Pengertian, Prinsip, dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan sebagai sebuah proses pengembangan sumberdaya manusia agar memperoleh kemampuan sosial dan perkembangan individu yang optimal memberikan relasi yang kuat antara individu dengan masyarakat dan lingkungan budaya sekitarnya1. Lebih dari itu pendidikan merupakan proses “memanusiakan manusia” dimana manusia diharapkan mampu memahami dirinya, orang lain, alam dan lingkungan budayanya2. Atas dasar inilah pendidikan tidak terlepas dari budaya yang melingkupinya sebagai konsekwensi dari tujuan pendidikan yaitu mengasah rasa, karsa dan karya. Pencapaian tujuan pendidikan tersebut menuai tantangan sepanjang masa karena salah satunya adalah perbedaan budaya.
Olehnya, kebutuhan terhadap pendidikan yang mampu mengakomodasi dan memberikan pembelajaran untuk mampu menciptakan budaya baru dan bersikap toleran terhadap budaya lain sangatlah penting atau dengan kata lain pendidikan yang memiliki basis multikultural akan menjadi salah satu solusi dalam pengembangan sumberdaya manusia yang mempunyai karakter yang kuat dan toleran terhadap budaya lain.
Pertautan antara Pendidikan dan Multikultural merupakan solusi atas realitas budaya yang beragam sebagai sebuah proses pengembangan seluruh potensi yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran atau agama.3 Pluralitas budaya, -sebagaimana terdapat di Indonesia,- menempatkan pendidikan Multikultural menjadi sangat urgen.4 Keberagaman budaya di Indonesia merupakan kenyataan historis dan sosial yang tidak dapat disangkal oleh siapapun.
Keunikan budaya yang beragam tersebut memberikan implikasi pola pikir, tingkah laku dan karakter pribadi masing–masing sebagai sebuah tradisi yang hidup dalam masyarakat dan daerah. Tradisi yang terbentuk akan berlainan dari satu suku/daerah dengan suku/daerah yang lain. Pergumulan antar budaya memberikan peluang konflik manakala tidak terjadi saling memahami dan menghormati satu sama lain. Proses untuk meminimalisir konflik inilah memerlukan upaya pendidikan yang berwawasan Multikultural dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang majemuk dan heterogen agar saling memahami dan menghormati serta membentuk karakter yang terbuka terhadap perbedaan.5
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperjuangkan multikulturalisme adalah melalui pendidikan yang multikultural. Pengertian pendidikan multikultural menunjukkan adanya keragaman dalam pengertian istilah tersebut. Artikel ini akan membahas tentang pengertian, prinsip, tujuan, dan relevansi pendidikan multikultural dengan tujuan pendidikan Islam.
Pengertian Pendidikan Multikultural.
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan menurut para ahli sangat beragam, namun dalam konteks ini kebudayaan dilihat dalam perspektif fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks perspektif kebudayaan tersebut, maka multikulturalisme adalah ideologi yang dapat menjadi alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya.6 Multikulturalisme mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.7
Multikulturalisme memandang sebuah masyarakat mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik tersebut.8
Istilah “multibudaya” (multiculture) jika ditelaah asal-usulnya mulai dikenal sejak tahun 1960-an, setelah adanya gerakan hak-hak sipil sebagai koreksi terhadap kebijakan asimilasi kelompok minoritas terhadap melting pot9 yang sudah berjalan lama tentang kultur dominan Amerika khususnya di New York dan California10. Will Kymlicka berpendapat, multibudaya merupakan suatu pengakuan, penghargaan dan keadilan terhadap etnik minoritas baik yang menyangkut hak-hak universal yang melekat pada hak-hak individu maupun komunitasnya yang bersifat kolektif dalam mengekspresikan kebudayaannya11.
Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, hak asasi manusia, hak budaya komunitas, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.12
Sebagai sebuah ideologi, multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan. Interaksi tersebut berakibat pada terjadinya perbedaan pemahaman tentang multikulturalisme. Lebih jauh, perbedaan ini berimplikasi pada perbedaan sikap dan perilaku dalam menghadapi kondisi multikultural masyarakat. Sebagai sebuah ideologi, multikulturalisme harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, hak asasi manusia dan kesejahteraan hidup masyarakatnya.13
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperjuangkan multikulturalisme adalah melalui pendidikan yang multikultural. Pengertian pendidikan multikultural menunjukkan adanya keragaman dalam pengertian istilah tersebut
James Banks menyatakan bahwa pengertian pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color.14 Pengertian ini senada dengan pengertian yang dikemukakan oleh Sleeter bahwa pendidikan multikultural adalah sekumpulan proses yang dilakukan oleh sekolah untuk menentang kelompok yang menindas.15 Pengertian-pengertian ini tidak sesuai dengan konteks pendidikan di Indonesia karena Indonesia memiliki konteks budaya yang berbeda dari Amerika Serikat walaupun keduanya memiliki bangsa dengan multi-kebudayaan.
Andersen dan Cusher (1994) mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Definisi ini lebih luas dibandingkan dengan yang dikemukakan di atas. Meskipun demikian, posisi kebudayaan masih sama dengan apa yang dikemukakan dalam definisi di atas, yaitu keragamaan kebudayaan menjadi sesuatu yang dipelajari dan berstatus sebagai objek studi. Dengan kata lain, keragaman kebudayaan menjadi materi pelajaran yang harus diperhatikan para pengembang kurikulum.16
Pendidikan multikultural berasal dari dua kata pendidikan dan multikultural. Pendidikan merupakan proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan dan cara-cara yang mendidik. Disisi lain Pendidikan adalah Transfer of knowledge atau memindah ilmu pengetahuan17. Sedangkan Multikultural secara etimologis multi berarti banyak, beragam dan aneka sedangkan kultural berasal dari kata culture18 yang mempunyai makna budaya, tradisi, kesopanan atau pemeliharaan. Rangkaian kata pendidikan dan multikultural memberikan arti secara terminologis adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama). Zakiyuddin Baidhawi mendefinisikan pendidikan multikultural adalah suatu cara untuk mengajarkan keragaman (teaching diversity)19. M. Ainul Yaqin memahami pendidikan multikultural sebagai strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada para siswa seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, klas sosial, ras, kemampuan dan umur agar proses belajar menjadi mudah20. John W. Santrock mendefinisikan pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai diversitas dan mewadahi prespektif dari beragam kelompok kultural atas dasar basis regular21.
Mundzier Suparta dalam bukunya Islamic Multicultural Education, mencatat lebih dari sepuluh definisi tentang pendidikan multikultural22, diantaranya adalah;
- Pendidikan Multikultural adalah sebuah filosofi yang menekankan pada makna penting, legitimasi dan vitalitas keragaman etnik dan budaya dalam membentuk kehidupan individu, kelompok maupun bangsa.
- Pendidikan Multikultural adalah menginstitusionalkan sebuah filosofi pluralisme budaya ke dalam system pendidikan yang didasarkan pada prinsip-prinsip persamaan (equality), saling menghormati dan menerima, memahami dan adanya komitmen moral untuk sebuah keadilan sosial.
- Pendidikan Multikultural adalah sebuah pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang didasarkan atas nilai-nilai demokratis yang mendorong berkembangnya pluralisme budaya; dalam hampir seluruh bentuk komprehensifnya. Pendidikan multikultural merupakan sebuah komitmen untuk meraih persamaan pendidikan, mengembangkan kurikulum yang menumbuhkan pemahaman tentang kelompok-kelompok etnik dan memberangus praktik-praktek penindasan.
- Pendidikan Multikultural merupakan reformasi sekolah yang komprehensif dan pendidikan dasar untuk semua anak didik yang menentang semua bentuk diskriminasi dan intruksi yang menindas dan hubungan antar personal di dalam kelas dan memberikan prinsip-prinsip demokratis keadilan sosial.
Menurut pendapat Blum, pendidikan multibudaya sarat dengan penghargaan, penghormatan dan kebersamaan dalam suatu komunitas yang majemuk. Lebih lanjut Blum menegaskan bahwa pendidikan multibudaya meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia meliputi penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri23. Blum membagi tiga elemen dalam pendidikan multibudaya, pertama, menegaskan identitas kultural seseorang, mempelajari dan menilai warisan budaya seseorang. Kedua, menghormati dan berkeinginan untuk memahami serta belajar tentang etnik/kebudayaan-kebudayaan selain kebudayaannya. Ketiga, menilai dan merasa senang dengan perbedaan kebudayaan itu sendiri; yaitu memandang keberadaan dari kelompok-kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat seseorang sebagai kebaikan yang positif untuk dihargai dan dipelihara24.
Dari bebarapa definisi diatas, ada tiga kata kunci yang menandai adanya pendidikan multikultural yaitu; pertama, proses pengembangan sikap dan tata laku, kedua, menghargai perbedaan dan keragaman budaya. Ketiga, penghargaan terhadap budaya lain. Kata kunci tersebut akan menjadi landasan dalam merumuskan konsep Islam dalam memahami pendidikan multicultural.
Tujuan dan Prinsip Pendidikan Multikultural.
Secara sederhana pendidikan multikultural, dapat didefenisikan sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”.
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya. Lebih lanjut Freire mengatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan, sampai pada tingkat ketertinggalan. Oleh karena manusia sebagai pusat pendidikan, maka manusia harus menjadikan pendidikan sebagai alat pembebasan untuk mengantarkan manusia menjadi mahluk yang bermartabat25.
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan Multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference), atau “politics of recognition” politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas26.
Pendidikan Multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indiference” dan “Non-recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma Pendidikan Multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang “ethnic studies” untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadvantaged27.
Istilah “pendidikan multikultural” dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif ini, maka kurikulum Pendidikan Multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama28: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi:
HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
Model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat, pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.
Pendidikan multikultural merupakan gejala baru di dalam pergaulan umat manusia yang mendambakan persamaan hak, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama untuk semua orang, “Education for All”. Pendidikan multikultural (multicultural education) juga merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa. Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama29. Selanjutnya James Banks menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan dan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan pelajar (siswa)30, yaitu:sejarawan dan budayawan UGM yang merasa prihatin terhadap fenomena tersebut, menyebutnya tidak sedikit orang memandang agama telah menjadi “buldoser” kultural atas pluralitas ekspresi kebudayaan.
Tradisi budaya lokal padahal sarat akan pesan-pesan filosofis, baik dalam aspek spiritual, moral, mentalitas maupun pesan dan kritik sosial.
- Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan dengan “poin kunci” pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.
- Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). Suatu dimensi dimana para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri.
- Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.
- Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar.
- Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstra kurikuler dan penghargaan staf dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.
Tujuan pendidikan dengan berbasis multikultural dapat diidentifikasi:
- Untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam;
- Untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan;
- Memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya;
- Untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok31.
Secara Konseptual; pendidikan multikultural menurut Gorsky mempunyai tujuan dan prinsip sebagai berikut:
- Setiap siswa mempunyai kesempatan untuk mengembangkan prestasi mereka;
- Siswa belajar bagaimana belajar dan berpikir secara kritis;
- Mendorong siswa untuk mengambil peran aktif dalam pendidikan, dengan menghadirkan pengalaman–pengalaman mereka dalam konteks belajar;
- Mengakomodasikan semua gaya belajar siswa;
- Mengapresiasi kontribusi dari kelompok–kelompok yang berbeda;
- Mengembangkan sikap positif terhadap kelompok-kelompok yang mempunyai latar belakang yang berbeda;
- Untuk menjadi warga negara yang baik di sekolah maupun di masyarakat;
- Belajar bagaimana menilai pengetahuan dari perspektif yang berbeda;
- Untuk mengembangkan identitas etnis, nasional dan global;
- Mengembangkan ketrampilan-ketrampilan mengambil keputusan dan analisis secara kritis sehingga siswa dapat membuat pilihan yang lebih baik dalam kehidupan sehari–hari.
Adapun prinsip–prinsip pendidikan multikultural yaitu:
- Pemilihan materi pelajaran harus terbuka secara budaya didasarkan pada siswa. Keterbukaan ini harus menyatukan opini–opini yang berlawanan dan interprestasi–interprestasi yang berbeda;
- Isi materi pelajaran yang dipilih harus mengandung perbedaan dan persamaan dalam lintas kelompok;
- (c) materi pelajaran yang dipilih harus sesuai dengan konteks waktu dan tempat;
- Pengajaran semua pelajaran harus menggambarkan dan dibangun berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dibawa siswa ke kelas.
- Pendidikan hendaknya memuat model belajar mengajar yang interaktif agar supaya mudah dipahami32.
Dari uraian–uraian mengenai pendidikan multikultural tersebut dapatlah dipahami bahwa tujuan pendidikan multikultural ini adalah dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat yang serba majemuk.33
Relevansi Pendidikan Multikultural dengan Tujuan 3. Pendidikan Islam
Kemajemukan dan keragaman budaya adalah sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari. Kita hidup di dalam keragaman budaya dan merupakan bagian dari proses kemajemukan, aktif maupun pasif. Ia menyusup dan menyangkut dalam setiap seluruh ruang kehidupan kita, tak terkecuali juga dalam hal kepercayaan. Kemajemukan dilihat dari agama yang dipeluk dan faham-faham keagamaan yang diikuti, oleh Tuhan juga tidak dilihat sebagai bencana, tetapi justru diberi ruang untuk saling bekerjasama agar tercipta suatu sinergi.34
Di samping itu, kita juga menghadapi kenyataan adanya berbagai agama dengan umatnya masing-masing, bahkan tidak hanya itu, kita pun menghadapi –orang yang tidak beragama atau tidak bertuhan. Dalam menghadapi kemajemukan seperti itu tentu saja kita tidak mungkin mengambil sikap anti pluralisme. Kita harus belajar toleran tehadap kemajemukan. Kita dituntut untuk hidup di atas dasar dan semangat pluralisme agama.35
Tujuan pendidikan Islam bukan sebatas mengisi pikiran siswa dengan ilmu pengetahuan dan materi pelajaran akan tetapi membersihkan jiwanya yang harus diisi dengan akhlak dan nilai-nilai yang baik dan dikondisikan supaya biasa menjalani hidup dengan baik36.
Dari tujuan pendidikan Islam tersebut, dapat disimpulkan bahwa siswa diharapkan dapat menjadi manusia yang berakhlak mulia dan dapat menghargai keragaman budaya di sekitarnya. Hal tersebut senada dengan prinsip yang ada dalam pendidikan multicultural. Dalam literatur pendidikan Islam, Islam sangat menaruh perhatian (concern) terhadap segala budaya dan tradisi (‘urf) yang berlaku di kalangan umat manusia dalam setiap waktu dan kondisi, baik yang bersifat umum atau hanya berlaku dalam satu komonitas. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya ketetapan-ketetapan dalam Islam yang berdasarkan ‘urf yang berlaku.
Pendidikan Multikultural juga senada dengan tujuan agama yang berbunyi: “ Tujuan umum syari’ah Islam adalah mewujudkan kepentingan umum melalui perlindungan dan jaminan kebutuhan-kebutuhan dasar (al-daruriyyah) serta pemenuhan kepentingan (al-hajiyyat) dan penghiasan (tahsiniyyah) mereka.”37 Dari konsep inilah kemudian tercipta sebuah konsep al-daruriyyah al-khamsah (lima dasar kebutuhan manusia), yang meliputi jiwa (al-nafs), akal (al-aql), kehormatan (al-‘irdh), harta benda (al-mal), dan agama (al-din).38
Sebagaimana dikemukakan Abu Ishak al-Syatibi, dalam kutipan Saidani dengan perincian sebagai berikut.
Memelihara Agama a.
Agama sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap manusia, supaya derajatnya terangkat dan memenuhi hajat jiwanya. Agama Islam harus terpelihara dari ancaman orang yang akan merusak akidah, syari’ah dan akhlak atu mencampuradukkan ajaran agama Islam dengan faham atau aliran yang batil. Agama Islammemberikan perlindungan kepada pemeluk agama lain untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya dan tidak memaksakan pemeluk agama lain meninggalkan agamanya untuk memeluk Islam (QS. 2: 256).
Memelihara Jiwab.
Jiwa harus dilindungi, untuk itu hukum Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan hidupnya, dan dilarang melakukan sesuatu yang dapat menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang digunakan oleh manusia untuk mempertahankan kemaslahatan hidupnya.
Memelihara akalc.
Memelihara akal adalah wajib hukumnya bagi seseorang, karena akal mempunyai peranan sangat penting dalam hidup dan kehidupan manusia. Dengan akal, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seseorang tidak akan mampu menjalankan hukum Islam dengan baik dan benar tanpa menggunakan akal yang sehat. Oleh karena itu Islam melarang orang meminum-minuman khamr39, karena akan merusak akal. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Ma>idah: 90.
Memelihara Keturunand.
Dalam Islam, memelihara keturunan hal yang sangat penting. Untuk itu harus ada perkawinan yang dilakukan secara sah menurut ketentuan yang berlaku yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah nabi dan dilarang melakukan perbuatan Zina. Hukum kekeluargaan dan kewarisan Islam dalam al-Qur’an merupakan hukum yang erat kaitannya dengan pemurnian keturunan dan pemeliharaan keturunan. Pemeliharaan keturunan berkaitan dengan perkawinan dan kewarisan disebutkan secara rinci dan tegas misalnya larangan-larangan perkawinan (QS. An-Nisa ayat 23) dan larangan berzina (QS. Al-Isra ayat 32).
Memelihara Hartae.
Menurut hukum Islam, harta merupakan pemberian Allah kepada manusia untuk kesejahteraan hidup dan kehidupannya, untuk itu manusia sebagai khalifah (human duties) Allah di muka bumi diberi amanah untuk menglola alam ini sesuai kemampuan yang dimilikinya, dilindungi haknya untuk memperoleh harta dengan cara yang halal, sah menurut hukum dan benar menurut ukuran moral, dan dipergunakan secara sosial.40
Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan pertama dan utama dari pendidikan Islam. Dalam kehidupan manusia, ini merupakan hal penting, sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan di mana-mana. Kelima kebutuhan yang primer ini disebut dengan istilah Al-Daruriyat al-Khamsah atau dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan istilah al-Maqasid al-Khamsah, yaitu: agama, jiwa, akal pikiran, keturunan, dan hak milik.
Jika diperhatikan dengan seksama, tujuan pendidikan Islam ditetapkan oleh Allah untuk memenuhi keperluan hidup manusia itu sendiri, baik keperluan primer (al-maqasidu al-khamsah), sekunder (hajiyat) , dan tertier (tahsinat).41 Oleh karena itu, apabila seorang muslim mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah, maka ia akan selamat baik di dunia maupun di akhirat.
Beberapa keterangan mengenai tujuan pendidikan Islam di atas sesuai dengan tujuan pendidikan multicultural, yaitu untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat yang serba majemuk.
DAFTAR PUSTAKA
- Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993.
- Al-Abrasyi, Athiyyah, At-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Falsafatuha, Beirut: Dar al-Fikr. 1969.
- Ainul Yaqin, M. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media. 2005.
- Andersen dan Cusher, “Multicultural and Intercultural Studies” dalam C. Marsh (ed), Teaching Studies of Society and Environment ( Sydney: Prentice-Hall, 1994).
- Audah, Abd al-Qadir, al-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, tt.
- Azra, Azumardi Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia, From http:/budpar.go.id/agenda/precongress/makalah/abstrak /58 % 20 azra.htm, akses 10 Maret 2013.
- Baidhawi, Zakiyuddin, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Jakarta: Erlangga, 2005.
- Banks, James, Teaching Strategies For Ethnic Studies, Newton: Allyn and Bacon, 1984.
- __________, Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, And Practice, Review of Research in Education, 1993.
- Blum, A. Lawrence, Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar Ras, Tiga Nilai Yang bersifat Mendidik Bagi Sebuah Masyarakat Multikultural, dalam Larry May, dan Shari Colins-Chobanian, Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultural, Alih Bahasa : Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.
- Dawam, Ainurrofiq, “EMOH” Sekolah: Menolak “Komersialisasi Pendidikan” dan “Kanibalisme Intelektual” menuju Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press. 2003.
- Driyarkara, Tentang Pendidikan, Jakarta: Kanisius 1980.
- Effendi, Johan, Kemusliman dan Kemajemukan Agama, dalam Elpa Sarapung (Ed), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, cet. III.
- Haryono, Anwar, Hukum Islam; Keluasan dan Keadilan, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
- Idris, Zahara, Dasar-Dasar Kependidikan, Padang: Angkasa Raya. 1987.
- Khalaf, Abd al-Wahhab, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qolam, edisi ke-12, 1978).
- Kymlicka, Will, “Mitsunderstanding Nationalism” dalam Theorizing Nationalism, diedit oleh R. Beiner, Albany: State University of New York, 1999.
- Maksum, Ali dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modernisme, Jogyakarta: IRCiSod, 2004.
- Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultural: Reconstruksi Sistem Pendidikan berbasis Kebangsaan, Surabaya: JP Books. 2007.
- Praja, Juhaya, Epistemologi Hukum Islam, Jakarta: IAIN, 1988: 196
- Santrock, John W., 2007, Psiqologi Pendidikan, alih bahasa Tri Wibowo B.S. Jakarta: Kencana.
- Skeel, D.J., 1995, Elementary Social Studies: Challenge for Tomorrow’s World. New York: Harcount Brce College Publishers.
- Suparlan, Parsudi, “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural,” Makalah. Disampaikan pada Simposium Internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002.
- Suparta, Mundzier, 2008, Islamic Multicultural Education: Sebuah Refleksi Atas pendidikan Agama Islam Di Indonesia, Jakarta: Al Ghazali Center.
- Sleeter dalam G. Burnett, Varieties of Multicultural Education: An Introduction, Eric Clearinghouse on Urban Education, Digest, 1994.
- Thohir, Mudjahirin, “Nasionalisme Indonesia: Membingkai Pluralitas dalam Kedamaian”, dalam Zudi Setiawan, Nasionalisme NU, Semarang: Aneka Ilmu.
- Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: Grasindo. 2004.
CATATAN KAKI ARTIKEL DI ATAS :
- 1 Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan (Padang: Angkasa Raya. 1987), hlm. 7.
- 2 Driyarkara, Tentang Pendidikan (Jakarta: Kanisius 1980), hlm. 8.
- 3 Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultural: Reconstruksi Sistem Pendidikan berbasis Kebangsaan (Surabaya: JP Books,. 2007), hlm. 748.
- 4 M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 3. Lihat juga Ainurrofiq Dawam, “EMOH” Sekolah: Menolak “Komersialisasi Pendidikan” dan “Kanibalisme Intelektual” Menuju Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003), hlm. 22.
- 5 H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo.2004), hlm. 9-10.
- 6 Parsudi Suparlan, “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural,” Makalah. Disampaikan pada Simposium Internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002, hlm. 1.
- 7 Watson (2000) dalam Suparlan (2002)..
- 8 Reed (1997) dalam Suparlan (2002).
- 9 Lebih jauh Alo Liliweri menjelaskan bahwa banyak budaya hidup di daerah-daerah perbatasan antar Negara, antar-suku bangsa, antar-etnik, antar-ras, dan antar-geografis. Di sinilah muncul situasi dan kondisi masyarakat yang memiliki keragaman budaya. Kita menggunakan istilah methaphors untuk menggambarkan kebudayaan campuran (mixed culture). Ada beberapa istilah yang menggunakan methapor yaitu: Pertama, melting pot adalah masyarakat masih memelihara keunikan budaya untuk membedakan keturunan mereka dengan orang lain. Dalam konsep ini masing-masing etnis dengan budayanya menyadari adanya perbedaan antara sesamanya. Namun, dengan perbedaan tersebut mereka dapat membina hidup bersama dengan baik dan sehat. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa melting pot terdapat kekuatan untuk mensintesiskan kebudayaan dari masing-masing kelompok. Kedua, tributaries yaitu menggambarkan aliran sungai yang airnya merupakan campuran dari air dari sungai-sungai kecil lain. Aliran sungai itu menuju kearah yang sama, ke sebuah muara. Hal ini menggambarkan bahwa sungai itu merupakan lintasan dari sejumlah budaya yang terus mengalir. Masyarakat yang dibangun 12dari beberapa individu memiliki karakteristik spesifik yang tidak dimiliki oleh individu lain. Keanekaragaman karakteristik spesifik ini mengarah pada suatu muara yaitu bercampurnya berbagai karakteristik. Bervariasinya karakteristik tersebut sebenarnya sebagai media aliran berkembangnya kebudayaan yang akan dibangun. Berbeda dengan melting pot, pada tributaries keberbedaan antar suku tetap dipandang memiliki arti yang berbeda. Dengan demikian, setiap keberbedaan itu tetap dipertahankan meskipun berada pada tujuan yang sama untuk mengembangkan dan mempertahankan budaya masing-masing. Ketiga, tapestry adalah bagaikan dekorasi pakaian yang terbentuk dari sehelai benang. Konsep ini diambil untuk menggambarkan kebudayaan Amerika yang dekoratif. Analog yang dapat disampaikan antara lain kain yang terdiri dari satu warna kurang memberikan hasrat bagi pemakainya. Dengan demikian, kain yang multiwarna sebagai perpaduan dekoratif akan memperkaya seni dekorasi tersebut. Keempat, garden salad/salad bowl adalah kebudayaan ibarat mangkuk yang berisi campuran salad. Pada konsep ini yang ada masing-masing kelompok etnis memperjuangkan keberhasilan kelompoknya sendiri. Dapat saja masing-masing kelompok etnis hidup berdampingan tetapi tidak peduli satu dengan yang lainya. Masing-masing masyarakat mengurus dirinya sendiri dan dapat hidup bersama sepanjang yang satu tidak mengganggu kelompok lainnya. Olehnya, Garden Salad/Salad Bowl tidak memperdulikan adanya komitmen untuk mengetahui dan saling berbagi antar unsure-unsur kebudayaan yang dimiliki kelompok lain.
- 10 James Banks, Teaching Strategies For Ethnic Studies, (Newton: Allyn and Bacon, 1984), hlm 164.
- 11 Will, Kymlicka, “Mitsunderstanding Nationalism” dalam Theorizing Nationalism, ed. R. Beiner, (Albany: State University of New York, 1999), hlm 24.
- 12 Fay (1996) dalam dalam Suparlan (2002), hlm. 3.
- 13 ibid.
- 14 James Banks, “Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, And Practice”, Review of Research in Education, 1993, hlm. 3.
- 15 Sleeter, dalam G. Burnett, Varieties of Multicultural Education: an Introduction, (Eric learinghouse on Urban Education, Digest, 1994), hlm. 1.
- 16 Andersen dan Cusher, “Multicultural and Intercultural Studies” dalam C. Marsh (ed), Teaching Studies of Society and Environment (Sydney: Prentice-Hall, 1994), hlm. 320.
- 17 Sebagaimana dikutip oleh Fuad Ihsan (2005: 4-5) dalam kajian dan pemikiran tentang pendidikan ada 2 istilah yang hampir sama bentuknya dan sering dipergunakan dalam dunia pendidikan yaitu; Pedagogik yang berarti pendidikan dan pedagonik yang berarti Ilmu pendidikan. Driyarkara memaknai pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia ke taraf insani itulah yang disebut mendidik. Ki Hadjar Dewantara merumuskan pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak. Dalam Dictionary of Education menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya didalam masyarakat di mana ia hidup, proses sosial di mana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang dating dari sekolah), sehingga ia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial, dan perkembangan individu yang optimum. Untuk lebih lengkap tentang pengertian pendidikan dan ruang lingkupnya baca buku (Imam Barnadib, 1982), (Noeng Muhadjir, 1987), (Zahara Idris dan Lisma Jamal, 1992).
- 18 Alo Liliweri M.S. (2003: 7-9), dalam bukunya Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, mengutip lebih dari lima makna kebudayaan. Pertama, menurut Iris Varner dan Linda Beamer, dalam Inter-cultural Communication in the Global Workplace,mengartikan kebudayaan sebagai pandangan yang koheren tentang sesuatu yang dipelajari, yang dibagi, atau yang dipertukarkan oleh sekelompok orang. Pandangan itu berisi apa yang mendasari kehidupan, apa yang menjadi derajat kepentingan, tentang sikap mereka yang tepat terhadap sesuatu, gambaran suatu prilaku yang harus diterima oleh sesama atau yang berkaitan dengan orang lain. Kedua, kebudayaan, dalam arti yang luas, adalah perilaku yang telah tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan secara sosial (disosialisasikan), tidak sekedar sebuah catatan ringkas, tetapi dalam bentuk prilaku melalui pembelajaran sosial (Social Learning). Ketiga, kebudayaan adalah komunikasi simbolis, simbolisme itu adalah ketrampilan kelompok, pengetahuan, sikap, nilai, dan motif. Makna dari simbol-simbol itu dipelajari dan disebarluaskan dalam masyarakat melalui institusi. Untuk memperdalam tentang kebudayaan dan ruang lingkupnya lebih lanjut baca (T.O. Ihromi,1996), (Van Peursen, 1985), (Achdiat M. Miharja, 1977), (Suwardi Endraswara, 2003), dan lain sebagainya.
- 19 Baidhawi, Zakiyuddin, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm 8.
- 20 Ainul Yaqin, M. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005). hlm 25.
- 21 John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Terj. Tri Wibowo B.S. (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.184..
- 22 Mundzier Suparta, Islamic Multicultural Education: Sebuah Refleksi atas pendidikan Agama Islam di Indonesia, (Jakarta: Al Ghazali Center, 2008), hlm. 37.
- 23 A. Lawrence Blum, Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar Ras, Tiga Nilai Yang bersifat Mendidik Bagi Sebuah Masyarakat Multikultural, dalam Larry May, dan Shari Colins-Chobanian, Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultural, Alih Bahasa: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 16.
- 24 Ibid, hlm. 19.
- 25 Paulo Freire merupakan tokoh pendidikan yang mempunyai dedikasi kuat bagaimana pendidikan mempunyai relasi sosial yang melingkupinya. Karyanya yang monumental adalah Pedagogy of the Opressed (1970),Cultural Action for Freedom (1970), Pedagogy of the Heart (1999), dan lain sebagainya. Banyak sekali karya beliau yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia di antaranya Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, terj A.A. Nugroho (Jakarta: Gramedia, 1984), Pendidikan Kaum Tertindas, alih bahasa Utomo Dananjaya, (Jakarta: LP3ES, 1995). Pendidikan Yang Membebaskan, terj. Omi Intan Naomi, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999). Pedagogi Hati, alih bahasa A. Widyamartaya, (Yogjakarta: Kanisius, 2001) dan lain sebagainya.
- 26 Azumardi Azra, “Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia”, dalam http:/budpar.go.id/agenda/precongress/makalah/abstrak /58 % 20 azra.htm, diakses 10 Maret 2013.
- 27 Ibid.
- 28 Pendidikan Multibudaya (multicultural education) memang sepintas dalam banyak hal dapat menimbulkan rasa khawatir terhadap hubungan antara agama dan kebudayaan. Kekhawatiran ini sesungguhnya dapat dijawab secara sederhana bahwa agama adalah ciptaan Tuhan yang permanen dan universal, sedangkan kebudayaan adalah buatan manusia yang temporal dan spasial. Bila dirunut ke belakang, kekhawatiran itu bersumber dari ketakutan teologis mengenai relasi antara yang sakral dan profane (Eliade, 2001: 274-275; 2002 : 211). Secara ekstensial, bila ke-Tuhan-an (agama) dipahami dan dihayati sebagai tujuan akhir yang kemudian melahirkan apa yang disebut “aktualisasi”, maka aktualisasi kesadaran akan Tuhan dalam prilaku menjadi tidak mengenal dualisme antara yang suci dan duniawi. Dengan demikian agama sebagai sacral menjadi substansi atau inti kebudayaan (Abdullah, 2003: xii). Ironisnya, tidak semua pemeluk agama memahami masalah ini dengan benar. Mereka agak phobia memahami budaya lokal. Kekuatan hegomoni agama formal yang didukung oleh otoritas ortodoksi menundukkan budaya lokal termasuk seni tradisi vis a vis otoritas keagamaan. Kuntowijoyo (2003: 16)
- 29 H.A.R Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm 123.
- 30 James Banks, Multiethnic Education: Theory and Practice, 3rd ed. (Boston; Allyn and Boston, 1994), hlm. 196.
- 31 D.J. Skeel, Elementary Social Studies: Challenge for Tomorrow’s World (New York: Harcount Brce College Publishers, 1995), hlm. 76.
- 32 Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modernisme (Yogyakarta: IRCiSod, 2004), hlm. 306..
- 33 Berry, Portinga, dan Segall dalam karyanya Cross-cultural Psychology: Research and Applications, menerangkan bahwa pada dasarnya pendidikan multicultural bertujuan untuk menciptakan suatu konteks sosiopolitik yang memungkinkan individu dapat mengembangkan. sikap-sikap positif antar kelompok. Adapun Kymlicka dan Harjanto berpendapat bahwa pendidikan multikultural dapat dilihat dari sisi integrasi bangsa yang menggunakan istilah multicultural nasionalism. Mereka berpendapat bahwa melalui pendidikan multikultural integrasi bangsa dapat dipelihara dan dikembangkan dengan handal, sebab mampu menciptakan masyarakat yang berkeadilan sosial, yang dipersatukan oleh nilai-nilai bersama; menghargai keragaman etnis serta berkomitmen terhadap kesamaan antar kelompok yang akan memungkinkan terwujudnya suatu social and political ideal of togetherness in difference.
- 34 Mudjahirin Thohir, “Nasionalisme Indonesia: Membingkai Pluralitas dalam Kedamaian”, dalam Zudi Setiawan, Nasionalisme NU (Semarang: Aneka Ilmu), hlm. 300.
- 35 Johan Effendi, Kemusliman dan Kemajemukan Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 61.
- 36 Athiyyah al-Abrasyi, At-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Falsafatuha (Beirut: Dar al-Fikr. 1969), hlm 22.
- 37 Abd al-Wahhab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), hlm. 198.
- 38 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, hlm. 102.
- 39 Minuman yang memabukkan baik minuman tersebut dinamakan khamr atau bukan khamr, baik yang berasal dari perasan anggur maupun yang bukan berasal dari perasan anggur. Lihat dalam Abd al-Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.), hlm. 498.
- 40 Anwar Haryono, Hukum Islam: Keluasan dan Keadilan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968) hlm. 140
- 41 Juhaya S. Praja, Epistemologi Hukum Islam (Jakarta: IAIN, 1988), hlm. 196.