Ada berbagai definisi kelembagaan yang disampaikan oleh ahli dari berbagai bidang.
Lembaga adalah
..... aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang menfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan di mana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan (Ruttan dan Hayami, 1984).
..... aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Penataan institusi (institutional arrangements) dapat ditentukan oleh beberapa unsur: aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi (Ostrom, 1985; 1986).
..... suatu himpunan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Institusi ditekankan pada norma-norma prilaku, nilai budaya dan adat istiadat (Uphoff, 1986).
..... sekumpulan batasan atau faktor pengendali yang mengatur hubungan perilaku antar anggota atau antar kelompok. Dengan definisi ini kebanyakan organisasi umumnya adalah institusi karena organisasi umumnya mempunyai aturan yang mengatur hubungan antar anggota maupuna dengan orang lain di luar organisasi itu (Nabli dan Nugent, 1989).
..... aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode etik informal yang disepakati bersama. North membedakan antara institusi dari organisasi dan mengatakan bahwa institusi adalah aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya (North, 1990).
..... mencakup penataan institusi (institutional arrangement) untuk memadukan organisasi dan institusi. Penataan institusi adalah suatu penataan hubungan antara unit-unit ekonomi yang mengatur cara unit-unit ini apakah dapat bekerjasama dan atau berkompetisi. Dalam pendekatan ini organisasi adalah suatu pertanyaan mengenai aktor atau pelaku ekonomi di mana ada kontrak atau
transaski yang dilakukan dan tujuan utama kontrak adalah mengurangi biaya
transaksi (Williamson, 1985).
Umumnya definisi lembaga mencakup konsep pola perilaku sosial yang sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal ini sangat penting diperhatikan bahwa perilaku sosial tidak membatasi lembaga pada peraturan yang mengatur perilaku tersebut atau mewajibkan orang atau organisasi untuk harus berpikir positif ke arah norma-norma yang menjelaskan perilaku mereka tetapi juga pemahaman akan lembaga ini memusatkan perhatian pada pengertian mengapa orang berprilaku atau bertindak sesuai dengan atau bertentangan dengan peraturan yang ada.
Merangkum dari berbagai pengertian yang dikemukakan sebelumnya, maka yang dimaksud kelembagaan dalam Bahan Ajaran ini adalah:
suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama.
Unsur-unsur kelembagaan
Dari berbagai definisi yang ada, dapat kita rangkum berbagai unsur penting dari kelembagaan, di antaranya adalah:
- Institusi merupakan landasan untuk membangun tingkah laku sosial masyarakat
- Norma tingkah laku yangmengakar dalam masyarakat dan diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi antar manusia yang terstruktur
- Peraturan dan penegakan aturan/hukum
- Aturan dalam masyarakat yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak dan kewajiban anggota
- Kode etik
- Kontrak
- Pasar
- Hak milik (property rights atau tenureship)
- Organisasi
- Insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan
Dari berbagai elemen di atas dapat kita lihat bahwa definisi institusi atau kelembagaan didominasi oleh unsur-unsur aturan, tingkah laku atau kode etik, norma, hukum dan faktor pengikat lainnya antar anggota masyarakat yang membuat orang saling mendukung dan bisa berproduksi atau menghasilkan
sesuatu karena ada keamanan, jaminan akan penguasaan atas sumber daya alam yang didukung oleh peraturan dan penegakan hukum serta insentif untuk mentaati aturan atau menjalankan institusi. Tidak ada manusia atau organisasi yang bisa hidup tanpa interaksi dengan masyarakat atau organisasi lain yang saling mengikat.
Perpaduan antara berbagai pendekatan ini bisa menghasilkan analisis kelembagaan (institutional analysis) yang memadai. Apa implikasi dari pembangunan atau penguatan kelembagaan bagi pengembangan wanatani? Kelembagaan (institusi) bisa berkembang baik jika ada infrastruktur kelembagaan (institutional infrastructure), ada penataan kelembagaan (institutional arrangements) dan mekanisme kelembagaan (institutional mechanism).
Memperhatikan latar belakang teori di atas, maka kita ingin mendekati analisis kelembagaan dari dua sudut utama yaitu lembaga sebagai organisasi dan lembaga sebagai aturan main sebagaimana tersebut di atas. Berbeda dengan pengembangan kelembagaan dalam bisnis, perdagangan dan industri, pengembangan kelembagaan dalam agroforestri cukup sulit mengingat kompleksnya komponen-komponen dalam pengembangannya.
Ada aspek ekologi, teknologi, sistem produksi pertanian, pengelolaan hutan, sosial, ekonomi dan politik. Terlepas dari kompleksitas permasalahan yang ada, kelembagaan dan kebijakan yang berkaitan dengan agroforestri tidak terlepas dari sejarah terbentuknya kelembagaan yang relevan dengan komponen penyusun agroforestri, utamanya kelembagaan pertanian dan kehutanan. Analisis kelembagaan perlu dibedakan dari analisi para pihak (stakeholder analysis) yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan.
Pengembangan Agroforestri: Kelembagaan konvensional disipliner atau Multidisipliner?
Aspek penting lain dari pewarisan kelembagaan yang berasal dari negara maju adalah semua kebijakan dan upaya penelitian dan pengembangan ditujukan pada memaksimalkan keluaran produk per satuan luasan lahan. Ini terutama terjadi pada lembaga-lembaga penelitian yang menangani komoditi utama seperti gandum, padi, jagung, susu, daging dan juga kayu bangunan maupun bubur kertas (pulp). Adanya peningkatan volume pasar produk komersial pertanian dan kehutanan tersebut, dan alasan efisiensi teknologi menyebabkan pengusahaan komoditi tersebut berkembang menjadi pola monokultur.
Gencarnya komersialisasi usahatani di negara maju mengakibatkan hilangnya petani subsisten, petani yang tergantung pada tanahnya untuk menghasilkan kebutuhan makanan.
Organisasi international pasca-perang, yang didirikan untuk membantu memperbaiki dan rationalisasi penggunaan sumber daya lahan di negara yang baru merdeka, kesemuanya juga mengarah ke jalur konvensional yang bersifat disipliner. Tak perlu diragukan lagi bahwa konsentrasi upaya penelitian dan pengembangan pada komoditi tertentu dengan menggunakan pendekatan teknologi dan praktek yang disipliner tersebut telah menghasilkan cerita sukses di bidang pertanian dan kehutanan.
Akan tetapi terlepas dari cerita keberhasilan tersebut, ternyata juga menyimpan banyak cerita kegagalan yang tersembunyi. Kegagalan tersebut diantaranya adalah penurunan produksi pangan perkapita di Afrika 25 tahun terakhir, peningkatan luasan gurun pasir yang sudah mengkhawatirkan akibat ulah manusia, erosi dan banjir, dan krisis energi karena kelangkaan kayu bakar. Telaah lebih lanjut menunjukkan masih terbukanya peluang untuk mendiskusikan apa yang menjadi penyebab utama kegagalan tersebut.
Dugaan penyebab mengarah pada faktor demografi, politik, teknologi, ekonomi dan lingkungan. Terdapat kesepakatan bahwa permasalahan tidak ada disebabkan oleh faktor tunggal melainkan oleh interaksi berbagai faktor yang bekerja secara simultan. Bahkan interaksi tersebut berbeda baik dari tempat ke tempat, dari negara ke negara bahkan dari waktu ke waktu untuk tempat yang sama.
Andil nyata lembaga konvensional yang disipliner terhadap kegagalan pemecahan permasalahan tataguna lahan di negara berkembang umumnya karena ketidak-tepatan identifikasi dan penanganan permasalahan sistem penggunaan lahan tersebut. Studi lintas geografis menunjukkan bahwa daerah yang mengalami permasalahan tersebut mempunyai kemiripan sifat, di antaranya:
- Pendapatan tunai yang rendah;
- Rendahnya kemampuan investasi tunai;
- Kondisi ekologis marginal seperti tanah yang mudah tererosi dan tidak subur, dan
- Kondisi klimat yang tidak menentu.
Seringkali penguasaan lahanpun juga tidak terjamin ataupun bahkan tidak ada. Tanah komunal, yang seringkali sebagai sumber penting kayu bakar, bahan bangunan, penggembalaan menjadi demikian terbatas dan sudah mengalami degradasi karena penggunaan yang melebihi daya dukungnya.
Ketidakmampuan yang sangat mendasar dari lembaga konvensional yang berorientasi disiplin adalah kegagalannya dalam memahami dan menjawab fakta-fakta mendasar dan ketidak-mampuan untuk menyesuaikannya dengan perkembangan zaman. Tujuan dari lembaga-lembaga ini adalah memaksimalkan komponen secara individual, seperti misalnya tanaman pangan, tanaman komersial, ternak dan pohon.
Pemahaman mereka tentang kebutuhan para petani dan cara petani menggunakan sumber daya mereka untuk memproduksi komoditi lain di luar mandat lembaga tersebut sangat terbatas. Walaupun kesadaran mungkin juga ada, akan tetapi kemampuan teknis yang diperlukan untuk menghasilkan di luar komoditi mandat utamanya, atau di luar disiplin ilmu yang ditangani sangat rendah. Telah banyak dilaporkan, bahwa ketidakmampuan lembaga teknis dan para ahlinya dalam memahami bagaimana aspek sosial, agama, budaya dan kepercayaan traditional serta preferensi petani tersebut telah menjungkir-balikkan manfaat analisis biaya-keuntungan (cost/benefit).
Kebijakan
Salah satu persoalan mendasar dari upaya pengembangan agroforestri adalah sangat terbatasnya dukungan kebijakan (policy) dan kemauan politik pemerintah dalam bidang ini. Tidak ada sektor yang merasa bertanggung jawab dan berkewajiban mengembangkan kebijakan agroforestri karena bidang ini lintas disiplin dalam analisisnya dan sektoral dalam implementasinya.
Kebijakan adalah salah satu unsur vital dalam organisasi atau lembaga apapun, apakah itu lembaga pemerintah, swasta, lembaga pendidikan, LSM, donor, atau lembaga internasional, bahkan dalam keluarga atau institusi informal sekalipun. Kebijakan merupakan landasan untuk tindakan-tindakan nyata di lapangan. Kebijakan ada pada setiap lembaga atau organisasi yang dapat diturunkan dalam bentuk strategi, rencana, peraturan, kesepakatan, konsensus dan kode etik, program dan proyek. Keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh proses pembuatannya dan pelaksanaannya.
multisipliner dan pengembangannya memerlukan pendekatan lintas sektoral. Artinya kebijakan di satu sektor harus memperhatikan implikasinya bagi kegiatan atau dampak di sektor lain. Persoalannya kebijakan lintas sektoral sulit dikembangkan karena masing-masing sektor akan mempunyai strategi, program, proyek dan anggaran terpisah. Apakah ada sektor yang mau dipimpin atau dikelola sektor lain?
Kaum akademik bisa melihat kebijakan sebagai suatu ilmu yang lintas disiplin. Sebagaimana kita mempelajari teori kelembagaan, ilmu kebijakan (policy sciences) merupakan ilmu yang multidisiplin, berkaitan dengan masalah-masalah pembangunan. Ilmu ini dirancang untuk menyoroti masalah-masalah fundamental yang muncul ketika warga negara dan pembuat kebijakan (policy maker) melihat perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan politik dan membuat kebijakan untuk mencapai tujuan publik (Dunn, 1994).