Pengertian, Dasar, dan Tujuan Pendidikan Islam
Pengertian Pendidikan Islam
Menurut Abuddin Nata pendidikan Islam adalah proses pembentukan individu berdasarkan ajaran Islam untuk mencapai derajat yang tinggi sehingga mampu melaksanakan fungsi kekhalifahannya dan berhasil mewujudkan kebahagian dunia dan akhirat.1 Ahmadi mendefinisikan pendidikan Islam sebagai “ usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagamaan (religiousity) subyek didik agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam.2
Sedangkan Muhaimin menjelaskan bahwa pendidikan Islam meliputi tiga pengertian, yaitu: pertama, pendidikan Islam adalah pendidikan menurut Islam atau pendidikan Islami, yaitu pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam pengertian ini, dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang berdasarkan sumber-sumber dasar Islam.
Kedua, pendidikan Islam adalah pendidikan ke-Islaman atau pendidikan agama Islam, yaitu upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life (pandangan hidup) dan sikap hidup seseorang. Dalam pengertian ini pendidikan Islam dapat berwujud: 1) segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk membantu seorang atau sekelompok peserta anak didik dalam menanamkan dan/atau menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya, 2) segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya dan/atau tumbuhkembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak.
Ketiga, pendidikan Islam adalah pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktek penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam realitas sejarah ummat Islam. Dalam pengertian ini, pendidikan Islam dalam realitas sejarahnya mengandung dua kemungkinan, yaitu pendidikan Islam tersebut benar-benar sesuai dengan idealitas Islam dan/atau mungkin mengandung jarak kesenjangan dengan idealitas Islam.3
Dari definisi yang dikemukan diatas, dapat ditegaskan bahwa pendidikan Islam adalah proses pembentukan individu untuk mengembangkan fitrah keagamaannya, yang secara konseptual dipahami, dianalisis serta dikembangkan dari ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah melalui proses pembudayaan dan pewarisan dan pengembangan kedua sumber Islam tersebut pada setiap generasi dalam sejarah ummat Islam.
Dasar Pendidikan Islam
Dasar pendidikan Islam dapat ditelusuri dalam filsafat pendidikan Islam. Dalam menentukan dasar pendidikan Islam dapat ditinjau dari perspektif filosofis dan teologis. Dalam perspektif teologis, pendidikan Islam harus didasari dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan al-Hadits yang berintikan tauhid. Tauhid dalam posisi ini menempati inti yang bersifat fundamental, dan merupakan nilai dasar pendidikan Islam. Tauhid adalah keyakinan seorang muslim yang termanifestasikan dalam hal-hal sebagai berikut:
- Tauhîd Ulûhîyah, yaitu suatu keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya zat yang patut disembah serta satu-satunya sumber nilai, ajaran, dan kehidupan.6 Implikasi dari keyakinan seperti ini adalah bahwa pendidikan Islam harus diniatkan (direncanakan), dilaksanakan, dan dievaluasi dalam kerangka menyembah (beribadah) kepada Allah. Implikasi lainnya adalah bahwa anak didik harus ditumbuhkan inisiatif dan kreativitasnya sehinggga dapat menemukan suatu pola pembelajaran yang ideal bagi dirinya tanpa dihinggapi rasa takut, waswas dan khawatir kepada pihak eksternal termasuk kepada gurunya.
- Tauhîd Rubûbîyah, yaitu suatu keyakinan dalam agama Islam bahwa Allah adalah yang menciptakan, memelihara dan merawat alam semesta. Keyakinan ini memberikan implikasi pada pelakasanaan pendidikan bahwa pendidikan diarahkan kepada upaya merawat, memelihara dan membimbing peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Dalam perspektif anak didik, keyakinan tauhid ini memberikan kesempatan kepada anak didik untuk membaca, mengkaji dan meneliti keteraturan alam semesta dengan segala isinya. Dengan telaah, bacaaan dan penelitian ini anak didik dapat memperoleh nilai-nilai positif berupa sikap rasional, obyektif-empirik dan obyektif-matematis.4
- Tauhîd Mulkîyah, adalah keyakinan akan kekuasaan kerajaan Allah SWT. Dengan keyakinan ini seorang Muslim meyakini bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu dimuka bumi ini, dan juga penguasa hari kemudian. Implikasi dari keyakinan ini adalah seorang guru adalah pemimpin dalam pendidikan harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anak didiknya. Ini sesuai dengan pernyataan Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa setiap Muslim adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban terhadap kepemimpinannya.
- Tauhîd Rahmâniyah, adalah keyakinan yang bertolak dari pandangan bahwa Allah SWT adalah Tuhan semesta alam yang mengasihi makhluk-Nya. Dengan kasih sayang yang diberikan Allah kepada makhluk-Nya, maka kehidupan ini berjalan dengan damai, tenang, sentosa, meskipun terdapat banyak manusia yang durhaka kepada-Nya. Dengan sifat-Nya yang Maha Pengasih dan Penyayang itulah maka manusia ini tetap dalam keteraturan, keseimbangan dan harmoni alam, meskipun masih banyak musibah sebagai peringatan kepada manusia.
Implikasi dalam dunia pendidikan dari keyakinan demikian adalah bahwa dalam proses pendidikan, seorang guru/pendidik harus dapat mendidik dan membimbing anak didiknya dengan kasih sayang. Sebagaimana dinyatakan oleh al-Ghazâlî bahwa guru berfungsi sebagai penuntun dan pembimbing bagi anak didik. Dalam menjalankan tugasnya, al-Ghazâlî menganjurkan agar guru mengajar dan membimbing dengan penuh kasih sayang sebagaimana ia mengajar dan mendidik anaknya sendiri. “Didiklah muridmu dan perlakukanlah mereka seperti anakmu sendiri”, pesan al-Ghazâlî pada para guru. Bahkan al-Ghazâlî mengutip Sabda Rasulullah; “Sesungguhnya aku ini bagimu adalah seumpama seorang ayah bagi anaknya.”5 (HR. Abû Dawud , al-Nasâ’i, Ibn Mâjah, Ibn Hibbân dari Abû Hurairah).
Tujuan Pendidikan Islam
Dalam suatu kegiatan/aktivitas tidak terlepas dari tujuan-tujuan yang itu sangat bermanfaat dalam mengukur apakah aktivitas itu telah mencapai keberhasilan atau tidak. Dalam proses pendidikan Islam telah terumuskan tujuan-tujuan yang menjadi arah bagi pelaksanaannya. Sebelum dibahas apa tujuan pendidikan Islam, maka perlu disebutkan sifat dari tujuan pendidikan Islam, yaitu: (1) bernuansa agama dan penanaman aqidah. (2) komprehensif yaitu meliputi semua aspek perkembangan anak didik baik itu kognitif, afektif dan psikomotor dan tentunya aspek religiousity. (3) bersifat seimbang dan teratur, yang ini berimplikasi pada sistimatisnya dan keteraturan pendidikan Islam, baik dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan maupun dalam evaluasi. (4) realistis dan memperhatikan perubahan perilaku pada anak didik, memperlakukan anak didik dengan memperhitungkan perbedaan individual yang ada.6
Sedangkan tujuan pendidikan Islam secara umum adalah pembentukan kepribadian yang utama atau pembentukan dan pembinaan al-akhlâq al-karîmah, yaitu sikap dan perilaku yang terpuji sesuai dengan misi diutusnya Rasulullah SAW ke seluruh manusia, yakni untuk memperbaiki dan membina akhlak yang mulia.7
Secara idealitas, pendidikan Islam yang bertujuan menciptakan dan membina akhlaq yang terpuji sangat mengharuskan adanya pewarisan, pembudayaan dan pemberian contoh yang baik terhadap anak didik. Secara lebih rinci, Ahmadi memaparkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
a. Tujuan tertinggi
Tujuan tertinggi adalah tujuan yang bersifat mutlak dan universal, yaitu tujuan yang sesuai dengan tujuan penciptaan manusia. Tujuan penciptaan manusia adalah sebagai berikut:
1. Menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukannya.
Beribadah kepada Allah dengan melaksanakan seluruh perintah- Nya sesuai dengan tuntunan dan aturan yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan beribadah ini sesuai dengan firman Allah: “Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (kepada-Ku).8 Dalam agama Islam ibadah dibedakan menjadi ibadah mahdah, yaitu ibadah yang telah diatur dan dicontohkan pelaksanaannya oleh Rasulullah SAW. Bentuk ibadah ini berupa kegiatan ritual yang telah pasti dan jelas aturannya seperti sholat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Sementara itu bentuk ibadah lainnya adalah ghair mahdah, yaitu seluruh bentuk aktivitas–dalam cakupan yang seluas-luasnya sebagai pengabdian dan penghambaan kepada Allah yang diniatkan dalam kerangka mencari keridhaan-Nya dan dilaksanakan sesuai dengan prinsip ajaran Islam.
1. Melaksanakan tugas khalîfah di muka bumi. Dengan tujuan ini, maka pendidikan Islam mempunyai arah untuk mencetak anak didik menjadi “wakil
Tuhan” untuk memakmurkan bumi dan mensejahterakan penghuninya. Tugas ini dapat terwujud dengan mempersiapkan anak didik dengan ilmu pengetahuan, eterampilan, dan profesionalisme dalam bidang tertentu.9
b. Tujuan umum, yaitu tujuan pendidikan Islam yang berkaitan dengan perubahan sikap, perilaku, dan kepribadian anak didik, sehingga mampu menghadirkan diri sebagai suatu kepribadian yang utuh. Inilah yang disebut dengan realisasi diri (self realization). Upaya realisasi diri dapat ditempuh dengan aktualisasi diri (self actualization) berupa penggalian potensi-potensi diri pada peserta didik.
c. Tujuan khusus adalah tujuan pendidikan Islam yang dijabarkan dari tujuan tertinggi dan tujuan umum. Tujuan ini dapat dirumuskan secara kondisional dan situasional namun harus tetap berdasar kepada tujuan tertinggi dan tujuan umum.10 Dengan kata lain tujuan ini adalah penjabaran dari tujuan tertinggi dan tujuan umum berdasarkan karakteristik, visi dan misi lembaga pendidikan.
2. Definisi Modernisasi
Istilah “modern” secara bahasa berarti “baru”, “kekinian”, “akhir”, “up-todate”, atau semacamnya. Bisa dikatakan sebagai kebalikan dari “lama”, “kolot”, atau semacamnya. Istilah modern juga bisa berkaitan dengan karakteristik. Oleh karena itu, istilah modern ini bisa diterapkan untuk manusia dan juga untuk lainnya: dari konsep bangsa, sistem politik, ekonomi, Negara, kota, lembaga (sekolah, rumah sakit, dan lain-lain), barang, sampai pada perilaku, sifat, dan hampir apa saja.
Predikat modern terhadap perilaku, pemikiran seseorang, negara modern, pakaian dan rumah yang modern, serta musik yang modern. Namun, setelah menjadi istilah yang merupakan predikat sesuatu, istilah tersebut akan mempunyai pengertian/definisi tersendiri. Lebih lagi setelah menjadi “modernisme” akan mempunyai arti tersendiri pula. Istilah “modernisme” ini biasa diberi definisi dengan “fase sejarah dunia yang paling akhir yang ditandai dengan kepercayaan terhadap sain, perencanaan, sekularisme dan kemajuan”.11 Sedangkan setelah menjadi “modernisasi” (suatu proses untuk menjadikan sesuatu itu modern) mempunyai pengertian yang spesifik lagi. Batasan modernisasi dari Huntington (tokoh pengembang istilah modernisasi politik) menekankan pada organizing (pengorganisasian) dan doing (tindakan), yang memerlihatkan pada pendekatan sosiologis dan politik. Ada pendekatan lain yang menekankan pada thinking (pemikiran) dan feeling (perasaan) yang mengarah pada sifat individual dan lebih merupakan pendekatan sosiologis dan psikologis. Pendekatan sosio-psikologis terhadap modernisasi akan menekankan pada pada sebuah proses untuk perubahan dalam hal pandangan, pengungkapan, dan penilaian.
Dengan demikian maka modern lebih merupakan cara memungsikan individu untuk bertindak secara tertentu. Hal ini seperti pikiran Max Weber yang beranggapan bahwa “modern” hendaknya diartikan sebagai ethos, sehingga ungkapan ini harus dilihat tidak selalu dalam bentuk kemegahan fisik. Lebih kongkrit lagi Robert N. Bellah menganggapnya sebagai fenomena spiritual atau sesuatu mentalitas, tidak berkonotasi pada politik atau ekonomi.12 Berbeda dengan Kategorisasi hadharah dan madaniyah untuk menyaring modernisasi yang diperkenalkan syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab “Nidzamul Islam”. Hadharah, yang banyak diartikan peradaban, sedangkan madaniyah didefinisikan sebagai bentuk-bentuk materiil berupa benda-benda hasil karya manusia yang digunakan dalam kehidupannya.
Kaitannya dengan dunia Barat, ada beberapa teori mengenai modernisasi, apakah modernisasi ini identik dengan Westernisasi. Pemikir-pemikir terkenal yang biasanya dikelompokkan pada pluralis dan liberalis, seperti Daniel Lerner (ahli sosiologi), Gabriel Almond, James Coleman, Karl Deutsch, dan Mc T. Kahin (ahli ilmu politik), beranggapan bahwa modernisasi identik dengan Westernisasi, sekularisasi, demokratisasi, dan pada akhirnya liberalisasi. Pengertian seperti ini akan menghasilkan hipotesis bahwa religiousitas (sikap keberagamaan) akan bertentangan dengan modernisasi. Meskipun Alex Inkeles dan David Smith dalam bukunya Becoming Modern, mencoba menjelaskan arti modern dari segi pemikiran (thinking) dan perasaan (feeling) sambil menekankan untuk tidak imitasi buta terhadap Barat, namun pada akhirnya mereka mengungkapkan bahwa bangsa-bangsa yang dianggap modern adalah bagian dari tradisi Eropa (termasuk AS).
Lebih khusus lagi, menurut Inkeles dan Smith, bahwa elemen esensial modernisasi adalah industrialisasi, yang selalu dirasa sebagai model kapitalis. Ini berarti bahwa menurut mereka pada hakikatnya modernisasi tidak bisa lepas dari asal mula munculnya istilah tersebut, yaitu Barat; atau tidak bisa lepas dari Westernisasi. Dari sini jelas pula bahwa proses modernisasi tidak lepas dari ramalan Toynbee (sejarahwan kondang pertengahan abad ke dua puluh, 1948): “Para ahli sejarah di masa mendatang akan berkata bahwa kejadian yang besar di abad ke dua puluh adalah pengaruh kuat peradaban Barat terhadap semua masyarakat di dunia. Mereka juga akan berkata bahwa pengaruh tersebut sangat kuat dan bisa menembus, yang mampu menjungkir balikkan korbannya….”. Industrialisasi yang menghasilkan kemajuan ilmu dan teknologi dapat memroduksi alat canggih yang mampu mewujudkan era komunikasi dan informasi – atau era internet- yang mampu bekerja tanpa mengenal batas waktu dan wilayah.
2. Pendidikan Islam dan Tantangan Modernisasi
Dalam proses pembudayaan umat manusia, adanya kelembagaan pendidikan dalam masyarakat merupakan conditisine qua non (syarat mutlak) dengan tugas dan tanggung jawabnya yang kultural edukatif terhadap anak didik dan masyarakatnya yang semakin berat. Tanggung jawab lembaga-lembaga pendidikan dalam segala jenisnya menurut pandangan Islam adalah berkaitan dengan usaha mensukseskan missi dalam 3 macam tuntutan hidup seorang muslim yaitu:
a. Pembebasan manusia dari ancaman api neraka sesuai dengan perintah Allah:
“ jagalah dirimu dari ancaman api neraka.
نارا أهليكمو أنفسكمقوا
b. Pembinaan umat manusia menjadi hamba Allah yang memiliki keselarasan dan keseimbangan hidup bahagia di dunia dan di akhirat sebagai realisasi cita-cita seseorang yang beriman dan bertaqwa yang senantiasa memanjatkan do’a sehari-hari:
“Wahai Tuhanku, berilah aku kehidupan di dunia yang sejahtera dan kehidupan di akhirat yang bahagia dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka”
النار با عذوقنا حسنة خرة الأوفي حسنةالدنيا في أتناربنا
c. Membentuk diri pribadi manusia yang memancarkan sinar keimanan yang kaya dengan ilmu pengetahuan, yang satu sama lain saling mengembangkan hidupnya untuk menghambakan dirinya kepada khaliqnya. Keyakinan dan keimanannya berfungsi sebagai penyuluh terhadap akal budi yang sekaligus mendasari ilmu pengetahuannya, bukan sebaliknya, keimanan dikendalikan oleh akal budinya.
رجاتد العلم أوتوا والذين منكم أمنوا الذين اللهيرفع
Di atas dasar pandangan inilah maka lembaga-lembaga pendidikan Islam berpijak untuk mencapai cita yang ideal yaitu bahwa idealitas Islam dijadikan elanvitale-nya (daya pokok) tugas dan tanggung jawab kultural edukatif daripadanya. Maka jelaslah bahwa lembaga-lembaga pendidikan yang berkembang dalam masyarakat merupakan cermin daripada idealitas umat (Islam) itu sendiri. Pada suatu tahap perkembangan masyarakat tertentu, lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi dinamisator (pembangkit) semangat dan dinamika umat yang terpancar dari sumber idealitas ajaran islam yang di analisa dan dikembangkan oleh lembaga tersebut.
Dengan demikian, lembaga pendidikan harus mampu melakukan 2 fungsi bersamaan yang kelihatannya berlawanan satu sama lain, akan tetapi dapat mengumpul menjadi satu kekuatan ideal yang saling menggerakkan dan mengendalikan.
Di hadapan idea-idea modernisme, terutama yang didasari dan didorong oleh pengaruh kemajuan teknologi modern, maka lembaga-lembaga pendidikan tidak terlepas dari tantangan (challange) yang harus diberi jawaban-jawaban. Dalam memberikan jawaban itu, lembaga pendidikan Islam terikat oleh norma-norma dari nilai agama yang dibawakannya. Oleh karena itu selain berlaku selektif dan korektif terhadap ide-ide modernisme, juga melakukan penganalisaan yang tajam terhadapnya yang berakhir dengan pengambilan keputusan apakah ide pembaharuan/modernisme tersebut seirama dan senada dengan nilai-nilai dasar agamanya, sehingga dapat diterima untuk dikembangkan olehnya. Alternatif-alternatif seperti memilih pendiri “ hidup atau mati” sering harus dihadapi dengan penuh mengandung risiko bagi “mundur atau majunya” agama yang didukungnya.
Bentuk tantangan yang di hadapi oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam saat ini meliputi bidang-bidang:
- Politik, dalam kehidupan politik, terutama politik kenegaraan banyak barkaitan dengan masalah bagaimana negara itu membimbing, mengarahkan dan mengembangkan pendidikan, sebagaimana penelitian Hasan Bektas, Yilmaz Bilsel, dan Metin Tilki pada tahun 2010 yang bertema “The Impact of Western Physicians on the Modernization of Turkish Surgery and Medicine”, mengungkapkan bahwa modernisasi Kekaisaran Otsman dan masyarakat dimulai pada abad ke-19. Mulanya reformasi telah dibatasi oleh institusi seperti angkatan kekuatan, politik, teknik dan kedokteran. Setelah pembentukan Republik Turki muda, bentuk barat politik, ilmu pengetahuan, kedokteran, seni dan sastra menembus budaya dan terus berkembang. Inilah kehidupan politik kenegaraan ikut berperan utama dalam pengembangan pendidikan Islam.
- Kebudayaan yaitu suatu hasil budi daya manusia baik bersifat material maupun mental sepiritual dari bangsa itu sendiri ataupun dari bangsa lain. Suatu bangsa yang mampu survive (mempertahankan diri dalam kehidupannya) di tengah-tengah bangsa lain, adalah bangsa yang mampu mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan bangsa di dunia ini, sebagaimana diungkapkan oleh peneliti Eugene B. Gallagher (University of Kentucky) dengan tema “Convergence or Divergence in Third World Medical” mengungkapkan bahwa masyarakat dunia ketiga telah mengadopsi model Barat dalam medis; pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran, dan peran dokter. Hal ini menunjukkan "konvergensi hipotesis”. Kehadiran studi baru didirikan Saudi Arab ditemukan bahwa aspirasi mahasiswa, administrasi-dosen-mahasiswa dan konteks sosial dipengaruhi oleh identifikasi budaya- politik-agama, keluarga dan peran nilai-nilai tradisional.
- Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah suatu segi dari peradaban dan kebudayaan manusia, dimana perkembangannya yang lebih cepat menjelajahi ke jantung masyarakat sesuatu bangsa, merupakan salah satu ciri khas dari zaman modern saat ini. Teknologi sebagai ilmu pengetahuan terapan (technology is an applied science) adalah hasil kemajuan budaya manusia yang banyak bergantung kepada manusia yang menggunakannya. Sebagaimana hasil penelitian Tom Misteli dengan tema the changing world of modern cell biology, menggambarkan bahwa Perubahan selalu ambigu, tetapi ilmu pengetahuan dan teknologi mampu mengungkap hal ini sebagaimana komunitas biologi sel dan sebagai trend setter dengan cepat mengubah dunia biologi sel modern.
- Ekonomi adalah suatu aspek pengetahuan manusia yang memberitahukan tentang bagaimana seharusnya manusia itu memenuhi kebutuhan hidup jasmaninya. Ekonomi merupakan tulang punggung dari kehidupan bangsa yang dapat menentukan maju mundurnya, lemah-kuatnya, lambat-cepatnya suatu proses pembudayaan bangsa. Pengaruh kehidupan ekonomi banyak corak perkembangan sistem kependidikan dalam masyarakat bangsa, sebagaimana penelitian A. C. Huntsman & N. G. White dalam tema “Modernization in Bali, Indonesia and The Influence of Socio-Economic Factors on The Nutritional Status of Preschool Children, mengungkapkan bahwa modernisasi di Bali Indonesia telah mengalami modernisasi ekonomi yang pesat selama 30 tahun terakhir, beberapa studi antropometrik telah meneliti dampak variabel modernisasi pada gizi status anak-anak Bali . Tujuannya adalah meneliti hubungan antara variabel yang terkait dengan modernisasi proses pada status gizi anak-anak Bali, dan diprediksi faktor ekonomi dan pendidikan orang tua lebih banyak berpengaruh terhadap modernisasi anak-anak di Bali daripada variabel lainnya seperti tinggi badan, berat badan dan sebagainya. Ini menandai bahwa faktor ekonomi menjadi faktor penentu yang berpengaruh terhadap modernisasi seseorang.
- Kemasyarakatan adalah merupakan suatu lapangan hidup manusia yang mengandung ide-ide yang sangat laten terhadap pengaruh kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai suatu sistem kehidupan, kemasyarakatan adalah tidak setatis dan beku, melainkan kecenderungan ke perubahan perubahan yang biasa kita kenal sebagai “perubahan sosial” (sosial cange), sebagaimana hasil penelitian Tomsk, Russia dengan tema “Teaching Medical Informatics at SSMU” mengungkapkan bahwa pendidikan adalah dasar untuk menjalankan sistem perawatan kesehatan secara efektif dan efisien. Hal ini diintegrasikan ke dalam kurikulum bagi mahasiswa kedokteran dan didukung dengan pelatihan. Partisipasi internasional dalam konsep dan praktek akan diperlukan untuk sukses dan pengembangan lebih lanjut dengan mengembangkan budaya kemasyarakatan yang syarat dengan ide-ide dalam kehidupan bermasyarakat.
- Sistem nilai adalah suatu tumpuan norma-norma yang dipegangi oleh manusia sebagai makhluk individual dan sebagai makhluk sosial, baik itu berupa norma agama yang telah berkembang dalam masyarakat. Sistem nilai juga dijadikan tolak ukur bagi tingkah laku manusia dalam sisitem masyarakat yang mengandung potensi mengendalikan, mengatur dan mengarahkan perkembangan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu lembaga pendidikan perlu memberikan jawaban yang tepat, sehingga berfikir masyarakat tidak terombang-ambing tanpa arah yang jelas.
3. Modernisasi Pendidikan Islam
Umat Islam pada masa sekarang menghadapi tantangan yang berat dari pihak luar yang berimplikasi terhadap masa depan kehidupan beragamanya. Tantangan itu mulai dari kolonialisme dan imperialism yang menghasilkan benturan keras antara kebudayaan Barat dengan ajaran/nilai-nilai Islam, sampai kepada materialisme, kapitalisme, industrialisme yang telah berhasil merubah sistem berpikir dan struktur sosial. Sebagai respon dari tantangan di atas para pemikir dan intelektual muslim melancarkan berbagai upaya modernisasi yang muncul dalam berbagai ragam dan karakteristiknya. Hal ini sesuai dengan setting sosio-historis yang modernis.
Dalam berbagai upaya modernisasi itulah, pendidikan merupakan sarana yang paling ampuh dan utama. Melalui pendidikan inilah transfer nilai-nilai dan ajaran Islam dapat dilakukan secara terencana dan sistematis. Modernisasi pendidikan adalah salah satu pendekatan untuk suatu penyelesaian jangka panjang atas berbagai persoalan ummat Islam saat ini dan masa yang akan datang. Maka modernisasi pendidikan adalah sesuatu penting dalam melahirkan peradaban Islam yang modern.
Namun demikian modernisasi pendidikan Islam tidaklah dapat dirasakan hasilnya pada satu dua hari saja namun memerlukan suatu proses yang panjang yang setidaknya akan menghabiskan sekitar dua generasi.17 Mengingat pentingnya modernisasi pendidikan Islam, maka setiap lembaga pendidikan Islam haruslah mendapatkan penanganan yang serius, setidaknya ini untuk menghasilkan para pemikir dan intelektual yang handal dan berperan sentral dalam pembangunan.
Modernisasi dalam pendidikan Islam pertama kali harus tertuju kepada tujuan pendidikan Islam itu sendiri, yang meliputi tujuan tertinggi yaitu sebagai suatu proses pendidikan yang akan menghasilkan peserta didik yang beribadah kepada-Nya dan sebagai khalîfah di muka bumi yang dijabarkan menjadi tujuan umum dan secara operasional dirumuskan dalam bentuk tujuan pendidikan Islam secara institusional, kurikuler18 maupun tujuan instruksional.
Daftar Pustaka
- Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta;Pustaka Pelajar, 2005
- Akbar, Ahmed S., Postmodernism and Islam: Predicament and Promise, London: Routledge, 1992
- Alex, Inkeles dan Smith, David., Becoming Modern: Individual Charge in Six Developing Countries. Cambridge: Harvard University Press, 1974
- Daradjat, Zakiyah., Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara dan Dirjen Bagais Kemenag RI, 2001.
- Dhofir, Zamakhsyari., Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES, 1994
- Faisal, Jusuf Amir., Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Inszani Press,1995.
- Al-Ghazâlî, Ihyâ’ Ulumuddîn, Kairo : Dâr al Kutub, tt .
- Hasan Langgulung, Hasan., Pendidikan Islam dalam Abad Ke 21, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003
- Hasibuan, Lias., Melejitkan Mutu Pendidikan, Relevansi dan Rekonstruksi Kurikulum Jambi: SAPA Project, Cetakan I, 2004
- Hasyim, M. Affan., Konvergensi Pesantren dan Perguruan Tinggi, dalam Dinamika, Edisi 1 Juli 2003.
- Husein, Syed Sajjad dan Ashraf, Syed Ali., Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Isam, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Gema Risalah Press, 1994.
- Muawanah, Elvi., Pelakasanaan Kurikulum Agama Islam Melalui Akumulasi Pendekatan Pembelajaran Kurukulum Agama di Madrasah Aliyah al Islam Jerosan Mlarak Ponorogo, Laporan Penelitian, STAIN Tulung Agung, 2002
- Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003,
- Nata, Abuddin., Filsafat Pendididikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
- ----------------- ., Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2004
- Omar al-Toumiy Al-Syaebani, Omar al-Toumiy., Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
- Rahman, Fazlur., Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1984.
- Rasyid, M. Ardi., Pertumbuhan dan Perkembangan pondok Pesantren di Indonesia,” Akademika, Majalah STAIN Jurai Siwo Metro, Vol 8, Nomor 01, 2003.
- Zaini, A Wahid., “Orientasi Pondok Pesantren Tradisional Dalam Masyarakat Indonesia” dalam Tarekat, Pesantren dan Budaya Lokal, ed. M. Nazim Zuhdi, et.al., Surabaya: Sunan Ampel Surabaya Press, 1999
CATATAN KAKI ARTIKEL DI ATAS
- 1 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2004), hlm. 10
- 2 Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam ( Yogyakarta;Pustaka Pelajar, 2005), hlm.29
- 3 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 23-24.
4 Ahmadi, Ideologi, hlm. 85
5 Muhamimin, Wacana Pengembangan, hlm. 158
- 6 Al-Ghazâlî, Ihyâ’ Ulumuddîn (Kairo : Dâr al Kutub, tt) , hlm 231
- 7 Omar al-Toumiy Al-Syaebani, Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979.) hlm.536.
- 8 Abuddin Nata, Filsafat Pendididikan Islam (Jakarfta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm. 49. Al-Ghazâlî menyebutkan akhlaq yang mulia sebagai al-munjiyât, sebagai kebalikan dari sifat yang tercela yang ia sebut sebagai al-muhlikât.
- 9 QS. al-Dzâriyât : 56
- 10 Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, hlm. 95-97
- 11 Ibid, hlm.103. Tujuan khusus ini dapat berupa tujuan instruksional, yaitu tujuan yang terdapat pada masing-masing pembelajaran yang dapat berbeda satu sama lain. Misalnya pembelajaran Ilmu Tauhid, maka tujuan instruksional dapat berupa memberikan pemahaman yang benar terhadap konsep keesaan Allah dan sebagainya. Tujuan khusus lainnya berupa tujuan institusional yaitu tujuan kelembagaan pendidikan Islam, yang dirumuskan berdasarkan visi dan misi lembaga pendidikan yang bersangkutan.
- 12 Ahmed, Akbar S, Postmodernism and Islam: Predicament and Promise, London: Routledge, 1992: 6
- 13 Inkeles, Alex dan David Smith, Becoming Modern: Individual Charge in Six Developing Countries. Cambridge: Harvard University Press, 1974: 16