Ilmu Sejarah dan Post Modernisme
Istilah postmodernisme pertama kali dimunculkan oleh Jean-Francois Lyotard dan Roland Barthes. Postmodernisme sesungguhnya muncul sebagai reaksi atas "common-sense thinking" dalam kritik sastra. Kritik itu pada awalnya ditujukan pada wacana-wacana moralistik yang menganggap pandangannya sendiri sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat dibantah tanpa dikenakan sangsi. Kritik postmodernisme itu kemudian berkembang menjadi kritik terhadap pandangan universalisme yang terkandung dalam suatu sistem budaya tertentu (Barat) dalam kritik sastra. Masalahnya adalah bahwa doktrin ini kemudian juga dianggap berlaku dalam wacana-wacana ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu teoretis, ilmu-ilmu sosial maupun ilmu sejarah.
Doktrin postmodernisme bersumber pada teori linguistik dari Ferdinand Saussure yang berpendapat, bahwa bahasa hanyalah "signifier" (petunjuk) pada "signified" (yang ditunjuk). Kata, dalam teori tersebut, tidak mengacu pada kebenaran atau realitas, tetapi hanya pada suatu "konsep"." Kata-kata dengan demikian samasekali tidak mengacu pada realitas, dan arti kata-kata baru terungkap dalam hubungan-hubungannya dengan kata-kata lain dalam bahasa yang bersangkutan. Berkaitan dengan teori itu postmodernisme beranggapan bahwa semua wacana, seperti dikatakan Jean-Francoise Lyotard, hanyalah "language game", dan sebab itu kebenaran atau obyektifitas (realitas) tidak terungkap di dalamnya. Dalam ilmu sejarah itu berarti bahwa historiografi hanyalah permainan kata-kata, "language game". Para sejarawan yang terpengaruh oleh doktrin tersebut, seperti Hayden White umpamanya, berkeyakinan bahwa dalam historiografi tidak bisa dibedakan antara fiksi dan kenyataan. Bahkan bagi para sejarawan yang tergolong dalam "New Historicisme", tidak ada perbedaan hakiki antara historiografi dan teks biasa; keduanya sama karena hanyalah "language game" tanpa mengandung kebenaran mengenai kenyataan.
Masalahnya, seperti dikatakan ahli filsafat ilmu C. Morris adalah. bahwa postmodernisme tidak membedakan antara wacana ilmiah pada satu pihak yang didasarkan pada observasi, inferensi logis atas evidensi faktual yang mendasari eksplanasi, dan pada pihak lain, "bahasa yang digunakan untuk menciptakan dunia fiktif, imajiner atau poetis," dimana persyaratan ilmiah tersebut diatas tidak ada (Morris: 1997: 5,6). Postmodernisme menyanggah kemampuan ilmu pengetahuan mengajukan kebenaran dengan mengatakan, bahwa kebenaran dalam ilmu pengetahuan hanyalah suatu cara untuk melegitimasi kedudukan seorang pakar, dan bahwa kebenaran ilmiah lebih banyak ditentukan oleh ideologi yang dominan pada saat tertentu.
Dengan kata lain, postmodernisme tidak mempertimbangkan bahwa setiap cabang ilmu memiliki prosedur untuk menentukan kausalitas yang mengacu pada kebenaran atau realitas; postmodernisme sengaja melupakan bahwa setiap cabang ilmu memiliki apa yang oleh C.Lloyed disebut sebagai "structure of reasoning". Apa yang pada awalnya sesungguhnya muncul hanya sebagai suatu upaya menyempurnakan kritik sastra itu, kini makin gencar dikembangkan oleh berbagai ahli dalam berbagai cabang ilmu. Postmodernisme beranggapan bahwa doktrinnya relevan bagi semua cabang ilmu atau wacana, karena semua cabang ilmu menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya.
Maka tidak mengherankan kalau kini muncul berbagai usaha untuk menegakkan kembali keabsahan ilmiah dan menegakkan kembali nilai-nilai tentang kebenaran ilmiah. Gerakan ini terutama muncul karena berkembangnya aliran realisme dalam filsafat ilmu sejak tahun-tahun 1980-an seperti yang terkandung dalam tulisan-tulisan dari Rom Harre, Dudley Shapere, Roy Bhaskar, dan sebagainya. Realisme filosofis juga sekaligus membantah keabsahan historis materialisme dalam ilmu sejarah.
Berikut ini akan saya kemukakan dua buah sanggahan mengenai postmoderisme dalam ilmu sejarah, yang pertama khusus menyangkut .pendekatan empiris dalam ilmu sejarah dan yang kedua menyangkut pendekatan strukturis. Yang pertama berasal dari seorang ahli filsafat ilmu, yaitu C. Behan Mc. Cullagh, dan yang kedua berasal dari seorang ahli sejarah ekonomi, yaitu C. Lloyed. Tetapi sebelumnya patut dikemukakan terlebih dahulu bentuk postmodernisme yang merasuk dalam ilmu sejarah.
Postmodernisme paling jelas nampak dalam pendekatan empiris dalam ilmu sejarah, pendekatan yang paling umum di kalangan para ahli sejarah. Pendekatan empiris dalam ilmu sejarah itu (baik yang bersifat diskriptif maupun yang menggunakan berbagai teori kausalitas) paling mudah disusupi oleh doktrin postmodemisme karena pada dasarnya modus komunikasi pendekatan ini adalah kisah atau naratif. Pendapat postmodemisme, bahwa semua ilmu tidak terkecuali hanyalah "language game" sangat mudah mempengaruhi pendekatan empiris dalam ilmu sejarah yang mengandalkan natarif.
Behan McCullagh, seorang ahli filsafat ilmu, memperlihatkan pengaruh post-modernisme dalam tiga aspek dari ilmu sejarah, yaitu (a) metode sejarah yang digunakan ahli sejarah, (b) pengaruh budaya pada ahli sejarah, dan (c) penggunaan bahasa oleh ahli sejarah.
Pertama mengenai metode sejarah. Seperti diketahui, ilmu sejarah sesungguhnya tidak mempelajari masa lampau, tetapi ilmu sejarah mempelajari sumber sejarah atau peninggalan dari masa lampau seperti dokumen-dokumen, arsip dan kesaksian lisan. Khususnya mengenai pendekatan empiris dalam ilmu sejarah, penjelasan tentang suatu peristiwa, riwayat hidup atau struktur sosial, bertumpu pada uraian mengenai motivasi atau "intention" dari pelaku sejarah yang diyakini menjadi dasar dari tindakan tokoh sejarah yang bersangkutan.
Kalangan post-modernisme berpendapat, bahwa motivasi atau intention yang tercantum dalam dokumen sejarah, tidak mengacu pada kenyataan atau realitas karena pandangan tokoh sejarah dalam sumber sejarah hanyalah gambaran yang berkaitan dengan konsep-konsep budaya yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Sumber sejarah hanyalah teks-teks berupa "language game" yang tidak mencerminkan kenyataan. Kenyataan pada dasarnya tidak dapat diungkapkan melalui sumber sejarah, dan menurut postmodernisme tidak perlu. Demikian pun historiografi atau hasil karya sejarah hanyalah teks-teks yang tidak mengandung kebenaran.
Dengan kata lain, menurut postmodernisme karya sejarah hanyalah teks yang didasarkan pada teks, atau "language game" yang didasarkan para "language game".
Kedua mengenai dampak budaya dalam ilmu sejarah. Postmodernisme berpendapat bahwa setiap ahli sejarah mau tidak mau dipengaruhi oleh konsep-konsep tertentu yang berasal dari sistem budaya masing-masing ahli sejarah. Dengan demikian, menurut doktrin itu, kesimpulan yang diambil ahli sejarah dari sumber sejarah yang digunakannya (inferensi) sudah diwarnai oleh konsep-konsep budaya tertentu. Ini berarti penjelasan mengenai suatu peristiwa, biografi atau struktur sosial bisa berbeda-beda dari sejarawan yang satu dan sejarawan lain, sejalan dengan perbedaan-perbedaan budaya para ahli sejarah itu. Dengan demikian, sekali lagi menurut postmodernisme, historiografi tidak mengandung kebenaran realitas, dan sebab itu historiografi mengandung unsur relativisme budaya.
Ketiga mengenai bahasa. Menurut para penganut postmodernis, seperti Roland Barthes (ahli filsafat ilmu) pengaruh teori linguistik dari Saussure jelas menonjol dalam hal ini. Seperti dikemukakan di atas, menurut Suassure, "kata-kata samasekali tidak mengacu pada hal-hal yang terdapat dalam dunia [kenyataan] tetapi hanya mengacu pada konsep-konsep, dan bahwa makna dari kata-kata atau konsep-konsep itu seluruhnya terkandung dalam hubungan-hubungannya dengan kata-kata lain dalam bahasa yang bersangkutan". Kata "coklat", menurut Saussure, "bukanlah suatu konsep yang otonom yang mengacu pada ciri-ciri independen, tetapi merupakan suatu istilah dalam sistem istilah warna yang didefinisikan oleh hubungan-hubungannya dengan istilah-istilah lain yang membatasinya" (McCullan 1998: 37). Karena historiografi juga menggunakan kata-kata, maka menurut teori tersebut, historiografi juga tidak mengandung kebenaran (realitas), tetapi mengungkapkan suatu peristiwa yang maknanya terkandung dalam hubungan-hubungan antara kata-taka yang bersangkutan dalam suatu sistem bahasa.