Pengertian Rasionalisme dan Empirisme
Rasionalisme
Dalam sejarah pemikiran filsafat, datangnya abad 17 ditengarai sebagai datangnya abad ‘kelahiran kembali nalar (ratio, reason) manusia’, yang dalam istilah asingnya dikenal dengan istilah the age of renaissance. Dikatakan demikian karena pada dan sejak masa itulah muncul paham filsafat yang disebut ‘rasionalisme’. Rasionalisme – yang tak bisa dilepaskan dari asosiasinya dengan paradigma Galillean – adalah suatu paham yang menyatakan dengan penuh keyakinan bahwa alam gagasan dan kemampuan manusia mengembangkan potensi pikirannya dan bukan tradisi dan kepercayaan yang diikuti secara membuta – itulah yang harus dipercaya sebagai sumber pengetahuan manusia tentang dunia berikut isinya.
Walaupun paham ini sebenarnya sudah pernah juga diutarakan oleh beberapa ahli filsafat pada jaman Yunani kuno, seperti Pythagoras misalnya, namun rasionalisme yang lebih mutakhir umumnya diasosiasikan dengan nama-nama ahli pikir yang hidup pada abad 17. Mereka ini antara lain (dalam, Bagus: 2000: 929) René Descartes (1596-1650) dari Perancis, Baruch Spinoza (1632- 1677) dari Belanda, dan Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) dari Jerman. Ketiganya sama-sama berparadigma bahwa pengetahuan yang sejati tentang alam semesta ini hanya dapat diperoleh (pertama-tama!) lewat penalaran yang dituntun oleh logika. Dengan paham rasionalismenya itu, ketiganya sama-sama pula bereaksi terhadap tradisi pemikiran para penguasa yang selalu mendasarkan kebenaran pengetahuan pada otoritas para pemuka berikut tradisi-tradisi ajaran gereja yang selama ini mereka anut tanpa reserve macam apapun. Sedangkan pada abad ke-18 nama-nama seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert adalah para pengusungnya.
Secara etimologis rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. A.R. Lacey menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti (Bagus (2000:929), Edwards (1967:69), Hadiwijoyono (1980:18), Lacey (2000:286)) Rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.
Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.
Kaum rasionalisme mulai dengan sebuah pernyataan yang sudah pasti. Aksioma dasar yang dipakai membangun sistem pemikirannya diturunkan dari ide yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas dan pasti dalam pikiran manusia. Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak menciptakannya, maupun tidak mempelajari lewat pengalaman. Ide tersebut kiranya sudah ada “di sana” sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia. Dalam pengertian ini pikiran menalar. Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip itu harus ada, artinya prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip itu tidak ada, orang tidak mungkin akan dapat menggambarkannya. Prinsip dianggap sebagai sesuatu yang apriori, dan karenanya prinsip tidak dikembangkan dari pengalaman, bahkan sebaliknya pengalaman hanya dapat dimengerti bila ditinjau dari prinsip tersebut (Suriasumantri; 1998:99)
Salah satu tokoh rasionalisme adalah René Descartes. René Descartes mengajukan argumentasi yang kukuh untuk pendekatan rasional terhadap pengetahuan. Kristalisasi dari kepastian Descartes diekspresikan dengan diktumnya yang cukup terkenal, “cogito, ergo sum”, aku berpikir maka aku ada, (Descartes; 1953:26). Beberapa catatan ditambahkan oleh Gallagher dan Hadi (1994:33-34) tentang maksud dari cogito, ergo sum ini. Pertama, isi dari cogito yakni apa yang dinyatakan kepadanya adalah melulu dirinya yang berpikir. Yang termaktub di dalamnya adalah cogito, ergo sum cogitans. Saya berpikir, maka saya adalah pengada yang berpikir, yaitu eksistensi dari akal, sebuah substansi dasar. Kedua, cogito bukanlah sesuatu yang dicapai melalui proses penyimpulan, dan ergo bukanlah ergo silogisme. Yang dimaksud Descartes adalah bahwa eksistensi personal saya yang penuh diberikan kepada saya di dalam kegiatan meragukan. Lebih jauh, menurut Descartes, apa yang jernih dan terpilah-pilah itu tidak mungkin berasal dari luar diri kita.
Descartes memberi contoh lilin yang apabila dipanaskan mencair dan berubah bentuknya. Apa yang membuat pemahaman kita bahwa apa yang nampak sebelum dan sesudah mencair adalah lilin yang sama? Mengapa setelah penampakan berubah kita tetap mengatakan bahwa itu lilin? Jawaban Descartes adalah karena akal kita yang mampu menangkap ide secara jernih dan gamblang tanpa terpengaruh oleh gejala-gejala yang ditampilkan lilin. Oleh karena penampakan dari luar tidak dapat dipercaya maka seseorang mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam dirinya sendiri yang bersifat pasti. Ide-ide yang bersifat pasti dipertentangkan dengan ide-ide yang berasal dari luar yang bersifat menyesatkan.
Berbeda dengan para rasionalis--ateis seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert, Descartes (1953:167-170) masih memberi tempat bagi Tuhan. Descartes masih dalam koridor semangat skolastik yaitu penyelarasan iman dan akal. Descartes mempertanyakan bagaimana ide tentang Tuhan sebagai tak terbatas dapat dihasilkan oleh manusia yang terbatas. Jawabannya jelas. Tuhanlah yang meletakkan ide tentang-Nya di benak manusia karena kalau tidak keberadaan ide tersebut tidak bisa dijelaskan. Descartes merupakan bagian dari kaum rasionalis yang tidak ingin menafikan Tuhan begitu saja sebagai konsekuensi pemikiran mereka. Kaum rasionalis pada umumnya “menyelamatkan” ide tentang keberadaan Tuhan dengan berasumsi bahwa Tuhanlah yang menciptakan akal kita juga Tuhan yang menciptakan dunia.
Tuhan menurut kaum rasionalis adalah seorang “Matematikawan Agung”. Matematikawan agung tersebut dalam menciptakan dunia ini meletakkan dasar-dasar rasional, ratio, berupa struktur matematis yang wajib ditemukan oleh akal pikiran manusia itu sendiri.
Empirisme
Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) dan dari kata experietia yang berarti “berpengalaman dalam”, “berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Sementara menurut A.R. Lacey berdasarkan akar katanya empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera.
Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai Empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal (Bagus (2000:197-198), Edwards (1967:499), Lacey (2000:88)). Tokoh-tokoh yang membangun dan mengembangkan aliran empirisme ini antara lain: Francis Bacon (1210-1292), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1665-1753), David Hume (1711-1776) dan Roger Bacon (1214-1294).
Menurut aliran ini adalah tidak mungkin untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat namun lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan yang mempunyai peluang besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak tidak akan pernah dapat dijamin.
Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata “tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Jika kita mengatakan kepada dia bahwa seekor harimau di kamar mandinya, pertama dia minta kita untuk menjelaskan bagaimana kita dapat sampai kepada kesimpulan tersebut. Jika kemudian kita mengatakan bahwa kita melihat harimau tersebut di dalam kamar mandi, baru kaum empiris akan mau mendengar laporan mengenai pengalaman kita, namun dia hanya akan menerima hal tersebut jika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang kita ajukan, dengan jalan melihat harimau itu dengan mata kepalanya sendiri (Suriasumantri: 1998:102)
Ajaran-ajaran pokok empirisme yaitu: (1) Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami: (2) Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio; (3) Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi; (4) Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika); (5) Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman; (6) Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. (Kurniawan dalam http://www.blogcatalog.com/blog/)
Salah satu tokoh empirisme yang terkenal pada abad ke 17 adalah David Hume (1711-1776). Karya terpentingnya ialah an encuiry concercing humen understanding, terbit tahun 1748 dan an encuiry into the principles of moral yang terbit tahun 1751 (Lacey, 2000:134). Pemikiran empirisnya terakumulasi dalam ungkapannya yang singkat yaitu I never catch my self at any time with out a perception (saya selalu memiliki persepsi pada setiap pengalaman saya). Dari ungkapan ini Hume menyampaikan bahwa seluruh pemikiran dan pengalaman tersusun dari rangkaian-rangkaian kesan (impression). Pemikiran ini lebih maju selangkah dalam merumuskan bagaimana sesuatu pengetahuan terangkai dari pengalaman, yaitu melalui suatu institusi dalam diri manusia (impression, atau kesan yang disistematiskan) dan kemudian menjadi pengetahuan. Di samping itu pemikiran Hume ini merupakan usaha analisis agar empirisme dapat di rasionalkan teutama dalam pemunculan ilmu pengetahuan yang di dasarkan pada pengamatan (observasi) dan uji coba (eksperimentasi), kemudian menimbulkan kesan, pengertian-pengertian dan akhirnya pengetahuan.
Usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak dan pasti telah berlangsung secara terus menerus. Namun, terdapat sebuah tradisi epistemologis yang kuat untuk mendasarkan diri kepada pengalaman manusia yang meninggalkan cita-cita untuk mendapatkan pengetahuan yang mutlak dan pasti tersebut, salah satunya adalah empirisme.
Kaum empiris berpandangan bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh melalui pengalaman. Hume seperti layaknya filosof empirisme lainnya menganut prinsip epistemologis yang berbunyi, “nihil est intelectu quod non antea fuerit in sensu” yang berarti, “tidak ada satu pun ada dalam pikiran yang tidak terlebih dahulu terdapat pada data-data inderawi” (Lacey; 2000:134).
Hume melakukan pembedaan antara kesan dan ide. Kesan merupakan penginderaan langsung atas realitas lahiriah, sementara ide adalah ingatan atas kesan-kesan. Menurutnya, kesan selalu muncul lebih dahulu, sementara ide sebagai pengalaman langsung tidak dapat diragukan. Dengan kata lain, karena ide merupakan ingatan atas kesan-kesan, maka isi pikiran manusia tergantung kepada aktivitas inderanya. Kesan maupun ide, menurut Hume, dapat sederhana maupun kompleks Sebuah ide sederhana merupakan perpanjangan dari kesan sederhana. Begitu pula ide kompleks merupakan kelanjutan dari kesan kompleks. Tapi, dari ide kompleks dapat diturunkan menjadi ide sederhana.
Pikiran kita menurut Hume bekerja berdasarkan tiga prinsip pertautan ide. Pertama, prinsip kemiripan yaitu mencari kemiripan antara apa yang ada di benak kita dengan kenyataan di luar. Kedua, prinsip kedekatan yaitu kalau kita memikirkan sebuah rumah, maka berdasarkan prinsip kedekatan kita juga berpikir tentang adanya jendela, pintu, atap, perabot sesuai dengan gambaran rumah yang kita dapatkan lewat pengalaman inderawi sebelumnya. Ketiga, prinsip sebab-akibat yaitu jika kita memikirkan luka, kita pasti memikirkan rasa sakit yang diakibatkannya. Hal-hal di atas mengisyaratkan bahwa ide apa pun selalu berkaitan dengan kesan. Karena kesan berkaitan langsung dengan pengalaman inderawi atas realitas maka ide pun harus sesuai dengan relitas yang ditangkap pengalaman inderawi. Berdasarkan prinsip epistemologinya, Hume melancarkan kritik keras terhadap asumsi epistemologi warisan filsafat Yunani kuno yang selalu mengklaim bahwa pengetahuan kita mampu untuk menjangkau semesta sesungguhnya. Hume mengemukakan bahwa klaim tentang semesta sesunguguhnya di balik penampakan tidak dapat dipastikan melalui pengalaman faktual maupun prinsip non-kontradiksi (Owen; 1999:332-336).
Kritik Hume diejawantahkan dalam sikap skeptisnya terhadap hukum sebab akibat yang diyakini oleh kaum rasionalis sebagai prinsip utama pengatur semesta. Kenicayaan hubungan sebab akibat tidak pernah bisa diamati karena semuanya masih bersifat kemungkinan. Hubungan sebab akibat, menurut Hume, didapatkan berdasarkan kebiasaan dan harapan belaka dari peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan satu sama lain. Orang sudah terbiasa di masa lalu melihat peristiwa matahari terbit di Timur selalu diikuti oleh peristiwa tenggelam di Barat dan ia akan mengharapkan peristiwa yang sama terjadi di masa yang akan datang. Bagi Hume, ilmu pengetahuan tidak pernah mampu memberi pengetahuan yang niscaya tentang dunia ini.
Kebenaran yang bersifat apriori seperti ditemukan dalam matematika, logika dan geometri memang ada, namun menurut Hume, itu tidak menambah pengetahuan kita tentang dunia. Pengetahuan kita hanya bisa bertambah lewat pengamatan empiris atau secara aposteriori (Owen, 1999:336-337). Perbedaan dan persamaan, kontribusi dan dampaknya pada perkembangan filsafat matematika
Setelah membahas pengertian dari kedua aliran tersebut di atas pada bagian ini akan dibahas titik perbedaan dan persamaan yang telah turut memperkaya dan memberi kontribusi pada perkembangan filsafat matematika. Wacana dan argumentasi terkait dengan persoalaan idea-idea dan objek-objek matematika dari masing-masing kubu, baik kubu rasionalisme maupun kubu empirisme secara langsung maupun tak langsung telah memberi kontribusi pada perkembangan filsafat matematika.
Dijelaskan dalam Kartasasmita (2009:32) bahwa dua aliran tersebut di atas berbeda dalam hal status penalaran tentang idea-idea. Descartes, misalnya memandang bahwa kita memiliki persepsi yang jelas dan terang tentang ‘eksistensi murni’ yang melandasi objek-objek fisik, dan dia meyakini bahwa kita dapat bernalar secara langsung tentang eksistensi murni ini. Pandangan ini menegaskan pendirian rasional bahwa daya pikir manusia merupakan alat tangguh untuk penalaran secara matematis menuju ke konklusi-konklusi a priori tentang dunia fisik. Di sisi lain para empirisme memandang idea-idea matematis diperoleh dari pengalaman. Sebagai contoh gagasan tentang bilangan enam, dari pengalaman dengan kelompok-kelompok enam objek. Gagasan ‘segitiga’ diperoleh dari melihat objek-objek yang berbentuk segitiga. Tegasnya, bagi seorang empiris, tidaklah terdapat ‘eksistensi murni’ substansial yang melandasi objek-objek yang tampak. Hanya ada objek-objek yang kita persepsi itu. Apa yang kamu lihat, apa yang kamu dapatkan.
Lebih lanjut dijelaskan dalam Kartasasmita (2009:33) tentang bagaimana kaum empiris dan rasionalis masing-masing menjelaskan tentang penggunaan matematika baru dalam sains, yakni mengenai aplikabilitas matematika bagi dunia fisik. Dalam konteks ini kaum empiris dapat menjelaskan lebih baik, yakni menurut kaum empiris idea-idea matematis didapatkan dari sifat-sifat dari objek-objek yang tampak, dan para matematikawan mengkaji relasi-relasi antara idea-idea ini. Ini berarti para empiris memandang bahwa matematikawan secara tidak langsung mempelajari relasi-relasi fisik tertentu antara objek-objek fisik yang tampak.
Penjelasan ini tidak dapat diberikan oleh kaum rasionalis, karena masalahnya mereka harus menunjukkan bagaimana entitas-entitas matematis yang abadi dan dipahami secara fitrah berhubungan dengan objek-objek yang kita lihat di dunia sekitar dan di dalam studi sains. Jadi seorang empiri mengikuti Aristotles, dengan suatu penjelasan langsung tentang kecocokan antara objek-objek fisik yang tampak dan pasangan-pasangan matematisnya, sedangkan seorang rasionalis mengikuti Plato, dengan suatu penjelasan langsung tentang ketidak-cocokan antara objek-objek inderawi dan pasangan-pasangan matematisnya, seperti lingkaran dan segitiga sempurna dan mungkin juga bilangan-bilangan yang sangat besar.
Disisi lain dijelaskan dalam (Kartasasmita (2009:32-33), Shapiro (2000:75) ternyata terdapat kesamaan dan kesepakatan dalam pandangan dan pernyataan-pernyataan filosofis tentang matematika dari kaum rasionalis dan empiris. Baik kaum rasionalis maupun empiris memandang matematika berhubungan dengan besaran-besaran fisik, atau objek-objek yang diperluas.
Objek-objek ini dialami secara empirik. Demikian pula seorang empiris akan sepakat dengan rasionalis bahwa setelah idea-idea yang relevan didapatkan, maka pemerolehan pengetahuan matematis akan bersifat independen dari sebarang pengalaman yang lebih lanjut. Matematikawan merenungkan bagaimana berbagai idea matematis berhubungan satu sama lain. Seperti David Hume (1711-1776) seorang empiris dalam bukunya A Treatise of Human Nature menyebutkan kebenaran-kebenaran aritmetik dan aljabar sebagai ‘relasi-relasi dari idea-idea’ dan memperbedakannya dari ‘perkara-perkara fakta dan eksistensi’, yang dipelajari secara empirik. Khusus untuk geometri, David Hume menyatakan bahwa geometri adalah suatu sains empirik, karena berkaitan dengan generalisasi-generalisasi dari pengalaman.
Tetapi dalam satu dekade kemudian pendapat tersebut ia revisi dalam bukunya An Enquiry Concerning Human Understanding dengan suatu klaim bahwa aritmetika, aljabar dan geometri seluruhnya berkenaan dengan (hanya) relasi-relasi antara idea-idea dan karena itu tidak empirik. Kesamaan dari pandangan-pandangan tersebut yaitu bahwa kebenaran-kebenaran matematis adalah a priori, di sisi lain lain perbedaan utamanya terletak pada sejauh mana pengalaman indrawi diperlukan untuk memperoleh atau memahami idea-idea yang relevan dan untuk mempelajarinya.
Perdebatan di antara kaum rasionalisme dan empirisme ini, juga memotivasi Immanuael Kant (1724-1804) seorang filsuf Jerman untuk membuat sintesis atas dua aliran ini. Sintesis Immanuel Kant tersebut antara lain bahwa matematika adalah ilmu yang bersifat sintetik a priori.
Pengetahuan matematika di satu sisi bersifat “subserve” yaitu hasil dari sintesis pengalaman inderawi; di sisi yang lain matematika bersifat “superserve” yaitu pengetahuan a priori sebagai hasil dari konsep matematika yang bersifat immanen dikarenakan didalam pikiran kita sudah terdapat kategori-kategori yang memungkinkan kita dapat memahami matematika tersebut. Kant berusaha untuk menjawab pertanyaan bagaimana kegiatan kognisi mungkin terjadi dalam kaitannya dengan hubungan antara subjek dan objek atau bagaimana representasi sintetik dan obyeknya dapat terjadi dan bagaimana hubungan antara keduanya? Berkaitan dengan masalah tersebut, di dalam Teori Pengetahuannya, Immanuel Kant berusaha meletakkan dasar epistemologis bagi matematika untuk menjamin bahwa matematika memang benar dapat dipandang sebagai ilmu. Kant menyatakan bahwa metode yang benar untuk memperoleh kebenaran matematika adalah memperlakukan matematika sebagai pengetahuan a priori. Menurut Kant, secara spesifik, validitas obyektif dari pengetahuan matematika diperoleh melalui bentuk apriori dari sensibilitas kita yang memungkinkan diperolehnya pengalaman inderawi. Namun, perkembangan matematika pada dua abad terakhir telah memberikan tantangan yang cukup signifikan terhadap pandangan Immanuel Kant ini.
Kant berpendapat bahwa matematika adalah hasil penalaran yang murni, dan sepenuhnya adalah merupakan sintesa-sintesa (Marsigit dalam http://marsigitphilosophy.blogspot.com). Kant juga menyatakan tanpa intuisi visual yang tidak empiris, matematika tak dapat berkembang, berbeda dengan filsafat yang harus puas dengan penilaian yang bersifat diskursif dari konsep semata. Yang membangun matematika adalah konsep-konsep yang intuitif, matematika murni dan intuisi murni. Seperti halnya, geometri didasarkan pada intuisi murni tentang ruang; dan aritmatika didasarkan pada konsep bilangan. Immanuel Kant berusaha meletakkan dasar epistemologis bagi matematika untuk menjamin bahwa matematika memang benar dapat dipandang sebagai ilmu.
Kant membuat suatu ilustrasi tentang prosedur penting dalam geometri, yakni semua bukti lengkap tentang kongruensi dari dua bentuk gambar yang diberikan, pada akhirnya datang pada kemungkinan bentuk bertepatan sama; yang jelas-jelas tidak lain daripada proposisi sintetis bersandar pada intuisi langsung, dan intuisi ini harus murni, atau ditentukan secara apriori, jika tidak proposisi tidak dapat digolongkan sebagai apodictically tertentu, tapi akan memiliki kepastian empiris saja. Ia menyimpulkan bahwa dasar matematika sesungguhnya adalah intuisi murni sedangkan deduksi transendental dijelaskan oleh konsep ruang dan waktu seperti halnya mungkin matematika murni.
Ruang geometri sesungguhnya adalah suatu bentuk intuisi yang kita temukan secara a priori dalam diri kita, dan mengandung pijakan berbagai kemungkinan dalam bentuk penampilan eksternal (berdasarkan bentuk). Kant mengacu pada standard Euklidean yaitu bukti bahwa jumlah sudut dalam sebuah segitiga adalah 1800. Pandangan Kant’s adalah bersifat sugestif. Sebagai catatan, analisis konseptual tidak menghasilkan pengetahuan baru tetapi hanya mengungkapkan apa yang tersirat dalam konsep. Analisis konseptual hanya sekedar membedah atau membuat bagian-bagian yang sudah ada dalam konsep tersebut. Sebagai bahan banding matematika menghasilkan pengetahuan baru. Kesimpulannya tidak tersirat dalam konsep.
Intuisi kita menyediakan contoh contoh dengan objek atau kelompok obyek yang menunjukkan konsep-konsep yang bersangkutan. Intuisi menghasilkan bentuk-bentuk geometris atau sejumlah koleksi objek-objek (Shapiro, 2000:76-91).