Paradigma Baru Perkembangan Teori Dalam Ilmu Sejarah Dan Arkeologi
Dari sudut epistemologi, perkembangan sejarah dan arkeologi sebagai ilmu, apa yang selama ini dikenali sebagai titik lemah dalam arti dianggap sebagai kurang “ilmiah”adalah masalah data dan interpretasi. Sejarah dan Arkeologi dipandang sebagai sebuah ilmu yang sangat subyektif. Pengukuran kadar keilmiahan di sini didasarkan kepada tolok ukur keilmiahan ilmu-ilmu eksakta atau ilmu pengetahuan alam, yaitu dalam hal ke-obyektifannya. Ilmu pengetahuan yang tidak obyektif dianggap tidak dapat memenuhi ketentuan sebagai ilmu pengetahuan serta kemudian dianggap sebagai bukan ilmu, sehingga hasil penelitiannya pun dipandang kurang bersifat ilmiah. Sesungguhnya masalah ini bukanlah merupakan masalah sejarah dan arkeologi sebagai ilmu saja, melainkan telah menjadi masalah di lingkungan ilmu-ilmu budaya pada umumnya.
Sebagaimana diketahui ilmu-i1mu budaya memiliki manusia sebagai obyek studinya sehingga atas dasar itu disebut pula sebagai ilmu kemanusiaan. Secara sangat mudah dapat dikenali bahwa ilmu-ilmu yang dianggap tidak ilmiah tadi sesungguhnva merupakan ilmu-ilmu yang obyek studi dan subyeknya sama, yaitu manusia. Atas dasar inilah maka ilmu-ilmu yang demikian ini di pandang sebagai ilmu yang bersifat subyekif Sebaliknya oleh karena obyek studi ilmu-ilmu eksakta adalah benda (obyek) yang sama sekali berlainan dengan peneliti atau subyek studi. Atas dasar itu pulalah maka limu-ilmu eksakta dikenal sebagai ilmu yang bersifat obyektif.
Upaya yang dilakukan oleh para ahli ilmu budaya ada dua arah. Arah yang pertama adalah mencoba untuk menerapkan metoda ilmu eksakta dalam penelitian mereka. Upaya ini di dalam arkeologi dikenal sebagal “new archaeology”, yang diupayakan oleh ahli arkeologi Amerika. Aliran ini merupakan penganut yang mengembangkan teori bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya hanya memiliki satu metode saja. Sebaliknya, upaya yang kedua menganut faham bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan itu terdiri dari dua jenis ilmu, oleh karena keduanya masing-masing mengembangkan “scholarship”nya sendiri. Ilmu kemanusiaan mengembangkan metode “mengerti”sedangkan ilmu eksakta metode “menerangkan”.
Suatu penelitian ilmiah memiliki peranan yang sangat penting dalam mencari kebenaran dan merupakan sebuah pemikiran kritis. Penelitian dalam ilmu-ilmu sosial, sama halnya dengan penelitian pada umumnya merupakan suatu proses yang terus menerus yang dilakukan secara kritis dan terorganisasi untuk melakukan analisa, memberikan penjelasan dan interpretasi terhadap fenomena sosial yang mempunyai hubungan yang kait-mengkait.
Peneliti ilmu sosial walaupun berpijak pada metode ilmiah, tetapi beberapa ciri khas yang ada di dalam masing-masing bidang ilmu, menyebabkan si peneliti dituntut memiliki ketrampilan yang khas pula dan harus didukung oleh kerangka teori dan analitik yang berbeda dalam menganalisa interaksi antar fenomena disebabkan kompleksnya fenomena-fenomena yang diteliti. Masalah-masalah sosial yang mudah berubah dan sulit diukur mengakibatkan kurangnya kemampuan melakukan prediksi, tidak se-eksak prediksi dalam ilmu alam.
Penggunaan metode kuantitatif yang telah baku dan lazim dipakai dalam penelitian ilmu-ilmu alam ternyata tidak cukup mampu mengungkapkan dan mendeskripsikan fenomena-fenomena sosial yang ada dalam masyarakat karena variabel-variabelnya sulit untuk diukur. Bidang ilmu humaniora yang mencakup bidang hukum, antropologi, sastra, linguistik, filsafat, sejarah, merupakan bidang ilmu yang “kurang cocok” bila dipakai pendekatan kuantitatif.
Oleh karena itu akhir-akhir ini dengan perkembangan teori-teori sosial yang lebih menekankan dan melebihkan unsur makna dalam ”human action” dan “interaction” sebagai determinan utama eksistensi kehidupan bermasyarakat, berkembang teori-teori yang berparadigma baru dengan konsekuensi metodologinya yang hendak lebih mengkaji aksi-aksi individu dengan makna-makna simbolik yang direfleksikannya akan lebih kualitatif daripada kuantitatif.
Menurut kaum interaksionis ini, realita kehidupan itu, sesungguhnya hanya eksis dalam alam makna yang simbolik sehingga sulit ditangkap lewat pengamatan dan pengukuran begitu saja dari luar melalui beberapa indikator yang cuma tampak di permukaan, melainkan realita sosial hanya mungkin “dipahami serta ditangkap” lewat pengalaman dan penghayatan-penghayatan internal para subyek pelaku yang berpartisipasi dalam interaksi setempat.
Metode kuantitatif yang merupakan metode klasik dan konvensional yang semula efektif terbukti untuk meneliti fenomena alam yang kemudian dipinjam oleh ilmu-ilmu sosial ternyata tidak banyak membantu. mengungkapkan pola-pola dalam tatanan perilaku dan kehidupan manusia serta kurang mampu mengungkapkan nilai, ide, makna dan keyakinan yang “individualized” dan studi-studi sosial yang kian banyak bersifat lintas-kultural. Hal tersebut mengingat pula metode kuantitatif yang “theory testing” untuk meneliti dan memecahkan masalah-masalah yang dikonsepkan pada tingkat analisis yang makro sebagai realitas empiris.
Bidang ilmu humaniora yang hendak meneliti tatanan perilaku dan kehidupan manusia yang merupakan makna aksi individu dan interaksi-interaksi antara individu, dianjurkan dan untuk banyak dicoba menggunakan metode kualitatif yang paradigma teoretik dan rancangan metodologiknya amat berbeda dengan metode kuantitatif. Mengingat kehidupan manusia saat ini sudah semakin demokratik dan “people centered”, maka metode kualitatif dikembangkan untuk mengkaji kehidupan manusia dalam kasus-kasus terbatas namun mendalam dan menyeluruh dan juga dikembangkan untuk mengungkapkan gejala-gejala kehidupan masyarakat seperti apa yang terpersepsi oleh warga-warga masyarakat itu sendiri dan dari kondisi mereka yang tak tercampuri oleh pengamat peneliti. Selain dari itu metode kualitatif tidak menganjurkan dikembangkannya perspektif konseptual dari sudut amatan para peneliti.
Humaniora adalah bidang ilmu yang memiliki objek manusia sebagai human being dalam masyarakat yang mencakup disiplin-disiplin ilmu antara lain Hukum, Politik, Antropologi, Sosiologi, Perilaku Kesehatan, Linguistik, Sastra, Filologi, Seni, Pendidikan, Sejarah, dan Filsafat. Dengan demikian yang diteliti adalah hal-hal yang lebih menekankan pada aspek budaya manusia sebagai bagian dari masyarakat. Oleh karena itu cakupan kajian ilmu-ilmu humaniora adalah tentang ekspresi dan aktualisasi yang terwujud dalam perilaku, sikap, orientasi, nilai, norma, tata makna, pandangan hidup, spiritualitas, etika dan estetika. Dengan demikian tema-tema penelitian yang dapat dikembangkan di bidang ini antara lain berkisar tentang perubahan sosial, dampak sosial pembangunan, kontinuitas dan perubahan dalam masyarakat, etos kerja, dan respons masyarakat terhadap berbagai perubahan, dan sebagainya.
Apa yang hendak dikemukakan dalam makalah ini adalah bagaimana arkeologi mengembangkan dirinya menjadi salah satu ilmu di antara ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dalam upayanya ini, mau tidak mau yang harus dikembangkan adalah teorinya. Atas dasar ini maka akan diungkapkan beberapa teori yang mendasari pengembangan itu. Teori tersebut akan mencakup dua aspek, yaitu teori yang berkenaan dengan hakekat data arkeologi, dan teori yang berkenaan dengan bagaimana data itu diperlakukan sesuai dengan hakekatnya. Teori yang kedua itu berkenaan dengan teori interpretasi data.
Berbicara mengenai masa datang adalah berbicara mengenai arah gejala yang nampak di masa kini yang diperkirakan akan berkelanjutan di masa datang. Ilmu sejarah di masa kini sedang mengalami krisis yang diperkirakan akan berkelanjutan di masa datang. Krisis yang dimaksud adalah pengaruh post-modernisme dalam historiografi termasuk metodologi sejarah.
Krisis dalam ilmu sejarah tersebut, yang juga terdapat dalam ilmu-ilmu lainnya itu, nampaknya akan berkelanjutan dalam masa mendatang terutama karena globalisasi yang akan menjadi ciri utama masa datang itu. Doktrin postmodernisme yang menegakan relativitas budaya itu menyebabkan keabsahan ilmu sebagai wacana yang menampilkan kebenaran mengenai kenyataan nampaknya akan makin terancam.
Di sini saya akan membahas ciri-ciri pokok dari relativisme budaya yang sedang mengancam ilmu sejarah itu, dan mencoba menampilkan masalah itu dalam historiografi Indonesia masa kini.