Fiskal vs Moneter Kebijakan Mana Yang Lebih Effektif ?
Pemerintah baru saja mengumumkan rencana perubahan defisit APBN 2009 dari 1,0% terhadap PDB menjadi 2,5% terhadap PDB. Pada kesempatan yang sama Pemerintah juga menjelaskan perubahan defisit tersebut dikarenakan perubahan sejumlah asumsi makro dalam perhitungan APBN 2009 terkait dengan dampak krisis keuangan global. Perubahan sejumlah asumsi makro yang dimaksud antara lain penurunan target pertumbuhan ekonomi dari 6% menjadi 5%, penurunan harga minyak mentah Indoensia (ICP) dari 80 dollar AS per barrel menjadi 45 dollar AS per barrel. Sementara asumsi lifting minyak 960.000 barrel per hari, inflasi sebesar 6,2% dan suku bunga SBI 3 bulan sebesar 7,5%. Rencananya perubahan APBN 2009 tersebut akan kembali dibahas dengan DPR pada akhir bulan Januari 2009.
Akibat perubahan beberapa asumsi makro tersebut, penerimaan negara diperkirakan akan mengalami penurunan sebanyak Rp 128 triliun, sementara belanja negara tetap sebesar Rp Rp322,3 triliun sehingga defisit anggaran naik menjadi Rp80,8 triliun atau 2,5% terhadap PDB. Dalam kesempatan yang sama Pemerintah juga menjelaskan bahwa penurunan penerimaan itu disebabkan karena penerimaan pajak turun Rp54 triliun, PNBP turun menjadi Rp184,9 triliun. Lebih lanjut Pemerintah juga mengumandangkan rencana penguatan pada sektor usaha dan masyarakat yang terimbas dampak krisis melalui pemberian stimulus fiskal sebesar Rp15 triliun dan akan dialokasikan untuk memberikan subsidi dalam bentuk bea masuk maupun PPN DTP.
Dari sisi moneter, Bank Indonesia juga seirama dengan Pemerintah di dalam pemberian beberapa bantalan-bantalan penangkal dampak krisis keuangan global melalui beberapa paket kebijakan secara sepihak(moneter saja) ataupun kebijakan yang bersamasama dengan Pemerintah. Kebijakan yang paling dinantikan oleh sektor riil tentu saja kebijakan yang mampu menurunkan tingkat suku bunga kredit sebagai stimulus utama penggerak lajunya dunia usaha.
Dari penjelasan diatas, kemudian muncul pertanyaan sebetulnya kebijakan apakah yang paling menentukan bagi suatu negara? Apakah kebijakan moneternya ataupun fiskalnya? Apakah kebijakan moneter harus lebih mendominasi atau justru kebijaka fiskalnya yang lebih berperan? Atau justru kedua-duanya harus berjalan seiring? Kemudian faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar bahwa kebijakan moneter akan lebih efektif dibandingkan kebijakan fiskal ataupun sebaliknya ?
Semua pelajar ekonomi pasti mengetahui masalah keseimbangan ekonomi. Hal yang sama juga dipahami mengenai luas kecilnya skala perekonomian sebagai dasar analisis utama. Ketika perekonomian masih dalam kondisi awal, kegiatan ekonomi hanya terdiri dari kegiatan konsumsi, investasi dan pemerintah (C,I,G). Ketika muncul peran hubungan luar negeri, perekonomian kemudian berkembang menjadi kegiatan konsumsi, inevstasi, pemerintah dan luar negeri( C,I,G,(X-I) ). Perekonomian negara yang sudah memasukkan unsur hubungan luar negeri tentu membawa konsekuensi munculnya sistem aliran devisa negara serta sistem nilai tukar mata uang antar negara.
Berbicara mengenai perekonomian secara luas, kita semua pasti mengetahui sebuah nama Mundell Flemming. Ekonom inilah yang kemudian memodifikasi bentuk analisa IS-LM yang sederhana dengan memasukkan unsur Balance of Payment (BOP) sehingga analisanya menjadi lebih kompleks. Dari hasil analisa IS-LM-BOP inilah nantinya dapat dijadikan dasar penentuan apakah kebijakan fiskal atau moneter yang lebih berperan bagi perekonomian suatau negara, berdasarkan sistem nilai tukar negara maupun sistem aliran devisa negara.
- Kebijakan Fiskal Pada Fixed Exchange Rate
Sebagai contoh ilustrasi ekonomi berada pada kondisi awal di titik A dengan tingkat suku bunga domestik (r) sama dengan tingkat suku bunga luar negeri (rf). Karena kondisinya sedang krisis, sektor swasta tidak tumbuh sebagaimana mestinya dan sektor pemerintah lah yang memegang peranan dalam bentuk peningkatan spending government nya(G). Kenaikan government spending (G) akan mengakibatkan kurva IS1 bergerak ke kanan menuju IS1 sehingga ada dorongan bagi perekonomian untuk bergeser menuju titik B sebagai titik keseimbangan baru. Pergeseran dari titik A menuju B tersebut akan menyebabkan kenaikan pada tingkat suku bunga domestik menjadi r1. Kenaikan tingkat suku bunga ke r1 menyebabkan terjadinya aliran modal masuk bertambah (capital inflow) yang mengindikasikan adanya kenaikan permintaan terhadap Rupiah. Hal tersebut juga dapat diartikan tingkat suku bunga domestik lebih tinggi daripada tingkat suku bunga internasional sehingga orang tertarik untuk menabung di domestik. Naiknya demand terhadap Rupiah menyebabkan pemerintah harus menambah supply dari Rupiah (karena kurs tetap maka kurs tidak akan disesuaikan). Adanya kenaikan penawaran terhadap Rupiah inilah yang menyebabkan ekspor mengalami penurunan dan impor justru meningkat pesat.
Peningkatan dari supply Rupiah menyebabkan kurva LM bergerak menuju LM1 yang artinya kurva LM mengalami penurunan. Keseimbangan ekonomi kembali berpindah menuju titik C dengan tingkat pendatan naik dari Y menuju Y2. Kenaikan tingkat pendapatan inilah yang menjadi barometer kesuksesan kebijakan fiskal pada kondisi fixed exchange rate.
- Kebijakan Moneter Pada Fixed Exchange Rate
Dengan ilustrasi yang sama kita dapat menjelaskan jalannya perekonomian pada kondisi krisis dengan kebijakan moneter di dalamnya. Perekonomian diumpamakan berada pada kondisi keseimbangan awal di titik A dengan IS0-LM0. Perubahan yang terjadi pada fixed exchange rate juga sama di sini hingga terjadinya kenaikan penawaran Rupiah. Adanya peningkatan penawaran Rupiah akan menyebabkan bergeraknya LM ke LM1 sehingga perekonomian berpindah dari titik A menuju B.
Perpindahan kondisi perekonomian dari A menuju B menyebabkan penurunan pada tingkat bunga dari r ke r1 sehingga terjadi aliran modal keluar (capital outflow) akibat rendahnya tingkat suku bunga domestik dibandingkan suku bunga internasional.
Meningkatnya capital outflow ini akan menyebabkan terjadinya kenaikan permintaah valuta asing. Peningkatan permintaan valuta asing di satu sisi menyebabkan terjadinya penurunan penawaran Rupiah sebagai substitusi valuta sing. Pengurangan penawaran Rupiah sama saja artinya dengan penurunan kurva LM sehingga kurva LM kembali bergerak dari LM1 ke LM0 dan keseimbangan kembali berpindah dari B menuju A.
Keseimbangan ini biasanya tidak permanen dan hanya terjadi pada periode jangka pendek sehingga dapat disimpulkan pada negara dengan kebijakan fixed exchange rate, kebijakan moneter tidak efektif dibandingkan kebijakan fiskal.
- Kebijakan Fiskal Pada Flexible Exchange Rate
Adanya kebijakan fiskal dalam arti terjadinya kenaikan government spending (fiskal ekspansif) akan menggerakkan kurva IS1 ke kanan atau berpindah dari IS0 menuju IS1. Akibatnya suku bunga domestik mengalami kenaikan dan terjadi capital inflow dari dunia internasional. Dengan kebijakan kurs yang flexible maka kenaikan permintaan terhadap Rupiah akan memungkinkan perubahan kurs yang menyebabkan harga tukar Rupiah meningkat (apresiasi Rupiah).
Efek dari apresiasi Rupiah terhadap perdagangan Indonesia cukup merugikan, sebab secara relatif harga komoditi Indonesia lebih mahal dalam valuta asing sehingga mengurangi permintaan ekspor kita serta meningkatkan permintaan impor. Akibatnya apresiasi Rupiah akan kembali menurunkan kurva IS1 ke kiri dan menurunkan keseimbangan ekonomi dari titik B kembali ke titik A dalam jangka panjang. Jadi dapat disimpulkan pada negara dengan kebijakan flexible exchange rate, kebijakan fiskal tidak efektif dibandingkan kebijakan moneter.
- Kebijakan Moneter Pada Flexible Exchange Rate
Kebijakan moneter yang ekspansif akan menyebabkan kenaikan kurva LM sehingga bergeser dari LM0 menuju LM1. Akibatnya tingkat suku bunga domestik turun dan terjadinya capital outflow ke luar negeri. Dalam kondisi flexible exchange rate maka capital outflow akan menaikkan permintaan valuta asing sehingga harga valuta asing naik atau dengan kata lain terjadi depresiasi Rupiah. Depresiasi Rupiah akan menaikkan neraca perdagangan Indonesia dan kurva IS bergeser ke kanan (IS0-IS1). Keseimbangan akhir berada pada titik C dengan tingkat pendapatan sebesar Y1. Karenanya dapat disimpulkan kebijakan moneter justru sangat efektif untuk diterapkan di suatu negara yang menganut sistem nilai tukar yang flexible.