Menghadapi Daya Saing Produk Industri Di Era Globalisasi
Era perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) yang kini menjadi pusat perhatian pemerintah dan masyarakat, khususnya para pengusaha sebenarnya bukan barang baru karena Indonesia adalah negara yang terpengaruh atau menjadi negara yang ikut dalam perdagangan bebas dalam bentuk AFTA atau WTO.
Di Indonesia, para pendukung Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China melihat pelaksanaan kesepakatan perdagangan itu akan bermakna besar bagi kepentingan geostrategis dan ekonomis Indonesia dan Asia Tenggara secara keseluruhan. Pertumbuhan perekonomian China yang relatif pesat waktu itu, menjadikan Negara Tirai Bambu itu salah satu aktor politik dan ekonomi yang patut diperhitungkan Indonesia dan Negara – Negara ASEAN. Sebaliknya, mereka yang berpendapat kritis terhadap kesepakatan perdagangan ini melihat potensi ambruknya industri domestik di Indonesia yang akan kesulitan menghadapi tantangan dari banjirnya impor produk murah dari China. Kekhawatiran tesebut memang cukup beralasan. Data statistik Kementrian Perdagangan RI, misalnya menunjukkan, walaupun jumlah total perdangan RI dan China meningkat cukup drastis dari 8,7 milyar dollar AS pada tahun 2004 menjadi 26,8 milyar dollar AS pada tahun 2008, Indonesia yang biasanya mencatat surplus dalam perdagangan dengan China, belakangan ini mulai menunjukkan defisit. Tahun 2008, sebesar 3,6 miliar dollar AS.
Permintaan sejumlah aktor negara dan pengusaha lokal Indonesia untuk menunda pelaksanaan penuh ACFTA sebenarnya kurang beralasan. Terdapat beberapa alasan, Pertama , Indonesia, seperti Negara Asia Tenggara lainnya, telah diberikan tenggat lima tahun untuk mempersiapkan diri. Kedua, Pemerintah China sebenarnya telah memberikan konsesi ekonomi cukup besar terhadap ASEAN dalam proses pelaksaan menuju ACFTA. Pemerintah China memberikan fasilitas yang dikenal dengan Early Harvest Programme , yaitu negara-negara ASEAN dapat mengekspor sejumlah hasil pertanian mereka tanpa dikenakan tarif apa pun ke China mulai tajun 2004 hingga awal 2010. Ketiga, Walaupun harus berhati-hati terhadap kesepakatan perdagangan bebas apa pun, kebijakan proteksionisme berlebihan, khususnya saat dunia mengalami resesi global, tak akan menguntungkan Indonesia. Indonesia seharusnya dapat mengambil kesempatan sebagai satu dari segelintir negara di dunia yang mampu bertahan selama krisis global.Keempat, Indonesia dapat memainkan peranan penting diantara negara-negara ASEAN dalam pelaksanaan perdagangan bebas, antara lain Jakarta dapat mempengaruhi Beijing untuk melakukan usaha perdagangan dan penanaman modal yang bermoral, demokratis, mempertimbangkan faktor lingkungan, dan menjunjung tinggi HAM.
POSISI DAN TINGKAT PERSAINGAN TENAGA KERJA DI INDONESIA
Jika kita perhatikan indikator Human Development Index (HDI), Indonesia masih sangat memprihatinkan, pada tahun 2002 nilainya 0,684 berada pada rangking 110. Pada tahun 2003 HDI Indoneia semakin memburuk menduduki peringkat 112 di bawah Vietnam (109), Thailand (74) dan Brunei Darusalam (31), Korea (30), dan Singapura (28). Selanjutnya pada tahun 2004 dan 2005 HDI Indonesia secara berturut-turut berada pada peringkat 111 dan 110. Menurut “The 2006 Global Economic Forum of Global Competiveness Index (GCI)” yang di-release World Economic Forum (WEF), daya saing global Indonesia kini berada pada poisi yang terpuruk.
Untuk mempertajam pembahasan posisi tenaga kerja dipasar tenaga kerja. Biro Pusat Statistik pada bulan Februari 2009, jumlah penduduk yang bekerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan mengalami kenaikan untuk hampir semua golongan pendidikan jika dibandingkan keadaan Agustus 2008, kecuali untuk pekerja dengan pendidikan diploma yang mengalami penurunan sebanyak 100 ribu orang. Begitu juga jika dibandingkan dengan keadaan setahun yang lalu, dimana penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan mengalami kenaikan untuk hampir semua golongan pendidikan, kecuali pekerja dengan pendidikan SD ke bawah yang menurun sebanyak 190 ribu orang. Meskipun secara rata-rata terdapat kenaikan tingkat pendidikan pekerja di Indonesia, tetapi jumlah pekerja pada jenjang pendidikan SD ke bawah masih tetap tinggi, pada Februari 2009 jumlahnya masih sekitar 55,43 juta orang (53,05 persen). Pekerja dengan pendidikan tinggi secara absolut jumlahnya masih relatif kecil, pekerja dengan pendidikan Diploma I/II/III hanya sebesar 2,68 juta orang (2,56 persen) dan pekerja dengan pendidikan sarjana hanya sebesar 4,22 juta orang (4,04 persen). Berikut data penduduku yang bekerja menurut pendidikan :
Tabel Penduduk Yang Bekerja Menurut Pendidikan Periode Agustus 2007 – Februari 2009 (dlm Juta Orang)
Pendidikan
|
2007
|
2008
|
2009
|
Agustus
|
Februari
|
Agustus
|
Februari
|
SD Kebawah
|
56,37
|
55,62
|
55,33
|
55,43
|
Sekolah Menengah Pertama
|
18,83
|
19,39
|
19,04
|
19,48
|
Sekolah Menengah Atas
|
12,75
|
13,90
|
14,39
|
15,13
|
Sekolah Menengah Kejuruan
|
5,79
|
6,71
|
6,76
|
7,19
|
Diploma I/II/III
|
2,60
|
2,66
|
2,87
|
2,68
|
Sarjana
|
3,60
|
3,77
|
4,15
|
4,22
|
Sumber : Biro Pusat Statistik
Sedangkan jumlah pengangguran pada Februari 2009 mencapai 9,26 juta orang atau 8,14 persen dari total angkatan kerja. Secara umum Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) total cenderung menurun dibanding TPT Agustus 2008 sebesar 8,39 persen, dan TPT Februari 2008 sebesar 8,46 persen. Jika dibandingkan dengan keadaan Agustus 2008, TPT untuk sebagian besar tingkat pendidikan mengalami penurunan, kecuali TPT untuk pendidikan diploma dan universitas yang mengalami kenaikan. Antara Agustus 2008 ke Februari 2009 TPT untuk pendidikan diploma meningkat dari 11,21 persen menjadi 15,38 persen, dan TPT untuk pendidikan universitas naik dari 12,59 persen menjadi 12,94 persen. Pada semester ini TPT untuk pendidikan SMK adalah yang tertinggi yaitu sebesar 15,69 persen. Jumlah pengangguran pada Februari 2009 mencapai 9,26 juta orang atau 8,14 persen dari total angkatan kerja. Secara umum Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) total cenderung menurun dibanding TPT Agustus 2008 sebesar 8,39 persen, dan TPT Februari 2008 sebesar 8,46 persen. Jika dibandingkan dengan keadaan Agustus 2008, TPT untuk sebagian besar tingkat pendidikan mengalami penurunan, kecuali TPT untuk pendidikan diploma dan universitas yang mengalami kenaikan. Antara Agustus 2008 ke Februari 2009 TPT untuk pendidikan diploma meningkat dari 11,21 persen menjadi 15,38 persen, dan TPT untuk pendidikan universitas naik dari 12,59 persen menjadi 12,94 persen. Pada semester ini TPT untuk pendidikan SMK adalah yang tertinggi yaitu sebesar 15,69 persen. Penyebab meningkatnya pengangguran pada masa kini, menurut pengamat ketenaga kerjaan lebih cenderung disebabkan oleh kesiapan para lulusan memasuki dunia kerja, baik dari aspek kompetensi maupun profesionalisme tingkat nasional maupun internasional.
PERAN PEMERINTAH DALAM PROSES PENDIDIKAN TINGGI
Peningkatan daya saing SDM masih dihadapkan pada besarnya jumlah angkatan kerja, jumlah pengangguran (setengah pengangguran atau sementara tidak bekerja), rendahnya budaya unggul, tingkat pendidikan, kemiskinan, komitmen pemerintah, administrasi pemerintahan, segmentasi layanan pendidikan yang kurang berkeadilan serta ragam dan luasnya wilayah yang harus dilayani. Untuk membuat tenaga kerja berpengetahuan, memiliki values dan berketrampilan, akan sangat bergantung pada kualitas pendidikan dan pelatihan yang dimilikinya. Secara nasional kita telah memiliki 82 PTN dengan 3051 program studi; dan 2561 PTS dengan 10287 program studi.
Seharusnya tenaga kerja lulusan perguruan tinggi sebanyak itu akan dapat meningkatkan nilai tambah produk dan layanan yang dihasilkan. Hal itu ditandai dengan peningkatan kualitas hasil kerja, peningkatan produktivitasnya baik secara total dan/parsiil, pengurangan biaya produksi, waktu kerja yang lebih cepat, dan lebih efisien. Hal itu sangat mungkin jika para lulusan PT memang bermutu: telah terlatih, terampil dan produktif. Produktivitas adalah penentu utama tingkat ROI (Return on Invesment) dan agregasi pertumbuhan ekonomi. Kondisi permasalahan di Indonesia yang multikompleks bukanya tidak ada jalan keluar; Daya saing bangsa dapat kita capai dengan meningkatkan kualitas SDM, menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai, perbaikan kondisi ekonomi mikro dan makro serta perbaikan kualitas lembaga publik.
Sekalipun secara nasional kita memiliki 82 PTN dengan 3051 program studi; dan 2561 PTS dengan 10287 program studi, ternyata sangat sedikit program studi yang bermutu, dalam arti mampu mencetak sarjana yang benar-benar kualified dan mampu menjadi pioneer di bidangnya. Semua itu terjadi lantaran perguruan tinggi telah mengabaikan tugas utamanya sebagai institusi yang mengajarkan kebanaran, menemukan kebenaran dan membangun nilai-nilai baru.
Menurut hasil Studi Political and Economical Risk Consultancy (PERC) tahun 2005, mencerminkan betapa rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia saat ini. Derajat pendidikan di Indoensia di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Indonesia berada pada posisi paling buncit. Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, dan Filipina, berada di atas Indonesia.
Upaya Pemerintah dalam merespon tuntutan pasar tenaga kerja baik skala nasional maupun internasional, adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan tinggi Indonesia. Keseriusan Pemerintah terlihat terlihat jelas dengan diterbitkannya Perundangan dan Peraturan Pemerintah yang merupakan kesatuan tujuan untuk menjamin mutu pendidikan tinggi, antara lain UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No. 9 Tahun 2009 tentang BHP, RPP tentang Penyelenggaraan dan Penyelenggaraan Pendidikan, PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan HELTS ( Higher Education Long Strategy) 2003-2010.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang menyatakan bahwa : (1) Setiap Satuan Pendidikan formal dan non formal wajib melakukan Penjaminan Mutu Pendidikan, (2) Penjaminan Mutu pada ayat (1) bertujuan untuk memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan, (3) Penjaminan Mutu pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematik, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.
Tujuan Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi: adalah untuk memelihara dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berkelanjutan (continous improvement), yang dijalankan oleh perguruan tinggi secara internal untuk mewujudkan visi dan misinya, serta memenuhi kebutuhan stakeholders melalui penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi.
Penjaminan Mutu adalah proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan secara konsisten sehingga konsumen dan produsen, serta pihak lain yang berkepentingan memperoleh kepuasan. Dalam konteks perguruan tinggi, penjaminan mutu dimaksudkan agar kepuasan dapat dirasakan mahasiswa, orangtua, dunia kerja, pemerintah, dosen, tenaga penunjang, serta pihak lain yang berkepentungan.
Pendidikan tinggi dianggap bermutu atau berkualitas apabila mampu menetapkan dan mewujudkan visinya melalui pelaksanaan misinya, serta mampu memenuhi kebutuhan stakeholders berupa kebutuhan masyarakat (societal needs), kebutuhan dunia kerja (industrial needs), dan kebutuhan profesional (profesional needs).
Wujud perhatian pemerintah lainnya adalah :Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) bersama Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sepakat mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi yang disesuaikan dengan kebutuhan dunia usaha dan pasar kerja.
Menakertrans sendiri mengakui sudah melakukan pertemuan secara khusus dengan Menteri Pendidikan Nasional untuk membahas penerapan konsep link and match dalam rangka peningkatan SDM dan tenaga kerja. Pembahasan yang ada fokus untuk mencari titik temu atara Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Ketenagakerjaan.
Ke depan, Depnakertrans dan Depdiknas juga sepakat untuk mengupayakan komposisi/perbandingan antara sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) yang tadinya 60 persen dan 40 persen menjadi lebih banyak jumlah SMK. Sedangkan untuk perguruan tinggi, sistem pendidikan dan kurikulum harus disesuaikan dengan potensi keunggulan komparatif sumber daya alam serta potensi ekonomi di setiap provinsi masing-masing.
Terkait upaya menanggulangi pengangguran berstatus lulusan diploma dan perguruan tinggi (D-l hingga S-1), Depnakertrans menggulirkan program pusat layanan ketenagakerjaan (Employment Service Center/ESC) di beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta. Implementasinya, ESC merupakan bursa kerja secara online yang menyajikan informasi peluang dan lowongan kerja yang disediakan perusahaan, lengkap dengan data kualifikasi yang diinginkan.
Sementara itu, bagi lulusan pendidikan atau pencari kerja yang ingin meningkatkan kompetensi bisa mendatangi balai latihan kerja (BLK) yang dilengkapi program Kios 3 in 1 atau mengusung program pelatihan, sertifikasi, dan penempatan. Saat ini terdapat 11 BLK yang dikelola pemerintah pusat dan 171 BLK yang dikelola pemerintah daerah di seluruh Indonesia.
Tersedianya SDM yang menguasai ipteks dalam jumlah, mutu dan memiliki daya beli yang memadai hasil dari lembaga-lembaga pendidikan akan mendorong tumbuhnya lembaga, dunia dan industri berbasis ilmu pengetahuan yang dapat menyerap tenaga kerja produktif, yang dapat menghasilkan barang, jasa dan produk-produk yang berdaya saing tinggi. Asumsinya adalah untuk mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas harus dilihat dari kualitas sistem pendidikan yang ada di suatu negara. Artinya, jika suatu negara memiliki sistem pendidikan yang baik, maka sistem itu akan mampu melahirkan tenaga kerja yang baik.
Pengembangan kelembagan dan infrastruktur IPTEK dalam implementasinya bukan hal yang mudah. Membangun keterkaitan, jejaring, dan sinergi dengan pemangku kepentingan kunci, termasuk masyarakat sekitar, merupakan hal yang sangat penting. Karena itu agenda peningkatan daya saing harus seiring sejalan dengan penguatan kohesi sosial. Hal lain adalah semakin mendesaknya kebutuhan akan terintegrasinya informasi dan komunikasi pengetahuan/ teknologi yang memudahkan baik pihak penyedia maupun pengguna. Ini yang sering disebut dengan peran Technology Clearing House (TCH). Dengan THC, diharapkan aset intelektual yang berkembang dapat dikelola dengan lebih baik, diakses oleh masyarakat yang membutuhkan (termasuk kemungkinan komersialisasi) dan didifungsikan dengan lebih efektif dan efisien. THC berpotensi menjadi salah satu “simpul” peningkatan sinergi banyak pihak. Bagaimana arah dan pengelolaan implementasi TCH pada tataran ”Pusat” dan ”Daerah” tentu perlu dirumuskan dengan baik agar benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Dengan demikian, peran Perguruan Tinggi menjadi penting sebagai basis produksi, diseminasi, dan aplikasi ilmu pengetahuan serta inovasi teknologi. PT berperan strategis dalam konteks pembangunan kapasitas dan peningkatan keahlian, kompetensi profesional, dan kemahiran teknikal. Bangsa yang mempunyai banyak manusia terdidik, berpengetahuan, dan menguasai teknologi pasti memiliki daya saing kuat dalam kompetisi ekonomi global. Daya saing nasional amat ditentukan oleh kemampuan bangsa bersangkutan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, melakukan inovasi teknologi, dan mendorong program riset dan pengembangan untuk melahirkan berbagai penemuan baru.
Untuk itu, hubungan segi tiga antara ilmu pengetahuan, dunia industri, dan universitas (triple helix of knowledge-industry-university) menjadi tak terelakkan. Selain menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi, PT menyediakan tenaga profesional yang diperlukan dunia industri. PT juga dapat melakukan kegiatan litbang yang memberi manfaat bagi perkembangan industri dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan dunia industri dapat mengalokasikan dana untuk menopang kegiatan litbang di universitas. Sangat jelas, dinamika hubungan segi tiga ini akan memberi sumbangan besar pada peningkatan produktivitas nasional yang pada gilirannya meningkatkan daya saing bangsa.
Dalam hal ini, pendidikan tinggi harus diarahkan juga untuk meningkatkan daya saing bangsa. Sehingga mampu menghasilkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya untuk kemandirian bangsa. Pengembangan unggulan diarahkan pada bidang-bidang yang relevan terhadap kepentingan masyarakat dan bangsa. Khususnya yang dapat memberikan nilai tambah pada hasil sumber daya alam secara berkelanjutan serta mengurangi ketergantungan dari pihak luar. Karena itu, sekali lagi, pemerintah harus mengembangkan sistem yang dapat menjamin kesetaraan akses pada pendidikan yang berkualitas. Lapangan kerja yang terus berubah serta globalisasi mengharuskan penyelenggaraan sistem pendidikan yang mampu mewujudkan masyarakat belajar sepanjang hayat.