Contoh Kasus Praktek Etika Bisnis Dalam Persaingan Di Dunia Penerbangan Indinesia
Mempelajari strategi pemasaran sebuah perusahaan yang sukses menembus pasar akan memberi banyak keuntungan. Maskapai penerbangan Malaysia AirAsia yang terbukti mampu menembus pasar bahkan merebut pangsa pemain lama bisa dijadikan contoh. Agar bisa memasuki persaingan global, banyak orang sudah mengetahui perlunya perubahan ke arah profesional dan inovasi. AirAsia melakukan itu. Pihak manajemen menerapkan model bisnis yang lebih efektif dan efisien dengan menerapkan gaya manajemen yang tidak kaku.
Ketika pertama kali beroperasi lima tahun lalu, AirAsia menghentakkan dunia penerbangan dengan semangat tarif murah. Hanya dengan dua armada, maskapai baru ini melawan dominasi pemain lama yang sudah sangat mapan, Singapore Airlines. Hasilnya, mereka berhasil menggerogoti pangsa pasar yang sudah ada. AirAsia mulai dengan misi membuat tarif terjangkau, sehingga siapapun bisa terbang. Awalnya dengan empat rute dan dua pesawat jenis Boeing 737-300. Tarif rendah tersebut tentunya menjadi berita baik bagi banyak orang yang rata-rata belum pernah bepergian dengan pesawat terbang. Ada beberapa strategi yang dilakukan AirAsia demi memenangkan persaingan dalam industri penerbangan.
Pertama adalah penawaran tarif rendah dengan target warga Asia yang cukup puas bepergian tanpa embel-embel makanan. Sebagai ganti ditawarkan Snack Attack (serangan cemilan) atau makanan kecil dan minuman yang tersedia di atas pesawat dengan harga terjangkau dan disiapkan secara khusus untuk para pelanggan AirAsia. Dengan begitu pelanggan memiliki pilihan untuk membeli makanan di atas pesawat. Strategi lainnya, yaitu operasi optimalisasi biaya. Intinya, AirAsia berusaha memaksimalkan keuntungan, tetapi tetap menyediakan tarif rendah dengan layanan berkualitas. Maskapai tersebut mengoptimalisasi biaya dengan mempercepat pergantian, meningkatkan pemanfaatan pesawat dan efisiensi kru, serta menyediakan layanan tanpa embel-embel seperti makanan. Mereka juga memutuskan menggunakan satu jenis pesawat untuk menghemat biaya pelatihan.
Mengenai pergantian pesawat, AirAsia mematok waktu 25 menit. Bisa dikatakan yang tercepat dalam industri penerbangan. Dengan demikian, pesawat bisa dimanfaatkan secara maksimal, dan pada akhirnya akan mempengaruhi pada penentuan tarif. Selain itu, AirAsia memberikan layanan praktis agar kegiatan bepergian menjadi lebih mudah dan terjangkau. Dalam hal ini, para pelanggan AirAsia bisa melakukan reservasi melalui kombinasi beberapa cara. Pertama melalui pusat layanan telepon nasional untuk reservasi. Sampai saat ini manajemen telah menyediakan 180 jalur telepon. Layanan yang mulai dibuka April 2002 itu, kini rata-rata menerima 6.000 panggilan tiap harinya.
Strategi kedua adalah layanan tanpa tiket, dibuka 18 April 2002. layanan ini melengkapi reservasi online dan pusat layanan telepon AirAsia dengan menyediakan alternatif murah. Ketiga, jalur pembayaran dipermudah dengan pendekatan atau moto, Mudah untuk Reservasi, Mudah untuk Membayar dan Mudah untuk Terbang. Pada 1 Maret 2002 AirAsia menjadi maskapai penerbangan pertama di Malaysia yang memberi layanan pembayaran dengan kartu kredit atau tunai di cabang-cabang Alliance Bank untuk reservasinya.
Keempat, Reservasi tiket melalui internet. AirAsia menawarkan kemudahan membeli kursi dengan mengunjungi website-nya di www.ariasia.com. Tidak perlu angkat telepon maupun mengantre. Sejak dibukanya fasilitas penjualan online pada 10 Mei 2002, maskapai tersebut telah mencatat penjualan lebih dari 30 juta ringgit Malaysia lewat internet saja. Kemudahan reservasi ditingkatkan dengan memperkenalkan reservasi melalui SMS, di mana pelanggan dapat mereservasi kursi, mengecek jadwal penerbangan dan mendapatkan informasi terbaru promosi-promosi AirAsia dari telepon selulernya, sejak Agustus 2003. Bisa dikatakan, AirAsia menjadi maskapai penerbangan pertama di dunia yang menerapkan cara ini.
Dalam upaya meningkatkan layanan konsumen adalah raja, AirAsia memperkenalkan website multibahasa, yakni Malaysia, Mandarin, Tamil, Thailand dan Indonesia. Bagaimana dengan keselamatan penumpang tetap menjadi prioritas utama. Dikatakan bahwa Armada Boeing 737 - 300 milik AirAsia memenuhi semua persyaratan Keselamatan Penerbangan Internasional dan diregulasi oleh Departemen Penerbangan Sipil Malaysia dengan reputasi internasional. Pada Juli 2002, AirAsia menandatangani perjanjian senilai US$20 juta dengan GE Engineering Services untuk pemeliharaan mesin pesawat. Bulan ini juga diadakan perjanjian senilai US$3 juta dengan VolvoAero untuk penyewaan jangka panjang mesin pesawat dan suku cadangnya.
Maskapai yang baru berusia empat tahun dan mengawali terbang dengan satu unit Boeing 737-200, kini (per Agustus 2004) mengoperasikan 24 pesawat, terdiri dari dua Boeing 737-400, 19 MD 82 dan 3 Dash-8. Yang menarik, 8 di antara burung besi tersebut (MD 82) telah dimiliki setelah lunas dicicil dengan harga tiap pesawat sekitar US$ 5 juta. Ke-24 pesawat tersebut sekarang terbang melayani 40 kota (136 rute). Di dalam negeri, rute ini melintas dari Sabang sampai Merauke. Khusus untuk kawasan timur Indonesia, lion air melayaninya lewat sub brand-nya, Wings Air, menggunakan Dash-8.
Kini, dengan 150 flight/hari dan rata-rata seat load factor (SLF/tingkat keterisian pesawat) setiap flight mencapai 80%, 400-500 ribu penumpang bisa diangkutnya dalam sebulan. Dengan raihan seperti itu, tahun lalu, Lion boleh dibilang menyodok di peringkat dua penerbangan domestik. Di 23 bandara, penumpang yang diangkut pesawat berlogo kepala Singa itu mencapai 5,7 juta orang, sementara total penumpang udara di tahun itu mencapai sekitar 35 juta (lihat Pergerakan Pesawat dan Penumpang di 23 bandara tahun 2003). Kinerjanya terus mendekati Garuda yang saat ini mengoperasikan 60 pesawat dengan 200 flight. Bahkan, di Bandara Soekarno-Hatta, selama Januari-Juni 2004, Lion terlihat terus merangsek Garuda.
Itu dari aspek operasional. Pada aspek lain, finansial terutama, Lion terbilang cukup mengilap untuk maskapai yang bermain di industri yang katanya rakus modal tapi pelit laba ini. Berkekuatan 3.000 karyawan. Lion Air Kelimpahan uang itulah yang menjadi salah satu topangan untuk membeli gedung eks-BHS milik penjahat besar Hendra Rahardja di Gajahmada, Jakarta, Juni lalu, senilai Rp 90 miliar, yang digunakan sebagai kantor pusat. Juga, modal untuk pembagian 120 unit Avanza, terutama buat 110 pilotnya (40% orang asing dari Swedia, Denmark, Argentina dan Belanda) sebagai bonus.
Lion berlimpah uang, juga bisa dilihat dari aktivitasnya yang agresif dalam lima bulan terakhir ini. Selain membeli gedung BHS dan membagi-bagi Avanza bukan hanya telah sanggup mencapai titik impas, tapi juga mencetak profit mengoperasikan hanggar di Lanud Husein Sastranegara, Bandung, senilai US$ 1 juta, serta membeli simulator pesawat (bekas) senilai US$ 10 juta. Dan last but very important, dari aspek citra. Fakta berbicara, maskapai ini juga tengah berkibar. Buktinya, dalam Indonesian Best Brand Award 2004, maskapai ini dinobatkan sebagai salah satu brand potensial. Artinya, Lion adalah merek yang diperkirakan terus melejit di masa mendatang sekaligus sanggup mengakusisi pelanggan maskapai lain.
Empat tahun lalu, tepatnya 20 Juni 2000, ketika Lion mulai mengepakkan sayap dengan rute Jakarta-Pontianak, perkembangan mutakhir di atas sungguh tak terbayangkan. Tak sedikit malah, terutama pelaku bisnis penerbangan, yang mencibir. Di tahun 2005, Lion resmi menjadi operator Lanud Halim Perdanakusumah dengan menelan investasi sebesar Rp 100 miliar. Masih di tahun yang sama, Lion Air juga berkemungkinan mengelola Terminal III Bandara Soekarno-Hatta bila deal dengan Angkasa Pura II berjalan mulus. Dan di tahun itu pula, maskapai ini berencana menggerakkan pasar modal lewat aksi initial public offering untuk mendanai penambahan sekitar 24 pesawat baru. Bahkan, penambahan pesawat ini akan ditempuh tidak lagi lewat leasing. “Kalau memang ada yang harganya bagus, tidak menutup kemungkinan akan di beli Kebingungan seperti itu wajar menyeruak karena paradigma yang selama ini berjalan adalah “sangat sulit mengail untung di dunia penerbangan”. Apalagi, mata dan telinga masyarakat Indonesia terlalu kenyang menyaksikan serta mendengar kabar kerugian yang mendera maskapai-maskapai dalam negeri hingga mesti ditolong pemerintah agar tak di-grounded para kreditor. Termasuk, rumor mutakhir bahwa ada beberapa maskapai yang kini benar-benar membutuhkan buyer untuk menyelamatkan nyawanya. Jadi, langkah agresif dan ekspansif maskapai ini memang pantas membuat bingung tak hanya pengamat, tapi juga khalayak: bagaimana bisa Lion Air bermain di dunia bisnis yang net margin-nya paling besar 7%-10%.
Mereka yang tak bisa menerima fakta itu telah memunculkan banyak isu sebagai jawabannya. Isu yang terbilang basi – karena sering diangkat – di antaranya bahwa Lion Air di-back up Singapore Airlines untuk menghancurkan penerbangan domestik dengan cara membanderol tarif murah tiket penerbangannya (low fare) – yang belakangan memunculkan sebutan low cost carrier bagi Lion. Atau, Lion Air adalah boneka Region Air yang telah bangkrut di Singapura kemudian pindah ke Cina untuk menggunakan 19 pesawat MD 82-nya. Belakangan, isu yang merebak adalah, Lion juga telah menggunakan maintenance reserve (ongkos pemeliharaan) pesawatnya guna menambal operasional perusahaannya yang bolong-bolong. Namun, apa pun isunya, intinya satu: perusahaan yang berdiri pada 2 September 1999 dengan investasi awal Rp 80 miliar ini (sedikit di bawah harga gedung BHS) tak mungkin bisa mendanai langkahnya yang begitu cepat itu tanpa backup investor besar, sekalipun owner Lion Air mengklaim bisa melakukan semua itu karena sanggup membuat perusahaan penerbangan yang efisien!
Untuk sampai di posisi sekarang, adalah hal yang tidak mudah. Ketika maskapai ini mengajak beberapa relasinya (para pedagang Glodok) menanamkan modal di bisnis ini, beberapa di antaranya mengerutkan dahi dan tak yakin akan berhasil. Malahan dianggap buang-buang uang dan waktu saja. Tetapi pada akhirnya sebagian dari mereka itulah yang secara berjamaah berada di balik akte pendirian PT Mentari Lion Airlines, yang resminya dimiliki Rusdi (45%) dan Kusnan (55%). Untuk pesawat, pola leasing amat diandalkannya. Di sini, tiga institusi besar yang menopangnya adalah General Electric Capital Aviation Service, GATX Capital Corporation dan The CIT Group Inc. Selain berkontribusi pada 75% dari 24 pesawat yang dioperasikan sekarang, lewat GE Capital Aviation Training di Inggris, Lion air mendapat kredit simulator pesawat yang akan ditempatkan di Halim.
Selain lewat pola tersebut, pemilik juga menyambat konsorsium bank. Namun, pemilik lion air membantah bila ada yang mengatakan hal itu untuk menambal operasional Lion yang bolong, atau menutup kewajiban. Pinjaman diberikan bukan untuk membayar utang, tapi untuk pengembangan. Contoh dana investasi untuk mengoperasikan Halim. Tanpa pinjaman, langkah ekspansinya yang begitu cepat akan mengganggu cash flow. Dengan ekspansi besar yang dilakukannya, orang curiga lion memainkan komponen yang satu ini. Seorang eksekutif perusahaan yang bergerak di leasing pesawat yang tak bersedia menyebut jatidirinya bahkan mencurigai rencana IPO adalah bagian dari rekayasa finansial untuk mendanai biaya overhaul yang totalnya bisa menelan US$ 16 juta.
Hal ini dibantah keras oleh pihak lion. Menurut mereka, disiplin untuk menyisihkan uang maintenance reserve yang besarnya US$ 40/hari per pesawat. Itulah yang dipakai untuk mendanai biaya overhaul. Kalau untuk D-Check tidak ada masalah, karena sudah dibayar setiap bulan. Mereka (investor) itu benar-benar percaya dengan manajemen lion. Kalau cash flow Lion bermasalah, pemerintah bisa mengaudit semua airlines. Dan kalau ada airlines yang rugi atau punya kinerja kurang baik, berani tidak pemerintah menutup perusahaan penerbangan tersebut Pajak keuntungan juga rutin di bayar tiap tahun.
Setidak-tidaknya, ada lima strategi utama yang menurutnya mesti diakui sebagai kecerdikan pihak lion, dan bagi beberapa kalangan dianggap sebagai ide-ide gila karena penuh kejutan. Pertama, fleet strategy. Setelah mengoperasikan B 737-200 dan Yak 42, maskapi lion beralih ke MD 82 dengan alasan kapasitas. Bila pesawat sebelumnya paling banter 110 seat, MD 82 punya 167 yang kemudian dimodifikasi menjadi 152 seat agar nyaman. Dengan demikian, potensi memaksimalkan pendapatan bisa diraih. Kedua, operation strategy. Untuk menarik penumpang, Lion menerapkan strategi low fare (tarif murah). Ini mulai ditempuh untuk rute Jakarta-Medan setelah dikeroyok di Pontianak dan jalur Jakarta-Pekanbaru masih tersendat-sendat. Strategi harga murah ini diiringi dengan efisiensi dalam penerbangan (in-flight) berupa layanan no frills (tanpa makanan). Bentuknya, nasi diganti roti yang menghemat sekitar Rp 12 ribu/penumpang karena tak lagi menggunakan alumunium foil. Khusus strategi low fare yang ditempuh Lion, perjalanannya boleh dibilang learning by doing. Lion masuk dengan konsep tarif murah karena melihat terbang ke rute mana pun, kondisinya sudah over supply. Saat itu, tepatnya setelah setahun beroperasi, Lion Air berpikir tak ada jalan lain untuk menerobos pasar dan bersaing dengan pemain lain yang lebih kuat kecuali dengan menurunkan tarif. Maka, ketika Lion masuk Medan dengan banderol Rp 500 ribu, gemparlah kota itu. Sebab, rata-rata maskapai bermain di kisaran Rp 1,2 juta. Bahkan, kapal laut pun di kisaran Rp 600 ribu. “Inilah mulainya Lion menemukan konsep jual murah. Ketiga, marketing strategy.
Dengan slogan We Make People Fly, Lion Air mampu menarik orang untuk terbang dengan ongkos yang nyaris setara karcis kereta api dan kapal laut, memberi iming-iming hadiah mobil BMW. Ide ini kian mendongkrak minat orang, terutama mereka yang belum pernah mencicipi kursi pesawat, untuk membeli tiket Lion. Tak cuma di situ, untuk memancing pelanggan, maskapai ini menerapkan cara unik yang belum pernah dilakukan penerbangan lain. Sewaktu membuka rute ke Medan, lion menggelar 500 spanduk di semua lokasi strategis di kota itu. Secara bombastis spanduk yang digelar itu memproklamasikan harga tiket murah yang dijual Lion. Hasilnya, calon penumpang sendiri yang mendesak agen menjual tiket Lion. Bahkan, kemudian jumlah calon penumpang sampai melebihi kursi yang disediakan pesawat. Keempat, channel distribution strategy. Selalu mengutamakan menyediakan tiket Lion buat agen-agen pelesiran yang membutuhkannya. Pemilik lion Air tahu, reputasi biro perjalanan ada pada kemampuannya menyediakan tiket buat penumpang. Jadi,penerbangan ini sebisa mungkin memuaskan penumpang.
Belakangan, Lion Air malah nekat tak menggunakan teknologi Abacus demi penghematan US$ 1/tiket. Sebuah tindakan yang memancing kemarahan Abacus dengan membeberkan bahwa Lion masih punya tunggakan US$ 2,7 juta. Masih di strategi distribusi, dalam hal penjualan tiket Lion bisa mengubah aturan main yang ada. Sebelumnya, di perusahaan penerbangan lain kalau ingin jadi agen selain harus mengajukan proposal, juga harus ada deposit.Lion membuat terobosan: untuk membeli tiket Lion tidak harus menyiapkan deposit. Konsep Lion memang menabrak parameter-parameter penerbangan di Indonesia. Ketika awal beroperasi, pihak lion juga mengirim seluruh pramugarinya untuk membelikan tiket ke seluruh travel agent tanpa harus deposit. “Itu terobosan yang dilakukan Lion, dan perusahaan penerbangan yang sudah eksis tidak berani melakukan ini. Kelima, route strategy.
Strategi ini melihat potensi suatu rute dengan melihat trafik telepon SLJJ ke suatu kota. Bila trafiknya cukup tinggi, satu rute bisa dibuka. Bukan cuma itu, lion Air juga memperhatikan kultur saat akan menetapkan jam penerbangan. Contohnya di Padang. Rute Padang-Jakarta sengaja dipatok berangkat pukul 05.20, karena kebanyakan orang Padang taat beragama dan mayoritas pedagang, sehingga ingin berangkat sepagi-paginya dan pulang semalam-malamnya agar bisa efisien. Nyatanya, rute tersebut sukses. Orang-orang Padang banyak yang shalat Subuh di bandara.
Tahun 2005. Dengan armada bisa mencapai 40 pesawat, lion air memiliki dua basis operasional: Halim Perdanakusumah dan Soekarno-Hatta untuk melayani Indonesia. Buat melatih para pilotnya, maskapai ini telah memiliki simulator di Halim. Untuk perawatan pesawat, mereka membuat Lion Maintenance Facility, menanganinya di Bandung. Di sini Lion maintenance facility menempuh outsourcing strategy tersendiri. Pengadaan suku cadang dilakukan lewat kerja sama dengan Scandinavian Air System (Denmark), sedangkan dalam penyediaan teknisi, perbaikan serta pasokan mesin pesawat mereka menggandeng Fiat Avio (Italia).
Cukup menarik bagaimana lion mengeplot Halim.Tahun mendatang lion meyakini Bandara Soekarno-Hatta akan over capacity sebagai dampak pertumbuhan operator lain dan pertumbuhan penumpang yang kian pesat. Pihak Lion Air percaya bahwa Halim akan lebih baik dari Cengkareng. Pertimbangannya, dari kawasan Mangga Dua ataupun Jl. Sudirman sebagai pusat bisnis di Jakarta, penumpang lebih dekat ke Halim ketimbang Cengkareng. Apalagi, bila tujuannya ke Surabaya, yang membutuhkan waktu 1 jam 10 menit. Kalau tinggalnya di Jakarta Pusat, akan lebih dekat ke Halim dibanding ke Cengkareng.
Sejauh ini, pembicaraan dengan otoritas Halim masih berjalan. Lion Air sedang melakukan pembicaraan dengan semua pihak agar bisa mengakomodasi semua pihak. Namun, secara prinsip Lion Air sudah mengantongi izin.Hal ini bukan berarti Lion Air hanya mengembangkan pesawatnya di halim saja Yang jelas, pesawat Lion akan tetap menggunakan dua Bandara (Halim dan Cengkareng). Tinggal mempersiapkan sosialisasi dengan para penumpangnya. Yang pasti, dengan dua bandara itu, Lion air berambisi bisa mencakup seluruh kota di Indonesia, karena potensinya masih besar. Ambisi itu sudah mulai ditopang dengan beberapa jurus sebagai pelengkap lima strategi di atas. Di antaranya, Wings Air akan menyasar segmen di atas pasar yang digarap Lion. Tapi, itu semua rencana tahun depan sambil melihat perkembangan kondisi bisnis dan perekonomian Indonesia.
Lion tak ubahnya singa belia yang menggentarkan jagat penerbangan nasional, memang mesti hati-hati. Maklum, tak ada gading yang tak retak. Sejak menggoyang pasar penerbangan dalam negeri, kesuksesan Lion Air tak luput dari tantangan. Setelah sejumlah isu mencederai kehebatannya, kini maskapai-maskapai low cost carrier (LCC) terus menerjang Indonesia. Setelah AirAsia dan Value Air, Singapore Air kini siap menerkam lewat Tiger Air. Tentu saja, ini memaksa para pemilik lion Air untuk ekstra hati-hati karena begitu lengah, mereka akan grounded, atau bahkan crash.
Hal lain yang menjadi pemikiran adalah perlu diingat bahwa di tengah demam LCC dan fakta bahwa orang ingin tiket tetap murah, Lion air harus benar-benar sanggup mengoperasikan Lion sebagai penerbangan yang bukan cuma low fare dan efisien, tapi sepenuhnya LCC. Karena itu, sebaiknya Lion total mengubah pola bisnisnya. Di antaranya, dalam pemesanan tiket. Teorinya, penumpang bisa mendapatkan tiket tanpa memakai travel agent lagi. Pesanan bisa lewat SMS atau Internet. Itu kalau Lion Air ingin unggul. IT penting, dan sekarang Lion Air masih ketinggalan sekali.
Untuk maskapai ini, tantangan ke depan sungguhlah berat. Selain pesaing yang terus mengekor inovasi mereka, Lion Air juga mesti sanggup membuktikan bahwa bantahannya terhadap isu-isu yang beredar adalah benar adanya. Yang genting, tentu saja ketika pesawat-pesawatnya masuk D-Check. Di sana, arus kas Lion Air akan benar-benar diuji; apakah singa belia ini akan terus mengaum, atau pingsan dihajar rentetan masalah keuangan demi menopang langkah-langkah agresifnya. Yang pasti, banyak pihak kini mengincar Lion.
Di tengah iklim yang sangat tak bersahabat terhadap industri penerbangan, Lion Air justru tumbuh melesat. Jumlah armada, jalur penerbangan ataupun jumlah penumpangnya langsung menyalip para seniornya. Lion juga membeli gedung pusat baru, simulator pesawat, dan berencana mengelola terminal sendiri.
Hadir di angkasa Indonesia sejak 30 Juni 2000, Lion Air langsung menyodok dan menyisihkan para seniornya. Simak data penumpang di 23 bandara yang dilayani PT Angkasa Pura I dan II. Sepanjang 2003, penumpang Lion rata-rata mendekati 498 ribu orang/bulan, mengalahkan Merpati (368 ribu/bulan), Bouraq, dan lain-lainnya. Lion hanya dikalahkan Garuda (937 ribu/bulan. Lalu hingga Juni 2004, Lion rata-rata mengangkut 350 ribu/bulan, di bawah Garuda (618 ribu /bulan). Merpati? Ketinggalan jauh. Burung jinak ini cuma mengangkut rata-rata 7,2 ribu/bulan).
Pertumbuhan Lion memang fenomenal. Awalnya, perusahaan yang dibangun Rusdi Kirana ini adalah perusahaan tour & travel. Memanfaatkan momentum deregulasi penerbangan yang dibuka sejak 1998, Lion dengan gesit menerkam peluang di industri penerbangan. Berawal dari sebuah Boeing 737-200 leasing yang menerbangi jalur Jakarta-Pontianak, hanya dalam tempo empat tahun armada Lion telah menjadi 21 pesawat – 8 di antaranya milik sendiri – yang menerbangi 36 kota. Dengan kinerja ini, Rusdi berani menargetkan mengangkut sejuta penumpang/bulan pada 2005. Bukan cuma itu, Lion juga membeli gedung pusat baru, bakal mengelola terminal sendiri (di Halim Perdanakusumah, membeli simulator pesawat, dan banyak lagi rencana lainnya.
Yang lebih menarik, Lion masuk pada saat industri penerbangan nasional sedang porak poranda. Prakrisis moneter, persisnya 1996, jumlah penumpang mencapai 13 juta. Pada 1997 naik sedikit menjadi 13,26 juta penumpang. Namun di 1998 langsung terjun bebas ke angka 6,2 juta penumpang dan hanya mencapai 6,89 juta penumpang pada 1999. Tahun 2000, ketika Lion terjun ke gelanggang, jumlah penumpang memang sudah bertengger di angka 7,58 juta. Toh, angka ini harus diperebutkan 12 pemain – 5 pemain lama dan 7 pendatang baru – masih ditambah sejumlah pemain internasional yang telah bebas masuk ke angkasa Indonesia. Lantas sejak 2001 serangkaian musibah terus menerpa – mulai dari tragedi 11 September, ledakan bom Bali, merebaknya wabah SARS – menjungkirkan sendi-sendi industri penerbangan dan wisata. Iklim bisnis menjadi sangat tidak kondusif, kompetisi ketat di landasan yang turbulen. Di atas kertas, mustahil menuai untung – bisa menutup biaya operasional saja sudah istimewa. Korban pun sudah berjatuhan: Sempati, pemain lama yang sempat bersinar benderang, serta Awair dan Indonesia Airlines yang cuma hadir seumur jagung. Sejumlah pemain yang telah mengantongi izin pun tak kunjung berani melangkah maju.
Di sinilah istimewanya Lion. Bukan cuma berani maju tak gentar, penantang pasar ini berani menawarkan terobosan: harga supermiring. Inilah rule of the game sekaligus diferensiasi paling ampuh. Melalui jurus ini, Lion bukan cuma mampu membetot pelanggan marginal dari maskapai lain, melainkan juga membuat penumpang kereta api dan bus antarkota beralih moda transportasi ke pesawat udara. Persis seperti slogan citra (tag line) Lion: We make people fly. Persis seperti yang dilakukan Tony Fernandes dengan Air Asianya.
Untuk bisa menerapkan jurus ini, Lion harus luar biasa efisien. Dan Rusdi mengaku bisa melakukannya. Meski belakangan ini harga avtur ikut naik seiring kenaikan bahan bakar minyak, ia mengaku tetap bisa mendapatkan untung. Benarkah? Banyak yang meragukan hal ini. Pertanyaan sinis acap mengemuka: “Berapa lama Lion bisa bertahan terus menelan rugi dan mengacak-acak pasar?” Di tengah pelbagai tudingan itu, banyak harapan muncul agar Lion terus berkembang dengan sehat untuk jadi maskapai yang tangguh. Melayani penumpang dengan baik, membuka lapangan kerja, dan membayar pajak buat negara.
Ekspansi yang terus dipacu dengan gigi tinggi juga muncul kekhawatiran mesin Lion akan terlalu panas sehingga berisiko tinggi. Apalagi, iklim bisnis di industri perjalanan dan wisata, star sekaligus cash cow-nya, juga sedang tidak cerah-cerah amat terkena hajaran beruntun di industri penerbangan yang membuat lahirnya banyak travel ban dan travel warning.
Di atas segalanya, mudah-mudahan Lion air bisa mengelola kekhawatiran di atas dengan baik. Bagaimanapun – lepas dari kekurang yang masih kerap kita baca melalui surat pembaca di berbagai media massa – Lion telah menjadi aset – jangan sampai akhirnya menjadi liabilities bagi masyarakat. Kasus Lion, bagaimanapun merupakan studi kasus yang menarik bagi para pelaku bisnis dan penentu kebijakan ekonomi di Tanah Air.