Rekonstruksi Mazhab Manhaji Nahdlatul Ulama Menuju Ijtihad Saintifik Modern
Di kalangan NU, Musyawarah Nasional (MUNAS) alim-ulama pada tanggal 21-25 Juli 1992 di Bandar Lampung adalah awal munculnya kesadaran formal akan pentingnya pengembangan pemikiran metodologis khususnya dalam rangka melakukan ijtihad untuk mengambil keputusan hukum. Menurut Ahmad Zahro -melalui telaah dokumenter- sepanjang kurun waktu 1926 sampai dengan 1999 disimpulkan bahwa Lajnah Bahtsul Masa’il dalam mengaplikasikan pendekatan bermazhab menggunakan tiga macam metode penggalian hukum yang diterapkan secara berjenjang, yaitu sebagai berikut:
Pertama, metode qauly (tekstual); yaitu dengan merujuk langsung pada teks pendapat imam mazhab empat atau pendapat ulama pengikutnya. Kedua, metode ilhaqi; yaitu menyamakan hukum suatu kasus yang belum ada ketentuan hukumnya dengan kasus yang telah ada hukumnya dalam kitab-kitab fikih. Ketiga, metode manhajiy (bermazhab secara manhajiy/metodologis); yaitu menyelesaikan masalah hukum dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam mazhab. Prosedur operasional metode manhajiy adalah dengan mempraktekkan qawaid ushuliyyah (kaidah-kaidah ushul fiqh) dan qawaid fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh).
Ditilik dari sisi pengembangan teoritis dalam metode berijtihad, munculnya penegasan secara teoritis dalam hal metode dan prosedur penggalian hukum, metode manhajiy merupakan suatu perkembangan yang ideal karena konsekuensi penggunaan metode ini adalah harus mengacu pada metode penggalian hukum mazhab empat secara komprehensif dengan memperhatikan ragam dan hirarkinya. Akan tetapi itu saja tidak cukup, karena baik kaidah fiqh maupun ushul fiqh dalam batas tertentu akan tidak mampu memecahkan problem hukum kontemporer. Oleh karenanya agar metode itu compatible dengan dunia modern, maka perlu ada pengembangan metodologi.
Sementara berijtihad secara manhajiy dengan pengertian di atas, karena masih berkutat pada pengambilan dan mengikuti apa yang sudah dihasilkan oleh ulama mazhab, belum sampai pada pengembangan metodologi yang mesti menjadi kebutuhan dalam kontek memecahkan problem hukum kontemporer. Pengembangan metodologi dilatarbelakangi oleh kenyataan ketidakcukupan metode klasik memecahkan problem-problem kontemporer. Sementara metode-metode sain modern karena meninggalkan peran wahyu juga dirasa tidak cukup memberikan jawaban kebutuhan muslim kontemporer. Pada titik inilah saya mencoba menawarkan sebuah gagasan untuk mengisi ruang kosong dalam hal pengembangan metodologi.
Pengembangan yang dimaksud adalah melakukan upaya rekonstruksi bangunan teori bermazhab secara manhajiy yang telah didefinisikan di atas, yang dikawinkan dengan motode-metode sain modern dengan mengambil elemen-elemen baik dari metode-metode Islam klasik maupum metode-metode Barat modern. Sintesa dari keduanya diharapkan menghasilkan sebuah metode yang cukup applicable. Usaha itu dilakukan dalam rangka pengembangan pemikiran metodologis menuju meminjam istilah Qodri Azizi “ijtihad saintifik modern” dengan metode “manhajiy eklektis” atau “manhajiy plus saintifik”, sebagai implementasi al-Muhafadzoh ‘ala al-Qadim al-Shaleh wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah (melestarikan khazanah lama yang baik dan mengambil khazanah baru yang lebih baik) .
Ketidakcukupan Metode-metode Klasik
Perkembangan pemikiran keislaman dalam sepanjang sejarahnya telah menunjukkan adanya varian-varian yang khas sesuai dengan semangat zamannya. Varian-varian itu berupa semacam metode, visi, dan kerangkan berpikir yang berbeda-beda antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya.
Ajaran dan semangat Islam akan bersifat universal (melintasi batas-batas zaman, ras, dan agama), rasional (akal dan hati nurani manusia sebagai partner dialog), dan necessary (suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri), tetapi respon historis manusia dimana tantangan zaman yang mereka hadapi sangat berbeda dan bervariasi, maka secara otomatis akan menimbulkan corak dan pemahaman yang berbeda pula. Dalam konteks ini, ijtihad merupakan sesuatu yang tak pernah ditutup tetapi harus selalu digelorakan.
Dalam kontek mengelorakan ijtihad, Ilmu ushul Fiqh merupakan perangkat metodologi baku yang telah dibuktikan perannya oleh para pemikir Islam semisal Imam mazhab dalam menggali hukum Islam, dan dalam bidang yang lain, dari sumber aslinya (al-Qur’an dan as-Sunnah). Namun dewasa ini fiqh Islam dianggap mandul karena peran kerangka teoritik ilmu ushul fiqh dirasa kurang relevan lagi untuk menjawab problem kontemporer. Hal ini memunculkan kesulitan-kesulitan dalam menjawab problem kontemporer
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi pemikiran Islam kontemporer menjadi lebih akut oleh kenyataan bahwa penggunaan metode muslim klasik tidak dapat dengan mudah menggantikan tugas menanggulangi ketidakcukupan ilmu-ilmu Barat. Ini karena ilmu-ilmu klasik dengan sendirinya tidak memadai untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas ilmiah modern. Ketidak cukupan ini telah menjadi sorotan sejumlah pakar muslim. Al-Faruqi misalnya menyatakan bahwa ketidakcukupan metode-metode tersebut terungkap dalam dua kecenderungan yang saling berlawanan secara diametral. Kecenderungan pertama adalah pembatasan lapangan ijtihad ke dalam penalaran legalistik yakni memasukkan problem-problem modern di bawah kategori-kategori legal, sehingga dengan cara demikian mereduksi mujtahid kepada faqih (jurist) dan mereduksi ilmu ke dalam fiqh. Kecenderungan kedua adalah menghilangkan seluruh criteria dan standar rasional dengan menggunakan "metodologi yang murni intuitif dan esoteris".
Keprihatinan serupa juga disampaikan oleh Abdul Hamid Sulayman yang mengaitkan krisi intelektualisme muslim modern dengan ketidakcukupan metodologis yang menimpa pemikiran muslim kontemporer, yang memanifestasikan dengan sendirinya dalam penggunaan pola pikir yang semata-mata linguistik dan legalistik. Konsekuensinya meskipun seorang faqih (jurist) dididik untuk menangani problem-problem legal spesifik, kenyataannya dia terus dipahami sebagai orang yang serba bisa, intelektual universal yang mampu memecahkan seluruh problem masyarakat modern. Akibatnya untuk menjawab problem-problem kontemporer masih selalu mengandalkan informasi dari kitab-kitab klasik secara tektual tanpa diimbangi kemauan menangkap makna substansinya apalagi metode berpikirnya.
Aspek lain dari ketidakcukupan metode-metode klasik diungkapkan oleh Muna Abu Fadl. Alasan metode klasik tidak memadai, menurutnya, adalah bahwa bila studi fenomena sosial mengharuskan suatu pendekatan holistic yang dengan cara itu relasi-relasi sosial disistematisasikan menurut aturan-aturan universal, metode klasik bersifat atomistik yang pada dasarnya disandarkan pada penalaran analogis. Oleh karenanya, kiranya cukup alasan jika muncul banyak tawaran metodologi baru dari para pakar Islam kontemporer dalam usaha menggali hukum Islam dari sumber aslinya untuk disesuaikan dengan dinamika kemajuan zaman.
Kenyataan ini tidak bisa ditolak karena fenomena keangkuhan modernitas dan industrialisasi global telah menghegemoni seluruh lini kehidupan anak manusia sehingga memicu dinamika pemikiran Islam kontemporer dengan segala perangkat-perangkatnya termasuk metodologi ushul al-fiqh dan qawaid al-Fiqhiyyah. Dinamika yang dimaksud adalah bahwa perlu dilakukan upaya inkorporasi wahyu ke dalam penelitian ilmiah guna membebaskan sarjana-sarjana muslim dari paksaan epistemologi Barat. Hal ini merupakan pekerjaan besar yang harus dilakukan dalam rangka membangun cita diri Islam (self image of Islam) di tengah kehidupan modern yang senantiasa berubah dan berkembang. Di Indonesia pada dasawarsa terakhir telah muncul perkembangan pemikiran hukum Islam yang disesuaikan dengan kondisi riil kehidupan di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa fiqh klasik sudah tidak mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer.
Korporasi Wahyu dan Metode Ilmiah
Walaupun kebenaran wahyu itu mutlak, tetapi sebagai bukti kebijakan Allah, nabi dan rasul tidak diperbolehkan memaksakan ajarannya (kebenaran) kepada orang lain. Demikian pula yang menjadi kebiasaan para mujtahid, mereka tidak pernah memaksakan hasil ijtihadnya kepada orang lain untuk mengikutinya, bahkan mempersilahkan meninggalkannya ketika didapatkan hasil ijtihad yang lebih valid.
Pada zaman modern, Islam berada dalam ujian yang sangat berat, khususnya ujian epistemologis. Ilmu ushul fiqh yang mestinya dapat berperan sebagai metodologi baku bagi seluruh pemikiran intelektual Islam, dipersempit wilayah kerjanya hanya terbatas dalam bidang hukum Islam. Oleh karenanya sangat beralasan jika dikatakan bahwa kemunduran fiqh Islam dikarenakan kurang relevannya perangkat teoritik ilmu ushul fiqh untuk memecahkan masalah-masalah kontemporer. Hal inilah yang kemudian menjadikan pekerjaan besar bagi para pemikir Islam untuk merumuskan dan memberikan solusi intelektual terhadap permasalahan tersebut. Al-Jabiri misalnya melihat ada tiga tipologi dalam wacana pemikiran Islam, yaitu modernis (‘asraniyyun, hadathiyyun), tradisionalis (salafiyyun), dan eklektis (taufiqiyyun). Menurut al-Jabiri, bahwa tipologi itu terjadi karena terdapat relasi signifikan pada titik tertentu antara satu konstruksi pemikiran dengan realitas sosial sebagai respon dan dialektika pemikiran terhadap fenomena yang sedang terjadi dan berkembang di masyarakat.
Doktrin ideal yang bersumber dari wahyu Tuhan, ternyata tidak mampu berhadapan dengan ujian yang satu ini, sehingga wahyu menjadi tidak dapat “difungsikan” dan “dirasakan” sebagai mana mestinya”. Demikian, agar wahyu ini dapat “difungsikan” dan “dirasakan” sebagai mana mestinya, manusia harus mengerti dan memahami substansi nilai yang terkandung di dalamnya. Manusia harus melakukan apresiasi intelektuil atas “doktrin ideal” tersebut yang ditopang dengan kerangka metodologi yang tepat. Prasarat yang harus ditepati adalah harus ada “kesepakatan” untuk melakukan pemahaman intelektual bahwa agama adalah sistem simbolik yang tidak cukup difahami sebagai formula-formula abstrak tentang kepercayaan dan nilai saja.
Apresiasi atas agama harus dilakukan pengungkapan makna dibalik teks kemudian dilakukan penafsiran. Dari sana akan tergambarkan bahwa Islam adalah ajaran yang dinamis. Dinamisme itu berada di antara Islam Ideal dan Islam Sejarah. Kedinamisan itu terletak dalam ajarannya yang menganjurkan agar akal dapat memahami ayat atau tanda yang terdapat dalam ayat. Di situlah Islam mengenal konsep ijtihad yang digunakan sebagai metode untuk merekonstruksi pemikiran Islam. Melalui cara seperti ini seorang mujtahid dapat memastikan posisi akal pikirannya dalam mencampuri hukum Allah. Ini berarti, antara akal dan wahyu harus ditempatkan pada posisi yang proporsional dalam artian bahwa wahyu tidak akan mengebiri akal tetapi akal dalam perannya tidak boleh melampaui wahyu karena, kebenaran wahyu bersifat mutlak dan kebenaran akal manusia bersifat relatif (nisbi). Keduanya tidak boleh saling menegasikan tetapi harus berkelindan untuk memberikan solusi terhadap problematika kehidupan. Karena wahyu sebagai teks suci dan problematika sebagai realita pada hekekatnya berasal dari sumber yang sama. Oleh karenanya dalam memahami teks harus tidak boleh terlepas dari konteks.
Hal itu penting, karena kalau kita mencoba mengkontekkan antara nash (teks suci) dan al-Waqi’ (kenyataan) maka prasarat yang harus dipahami adalah bahwa keduanya merupakan dua wilayah yang jika dapat dikawinkan maka akan memunculkan pemahaman yang komprehensip. Corak dalam membaca teks menurut asy-Syatibi ada tiga yaitu qira’ah salafiyyah, qira’ah ta’wiliyyah, dan qira’ah maqashidiyyah. Sementara dalam wilayah al-Waqi’ ada beberapa disiplin ilmu yang digunakan dalam memahami fenomena-fenomena sosial, politik dan sebagainya misalnya sosiologi, antropologi, dan seterusnya. Pada wilayah inilah metode ilmiah cukup baik untuk menjadi komandan kajian. Dengan demikian idealnya adalah ketika melakukan pembacaan teks kemudian dikontekkan pada fenomena sosial seharusnya tidak boleh meninggalkan disiplin ilmu dengan segala perangkat metode ilmiah yang ada pada wilayah al-Waqi’. Jika tidak maka pemahaman atas teks tersebut akan out of date, sehingga tidak applicable.
Peta Pemikiran Hukum Islam di Indonesia
Di Indonesia, setidaknya ada dua kelompok besar yang terlibat dalam pembahasan tentang pemberlakuan hukum Islam di Indonesia. Dua kelompok itu adalah kelompok yang menekankan pendekatan normatif (formalisme) dan kelompok yang menekankan pendekatan kultural (budaya). Kelompok pertama berpendapat bahwa Islam adalah lengkap, sehingga hukum Islam harus diterapkan kepada seluruh umat Islam untuk dilaksanakan dalam seluruh kehidupan sehari-hari. Sedangkan yang kelompok kedua berpandangan pentingnya penyerapan nilai-nilai hukum Islam ke dalam masyarakat. Tokoh semisal KH. M.A. Sahal Mahfudh, KH. Ali Yafi dengan pemikiran “Fiqh Sosial” masing-masing adalah termasuk kelompok yang kedua.
Bagi KH. Sahal bermazhab secara metodologis (manhaji) merupakan sebuah keharusan, karena teks-teks fiqh dalam kitab kuning dipandang sudah tidak aplicable seiring dengan berubahnya ruang dan waktu, sehingga pemahaman fiqh secara tekstual merupakan aktifitas ahistoris dan paradoks dengan problem kontemporer.
Menurut KH. Sahal Mahfudh, keniscayaan itu disebabkan bukan hanya karena memahami secara tekstual terhadap teks-teks dalam kitab kuning merupakan aktifitas yang ahistoris, tetapi juga paradoks dengan makna dan karakter fiqih itu sendiri, sebagai sebuah hasil pemahaman yang tentunya bersifat relatif menerima perubahan. Sedangkan prosedur berijtihad/beristinbath secara manhajiy (metodologis) menurutnya adalah dengan cara melakukan ferifikasi persoalan-persoalan yang tergolong ushul (pokok/dasar) dan permasalahan yang termasuk furu’ (cabang) dengan terlebih dahulu melakukan klasifikasi apakah termasuk dlaruriyyat (kebutuhan mendesak), hajiyat (kebutuhan sekunder), atau tahsiniyyat (kebutuhan tambahan).
Pada tataran aplikasi KH. Sahal Mahfudh tampaknya sepakat dengan pendapat Maliki dan Hanbali dengan konsep al-Maslahah al-Mursalah dan asy-Syatibi dengann teori maqashid al-Syariah. yang selalu memandang aspek mashlahah sebagai acuan syari’ah dalam beristinbath dengan tetap memperhatikan pendapat para shahabat, dan fuqoha awal. Cara ini ditempuh agar dalam proses penggalian hukum (istinbath) tidak terjerat ke dalam arus modernitas–liberal semata, tetapi tetap dalam kerangka etik profetik dan frame kewahyuan. Atas dasar pemikiran ini, beliau memberikan tawaran pemikiran “Fiqih Sosial” merupakan jawaban alternatif guna menjembatani antara otentisitas “doktrin dengan : tradisi dan realitas sosial”. Dilihat dari substansi konsep dan semangatnya, tawaran Sahal Mahfudh tersebut nampaknya tidak jauh dengan apa yang disebut bermazhab secara manhajiy yang diproklamirkan pemakaiannya pada Munas di Bandar Lampung tahun 1992.
Rekonstruksi Metode Bermazhab Secara Manhajiy: Sebuah Tawaran
Ketika berbicara tentang upaya melakukan studi rekonstruksi terhadap suatu konsep, tentu yang paling pertama diketahui adalah pengertian rekonstruksi itu sendiri. Rekonstruksi atau reconstructie (Perancis), reconstruction (Inggris) berarti sebuah usaha atau proses pembangunan kembali, penyusunan atau perangkaian kembali. Dalam sebuah aliran dalam filsafat pendidikan dikenal sebuah teori rekronstruksionisme yang mengatakan bahwa bagi aliran ini, persoalan-persoalan pendidikan dan kebudayaan dilihat jauh ke depan dan bila perlu diusahakan terbentuknya tata peradaban yang baru. Menurut Hasan Hanafi, rekonstruksi adalah pembangunan kembali warisan-warisan Islam berdasarkan spirit modernitas dan kebutuhan Muslim kontemporer.
Dalam konteks teori-teori tersebut di atas, konsep bermazhab secara manhaji yang telah diputuskan oleh Musyawarah Nasional (MUNAS) NU sebagai salah satu metode untuk memecahkan masalah-masalah hukum adalah salah satu bentuk produk kebudayaan. Sementara kaidah-kaidah fiqh dan kaidah-kaidah ushul fiqh adalah warisan-warisan Islam yang seharusnya senantiasa dituntut menyesuaikan spirit modernitas dan kebutuhan Muslim kontemporer. Oleh karenanya kiranya perlu dilakukan rekonstruksi agar senantiasa kapabel untuk menjawab problem ke depan. Ini penting dilakukan karena teks terbatas sementara permasalahan selalu muncul. Sehingga teks-teks tersebut menjadi tidak cukup memadai untuk menjawab problem-problem kontemporer.
Ketidakcukupan tersebut dapat ditelusur ketika kaidah ushul fiqh dan kaidah fiqhiyyah dihadapkan kepada permasalahan yang belum ada ketentuan hukum baik dalam al-Qur’an, Assunnah maupun dalam kitab-kitab klasik tentu akan tidak cukup untuk dapat menjawabnya. Sebagai contoh masalah asuransi, maka akan lebih tepat jika status hukumnya dipertimbangkan dari segi ada atau tidaknya maslahah dan untuk melihat mashlahah itu akan lebih tepat jika dengan melibatkan teori ekonomi yang terkait, tidak melulu dengan kaidah ushul fiqh dan kaidah fiqhiyyah, walaupun tanpa harus meninggalkan sikap bermazhab yang telah menjadi komitmen Nahdlatul Ulama.
Secara operasional upaya rekonstruksi metode bermazhab secara manhaji harus selalu memperhatikan aspek maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan syari’at), sehingga hukum yang didapatkan tidak akan terlepas dari karakteristik dasar hukum Islam yaitu takammul (sempurna, bulat, tuntas), wasathiyyah (imbang), dan harakah (dinamis). Untuk menjawab tantangan dan memecahkan problema masa kini, kiranya sudah saatnya dilakukan rekonstruksi bangunan metode ushul fiqih tersebut untuk dikawinkan dengan metode saintifik modern agar dihasilkan sebuah keputusan hukum yang aplicable. Perkawinan itu dilakukan dengan mengambil elemen-elemen baik dari metode-metode Islam klasik maupun dari Barat modern. Karena penolakan secara besar-besaran dan a priori terhadap kedua tradisi adalah tidakilmiah.
Secara skematik perkawinan antara metode klasik (qawaidul fiqhiyyah dan qawaid ushuliyyah) dengan metode saintifik modern dapat digambarkan sebagai berikut: