Pengertian Efektifitas
Secara harfiah efektivitas sama dengan keefektifan. Menurut Kaluge & Bert (2005) istilah “pembelajaran efektif”tidak lazim digunakan. Yang kerap dipakai ialah ‘keefektifan mengajar’ dan ‘keefektifan pendidikan’. Tetapi keefektifan pendidikan tidak menunjukkan elemen pendidikan yang dimaksudkan: pendidikan pada level sekolah, kebijakan pendidikan, sistem pendidikan ataukah pendidikan pada level ruang kelas. Istilah ‘keefektifan pengajaran’ memberikan tekanan pada pendidikan di level ruang kelas, yang terutama dipengaruhi sebagian besar oleh perlakuan guru.
Keefektifan berhubungan dengan tujuan atau sasaran yang ditentukan sejak awal yang dapat diukur dengan tes prestasi, baik berupa kognitif, afektif maupun psikomotor. Faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan pembelajaran tidak hanya disebabkan oleh faktor guru dan kurikulum. Banyak faktor lain, mulai dari kondisi di kelas sampai aktivitas-aktivitas guru bisa mempengaruhi prestasi siswa atau menjelaskan perbedaan prestasi siswa termasuk status sosial ekonomi, etnis dan jender.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan efektifitas tersebut dapat disimak pada pendapat Samsons, et al dan Krech. Samsons, et al., (Macbeath & Peter, 2005) menyebutkan 11 faktor yang berkaitan dengan efektivitas yakni: (1) kepemimpinan profesional, (2) visi dan tujuan bersama, (3) situasi lingkungan pembelajaran, (4) konsentrasi pada belajar dan mengajar, (5) harapan tinggi, (6) dorongan positif, (7) memonitor kemajuan, (8) hak dan kewajiban murid, (9) pengajaran yang punya tujuan, (10) suatu organisasi pembelajaran, dan (11) kemitraan sekolah rumah. Sedangkan Krech (Sudarwan Danim, 2004: 119) menyebutkan bahwa secara umum ukuran efektivitas kelompok adalah: (1) jumlah hasil yang bisa dikeluarkan oleh kelompok, (2) tingkat kepuasan yang diperoleh oleh anggota kelompok, (3) produk kreatif kelompok, dan (4) intensitas emosi yang dicapai oleh seseorang karena dia menjadi anggota kelompok.
Untuk memperoleh hasil belajar yang efektif, guru harus mempunyai pengetahuan yang baik mengenai matari yang diajarkan, keterampilan bertanya yang baik, strategi pengelompokan yang seimbang, tujuan pembelajaran yang jelas, manajemen waktu yang baik, perencanaan yang efektif, dan organisasi kelas yang baik. Primary Matters (Muijs & Reinol, 2005: 3) mengikhtisarkan faktor-faktor efektifitas guru mengajar yang berhubungan dengan hasil belajar yang positif secara umum yaitu: 1) good subject knowledge, 2) good questioning skills, 3) an emphasis upon instruction, 4) a balance of grouping strategies, 5) clear objectives, 6) good time management, 7) effective planning, 8) good claasroom organization, and 9) effective use of other adults in the claasroom.
Kaluge & Bert (2005) memandang adanya hubungan antara karakteristik formal dan keefektifan pembelajaran. Hubungan itu memperlihatkan adanya: (1) konsistensi artinya bahwa pada level sekolah syarat-syarat keefektifan pembelajaran berada pada level yang sama dengan yang lainnya, (2) kohesi artinya semua anggota tim sekolah memperlihatkan konsistensi dari karakteristik, (3) konstansi berarti bahwa pembelajaran efektif disiapakan selama kegiatan para siswa seluruhnya disekolah, dan (4) kontrol yang bukan hanya mengacu pada evaluasi dari perkembangan siswa dan prilaku guru tetapi juga adanya keterlibatan iklim sebuah sekolah yang menentukan hasil pembelajaran.
Borich (Muijs & Reinol, 2005) menyebutkan bentuk-bentuk perilaku guru yang efektif dalam konteks social-ekonomi rendah yaitu:
1. generating a warm and supportive climate by letting children know help is available
2. getting a response, any response, before moving on to the next bit of material
3. showing how bits fit together before moving on
4. emphasizing knowledge and applications before abstraction, putting the concrete first
5. giving immediate help ( through use of peers perhaps)
6. generating strong structure, ground-flow and well-planned transitions
7. the use of individually differentiated material
8. the use of the experiences of pupils.
Perilaku guru yang dimaksud di atas adalah: 1) menciptakan iklim yang sangat suportif dengan memberitahu anak-anak bahwa bantuan selalu siap diberikan kepada mereka, 2) mendapatkan respons sebelum melanjutkan kebagian materi berikutnya, 3) menunjukkan bagaimana bagian-bagian materi itu berkaitan satu sama lain sebelum melanjutkan pelajaran, 4) menekankan pengetahuan dan aplikasi sebelum menuju abstraksi, yang kongkrit lebih didahulukan, 5) memberikan pertolongan segera ( mungkin dengan memanfaatkan sesame murid), 6) menciptakan transisi yang memiliki struktur yang kuat, berjalan lancer dan terencana dengan baik, 7) menggunakan bahan yang dideferensiasikan secara indifidual, dan 8) memanfaatkan pengalaman anak.
Studi tentang efektivitas pembelajaran pada umumnya bertolak pada dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Sehubungan dengan itu, Sudarwan Danin (2004) menyebutkan bahwa studi tentang efektivitas kelompok bertolak dari telaah terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi efektivitas kelompok. Variabel yang dimaksud meliputi: variabel bebas (independent variable) adalah variabel pengelola yang mempengaruhi veriabel terikat dan bersifat given pada kelompok, variabel terikat (dependent variable) adalah variabel yang dikelola yang dipengaruhi atau dapat diikat oleh variabel lain terutama variabel bebas, variabel perantara (interdependent variable) adalah variabel yang dapat ditentukan oleh suatu proses individu atau kelompok yang turut menentukan efek variabel bebas.
Menurut Mortimore (Muijs & Reinol, 2005) menyebutkan bahwa pada ditingkat kelas karakteristik guru yang efektif adalah:
1. teachers having responsibility for ordering activities during the day for pupils, i.e. structured teaching
2. pupils having some responsibility for their work in independence within these sessions
3. teacher covering only one curriculum area at a time
4. high levels of interaction with the whole class
5. teacher providing ample, challenging work
6. high levels of pupil involvement in tasks
7. a positive atmosphere in the classroom
8. teacher showing high levels of praise and encouragement.
Dari pendapat di atas, dapat tegaskan bahwa ada 8 (delapan) karakter guru yang efektif dalam kelas. Kedelapan karakter tersebut adalah yaitu: 1) guru bertanggung jawab memerintahkan berbagai kegiatan selama jam sekolah, yakni mengajar yang terstruktur, 2) murid memiliki tanggung jawab atas tugasnya dan bersikap mandiri selama sesi-sesi tugas tersebut, 3) setiap giru hanya mengampu satu bidang kurikulum saja, 4) interaksi yang tinggi dengan seluruh kelas, 5) guru memberikan banyak tugas yang menantang, 6) keterlibatan murid yang tinggi diberbagi tugas, 7) atmosfer yang positif di kelas, dan 8) guru menunjukan penghargaan dan dorongan yang besar kepada anak didiknya.
Efektifitas kelompok dalam mencapai tujuan pembelajaran sangat tergantung pada karakteristik perseorangan tiap anggota yang membentuk kelompok dan pola kepribadian siswa yang membentuk kelompok. Sehubungan dengan itu, Schutz (Sudarwan Danim, 2004) menyimpulkan bahwa ada pengaruh kompabilitas kelompok terhadap produktifitas sangat positif. Produktifitas meningkat sejalan dengan meningkatnya kerumitan tugas sebaliknya pada pemecahan masalah yang sederhana, yang tidak memerlukan kerja sama antar anggota, tidak terdapat perbedaan yang nyata. Makin rumit masalah yang dihadapi didalam pekerjaan, makin nyata bahwa kelompok yang kompatibel lebih baik penampilannya daripada yang tidak kompatibel.
Dalam proses pembelajaran guru hendaknya memiliki keterampilan dasar yang berhubungan dengan mata pelajaran yang diajarkan. Kaluge & Bert (2005) menyebutkan bahwa guru yang efektif dalam pengajaran harus memiliki keterampilan dasar dalam menyusun pengalaman belajar, mempersiapkan rencana pembelajaran, memberikan pengajaran secara detail dan jelas, memberikan sejumlah pertanyaan, memberikan umpan balik, koreksi dan mempunyai target keberhasilan siswa sebesar 80% atau lebih terutama pada awal belajar, membagi tugas kepada rincian pekerjaan-pekerjaan lebih kecil, dan menemukan cara untuk mengontrol secara teratur, memberikan praktik yang berkelanjutan kepada siswa sehingga siswa berhasil antara 90 – 100% dan lebih cepat.
Karakteristik guru yang efektif diatas dapat dibandingkan dengan pendapat Borich. Guru yang efektif menurut Borich (2000) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) mempunyai tanggung jawab personal pada pembelajaran dan harapan positif pada setiap siswa, 2) mengetahui kesulitan pelajaran sesuai tingkat kemampuan siswa untuk mendapatkan kesuksesan yang tinggi, 3) memberi kesempatan pada siswa untuk berlatih dan umpan balik, 4) memaksimalkan waktu yang diberikan, 5) memberikan arah dan kendali atas pembelajaran siswa melalui bertanya, menyusun, dan memeriksa, 6) dapat menggunakan berbagai materi pembelajaran secara visual dan verbal untuk membantu perkembangan ide-ide siswa, 7) Meminta respon siswa pada setiap pertanyaan sebelum melanjutkan pada pertanyaan berikutnya, 8) Mempersentasikan materi secara bertahap dan memberi kesempatan berlatih pada siswa, 9) Memberi kesempatan pada siswa untuk ber-argumen dan menjabarkan dengan benar, 10) Menempatkan siswa dalam pertanyaan dan jawaban verbal, 11) menciptakan dialog kelas yang terjadi secara alami 12) memberikan tanggung jawab belajar kepada siswa agar berani berpikir untuk memecahankan masalah dan membuat keputusan, 13) Meberikan siswa strategi-strategi mental untuk memilah-milah dan mempelajari materi yang diajarkan.
Mortimore (Muijs & Reinol, 2005) menyimpulkan bahwa factor-faktor kelas yang memberikan kontribusi pada hasil yang efektif pada murid adalah sesi yang terstruktur, cara mengajar yang menantang secara intelektual, lingkungan yang berorientasi- tugas, komunikasi antara guru dengan murid dan focus yang terbatas disetiap sesi. Sehubungan dengan itu Witcher, et al. (2007) dalam penelitianya menggambarkan persepsi siswa tentang karakteristik guru efektif yang mangajar pada perguruan tinggi yaitu: 1) guru yang dapat menjadi komonikator bagi siswa yakni guru yang peka, dapat menjadi penghubung dan penyampai , 2)guru yang dapat menyokong siswa yang dapat berpusat pada siswa secara profesinal, 3) bertanggung jawab dan dapat bertindak sebagai pemimpin yang dapat mengarahkan secara etis dan (4) mempunyai antusias untuk memberdayakan siswa dan dirinya sendiri sesuai keahlian yang dimiliki.
Pembelajaran IPS
Pembelajaran merupakan suatu proses terjadinya interaksi belajar dan mengajar dalam suatu kondisi tertentu yang melibatkan beberapa unsur, baik unsur intrinsik maupun ekstrinsik yang melekat pada siswa dan guru termasuk lingkungan. Pengertian ini sejalan dengan penegasan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Undang-Undang, 2003) yang menyebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Sehubungan dengan itu, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Peraturan Pemerintah, 2005) mengamanahkan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselengarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotifasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif. Peraturan Pemerintah tersebut memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologi peserta didik.
Siswa sebagai peserta didik yang berada dalam suatu kelompok atau kelas pembelajaran, belum tentu memiliki kemampuan dan karakteristi yang sama. Oleh karena itu, dalam memnyusun perencanaan pembelajaran guru perlu melakukan analisis kemampuam awal dan karakteristik siswa. Dalam melakuka analisis karakteristik siswa menurut Suwardi (2007) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: 1) karakteristik siswa yang terkait denagan kemampuan intelektual, kemampuan berpikir, mengucap dan kemampuan psikomornya, 2) karakteristik siswa yang terkait dengan latar belakang siswa, baik latar belakang ekonomi, sosia dan budaya, dan 3) karakteristik siswa yang terkait dengan sikap, perasaan dan minatnya.
Dalam proses pembelajaran akan ada hasil yang diharapkan. Gagne (Seifert: 2007) menyebutkan lima kategori umum kecakapan dalam pembelajaran sebagai hasil akhir pembelajaran yakni kecakapan intelektual, strategi-strategi kognitif, kecakapan verbal, kecakapan motorik dan kecakapan sikap. Agar pembelajaran lebih efektif, Muijs & Reinol (2005) menyebutkan 6 (enam) elemen utama agar pembelajaran berlangsung efektif yaitu: 1) mempunyai sruktur yang jelas, 2) materinya dipersentasikan secara terstrutur dan jelas, 3) pembelajaran dirancang untuk memberikan keterampilan dasar dengan kecepatan langkah yang telah ditentukan, 4) mendemonstrasikan model pembelajaran secara jelas dan terstruktur, 5) menggunakan pemetaan konseptual dan 6) interaksi tanya jawab.
Hamilton & Elizabeth (1994) mendefinisikan pembelajaran sebagai “learning is a relatively permanent change in an individual’s knowlegde or behavior that results from previous experience”. Definisi ini mengandung pengertian bahwa pembelajaran merupakan perubahan dalam pengetahuan atau prilaku, perubahan yang ditimbulkan oleh pembelajaran relatif permanen dan pembelajaran timbul dari pengalaman sebelumnya.
Kimbles (Hergenhahn &, Olson: 1997) memberikan definisi bahwa learning is a realitively permanent change in behavior or in behavioral potentiality that results from experience and cannot be attributed to temporaly body states such as those induced by illness, fatigue, or drugs. Senada dengan itu, Hergenhahn & Olson (1997: 7) memandang bahwa learning, as we have seen, is a general term that is used to describe changes in behavior potentiality resulting from experience. Kedua pendapt tersebut memandang bahwa dalam pembelajaran terjadi perubahan tingkah laku yang relatif pemanen sebagai hasil pengalaman.
Pembelajaran dapat muncul dalam tiga bentuk. Bruner (Seifert, 2007) membedakan antara bentuk enaktif yakni pembelajaran yang dilakukan dengan cara memanipulasi objek secara aktif, ikonik yakni pembelajaran yang dilakukan melalui representasi gambaran yang diperoleh dari pengalaman inderawi dan simbolik adalah pembelajaran yang dilakukan melalui representasi pengalaman yang abstrak yang sama sekali tidak memiliki kesamaan fisik dengan pengalaman tersebut.
Hamza B Uno, (2007) menyebutkan bahwa secara umum strategi pembelajaran terdiri atas 5 komponen, yaitu: 1) kegiatan pembelajaran pendahuluan, 2) penyampaian informasi, 3) partisipasi peserta didik, 4) tes, dan 5) kegiatan lanjutan. Selanjutnya Hamzah B.Uno, (2007) mengklasifikasikan tiga model atau pendekatan pembelajaran sosial yaitu: 1) model pembelajaran bermain peran, 2) model pembelajaran bermain sosial dan 3) model telaah atau kajian yurisprudensi.
Dari tiga pendekatan pembelajaran di atas, dapat dijelaskan bahwa strategi pembelajaran dan model pembelajaran sangat berpengaruh terhadap hasil pembelajaran. strategi pembelajan harus diciptakan sedemikian rupa sehingga anak didik bisa tertarik dan menyenangkan untuk belajar. Model pembelajaran juga harus tepat disesuakan dengan materi dan tidak monoton. Keadaan seperti ini akan mengarah pada pencapaian hasil pembelajaran yang efektif.
Orlich, et al., (2007) menyebutkan bahwa langkah-langkah pembelajaran yang efektif adalah:
- give the directions; get the class’s attention, deliver the directions in brief steps (both orally and in writing), explain expectations-what students willproduce and when, ask a student to restate the directions and expectations, and repeat the directions
- follow up the directions; closely monitor selected individuals until satisfied that the directions are understood and being applied and if the class or an individual student is having a problem, point out a positive example as an alternative to the problem.
Pendapat di atas menyebutkan dua langkah pembelajaran yang efektif yaitu memberikan petunjuk dan tindak lanjut. Dalam memberikan petunjuk, kegiatan yang dilakukan adalah menarik perhatian siswa, menyampaikan tujuan pembelajaran, menjelaskan harapan dan tujuan pembelajaran, memimta siswa untuk mengemukakan harapan dan tujuan pembelajaran, dan menjelaskan kembali tujuan pembelajaran. Pada tahap tindak lanjut, guru dapat mengawasi siswa sehingga mengerti tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, bila siswa memiliki permasalahan, guru memberikan contoh positif sehingga dapat memecahkan masalah tersebut.
Dalam melaksanakan pembelajaran, guru harus mempunyai manejemen kelas yang efektif. Muijs & Reinol (2005) menyebutkan 10 elemen majemen kelas yang efektif yaitu: 1) starting the lesson, 2) Appropriate seating arrangements, 3) dealing with eksternal disruptions, 4) establishing clear rules and procedures, 5) smooth transitions between lesson segments, 6) pupil talk, 7) giving homework assignments, 8) maintaining momentum during the lesson, 9) downtime and 10) ending the lesson.
Menurut Dick, Carrey & Carrey (2005) langkah-langkah yang harus dilakukan dalam proses pembelajaran adalah: (1) identify instructional goals, (2) conduct instructional analysis, (3) analyze learners and contexts, (4) write performance objectives, (5) develop essessment instruments, (6) develop instructional stategy, (7) develop and select instructional materials, (8) design and conduct formative evaluation of instructional (9) revise instruction, (10) design and conduct summative evaluation.
Pada dasarnya pendapat di atas mengisyaratkan bahwa dalam mengajar seorang guru harus membuat langkah-langkah pembelajaran. Langkah-langkah yang dimaksud adalah mengidentifikasi tujuan umum pembelajaran, melaksanakan analisis pembelajaran, menganalisis karakter siswa sebagai pembelajar, merumuskan tujuan pencapaian pembelajaran, menyusun instrumen penilaian, mengembangkan strategi pembelajaran, mengembangkan dan menyeleksi materi pembelajaran, merancang dan melaksanakan evaluasi formatif pembelajaran, merevisi pembelajaran dan merancang / melaksanakan evaluasi sumatif.
Gagne (Joyce, et al., 1992) menyebutkan enam ragam pencapaian yang merupakan hasil dari pembelajaran yaitu specific responding, chaining, multiple discrimination, classifying, rule using, dan problem solving. Pernyataan tersebut mengandung pengertiaan bahwa hasil yang diharapkan dalam proses pembelajaran adalah dapat memberikan tanggapan khusus terhadap stimulus tertentu, membuat serangkaian respons yang saling berkaitan, digunakan dalam mempelajari beragam respon dengan cara memilahnya dengan benar, memasukan objek kedalam kelas atau golongan yang menunjukan kesamaan fungsi, kemampuan untuk bertindak berdasarkan konsep yang mengimplikasikan perbuatan dan pemecahan masalah.
Sejalan dengan itu, Wina Sanjaya (2006) menyebutkan bahwa terdapat 4 faktor yang mempengaruhi kegiatan proses pembelajaran yaitu: (1) guru, yang merupakan komponen yang sangat menentukan dalam implementasi suatu strategi pembelajaran, (2) siswa, merupakan organisme yang unik yang berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya yang dipengaruhi pupil formative experiences dan pupil properties, (3) sarana dan prasana, misalnya media pembelajaran, perlengkapan sekolah, jalan menuju sekolah, kamar kecil dan lain-lain, dan (4) faktor lingkungan, yang terdiri dari organisasi kelas dan iklim sosial-psikologis.
Sebelum melaksanakan pembelajaran seorang guru telebih dahu menyiapkan desain pembelajaran, yang berisi antara lain: standar kompetensi, kompetensi dasar, materi, kegiatan belajar mengajar, (metode, media, dan waktu) serta Sistem penilaian. Broderick’s (Kanuka, 2006) memberikan definisi desain pembelajaran sebagai berikut:
Instructional Design is the art and science of creating an instructional environment and materials that will bring the learner from the state of not being able to accomplish certain tasks to the state of being able to accomplish those tasks. Instructional Design is based on theoretical and practical research in the areas of cognition, educational psychology, and problem solving (http://www.usq.edu.au/electpub/e-jist/docs/vol9_no2/papers/fullpapers/ kanuka.htm)
Definisi di atas mengandung pengertian bahwa desain pembelajaran merupakan seni dan ilmu pengetahuan dalam menciptakan lingkungan dan materi pembelajaran yang akan membawa siswa dari keadaan tidak mampu menyelesaikan soal-soal tertentu kepada keadaan mampu menyelesaikan soal-soal tersebut. Desain pembelajaran didasarkan pada penelitian teoritis dan praktis di dalam area kognitif, psikologi pendidikan, dan pemecahan masalah.
Mukminan (2006) menyebutkan setidaknya terdapat lima asumsi dasar yang mendasari perlunya desain pembelajaran. Lima asumsi dasar tersebut adalah: (1) diarahkan untuk membantu proses belajar secara individual, (2) desain pembelajaran mempunyai fase-fase jangka pendek dan jangka panjang, (3) dapat mempengaruhi perkembangan individu secara maksimal, (4) didasarkan pada pengetahuan tentang cara belajar manusia, dan (5) dilakukan dengan menerapkan pendekatan sistem (system approach).
Gagne & Briggs (1979) menyebutkan 4 tingkatan dan meliputi 14 langkah desain pembelajaran yaitu: 1) tingkat sistem, meliputi: (a) menganalisis kebutuhan-kebutuhan, tujuan umum, dan prioritas. (b) analisis sumber, hambatan, dan alternatif sistem peluncuran. (c) Penentuan lingkup dan urutan kurikulum dan matapelajaran, serta desain sistem peluncuran; 2) tingkat mata pelajaran, meliputi: (d) menentukan struktur matapelajaran dan urutan. (e) analisis tujuan matapelajaran; 3) tingkat mata sajian, meliputi: (f) pendefinisian tujuan penampilan. (g) mempersiapkan rencana matasajian. (h) mengembangkan, memilih bahan, media. (i) menilai penampilan mahasiswa; dan 4) tingkat sistem, meliputi, (j) persiapan pengajar. (k) evaluasi formatif. (l) uji coba lapangan dan revisi. (m) evaluasi sumatif. (n) pelaksanaan dan difusi.
Mukminan (2006) menyebutkan bahwa untuk mengembangkan sebuah desain pembelajaran diperlukan 8 langkah sebagai berikut: (a) identifikasi kebutuhan instruksional dan menulis standar kompetensi dan kompetensi dasar, (b) melakukan analisis instruksional/kompetensi, (c) mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa, (d) menulis indikator ketercapaian kompetensi, (e) menulis tes acuan patokan, (f) menyusun strategi instruksional, (g) mengembangkan bahan ajar, dan (h) mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif.
Selain desain pembelajaran, faktor lain yang dapat mendukung tercapainya tujuan pembelajaran adalah media yang digunakan. Rudy Bretz (Aristo Rahadi, 2003) mengidentifikasi jenis media berdasarkan tiga unsur pokok, yaitu suara, visual, dan gerak. Berdasarkan ketiga unsur tersebut, kemudian diklasifikasikan ke dalam delapan kelompok, yakni: (1) media audio, (2) media cetak, (3) media visual diam, (4) media visual gerak, (5) media audio semi gerak, (6) media semi gerak, (7) media audio visual diam, dan (8) media audio visual gerak.
Media pembelajaran yang digunakan juga harus dievaluasi. Azhar Arsyad (2006) berpendapat bahwa evaluasi terhadap media pembelajaran memiliki tujuan untuk: (1) menentukan keefektifan media pembelajaran, (2) menentukan apakah media pembelajaran dapat diperbaiki atau ditingkatkan, (3) menetapkan apakah media pembelajaran tersebut memiliki cost-effective bagi hasil belajar siswa, (4) memilih media pembelajaran yang akan digunakan di kelas, (5) menentukan apakah isi/materi pelajaran sudah tepat jika disajikan dengan media pembelajaran tersebut, (6) menilai kemampuan guru dalam menggunakan media pembelajaran, (7) mengetahui apakah media pembelajaran benar-benar memberi sumbangan terhadap hasil belajar, dan (8) mengetahui sikap siswa terhadap media pembelajaran.
Mukminan (2006) memberikan beberapa kriteria yang dapat dijadikan pedoman dalam memilih model desain pembelajaran yang akan digunakan, yaitu: 1) sederhana, artinya bentuk yang sederhana menjadi lebih mudah dimengerti, diiukti, dan dipahami, 2) lengkap, artinya model pengembangan desain yang lengkap paling tidak mengandung tiga unsur pokok identifikasi, pengembangan, dan evaluasi, 3) diterapkan, bahwa model pengembangan pembelajaran hendaknya dapat diterima dan diterapkan (applicable), sesuai dengan situasi dan kondisi setempat 4) luas, artinya model pengembangan pembelajaran hendaknya memiliki jangkauan yang luas, dan 5) teruji, artinya model pengembangan pembelajaran telah teruji/terbukti dapat memberikan hasil yang baik.
Agar pemanfaatan media pembelajaran dapat memberi hasil yang optimal terhadap hasil belajar siswa, menurut Azhar Arsyad (2006) pemilihan media harus mempertimbangkan enam kriteria. Keenam kriteria tersebut adalah: (1) sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, (2) tepat untuk mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta, konsep, prinsip atau generalisasi, (3) praktis, luwes, dan bertahan, (4) guru terampil menggunakannya, (5) pengelompokan sasaran, dan (6) mutu teknis
Aristo Rahadi (2003) menyebutkan ada beberapa prinsip umum dalam memanfaatkan media dalam pembelajaran. Prinsip umum yang dimaksud adalah: (1) setiap jenis media memiliki kelebihan dan kelemahan, (2) penggunaan beberapa macam media secara bervariasi memang perlu, (3) penggunaan media harus dapat memperlakukan siswa secara aktif, (4) sebelum media digunakan harus direncakan secara matang dalam menyusun rencana pembelajaran, (5) hindari penggunaan media yang hanya dimaksudkan sebagai selingan atau sekedar pengisi waktu kosong saja, dan (6) harus senantiasa dilakukan persiapan yang cukup sebelum penggunaan media.
Dalam hubungannya dengan IPS sebagai mata pelajaran terpadu Marwati (2006) menyebutkan bahwa model pembelajaran terpadu di dalam lintas peserta didik meliputi: model sequenced yaitu model yang beberapa topik diatur ulang serta diurutkan, model shared yaitu dua mata pelajaran yang sama-sama diajarkan dengan menggunakan konsep-konsep atau keterampilan-keterampilan yang tumpang tindih (overlap), model webbed atau model tematik karena berawal dari tema yang dibangun bersama-sama antara guru dengan siswa atas dasar beberapa topik pada beberapa mata pelajaran yang berhubungan, model threaded yaitu pendekatan metakurikuler dan model integrated yaitu guru masing-masing mata pelajaran bekerjasama melihat dan memberikan topik-topik yang berkaitan dan tumpang tindih.
Mukminan (2006) menyebutkan bahwa pembelajaran IPS secara terpadu penting karena: (1) beranjak dari suatu tema tertentu sebagai gejala-gejala dan konsep lain, (2) menghubungkan berbagai bidang yang mencerminkan dunia nyata di sekeliling dalam rentang kemampuan dan perkembangan siswa, (3) merupakan cara untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan anak secara simultan dan (4) merakit atau menggabungkan sejumlah konsep dalam beberapa bidang yang berbeda dengan harapan anak akan belajar dengan baik dan bermakna.
Setelah melaksanakan pembelajaran, guru dapt mengadakan evaluasi sebagai bentuk penilaian hasil belajar siswa. Menurut Suwardi (2007) bahwa penilaian yang dilakukan oleh guru harus berpegang pada prinsip-prinsip penilaian yaitu valid, mendidik, berorientasi pada kompetensi, adil, terbuka, berkesinambungan, menyeluruh dan bermakna. Sehubungan dengan itu, Abdul majid (2007) menyebutkan langkah-langkah dalam mengadakan penilaian melalui pengukuran skala sikap yaitu: 1) menentukan obyek sikap yang akan dikembangkan skalanya, misalnya mata pelajaran Agama Islam, 2) memilih dan membuat daftar dari konsep dan kata sifat yang relevan dengan obyek penilaian sikap. Misalnya menarik; penting; menyenangkan; mudah dipelajari; dan sebagainya,3) Memilih kata sifat yang tepat dan akan digunakan dalam skala dan 4) menentukan rentang skala pasangan dan penskorannya.
Grondlund (Muijs & Reinol, 2005) menyebutkan lima prinsip agar tes buatan guru efektif. Kelima prinsip tersebut adalah: 1) tes seharusnya dikonstruksikan untuk sedapat mungkin mengukur semua tujuan belajar yang akan dicapai, 2) tes yang baik seharusnya mencakup berbagai tipe pengetahuan yang berbeda, seperti pengetahuan faktual, pengetahuan prosedural, danketerampilan berpikir, 3) tipe item tes yang berbeda cocok untuk tujuan yang berbeda pula, 4) guru seharusnya berusaha memaksimalkan reliabilitas dan validitas tesnya, 5) tes seharusnya digunakan secara diagnortik, murid-murid diberi umpan-balik dan membahas soal-soal bersama murid-murid.
IPS merupakan mata pelajaran yang memadukan konsep-konsep dasar dari berbagai ilmu sosial yang disusun melalui pendekatan pendidikan dan psikologis serta kelayakan dan kebermaknaannya bagi siswa dalam kehidupannya. Fakih Samlawi & B. Maftuh (1998) menyebutkan bahwa ilmu-ilmu sosial (khususnya ilmu sejarah, geografi, ilmu ekonomi/koperasi, ilmu politik dan pemerintahan, sosiologi, antropologi dan psikologi sosial), sangat berperan dalam mendukung mata pelajaran IPS dengan memberikan sumbangan berupa konsep-konsep ilmu yang diubah sebagai “pengetahuan” yang berkaitan dengan kehidupan sosial yang harus dipelajari siswa.
Muhammad Numan Somantri (2001) membedakan ilmu sosial sebagai ilmu yang diorganisasikan secara sistematis dan dibangun melalui penyelidikan ilmiah dan penelitian yang sudah direncanakan, Sedangkan !PS terdiri atas bahan pilihan yang sudah disederhanakan dan diorganisasikansecara psikologis dan ilmiah untuk kepentingan tujuan pendidikan. Senada dengan itu, Craib (Zaini Hasan dan Salladin, 1996: 10) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ilmu sosial adalah pengetahuan yang terorganisir mengenai manusia dan masyarakat sekelilingnya.
Sehubungan dengan itu, Jarolimek (1986) berpendapat bahwa tujuan IPS adalah “The major mission of social studies education is to help children learn about the social world in which they live and how it got that way, to learn to cope with social realities, and to develop the knowledge, attitudes, and skill needed to help shape an enlightened humanity”. Pernyataan ini mengandung makna bahwa IPS dapat membantu siswa agar mampu menghadapi dan mengatasi permasalahan sosial serta mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, dan berperan serta dalam kehidupan sosial.
Muhammad Numan Somantri (2001) merumuskan batasan dan tujuan IPS adalah penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial, psikologi, filsafat, ideologi negara dan agama yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. Dalam pembelajarannya, Zaini Hasan dan Salladin (1996) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran pengetahuan sosial pada hakekatnya adalah membentuk siswa agar memiliki rasa integritas sosial yang tinggi, memahami, dan mematuhi nilai-nilai sosial yang berlaku serta memiliki kesadaran untuk ikut mengatasi masalah-masalah sosial yang tengah terjadi di masyarakat.
Menurut Bart dan Shernis (Mukminan, et al., 2002), yang dikaji dalam IPS adalah: (1) pengetahuan, (2) pengolahan informasi, (3) telaah nilai dan keyakinan, dan (4) Peran serta dalam kehidupan. Keempat komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak berdiri sendiri dan terpisahkan tetapi merupakan komponen yang saling berhubungan satu sama lain. Zaini Hasan dan Salladin (1996) menyebutkan tujuan IPS adalah mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan sosial dalam bentuk konsep dan pengalaman belajar yang dipilih dan terorganisir dalam rangka kajian ilmu sosial.
The NCSS ( 1992) merumuskan Ilmu Pengetahuan Sosial (Social Studies) sebagai berikut.
Social Studies is the integrated study of social sciences and humanities to promote civics competence. Within the school program, social studies provides coordinated systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of the social studies is to help young people develop the ability to make informated and reasonsed decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world. (http://www.socialstudies.org/standards/introduction/).
Definisi di atas menegaskan Ilmu pengetahuan social merupakan studi terintegrasi dari ilmu-ilmu sisial untuk mengembangkan potensi kewarganegaraan yang dikoordinasikan dalam program sekolah sebagai pembahasan sistematis yang dibangun di atas disiplin ilmu seperti antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu-ilmu politik, psikologi, agama sosilogi, dan memuat isi humaniora, mate-matika, dan ilmu-ilmu alam. Tujuan utama dari Ilmu Pengetahuan Sosial adalah membantu siswa atau peserta didik dalam mengembangkan kemampuan untuk membuat keputusan yang kritis (informed and reasons) dan bagimana menjadi warga negara yang baik. Ilmu Pengetahuan Sosial mengandung komponen-komponen dasar (basic skills) yang harus dimiliki dan dicapai dalam Ilmu Pengetahuan Sosial yakni Keterampilan Berpikir (dimensi intelektualitas), kemampuan mengadakan penyelidikan/pencarian (inkuiri), keterampilan akademik dan keterampilan sosial.
Mukminan (2002) menyebutkan bahwa fungsi Ilmu Pengetahuian Sosial adalah: (1) membentuk dan merumuskan nilai-nilai moral/etik, (2) membentuk watak dan mental manusia Indonesia dalam rangka mempersiapkannya untuk mampu berani hidup secara penuh mandiri, (3) membentuk dan meningkatkan kecerdasan individu dan masyarakat.
Savage & Armstrong (1996) berpendapat bahwa dalam merencanakan pembelajaran IPS di sekolah dasar, hendaknya berpedoman pada tiga fungsi IPS di sekolah dasar yaitu sebagai citizenship education, history and social science education, reflektif thinking and problem-solving education. Ini berarti IPS di sekolah dasar bertujuan mengajarkan pendidikan kewarganegaraan, sejarah dan ilmu-ilmu sosial, dan berbikir reflektif dan pemecahan masalah.
Dalam proses pembelajaran, seorang guru hendaknya mengetahui tugas pokok sesuai dengan bidang yang diajarkan. Sehubungan dengan itu, Ellis (1998) menyebutkan bahwa guru IPS yang baik sekurang-kurangnya mempunyai dua belas kompetensi yaitu: (1) use a variety of teaching strategies, (2) build bridges to other subjects, (3) teach to the real world, (4) emphasize hands-on experiences, (5) keep the focus on people, (6) gather materials, (7) encourage reflective thinking, (8) teach values, (9) give students freedom, (10) create a sense of place, (11) promote success and (12) reward excellence.
Dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial, siswa diharapkan mencapai kompetensi-kompetensi tertentu. Menurut Zamroni (2007) kompetensi yang dimaksud adalah: (a).memahami makna persaingan dalam era global yang melahirkan paradigma produktifitas baru, (b) dapat mengikuti perkembangan yang ada, (c) dapat memanfaatkan perkembangan global guna kebutuhan lokal, (d) dapat mengembangkan sosial kapital dan (e) dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Jarolimek (1986) menyebutkan bahwa karakteristik mata pelajaran IPS yang baik adalah: 1) subjek berasal dari berbagai latar belakang social dan dari pengalaman anak-anak 2) sebuah perspektif global adalah pemikiran yang nyata, 3) banyak aktifitas yang muncul dari banyak partisipasi pelajar, 4) penggunaan sumber-sumber pembelajaran yang bervariasi, 5) aplikasi dari apa yang dipelajari diciptakan sebagai tempat di luar sekolah melalui aksi social, 6) berpikir dikatakan sebagai konsentrasi utama dari pembelajaran social, 7) Keberagaman ditekankan, dan peran serta dari berbagai kebudayaan ditekankan, 8) Sebuah usaha yang berimbang diciptakan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan dan nilai-nilai, 9) Gambaran sejati dari realita sosial diberikan sebagai fokus masyarakat kota yang lebih besar, 10) Rasisme, gender, dan stereotipe ras dan peran seksual merupakan konsentrasi tetap dari program ini, 11) Banyak pilihan tersedia bagi guru dalam berbagai program, teks-teks, materi-materi, dan strategi-strategi mengajar.
Forum Komunikasi II HISPISI tahun 1991 di Yogyakarta menyepakati pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial. Dalam rumusan versi Pendidikan Dasar dan Menengah: ”IPS adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.” Sedangkan menurut definisi dari FPIPS dan JPIPS, IPS adalah: ”seleksi dari disiplin ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. Kedua definisi ini memperlihatkan dimensi yang penting dari Ilmu Pengetahuan Sosial yaitu sebuah program pendidikan yang mengintegrasikan secara interdisipliner konsep-konsep ilmu sosial dan humaniora untuk tujuan Pendidikan Kewarganegaraan.
Dalam kaitannya dengan rana pembelajaran Bloom (Mukminan, 2002) berpendapat bahwa tujuan pengajaran IPS mencakup tiga kompetensi dasar yakni: (1) kompetensi kognitif terdiri dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisa, sintesis dan evaluasi; (2) kompetensi afektif terdiri dari penerimaan, jawaban atau sambutan, penghargaan, pengorganisasian, karakteristik nilai; dan (3) kompetensi psikomotor terdiri dari penginderaan, kesiapan bertindak, respons atau sambutan terbimbing, mekanisme atau tindakan yang otomatis, keterampilan yang dilakukan secara hati-hati, adaptasi, dan keaslian.
Perkembangan ilmu-ilmu sosial menuntut adanya perubahan dalam praktik pembelajarannya. Zamroni (2007) memandang bahwa perubahan yang diperlukan mencakup: (1) dunia pendidikan harus segera meninggalkan sistem manajemen komando yang sentralistis, (2) dunia pendidikan harus mulai menekankan pada kultur sekolah sehingga memungkinkan warga sekolah untuk bekerja terbaik guna prestasi terbaik, dan (3) prestasi tidak hanya dalam aspek intelektual yang ditunjukkan oleh nilai ujian tetapi juga aspek personal dan social serta keterampilan. Menurut Shaver (Zamroni, 2007) bahwa pada hakekatnya pengajaran ilmu-ilmu sosial mempunyai tiga fungsi yakni sebagai suatu proses untuk membentuk warga negara yang baik, sebagai bentuk kajian ilmu sosial, dan sebagai bentuk proses untuk mengembangkan watak pencarian dan mempertanyakan secara kritis.
Dufty (Zaini Hasan dan Salladin, 1996) menyebutkan 4 (empat) ciri-ciri ilmu sosial. Ciri-ciri yang dimaksud adalah: 1) ilmu sosial merupakan ilmu pengetahuan yang terorganisir yang mengkaji hubungan-hubungan antar manusia, 2) pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan valid dan dapat diteliti, dalam arti terbuka untuk dukaji ulang dengan metoda yang sama, 3) teori serta konsep pengetahuan ini diperoleh dari kajian ilmiah, melalui tahapan-tahapan masalah/pertanyaan, hipotesis, pengumpulan data, dan menganalisis data setelah diukur tingkat validitas maupun reabilitasnya, 4) muara dari kegiatan penelitian diatas dapat digunakan secara generalisasi mendapatkan teori, konsep, hukum maupun dalil dalam pengetahuan sosial.
Dalam Permendiknas No 22 Tahun 2006 ditegaskan bahwa struktur kurikulum SD/MI meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama enam tahun mulai Kelas I sampai dengan Kelas VI. Struktur kurikulum SD/MI disusun berdasarkan standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran dengan ketentuan sebagai berikut.
a. Kurikulum SD/MI memuat 8 mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri.
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik.
b. Substansi mata pelajaran IPA dan IPS pada SD/MI merupakan “IPA Terpadu” dan “IPS Terpadu”.
c. Pembelajaran pada Kelas I s.d. III dilaksanakan melalui pendekatan tematik, sedangkan pada Kelas IV s.d. VI dilaksanakan melalui pendekatan mata pelajaran.
d. Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan.
e. Alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 35 menit.
f. Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34-38 minggu.