charles Dickens, it’s the best of times and the worst of times (ini adalah masa paling baik sekaligus masa paling buruk). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dinikmati, tetapi kemajuan itu beriringan dengan kesengsaraan banyak anak manusia.
Mendefinisikan globalisasi tidaklah mudah karena berbagai parameternya yang kontroversial. Sebagai kekuatan dominan, globalisasi telah membentuk lingkungan budaya dan peradaban, baik secara positif maupun negatif. Di balik segala kerancuan dalam definisi dan perannya, globalisasi telah membawa berbagai dampak besar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Maka dari itu, beberapa tema kunci dalam teori dan pengalaman globalisasi perlu diurai sebagai latar belakang untuk memahami dampak globalisasi pada pendidikan dan arah pendidikan selanjutnya.
Digerakkan oleh kekuatan ekonomi dan dipacu komunikasi dan teknologi, globalisasi menghubungkan individu dan institusi di seluruh dunia dengan tingkat keterkaitan dan kecepatan yang luar biasa. Anthony Giddens menjelaskan globalisasi sebagai intensifikasi relasi sosial di seluruh dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sehingga kejadian-kejadian lokal dibentuk oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain.
Istilah globalisasi sering digunakan untuk menggambarkan penyebaran dan keterkaitan produksi, komunikasi dan teknologi di seluruh dunia. Penyebaran ini melibatkan kompleksitas kegiatan ekonomi dan budaya.
Globalisasi mempunyai dimensi ekonomis, politis, kultural dan sosial. Ada tiga tema kunci dalam wacana dan pengalaman globalisasi:
1. Delokasi dan Lokasi
2. Invasi Teknologi Informasi
3. Kebangkitan Korporasi Multinasional dan Privatisasi dan Pembentukan Pasar Bebas
1. Delokasi dan Lokasi
Satu paradoks dalam proses globalisasi adalah transformasi budaya lokal dalam segala aspek, sebagai akibat interaksi dengan budaya asing dan adopsi unsur-unsur dari budaya asing menjadi bagian budaya lokal. Contoh sederhana, orang Indonesia usia 50 tahun ke atas yang terbiasa makan nasi pecel, rawon, dan nasi uduk, burger McDonald’s terasa amat asing dan tidak nikmat. Namun bagi anak-anak muda, McDonald’s sudah menjadi makanan favorit. Sebaliknya, McDonald’s pun melakukan upaya melokasi produknya sesuai budaya setempat. Di Indonesia, McDonald’s menjual paket nasi. Di Singapura ada paket kiatsu. Di China, McDonald’s menyediakan sup hangat dan sumpit. Padahal di negara asalnya, tambahan-tambahan itu tidak ada.
Salah satu gejala delokasi dalam pendidikan adalah penggunaan bahasa. Di Indonesia, bahasa Inggris resmi diajarkan dalam kurikulum, mulai dari kelas 1 sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Namun di daerah perkotaan, banyak sekolah mengajarkan bahasa Inggris sejak kelas I SD. Bahkan, taman kanak-kanak (TK) dan kelompok bermain tidak mau ketinggalan mengajarkan bahasa Inggris. Beberapa sekolah “unggulan” mengklaim penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Untuk memenuhi klaim ini, sekolah-sekolah ini sampai merekrut guru-guru asing, bukan hanya untuk mengajar bahasa Inggris tetapi juga untuk berbagai mata pelajaran lain. Guru-guru asing ini biasanya didatangkan dari Amerika Serikat, Australia, Singapura, Filipina, India, dan negara-negara di Eropa Barat.
Belajar bahasa Inggris di SD dan menengah memenuhi tiga tujuan. Pertama, siswa perlu menyiapkan diri agar bisa membaca buku teks dalam bahasa Inggris di perguruan tinggi. Kedua, kemampuan bahasa Inggris juga masih digunakan sebagai faktor penentu untuk mendapatkan posisi dan imbalan menarik dalam lapangan pekerjaan. Banyak iklan lowongan pekerjaan mencantumkan kemampuan bahasa Inggris sebagai salah satu persyaratan utama. Ketiga, kemampuan bahasa Inggris juga digunakan sebagai penanda sosial yang berfungsi sebagai garis pemisah dalam interaksi sosial di antara kelas-kelas ekonomis dan kultural yang berbeda di masyarakat.
Bahasa mewakili sekaligus membangun realitas sosial, memposisikan manusia dan menciptakan identitas dan relasi. Penggunaan bahasa Inggris (dan akhir-akhir ini bahasa Mandarin) di sekolah merupakan bagian dari strategi pemasaran banyak sekolah untuk merebut minat calon siswa dalam era persaingan global yang sudah melanda dunia pendidikan.
Ada korelasi positif antara kadar penggunaan bahasa Inggris di sekolah dan biaya sekolah (baik uang sumbangan masuk ataupun bulanan). Sekolah yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar biasanya mengenakan biaya amat tinggi dengan dalih penggajian guru-guru asing yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru-guru lokal. Lebih menarik lagi, mentalitas pascakolonialisme juga tampak pada pemilahan asal negara guru-guru asing. Penghargaan (baik secara finansial maupun nonmaterial) yang diberikan pihak sekolah maupun stakeholders sekolah (orangtua dan siswa) kepada guru-guru bule (yang berasal dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia) cenderung lebih tinggi daripada yang diberikan kepada guru-guru nonbule (Filipina dan India).
Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar juga berkaitan erat dengan adopsi kurikulum asing di Indonesia. Beberapa produk kurikulum dan ujian dari luar negeri yang sudah (atau pernah dijajaki untuk) dipakai di sekolah-sekolah di Indonesia yang mengklaim diri sebagai sekolah internasional, semi-internasional, atau nasional plus adalah IB (International Baccalaureate), O dan A Level (Cambridge Examination), VCE (Victoria Certificate of Education), dan NSW HSC (New South Wales High School Certificate). Kurikulum IB dikelola oleh IBO (Organisasi Bakalaureat Internasional/ International Baccalaureate Organization) yang berpusat di Jenewa, Swiss.
Untuk menjadi sekolah IB, ada proses pengajuan, penilaian, dan akreditasi yang cukup serius dan mahal. Sekolah harus mengirim guru-gurunya untuk mengikuti berbagai pelatihan di luar negeri, membeli buku-buku impor untuk siswa, dan mendatangkan tim penilai dari IBO untuk meninjau apakah sekolah itu sudah pantas menjadi sekolah IB. Akhirnya, siswa harus menempuh ujian yang diselenggarakan IBO.
Ada enam kelompok mata pelajaran dan ujian yang ditawarkan program diploma IB: kelompok Bahasa Ibu (Bahasa Indonesia), kelompok Bahasa Inggris, kelompok Individu dan Masyarakat (Misalnya manajemen bisnis, psikologi) kelompok Ilmu Pengetahuan Eksperimental (misalnya biologi, kimia), kelompok Matematika, dan Kelompok Seni dan Pilihan (misalnya, seni teater). Siswa harus mengambil satu mata pelajaran dari masing-masing kelompok dan di akhir jenjang akan diuji dengan skala 1-7.
Selain itu, setiap siswa harus mengambil mata pelajaran Teori Pengetahuan (Theory of Knowledge), menulis esai 4.000 kata, dan melakukan program CAS (Creativity, Action, and Service/Kreativitas, Aksi, dan Pelayanan), dan bisa mendapatkan tambahan 3 poin. Angka sempurna untuk ujian IB adalah 45. Untuk bisa mendapatkan diploma, siswa harus mendapatkan minimal 24 poin. Jika tidak, siswa hanya akan mendapatkan sertifikat. Seperti McDonald’s yang menyediakan paket nasi untuk menyesuaikan dengan selera lokal, program IB pun menyisakan ruang untuk muatan lokal berupa mata pelajaran bahasa Indonesia dan program CAS.
2. Invasi Teknologi Informasi
Era industrialisasi kini berganti dengan era informasi. Laju informasi yang beredar sudah tidak bisa dikendalikan, dari sisi jumlah, jenis dan dampaknya. Melalui berbagai media elektronik (televisi, internet dengan segala macam variannya), anak-anak diserbu oleh informasi secara dahsyat. Informasi memang bermanfaat dan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi pada saat bersamaan bisa merusak anak karena mengandung banyak unsur yang tidak sesuai untuk konsumsi anak.
Maka dari itu, diperlukan keterampilan hidup dalam mencari, menjaring, memilah, dan memanfaatkan informasi dengan benar untuk kepentingan pemelajaran. Praktik-praktik di sekolah berdasarkan pendiktean, penghafalan dan indoktrinasi sudah tidak sesuai zamannya. Kesempatan menjelajahi kehidupan melalui proses pencarian dan penemuan di sekolah menjadi penting.
Penguasaan komputer dan internet merupakan salah satu keterampilan hidup. Siswa/mahasiswa perlu dikondisikan dan diberi kesempatan untuk menguasainya. Beberapa sekolah dan perguruan tinggi memang sudah menyediakan sarana/prasarana teknologi informasi.
Implikasi dari inovasi teknologi adalah, batasan antara pendidikan formal, informal, dan nonformal menjadi kabur. Kini tersedia banyak situs yang menawarkan program atau modul pemelajaran yang dapat diakses dengan mudah. Pemelajaran dunia maya yang kadang dimanfaatkan oleh segelintir sekolah --- tidak mengenal batasan formal dan nonformal.
3. Kebangkitan Korporasi Multinasional
Pendidikan sudah menjadi komoditas yang makin menarik. Sekarang ini, pendidikan sudah dikelola menyerupai industri. Seolah-olah semua orang bercita-cita mendirikan sekolah sebagai tempat untuk bisnis. Artinya, seseorang atau lembaga membisniskan sekolah karena mengetahui masyarakat membutuhkan pendidikan, mulai dari tingkat kelompok bermain hingga ke perguruan tinggi.
Pembiayaan pendidikan menunjukkan gejala industri. Semakin mahal suatu sekolah, justru semakin laku. Semakin sekolah dikatakan plus, unggulan, atau berbau internasional, orang semakin tergiur untuk memasukinya. Bahkan pemain-pemain kalangan bisnis mengalihkan perhatian dan investasi mereka pada industri persekolahan. Sekolah-sekolah nasional di kota-kota besar di Indonesia dimiliki pebisnis tingkat nasional dan didirikan dengan mengandalkan jaringan multinasional berupa adopsi kurikulum dan staf pengajar asing.
Seperti layaknya perusahaan, banyak lembaga pendidikan mempunyai tim khusus pemasaran (marketing), meskipun mereka masih sungkan menggunakan istilah marketing. Umumnya, tim ini bekerja dengan bendera humas, tim informasi studi atau biro informasi. Tim ini bekerja melakukan pembenahan internal, merancang media, dan mengkoordinasi dosen dan wakil mahasiswa untuk kegiatan promosi.
Kegiatan promosi dilakukan di dalam dan diluar negeri. Seleksi tes bisa dilakukan di kota yang dikunjungi. Kini adalah era sekolah berburu konsumen. Setiap tahun pameran pendidikan mendatangkan tim pameran dari sekolah-sekolah di Australia, Selandia Baru, Kanada, Singapura, dan China dan berupaya menjaring siswa/mahasiswa dari Indonesia.
Berkurangnya tanggungjawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan mengarah pada gejala privatisasi pendidikan. Dikotomi sekolah negeri dan swasta menjadi kabur dan persaingan antarsekolah semakin seru. Privatisasi pendidikan mengakibatkan pemisahan (segregasi) siswa berdasarkan status sosio-ekonomi. Sekolah yang memiliki sarana dan prasarana yang baik akan lebih banyak mempunyai keleluasaan untuk membenahi diri, sementara sekolah yang miskin akan terjerumus dalam kebangkrutan.
Ke mana Arah pendidikan Indonesia?
Pandangan pragmatis mulai muncul di masyarakat. Orientasi pendidikan bukan dimaksudkan untuk menghasilkan anak yang baik tetapi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan praktis. Anak dimasukkan ke sekolah bergengsi dengan berbagai atributnya dan dipacu mendapatkan nilai bagus agar kelak bisa mendapat pekerjaan atau relasi yang bagus. Dalam dinamika globalisasi, anak-anak bangsa tercecer dalam berbagai sekolah yang beragam menurut latar belakang sosio-ekonomi yang berbeda.
Negara belum mampu memberikan kesempatan yang adil bagi semua anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan bermutu, setidaknya sampai saat ini, mulai dari pendidikan dasar sampai pada pendidikan tinggi. Muncul pertanyaan, ke mana arah pendidikan di Indonesia?
Pendidikan dimaksudkan untuk menyiapkan anak-anak bangsa untuk menghadapi masa depan dan menjadikan bangsa ini bermartabat di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Masa depan yang selalu berkembang, menuntut pendidikan untuk selalu menyesuaikan diri dan menjadi lokomotif proses demokratisasi dan pembangunan bangsa. Pendidikan yang menjadi budak sistem politik masa kini telah kehilangan jiwa dan kekuatan untuk memastikan reformasi bangsa sudah berjalan sesuai tujuan dan jalur yang tepat.
Dalam konteks globalisasi, pendidikan di Indonesia perlu membiasakan anak-anak memahami eksistensi bangsa dalam kaitan eksistensi bangsa-bangsa lain dan segala persoalan dunia. Menutup diri dan menghalangi masuknya pengaruh asing adalah hal yang tidak mungkin. Meskipun demikian, tidak berarti kita membiarkan diri hanyut dan larut dalam arus dunia dan menerima segala pengaruh asing. Persis yang diingatkan oleh Mahatma Gandhi, “Saya tidak ingin rumah saya ditembok pada semua bagian dan jendela saya ditutup. Saya ingin budaya-budaya dari semua tempat berhembus di seputar rumah saya sebebas mungkin. Tetapi, saya tetap menolak untuk terbawa dan terhempas”.
Disadur dari tulisan Anita Lie