Urgensi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia telah menempuh perjalanan panjang, dimulai dari masa sebelum dan selama penjajahan, dilanjutkan dengan era merebut dan mempertahankan kemerdekaan hingga mengisi kemerdekaan. Masing-masing tahap tersebut melahirkan tantangan jaman yang berbeda sesuai dengan kondisi dan tuntutan jamannya. Tantangan jaman itu ditanggapi bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan nilai-nilai perjuangan bangsa, yang dilandasi dengan jiwa dan tekad kebangsaan. Kesemuanya itu tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan yang mampu mendorong proses terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam wadah Nusantara.
Di era revolusi fisik, semangat perjuangan bangsa yang tidak kenal menyerah, yang hakekatnya merupakan kekuatan mental spiritual bangsa telah melahirkan perilaku heroik dan patriotik, serta menumbuhkan kekuatan, kesanggupan dan kemauan yang luar biasa. Idealnya, dalam situasi dan kondisi apapun semangat juang itu hendaknya tetap dimiliki oleh setiap warganegara NKRI. Di samping sudah terbukti keandalannya, nilai-nilai tersebut terbukti masih relevan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun demikian sebagai fenomena sosial, nilai-nilai itupun mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika kehidupan nasional.
Menjelang akhir abad 20 situasi politik dunia berubah secara drastis. Tahun 1989 Tembok Berlin, lambang terpisahnya blok Barat dan Timur runtuh, disusul bubarnya Uni Sovyet. Konstelasi politik duniapun berubah. Dingin berakhir secara mendadak, di luar perhitungan pihak yang bertikai. Akibatnya, di satu sisi dunia dilanda kevakuman, baik dalam konsep, strategi maupun kepemimpinan politik, sementara di sisi lain muncul tuntutan masyarakat dunia akan adanya Tata Dunia Baru yang aman, sejahtera dan lebih berkemanusiaan.
Perubahan yang begitu mendadak itu membuat Washington terjebak pada situasi kehilangan pegangan dan pedoman dalam mengarahkan perubahan mondialnya. Untuk merubah dari strategi konfrontasi ke rekonsiliasi bukanlah hal yang mudah dan tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat, sementara tuntutan dunia terhadap adanya Tata Dunia Baru terus mendesak.
Di tengah keterdesakan dan ketiadaan konsep tersebut AS selaku pemenang dan adikuasa tunggal nampaknya hanya mengambil jalan mudahnya. AS menganggap bahwa runtuhnya Tembok Berlin sebagai pertanda bahwa dunia tidak lagi bersekat, ditambah lagi adanya gejala meluasnya nilai-nilai bercirikan global. Bertolak dari fenomena tersebut maka AS mulai memperkenalkan apa yang sekarang dikenal sebagai “globalisasi”, yang sebenarnya bukan konsep baru yang diharapkan untuk mengisi kevakuman dunia.
Pada hakekatnya proses yang mengandung ciri penduniaan itu telah melanda dunia jauh sebelum Dingin usai. Hanya saja, selama ini para pengamat tidak menaruh perhatian karena dianggap bukan sebagai gejala yang penting. Gejala awal terlihat dari mendunianya penyebaran jenis-jenis makanan tertentu, tingkah laku orang-orang perkotaan (metropolitan) dan meluasnya penerimaan terhadap mode pakaian dan tata rias. Semua itu mengarus dari masyarakat dunia industri maju ke bagian dunia yang lain, didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan sistim komunikasi telemedia (Soerjanto, 1994:26-29).
Cepatnya komunikasi lewat teknologi elektronika membuat penyebaran informasi berjalan singkat dan melampaui batas negara. Peristiwa di satu titik di muka bumi dalam waktu sekejap dapat diketahui oleh seluruh penjuru dunia. Orangpun mulai merasa bahwa dunia semakin “sempit”. Kemajuan IPTEK bidang informasi, komunikasi dan transportasi telah membuat dunia menjadi semakin transparan. Tidak ada lagi batas atau sekat antara bagian dunia yang satu dengan bagian yang lain, sehingga seolah-olah terbentuk kampung sedunia tanpa mengenal batas negara.
Pertanyaannya ialah apakah “pembaharuan” model AS itu benar-benar memenuhi kebutuhan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat dunia ? Masalahnya setiap bangsa memiliki latar belakang sejarah dan budayanya sendiri. Padahal pembaharuan tanpa konsep yang jelas yang didasarkan pada kondisi dan situasi kultural, sosial dan politik serta sejarah bangsa yang bersangkutan justeru akan membuka peluang munculnya disintegrasi nasional. Pergolakan berdarah yang berlarut-larut di sejumlah negara Afrika, disintegrasi yang melanda Uni Sovyet dan Yugoslavia menjadi contoh yang baik dalam kasus ini.
Permasalahan lain, perkembangan globalisasi juga ditandai dengan kuatnya pengaruh lembaga-lembaga kemasyarakatan internasional dan campur tangan negara-negara maju dalam percaturan politik, ekonomi, sosial-budaya dan militer global. Pada gilirannya hal itu tentu akan menimbulkan berbagai konflik kepentingan, baik antara sesama negara maju, negara maju dengan negara berkembang, sesama negara berkembang maupun antar lembaga-lembaga internasional. Lebih buruk lagi, isu globalisasi, yakni HAM, demokrasi, liberalisasi dan lingkungan hidup, juga sering digunakan oleh negara-negara maju untuk menyudutkan dan mendiskreditkan bangsa dan negara lain, khususnya negara-negara berkembang.
Apabila yang pertama dan kedua lebih didominasi oleh eksekutif dan legislatif, yang ketiga harus dilakukan oleh seluruh segmen masyarakat mulai dari rakyat awam hingga elit politik. Pemberdayaan ini mesti dilakukan secara massal, berkesinambungan dan dalam bingkai paradigma yang jelas. Adapun media yang dianggap kondusif untuk mencapai sasaran itu salah satunya ialah melalui pembelajaran civic education (pendidikan kewarganegaraan). Di tingkat perguruan tinggi, nilai strategis dari pembelajaran ini ialah meningkatnya kesadaran komprehensif mahasiswa terhadap masalah bangsa. Pada gilirannya hal itu akan berujung pada keterlibatan (partisipasi efektif) dan tumbuhnya kesadaran akan tanggung jawab untuk memperbaiki kualitas kehidupan sosial dan politik secara keseluruhan.
Pendidikan Kewargaan : Belajar dari Banyak Negara
Setiap warganegara hakekatnya dituntut untuk dapat hidup berguna dan bermakna bagi negara dan bangsanya. Untuk itu diperlukan bekal ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) yang berlandaskan pada nilai-nilai agama, moral dan budaya bangsa. Fungsinya adalah sebagai panduan dan pegangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam konteks Pendidikan Kewarganegaraan nilai budaya bangsa menjadi pijakan utama, karena tujuan pembelajaran ialah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, juga sikap dan perilaku cinta tanah air yang bersendikan budaya bangsa.
Pendidikan Kewargaan (civic education) sesungguhnya bukanlah agenda baru di muka bumi. Hanya saja, proses globalisasi yang melanda dunia pada dekade akhir abad 20 telah mendorong munculnya pemikiran baru tentang pendidikan kewarganegaraan di berbagai negara. Di Eropa, Dewan Eropa telah memprakarsai proyek demokratisasi untuk menopang pengembangan kurikulum pendidikan kewarganegaraan. Hal yang sama juga terjadi di Australia, Canada, Jepang dan negara Asia lainnya.
Di Amerika Serikat pendidikan kewarganegaraan diatur dalam kurikulum sosial selama satu tahun, yang pelaksanaannya diserahkan kepada negara-negara bagian. Materi yang diajarkan diarahkan pada : 1). Bagaimana menjadi warga yang produktif dan sadar akan haknya sebagai warga Amerika dan warga dunia; 2). Nilai-nilai dan prinsip demokrasi konstitusional; dan 3). Kemampuan mengambil keputusan selaku warga masyarakat demokratis dan multikultural di tengah dunia yang saling tergantung. Di Australia, pendidikan kewarganegaraan ditekankan pada discovering democracy, yaitu: 1). Prinsip, proses dan nilai demokrasi; 2). Proses pemerintahan; dan 3). Keahlian dan nilai partisipasi aktif di masyarakat.
Di Negara-negara Asia, Jepang misalnya, materi pendidikan kewarganegaraan ditekankan pada Japanese history, ethics dan philosophy. Di Filipina materi difokuskan pada : Philipino, family planning, taxation and landreform, Philiphine New Constitution dan study of humanity (Kaelan, 2003:2). Hongkong menekankan pada nilai-nilai Cina, keluarga, harmoni sosial, tanggung jawab moral, mesin politik Cina dan lain-lain. Taiwan menitikberatkan pada pengetahuan kewarganegaraan (disusun berdasarkan psikologi, ilmu sosial, ekonomi, sosiologi, hukum dan budaya); perilaku moral (kohesi sosial, identitas nasional dan demokrasi); dan menghargai budaya lain. Thailand, berusaha :
1). Menyiapkan pemuda menjadi warga bangsa dan warga dunia yang baik; 2). Menghormati orang lain dan ajaran Budha; dan 3). Menanamkan nilai-nilai demokrasi dengan raja sebagai kepala negara. Beberapa negara yang lain juga mengembangkan studi sejenis, yang dikenal dengan nama Civic Education.
Dari sini terlihat bahwa secara umum pendidikan kewarganegaraan di negara-negara Asia lebih menekankan pada aspek moral (karakter individu), kepentingan komunal, identitas nasional dan perspektif internasional, sedangkan Amerika dan Australia lebih difokuskan pada pentingnya hak dan tanggungjawab individu, sistim dan proses demokrasi, HAM dan ekonomi pasar (Sobirin, 2003:11-12).
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA
1. Pengantar Kewarganegaraan
UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional Pasal 39 Ayat (2) menyatakan bahwa setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan di Indonesia wajib memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Selanjutnya dalam Keputusan Mendikbud No. 056/U/1994 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Belajar Mahasiswa, ketiganya dimasukkan dalam kelompok Mata Kuliah Umum (MKU) dan wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi.
Di tingkat Pendidikan Dasar hingga Menengah substansi pendidikan kewarganegaraan digabungkan dengan pendidikan Pancasila sehingga menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Untuk tingkat Perguruan Tinggi, di masa Orde Baru substansi pendidikan kewarganegaraan diberikan melalui mata kuliah Kewiraan yang lebih menekankan pada PPBN (Pendidikan Pendahuluan Bela Negara).
Dengan keluarnya Keputusan Dirjen Dikti No. 267/DIKTI/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum, sebutan MKU diganti dengan MKPK (Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian) dan substansi mata kuliah Kewiraan direvisi dan selanjutnya namanya diganti menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Substansi mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan makin disempurnakan dengan keluarnya Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 dan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
2. Materi Pokok
Seperti diketahui, materi pokok kuliah Kewiraan ialah Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional, Politik dan Strategi Nasional (Polstranas), Politik dan Strategi Pertahanan dan Keamanan Nasional (Polstrahankamnas) dan Sistim Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), yang lebih dititik beratkan pada PPBN. Setelah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan, materi kajian beberapa kali mengalami perubahan. Berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 obyek pembahasan Pendidikan kewarganegaraan ialah :
a. Filsafat Pencasila
b. Identitas Nasional
c. Negara dan Konstitusi
d. Demokrasi Indonesia
e. HAM dan Rule of Law
f. Hak dan Kewajiban Warga Negara
g. Geopolitik Indonesia
h. Geostrategi Indonesia
3. Landasan Hukum
a. UUD 1945
- Pembukaan Alinea Kedua dan Keempat yang memuat cita-cita dan aspirasi bangsa Indonesia tentang kemerdekaan.
- Pasal 27 (1) tentang Kesamaan Kedudukan dalam Hukum
- Pasal 30 (1) tentang Bela Negara
- Pasal 31 (1) tentang Hak Mendapat Pengajaran
b. Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
c..Undang-Undang No. 20/Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Jo. No. 1 Tahun 1988)
d. Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional.
e. Keputusan DIRJEN Pendidikan Tinggi No. 267/DIKTI/KEP/2000 tentang
Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) Pendidikan Kewarganegaraan pada Perguruan Tinggi di Indonesia.
f. Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi
g. Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi
4. Tujuan
Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan mencakup dua hal, yaitu:
a. Tujuan Umum
Untuk memberi bekal pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa mengenai hubungan antara warganegara dengan negara dan PPBN, agar menjadi warganegara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.
b. Tujuan Khusus
1). Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur dan demokratis serta ikhlas sebagai warganegara RI terdidik dan bertanggungjawab.
2). Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggungjawab berlandaskan Pancasila, konsepsi Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
3). Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air serta rela berkorban bagi nusa, bangsa dan negara.
5. Kompetensi yang Diharapkan
Bagi bangsa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan sudah demikian mendesak untuk dilakukan, mengingat dalam masa transisi menuju demokrasi saat ini di masyarakat banyak ditemukan berbagai patologi sosial yang seringkali kontra produktif dengan upaya penegakan demokrasi itu sendiri. Beberapa patologi sosial itu antara lain:
a. Hancurnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat.
b. Memudarnya kehidupan kewargaan dan nilai-nilai komunitas.
c. Kemerosotan nilai-nilai toleransi dalam masyarakat.
d. Memudarnya nilai-nilai kejujuran, kesopanan dan rasa tolong-menolong
e. Melemahnya nilai-nilai dalam keluarga.
f. Praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam penyelenggaraan pemerintahan.
g. Kerusakan sistim dan kehidupan ekonomi.
h. Pelanggaran terhadap nilai-nilai kebangsaan
Adapun kompetensi yang diharapkan dari mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan antara lain :
a. Agar mahasiswa mampu menjadi warganegara yang memiliki pilihan pandangan dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM.
b. Agar mahasiswa mampu berpartisipasi dalam upaya mencegah dan menghentikan berbagai tindak kekerasan dengan cara cerdas dan damai.
c. Agar mahasiswa memiliki kepedulian dan mampu berpartisipasi dalam upaya menyelesaikan konflik di masyarakat dengan dilandasi nilai-nilai moral, agama dan nilai universal.
d. Agar mahasiswa mampu berpikir kritis dan obyektif terhadap persoalan kenegaraan, HAM dan demokrasi.
e. Agar mahasiswa mampu memberikan kontribusi dan solusi terhadap berbagai persoalan kebijakan publik.
f. Agar mahasiswa mampu meletakkan nilai-nilai dasar secara bijak (berkeadaban)
(Sobirin Malian, 2003).