Strategi Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia
Dalam era yang disebut sebagai pasca reformasi ini, beberapa tuntutan yang dikemukakan masyarakat akan tetap ada, terutama yang berkait dengan sektor-sektor yang belum tercapai pada masa reformasi. Sektor-sektor tersebut diantaranya adalah yang berkaitan dengan penegakan hukum, hak asasi manusia, dan pemberantasan korupsi, kolusi dan Nepotisme. Disamping itu juga akan selalu muncul tuntutan terhadap pemenuhan keadilan di bidang ekonomi.
Politik hukum di Indonesia yang telah mengarahkan pembangunan hukum pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, tampaknya sudah sangat mendesak untuk direalisir dengan program yang nyata oleh Pemerintah. Namun yang patut mendapat perhatian, jangan sampai terjebak lagi dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi an sich, tanpa memerhatikan pemerataan ekonomi bagi masyarakat miskin, sebagaimana yang dilakukan pada era Orde Baru.
Cina sebagai macan asia yang menjadi salah satu Negara yang terkuat perkenomian di dunia telah melakukan reformasi hukum secara total, menciptakan hukum yang berbasis pada perekonomian sehingga hukum bisa memperlancar perekonomian dan menjawab semua masalah ekonomi yang ada.
Since the beginning of the 1980s, rapid development of China’s system of vesting legislative power is inevitable. An important legal mechanism for a modern country to strengthen administration, this system of vesting legislative power also promotes development of the state, a reflection of the positive consequences of the re-establishment of China’s legal system and the restructuring of its economy.
Pemerintah Orde Baru menyelenggarakan pembangunan dengan mengultuskan pertumbuhan eknomi melalui pendekatan ekonomi gaya trickle dwon effect. Secara teoritis jika orang kaya meninvestasikan uangnya di sektor riil, infrastruktur dan pasar modal, maka akan ada kegiatan ekonomi yang bergulir dan menghidupi beragam bisnis yang lebih kecil, dan membuat persaingan dalam dunia bisnis berjalan dinamis, yang pada akhirnya harga akan terdesak turun sebagai konsekuensi persaingan yang sehat tersebut. Dengan penggunaan strategi tersebut, diharapkan konglomerat-konglomerat yang telah ‘dibesarkan’ oleh penguasa akan ‘meneteskan’ rezekinya pada masyarakat miskin, sehingga terjadi pemerataan ekonomi.
Pada saat itu, program pembangunan Indonesia banyak mendapat pujian dari dunia internasional, diantaranya meraih swasembada beras, dan keberhasilannya memacu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sehingga menjadi salah satu Negara Asia yang mendapat julukan ‘keajaiban Asia’. Disamping itu, lembaga keuangan dunia semacam World Bank dan IMF juga memuji keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia.
Namun demikian, ternyata pertumbuhan ekonomi tinggi diperlihatkan oleh Pemerintah Soeharto tersebut merupakan window dressing yang digunakan untuk mengelabui mata dunia dan masyarakat Indonesia. Fundamental ekonomi yang digunakan untuk menopang pertumbuhan tinggi tersebut sebenarnya sangat ‘keropos’, hal ini disebabkan konglomerat dan dunia perbankan yang pada saat itu menjadi tulang punggung dan senantiasa mendapatkan keistimewaan dari pemerintah ternyata bukan entrepreneur dan banker dalam arti yang sebenarnya, tetapi mereka hanya rent seeking (pemburu rente) dan para penjarah kekayaan Negara, serta rakyat Indonesia. Akibatnya ‘tetesan’ rezeki ke masyarakat miskin yang kemudian akan berbuah kemakmuran dikonsepkan para arsitektur ekonomi ternyata tidak pernah terjadi.
Puncak dari semua permsalahan ini adalah ketika terjadinya krisis moneter tahun 1997, hal ini menunjukkan betapa rapuhnya perekonomian bangsa yang dibangun selama ini sehingga menuntut untuk dilakukannya reformasi, krisis ekonomi ini juga membawa imbas kepada krisis lainnya seperti krisis sosial, krisis politik dan krisis kepemimpinan di Inonesia, sebagaimana yang digambarkan oleh Harold Crouch:
Economic disruption brought great suffering to much of the population and contributed to regular outbreaks of social conflict, including several ethnic and religious clashes, in various part of the country. Long-standing separatist demands in aceh and irian Jaya gained increasing popular support and East Timor won its independence following a UN supervised referendum.
Konsekuensi demikian seharusnya sudah dapat diketahui dan diantisipasi ketika optik sejarah diarahkan pada kali pertama munculnya terminologi trickle dwon effect. Di Amerika, pada saat kepemimpinan Ronald Reagan, kebijakan ekonomi trickle dwon effect ini dikenal dengan Reaganomic atau supply side economics. Inti dari kebijakan ini adalah pengurangan pajak bagi orang-orang kaya, agar uangnya dapat diinvestasikan pada bisnis-bisnis yang mempunyai dampak luas.
Hal ini tidak jauh berbeda diikuti oleh Bill Clinton, dan selanjutnya Georgr W. Bush yang juga mengurangi pajak orang kaya pada awal 2001, yang mencakup pengurangan pajak untuk capital gain, pajak penghasilan dan pajak perusahaan. Pendekatan ekonomi semacam ini sebenarnya telah lama diterapkan di Amerika, yaitu sejak medio 1890-an dengan nama ‘horse an sparrow theory’. Teori ini menjelaskan bahwa ketika kita memberi makan kuda berupa gandum yang cukup, maka akan terdapat ceceran gandum yang dapat dinikmati oleh sekelompok burung gereja. Lalu mengapa hanya ‘ceceran gandum’ yang harus dibagikan, sementara jumlah burung gereja jauh lebih besar populasinya dibandingkan kuda. Inilah titik lemah konsep trickle dwon effect disektor pemerataan yang banyak menuai kritik dan mengalami pergeseran dalam kaitannya untuk mewujudkan Negara kesejahteraan. Namun kelemahan ini agaknya berhasil dimaksimalkan oleh entrepreneur gadungan dan bankir pemburu rente yang luput dari arahan konseptor ekonomi orde baru. Beragam keistimewaan dan kemudahan yang diberikan pemerintsh tidak berwujud dalam kesejahteraan rakyat sebagai konsekuensi dari efek tetesan yang dimaksud.
Pada saat itu hukum yang seharusnya digunakan untuk memandu sekaligus sebagai landasan bagi pelaku-pelaku ekonomi dalam menjalankan aktivitasnya tidak pernah mendapatkan perhatian atau bahkan dilecehkan keberadaannya. Hukum yang digunakan untuk mengatur aktivitas ekonomi adalah ‘hukum konglomerat’, maksudnya hanya konglomerat yang dekat dengan keluarga cendana yang mendapat berbagai fasilitas istimewa dan mengontrol aktivitas ekonomi di Indonesia.
Di era reformasi seperti sekrang ini, yaitu ketika masyarakat mempunyai komitmen untuk melakukan reformasi di bidang politik, ekonomi dan bidang hukum, kesalahan yang dilakukan pada masa lalu, ketika hokum senantiasa ditelantarkan, sebaiknya tidak terulang kembali. Untuk itu, tepat kiranya pada saat kondisi ekonomi Indonesia masih belum pulih seperti sekarang ini kita mulai memberikan skala prioritas utama pada pembangunan hokum ekonomi di Indonesia, agar bisa digunakan sebagai pondasi dan pemandu para pelaku-pelaku ekonomi untuk menjalankan aktivitasnya. Itulah sebabnya, pemerintah Indonesia tidak hanya harus memusatkan perhatian kepada pemulihan ekonomi, melainkan juga harus meletakkan dasar bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, lebih efisien dan lebih merata.
Untuk mencapai pembangunan hukum ekonomi yang berkualitas ‘reformasi’ untuk mendukung Visi Indonesia 2030 sekaligus juga konsisten dengan tujuan pembangunan hukum sebagaimana tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, pembangunan hukum dilakukan secara berkelanjutan, dengan tetap mengacu pada fundamental hukum.
Pembangunan hukum yang bersifat revolusioner, yaitu mengubah secara sadar dan mendasar system hukum ekonomi yang selama ini berkualitas ‘liberal’ dan dibawah kendali Negara-negara maju menjadi system hukum ekonomi yang berkualitas ‘kekeluargaan (ukhuwah) atau kerakyatan, sebagaimana tertuang dalam nilai-nilai Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945. System hukum ekonomi yang berkualitas ‘kekeluargaan’ atau ‘kerakyatan’, ini sebenarnya juga merupakan system hukum yang tidak sekedar mengandalkan pada rule of law tapi lebih menaruh perhatian pada rule of moral atau rule of justice. Sistem hukum tersebut kemudian diintegrasikan secara timbal balik dengan system ekonomi Pancasila.
Maka diperlukan sebuah penafsiran hukum yang mengarah pada penegakan hukum yang lebih menjunjung nilai moral dan nilai keadilan, tidak terpaku pada penegakan hukum yang kaku hanya pada undang-undang saja, tanpa memandang berani menafsirkan hukum demi terwujudnya keadilan. Indonesia sebagai Negara yang menganut positivism hukum, harus berani keluar dengan memberikan penafsiran-penafsiran yang luas demi terwujudnya keadilan. Menurut Richard A. Posner mengatakan bahwa A number of scholar believe that interpretation is the path to saving the law’s objectivity.
Pembangunan hukum yang bersifat ‘revolusioner’ pernah juga dilakukan oleh Jepang pada tahun 1868, pada saat itu Kaisar Meiji mengeluarkan dokumen penting yang memuat kebijaksanaan dasar untuk mengubah Jepang Feodal menjadi Negara modern, seperti penghapusan wilayah-wilayah feodal ke dalam provinsi, sistem militer wajib, sistem pajak terpusat, serta penghapusan hak-hak feodal dan kelas prajurit. Dengan pendekatan ‘revolusioner’ diharapkan pencapaian Visi Indonesia 2030 dilandasi dan dituntun oleh suatu sistem hukum ekonomi yang bersumber dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta norma-norma yang hidup ditengah masyarakat (hukum adat dan hukum Islam).
Strategi pembangunan hukum ekonomi Indonesia perlu juga memerhatikan konsep pembangunan hukum ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic law development), yang melakukan pembangunan tidak lagi hanya sekedar melakukan ‘bongkar pasang’ pasal-pasal dalam suatu undang-undang atau pembuatan Undang-Undang baru saja, tetapi memerhatikan aspek yang lain.
Aspek-aspek yang dimaksud disini mencakup berbagai dimensi yang luas, yang secara mendasar dapat disarikan menjadi tiga anasir sebagai berikut: (1) structur, (2) substance, dan (3) legal culture. Ketiga aspek ini diambil dari pendapat Lawrence M. Freidman, yang mana pendapat ini sering dirujuk dalam berbagai penelitian dan kajian sistem hukum di Indonesia. Dengan demikian, hukum dapat berkembang sesuai dengan pola perkembangan ekonomi dan hukum dapat menjawab semua permasalahan ekonomi yang ada.
ARTIKEL YANG TERKAIT KLIK DI BAWAH INI