Perbandingan Metode Eoq (Economic Order Quantity) Dan Jit (Just In Time) Terhadap Efisiensi Biaya Persediaan Dan Kinerja Non-Keuangan
Dalam perusahaan manufaktur, proses produksi merupakan kegiatan yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup perusahaan. Persediaan adalah salah satu hal yang harus diperhatikan dalam suatu proses produksi karena berpengaruh langsung terhadap kelancaran proses produksi. Persediaan dalam perusahaan manufaktur umumnya terdiri dari tiga jenis, yaitu persediaan bahan baku, persediaan barang dalam proses, dan persediaan barang jadi. Persediaan dalam penelitian ini difokuskan pada persediaan bahan baku produksi. Dengan adanya bahan baku yang sesuai dengan jumlah kebutuhan proses produksi, tersedia tepat waktu saat dibutuhkan dan memiliki kualitas tinggi, tentunya sangat mendukung proses produksi dapat berjalan dengan lancar.
Penentuan besarnya persediaan sangat penting bagi perusahaan, karena persediaan berdampak langsung terhadap keuntungan perusahaan. Kesalahan dalam menentukan besarnya persediaan akan menekan keuntungan perusahaan. Adanya persediaan bahan baku yang terlalu besar dibandingkan kebutuhan perusahaan akan menambah biaya untuk persediaan seperti biaya pemesanan (ordering costs) dan biaya penyimpanan (carrying costs), serta kemungkinan terjadinya keusangan dan kualitas yang tidak bisa dipertahankan, sehingga semuanya ini dapat mengurangi keuntungan perusahaan. Demikian pula sebaliknya, persediaan bahan baku yang terlalu kecil dalam perusahaan akan mengakibatkan kemacetan dalam proses produksi, sehingga perusahaan akan mengalami kerugian juga.
Diantara berbagai metode yang ada, peneliti lebih tertarik pada metode EOQ dan JIT karena metode ini lebih popular dan lebih sering diterapkan diberbagai perusahaan. Selain itu, peneliti mengangkat metode EOQ karena metode ini dapat menjawab pertanyaan mengenai kondisi yang sering terjadi di perusahaan, yakni menentukan besar persediaan yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan yakni tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu rendah sehingga dapat menekan kerugian yang terjadi di perusahaan akibat kurang tepatnya perusahaan mengolah persediaan di perusahaan mereka. Namun metode EOQ merupakan metode tradisional yang saat ini keberadaan metode ini mulai digeser oleh metode JIT yang merupakan metode manajemen persediaan yang banyak digunakan di lingkungan manufaktur kontemporer. Inilah yang menjadi alasan peneliti mengapa tidak hanya membahas mengenai metode EOQ tapi juga mengangkat metode JIT karena JIT mampu menggeser keberadaan metode EOQ yang cukup popular diterapkan diberbagai perusahaaan dengan memperkenalkan konsep yang sangat berbeda dengan konsep EOQ. Metode JIT menekankan pada pengurangan persediaan sampai pada tingkat yang sangat rendah. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan metode EOQ yang sengaja menyimpan persediaan untuk beberapa alasan.
Maka melihat hal ini, peneliti bermaksud untuk membandingkan kedua metode ini untuk mengetahui metode yang terbaik diterapkan pada PT Indoto Tirta Mulia. Perbandingan kedua metode ini ditinjau dari dua aspek yaitu efisiensi biaya dan kinerja non-keuangan. Kinerja non-keuangan dalam penelitian ini ditinjau dari segi efektivitas produksi, ketepatan waktu pengiriman dan kualitas produk.
Dengan demikian yang menjadi identifikasikan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perbandingan metode EOQ (Economic Order Quantity) dan JIT (Just In Time) terhadap efisiensi biaya persediaan dan kinerja non-keuangan (efektivitas produksi, ketepatan waktu pengiriman dan kualitas produk) pada PT Indoto Tirta Mulia?
2. Metode mana yang sebaiknya diterapkan pada PT Indoto Tirta Mulia bila ditinjau dari aspek efisiensi biaya persediaan dan kinerja nonkeuangan (efektivitas produksi, ketepatan waktu pengiriman dan kualitas produk)?
Persediaan
Definisi persediaan menurut PSAK No.14 (Revisi 2008): Persediaan adalah aset: (a) tersedia untul dijual dalam kegiatan usaha biasa; (b) dalam proses produksi untuk penjualan tersebut; atau (c) dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa.
Sedangkan menurut Sofyan Assauri (1993) dalam Liliana Sukmasari (2003): persediaan adalah suatu aktiva yang meliputi barang-barang milik perusahaan dengan maksud untuk dijual dalam suatu periode usaha yang normal, atau persediaan barang-barang yang masih dalam pengerjaan atau proses produksi ataupun persediaan bahan baku yang menunggu penggunaanya dalam suatu proses produksi.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa persediaan merupakan salah satu unsur paling aktif dalam operasi perusahaan yang secara kontinu disediakan guna memenuhi kebutuhan perusahaan.
Freddy Rangkuti (2004) dan Herlina (2007) menyatakan bahwa pada umumnya jenis persediaan yang terdapat pada perusahaan manufaktur dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Persediaan bahan mentah (raw material), yaitu persediaan barang-barang berwujud, seperti besi, kayu, serta komponen-komponen lain yang digunakan dalam proses produksi.
2. Persediaan barang dalam proses (work in process), yaitu persediaan barang-barang yang merupakan keluaran dati tiap-tiap bagian dalam proses produksi atau telah diolah menjadi suatu bentuk, tetapi masih perlu diproses lebih lanjut menjadi barang jadi.
3. Persedian barang jadi (finished goods), yaitu persediaan barang-barang yang telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik dan siap dijual atau dikirim kepada pelanggan.
Menurut Freddy Rangkuti (2004), terdapat tiga fungsi persediaan, yaitu:
1. Fungsi Decoupling. Adalah persediaan yang memungkinkan perusahaan dapat memenuhi permintaan pelanggan tanpa tergantung pada supplier. Dalam hal ini, persediaan bahan mentah diadakan agar perusahaan tidak akan sepenuhnya tergantung pada pengadaannya dalam hal kuantitas dan waktu pengiriman.
2. Fungsi Economic Lot Sizing. Persediaan lot size ini perlu mempertimbangkan penghematan atau potongan pembelian, biaya pengangkutan per unit menjadi lebih murah dan sebagainya.
3. Fungsi Antisipasi. Apabila perusahaan menghadapi fluktuasi permintaan yang dapat diperkirakan dan diramalkan berdasar pengalaman atau datadata masa lalu, yaitu permintaan musiman. Dalam hal ini perusahaan dapat mengadakan persediaan musiman (seasional inventories). Di samping itu, perusahaan juga sering menghadapi ketidakpastian jangka waktu pengiriman dan permintaan barang-barang selama periode tertentu. Dalam hal ini perusahaan-perusahaan memerlukan persediaan ekstra yang disebut persediaan pengaman (safety stock/inventories).
Manajemen Persediaan
Horngren, Datar, dan Foster (2006) dalam Riskatania (2009) mendefinisikan manajemen persediaan sebagai berikut: manajemen persediaan meliputi perencanaan, koordinasi, dan pengendalian kegiatan yang berkaitan dengan aliran persediaan masuk, melalui, dan keluar dari sebuah organisasi. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen persediaan berkaitan dengan keputusan mengenai berapa banyak jumlah barang yang akan dipesan (how much to order) dan kapan pemesanan akan dilakukan (when to order).
Bloomberg, LeMay, dan Hanna (2002) dalam Ristania (2009) mengatakan: tekanan dari manajemen persediaan adalah adanya pengurangan dalam persediaan sementara harus tetap menjaga layanan kepada pelanggan dan tingkat produksi. Fogarty, Blackstone, Hoffman (1991) dalam Riskatania (2009) mengatakan: terdapat dua tujuan dari sistem manajemen persediaan yaitu untuk memberikan tingkat pelayanan pelanggan dan untuk meminimalkan biaya penyediaan layanan tersebut.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan manajemen persediaan adalah memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggan (customer) dengan total biaya yang minimum.
Economic Order Quantity (EOQ)
Freddy Rangkuti (2004) menyatakan bahwa metode EOQ merupakan metode yang digunakan untuk menentukan jumlah pembelian bahan mentah pada setiap kali pesan dengan biaya yang paling rendah. Hal tersebut juga didukung oleh Herlina (2007) yang menyatakan bahwa metode EOQ adalah metode untuk menentukan berapa jumlah pesanan yang paling ekonomis untuk satu kali pesan.
Dalam bukunya, Don R. Hansen, Maryanne M. Mowen (2001) menjelaskan hubungan EOQ sebagai metode manajemen persediaan tradisional dengan biaya persediaan yang terkait didalamnya. Dikatakan bahwa jika persediaan bahan baku yang ada dalam perusahaan merupakan bahan baku yang dibeli dari luar dan bukan diproduksi atau dari dalam perusahaan, maka biaya yang terkait dengan persediaan diketahui sebagai biaya pemesanan (ordering costs) dan biaya penyimpanan (carrying costs).
Biaya pemesanan (ordering costs) merupakan biaya-biaya penempatan dan penerimaan pesanan. Contohnya adalah biaya memproses pesanan (biaya klerikan dan dokumen-dokumen), asuransi untuk pengiriman dengan kapal laut, dan biaya-biaya bongkar muatan. Biaya penyimpanan (carrying costs) merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menyimpan persediaan. Termasuk didalamnya adalah asuransi, pajak persediaan, keusangan, dan biaya kesempatan dari dana-dana yang tersimpan dalam persediaan, biaya-biaya penanganan persediaan, dan biaya gudang.
Jika persediaan tidak diketahui dengan pasti, kategori ketiga dari biaya persediaan disebut biaya kekurangan persediaan (stock-out costs). Biaya kekurangan persediaan merupakan biaya-biaya yang timbul karena tidak memiliki produk disaat ada permintaan oleh pelanggan. Misalnya penjualan yang hilang, biaya ekspedisi (meningkatnya biaya transportasi, jam kerja lembur, dan sebagainya), dan biaya-biaya kegiatan produksi yang terputus.
Dalam bukunya, Don R. Hansen, Maryanne M. Mowen (2001) menjelaskan pula alasan-alasan untuk menyimpan persediaan (baik bahan baku maupun barang jadi), yang mana hal ini sejalan dengan prinsip EOQ, yaitu:
1. Untuk menghadapi ketidakpastian dalam permintaan sebagaimana diketahui bahwa adanya kemungkinan permintaan yang berfluktuasi, sehingga dapat memuaskan permintaan pelanggan (misalnya utuk memenuhi jatuh tempo pengiriman).
2. Untuk menghindari fasilitas manufaktur yang tidak bisa bekerja lagi karena adanya kegagalan mesin, suku cadang yang rusak, suku cadang yang tidak tersedia, dan pengiriman suku cadang yang terlambat.
3. Untuk mengambil keuntungan dari diskon-diskon.
4. Untuk berjaga-jaga jika terjadi kenaikan harga di masa datang.
Seperti pernyataan Freddy Rangkuti (2004) dan Herlina (2007) sebelumnya, Don R. Hansen, Maryanne M. Mowen (2001) menyatakan dalam metode EOQ dapat diketahui berapa banyak bahan baku yang harus dipesan atau diproduksi, tapi pertanyaannya tidak hanya berhenti sampai di situ. Dalam metode EOQ juga dapat diketahui kapan seharusnya pemesanan dilakukan kembali.
Menurut Don R. Hansen, Maryanne M. Mowen (2001) dan Herlina (2007), untuk menghitung berapa banyak bahan baku yang harus dipesan, digunakan rumus matematis EOQ sebagai berikut:
Adapun total biaya persediaan yaitu total biaya pemesanan dan biaya biaya penyimpanan dapat dihitung dengan menggunakan rumus matematis sebagai berikut:
Biaya Total = Biaya pemesanan + Biaya penyimpanan
Keterangan:
P = Biaya pemesanan setiap kali pesan (dalam rupiah)
D = Jumlah kebutuhan bahan per tahun (dalam unit)
C = Biaya penyimpanan per unit bahan baku (dalam rupiah)
Q = Jumlah unit yang dipesan setiap kali dilakukan pemesanan
TC=Total biaya pemesanan dan biaya penyimpanan (dalam rupiah)
Titik Pemesanan Ulang (Reorder Point – ROP)
Freddy Rangkuti (2004) menyatakan reorder point adalah titik pemesanan yang harus dilakukan suatu perusahaan sehubungan dengan adanya lead time dan safety stock. Seperti pernyataaan tersebut, Don R. Hansen, Maryanne M. Mowen (2001) dan Herlina (2007) juga menyatakan bahwa reorder point merupakan titik waktu di mana pemesanan kembali harus dilakukan.
Dalam reorder point, EOQ menjawab pertanyaan kapan seharusnya pemesanan dilakukan. Reorder point atau titik waktu ini merupakan fungsi dari EOQ, waktu tunggu, dan tingkat di mana persediaan sudah habis. Waktu tunggu (lead time) merupakan waktu yang diperlukan untuk menerima kuantitas pesanan ekonomis ketika suatu pesanan dilakukan. Dapat dikatakan reorder point adalah saat persediaan mencapai titik di mana perlu dilakukan pemesanan kembali sehingga pesanan tiba ketika unit terakhir dari persediaan digunakan.
Dalam bukunya, Don R. Hansen, Maryanne M. Mowen (2001) mengemukakan bahwa dengan mengetahui tingkat pemakaian persediaan (rate of usage) dan waktu tunggu, reorder point dapat dihitung sebagai berikut:
Reorder Point = tingkat pemakaian persediaan dalam unit per hari X waktu tunggu
Apabila tingkat pemakaian tidak diketahui secara pasti, maka untuk menghindari masalah ini perusahaan seringkali memilih untuk menyimpan persediaan pengaman (safety stock). Freddy Rangkuti (2004) dalam bukunya manajemen persediaan, menyatakan: safety stock adalah persediaan pengaman apabila penggunaan persediaan melebihi perkiraan. Don R. Hansen, Maryanne M. Mowen (2001) juga dalam bukunya mengemukakan bahwa persediaan pengaman (safety stock) merupakan persediaan ekstra yang disimpan sebagai jaminan dalam menghadapi permintaan yang berfluktuasi.
Sehingga dapat dikatakan, safety stock yang disebut juga persediaan minimum, merupakan sejumlah unit persediaan yang ditambahkan dalam pembelian persediaan yang ekonomis yang digunakan untuk penjagaan atas permintaan pelanggan yang tidak umum atau lead time yang lama.
Dengan adanya persediaan pengaman, titik pemesanan ulang (reorder point) dapat dihitung sebagai berikut:
Reorder Point = (tingkat pemakaian rata-rata X waktu tunggu) + safety stock
Ada beberapa asumsi pada metode EOQ menurut Herlina (2007) dan Taufik Hidayanto (2007), yaitu:
1. Hanya satu item barang (produk) yang diperhitungkan.
2. Harga pembelian bahan per unit konstan.
3. Bahan yang dibutuhkan selalu tersedia dipasar setiap saat dibutuhkan.
4. Jumlah kebutuhan bahan tersebut relatif stabil sepanjang tahun.
5. Waktu tunggu (lead time) besifat konstan.
6. Setiap pesanan diterima dalam sekali pengiriman dan langsung dapat digunakan.
7. Hanya ada 3 macam biaya, yaitu: harga barang, biaya simpan ,dan biaya pesan.
Keunggulan dan Kelemahan Metode EOQ
Kartika Hendra (2009) mengemukakan bahwa keunggulan metode EOQ adalah:
1) dapat digunakan untuk mengetahui berapa banyak persediaan yang harus dipesan, dalam hal ini bahan baku, dan kapan seharusnya pemesanan dilakukan,
2) dapat mengatasi ketidakpastian permintaan dengan adanya persediaan pengaman (safety stock),
3) mudah diaplikasikan pada proses produksi secara massal,
4) lazim digunakan pada rumah sakit, yaitu pada persediaan obat.
Adapun kelemahan yang terdapat pada metode ini, yaitu menempatkan pemasok sebagai mitra bisnis sementara karena paradigma untung-rugi diterapkan oleh mereka, sehingga penggunaan model ini menyebabkan berganti-ganti pemasok, dan hal ini dapat mengganggu proses produksi akibat relasi perusahaan dengan pemasok yang tidak berdasar pada hubungan kerjasama yang erat.
Just In Time (JIT)
Patrick Brisley (2000) mengemukakan bahwa JIT adalah filosofi yang berfokus pada kegiatan pekerjaan yang dibutuhkan atau yang diminta pada saat itu juga. Dalam bukunya, Don R. Hansen, Maryanne M. Mowen (2001) menjelaskan bahwa JIT merupakan suatu pendekatan manufaktur yang mempertahankan bahwa produk-produk harus ditarik dari seluruh sistem dengan adanya permintaan, dan bukannya mendorong seluruh sistem dengan skedul yang tetap untuk mengantisipasi permintaan (a pull system).
Dalam bukunya juga, Don R. Hansen, Maryanne M. Mowen (2001) menjelaskan bahwa JIT berpengaruh dalam hal mengurangi persediaan sampai pada tingkat yang sangat rendah. Usaha untuk mencapai tingkat persediaan sampai tingkat yang tidak signifikan sangat vital bagi kesuksesan JIT. Namun demikian, gagasan untuk mencapai persediaan yang tidak signifikan niscaya akan menentang alasan-alasan tradisional untuk menyimpan persediaan yang telah disebutkan sebelumnya.
JIT menolak untuk menggunakan persediaan sebagai solusi masalah-masalah tersebut di atas. JIT memecahkan masalah kinerja tepat waktu dengan cara mengurangi waktu tunggu, dan bukannya dengan meningkatkan persediaan. Waktu tunggu dalam hal ini tidak hanya sampai pesanan diterima di perusahaan, namun sampai bahan baku dioleh menjadi barang jadi (output). Waktu tunggu yang lebih singkat akan meningkatkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi permintaan pengiriman pada tangga yang diminta oleh pelanggan dan sekaligus dapat dengan cepat menghadapi permintaan pasar. Dengan demikian, daya saing perusahaan meningkat. JIT mengurangi waktu tunggu dengan menghindari kegagalan mesin, kerusakan bahan baku atau suku cadang, tidak tersedianya bahan baku atau suku cadang, dan dengan menggunakan proses manufaktur sel. Sel-sel manufaktur mengurangi jarak perjalanan antara mesin dan persediaan.
Menurut Don R. Hansen, Maryanne M. Mowen (2001), kebanyakan penghentian produksi terjadi karena salah satu dari tiga alasan berikut ini, yaitu: kegagalan mesin, kerusakan bahan baku atau suku cadang, dan tidak tersedianya bahan baku atau suku cadang. Penyimpanan persediaan merupakan salah satu solusi untuk ketiga masalah tersebut. Mereka yang mendukung pendekatan JIT mengklaim bahwa persediaan tidak memecahkan masalah melainkan hanya menyembunyikan atau menutup-nutupi masalah-masalah tersebut. JIT dapat memecahkan masalah dengan menekankan pemeliharaan preventif, total kontrol kualitas, dan dengan menjaga relasi yang baik dengan supplier.
Menurut Patrick Brisley (2000), terdapat empat aspek penting dalam JIT:
1. Penghapusan semua kegiatan yang tidak menambah nilai produk atau jasa.
2. Diperlukan suatu komitmen untuk tingkat kualitas yang lebih tinggi.
3. Diperlukan suatu komitmen untuk perbaikan terus menerus dalam efisiensi kegiatan.
4. Penekanan pada penyederhanaan dan meningkatkan pengidentifikasian terhadap aktivitas yang tidak menambah nilai.
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa JIT adalah persediaan dengan nilai nol atau mendekati nol, artinya perusahaan sebisa mungkin tidak menanggung biaya penyimpanan. Bahan baku akan tepat datang pada saat dibutuhkan. Model yang demikian tentu saja pemasoknya adalah pemasok yang setia dan profesional. Dengan model ini terjadi efisiensi biaya persediaan bahan baku.
Menurut Taufik Hidayanto (2007), tujuan utama dari JIT adalah menghilangkan pemborosan dan konsisten dalam meningkatkan produktivitas. Oleh karena itu penggunaan istilah JIT seringkali diartikan dengan “zero inventories”. JIT pada dasarnya berusaha menghilangkan semua biaya (pemborosan) yang tidak memberikan nilai tambah terhadap produk yang dihasilkan. Untuk mencapai tujuan JIT tersebut, diperlukan asumsi sebagai berikut:
1. Ukuran lot kecil
2. Konsistensi kualitas tinggi
3. Pekerja dapat diandalkan
4. Persediaan menjadi minimum atau sebisa mungkin menjadi nol
5. Mesin dapat diandalkan
6. Rencana produksi stabil
7. Kepastian jadwal operasi
8. Keseragaman komitmen dan pandangan antara manajemen perusahaan dan karyawan, di mana memiliki komitmen yang tinggi terhadap penerapan JIT yang dilakukan di perusahaan
Keunggulan dan Kelemahan Metode JIT
Menurut Don R. Hansen, Maryanne M. Mowen (2001) dan Kartika Hendra (2009), terdapat beberapa keunggulan dan kelemahan dari metode JIT. Berikut ini beberapa keunggulan dari metode JIT, antara lain:
1) Menghilangkan pemborosan dengan cara memproduksi suatu produk hanya dalam kuantitas yang diminta pelanggan.
2) Persediaan kecil, mungkin nol.
3) Tata letak pabrik, dikelompokkan satu macam produk, atau sistem sel.
4) Pengelompokkan karyawan, dalam satu jenis produk.
5) Pemberdayaan karyawan, dilatih dan dididik terus menerus menyesuaikan dengan perubahan alat kerja dan metode kerja.
6) Pengendalian mutu total, semua orang bertanggung jawab terhadap mutu produk. Beberapa kelemahan dari metode ini, yaitu:
7) Sulit suatu perusahaan yang memproduksi secara massal hanya melayani pesanan pelanggan saja, misalnya pabrik gula, kopi, sabun dan sebagainya, dan hanya memproduksi satu jenis produk.
8) Dalam perusahaan manufaktur sulit sekali tidak memiliki persediaan, khususnya yang bahan bakunya impor.
9) Menempatkan karyawan pada keahlian khusus pada satu jenis produk tidak mudah, dan mungkin biayanya mahal.
10) Memerlukan waktu yang cukup panjang untuk membangun relasi yang kuat dengan para supplier.
11) Pengurangan persediaan yang dipaksa dan terlalu drastis dapat menyebabkan para pekerja stress. Jika para pekerja melihat JIT sebagai suatu cara untuk memeras mereka, maka usaha-usaha untuk mengimplementasikan JIT tidak akan sepenuhnya berhasil dan kinerja karyawan malah akan menurun.
Metode EOQ (Economic Order Quantity) dan Efisiensi Biaya Persediaan
Jika suatu perusahaan persediaannya merupakan bahan baku dibeli dari luar dan bukan menghasilkan sendiri dari dalam perusahaan, maka ada dua biaya pokok yang terkait dengan persediaan yaitu biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. Dengan metode EOQ, perusahaan bisa mengetahui berapa banyak bahan baku yang harus dipesan. Tujuannya adalah mencari total biaya pemesanan yang meminimalkan total biaya sehingga biaya persediaan bahan baku dapat menjadi lebih efisien.
Total biaya adalah total biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. Biaya penyimpanan dapat menjadi lebih efisien jika perusahaan dapat mengetahui berapa jumlah bahan baku yang tepat untuk dipesan kepada supplier, sehingga persediaan yang dipesan tidak kurang dan tidak melebihi yang dibutuhkan untuk proses produksi. Jika perusahaan dapat mengetahui berapa jumlah bahan baku yang tepat untuk dipesan, hal ini juga dapat mengefisiensikan biaya pemesanan. Biaya yang tadinya dikeluarkan akibat pemesanan bahan baku yang berlebih dapat diefisiensikan dengan memesan bahan baku yang sesuai dengan kebutuhan produksi. Jumlah bahan baku yang harus dipesan dapat diketahui dengan menggunakan rumus perhitungan EOQ.
Afik Dian Raharja (2008) dalam penelitiannya pada PT Jamu Air Mancur menunjukkan adanya perbedaan jika perusahaan menerapkan metode EOQ dan tidak menerapkan EOQ, di mana apabila perusahaan menerapkan EOQ, dapat menghemat biaya persediaan sebesar Rp 6.545.899,-. Hal ini juga diperkuat oleh Juslanda dan Yenny Ruth Oktavia (2007) yang telah mengadakan penelitian pada PT Jaya mulia Perkasa, di mana mereka menyatakan bahwa perbandingan hasil sebelum menggunakan EOQ dan sesudah menggunakan EOQ adalah apabila menggunakan metode EOQ dapat menghemat biaya sebesar Rp 36.447.637,-.
Metode EOQ (Economic Order Quantity) dan Kinerja Non-Keuangan
Kinerja non-keuangan yang akan dibahas dalam penelitian ini meliputi efektivitas produksi, ketepatan waktu pengiriman dan kualitas produk. Ditinjau dari segi efektivitas produksi, suatu perusahaan dapat mencapai tujuannya apabila perusahaan tersebut dapat menjaga kesinambungan usahanya. Dalam e-dukasi.net (2009), tujuan produksi selain menghasilkan barang dan meningkatkan keuntungan perusahaan, produksi juga bertujuan untuk menjaga kesinambungan usaha perusahaan.
Metode EOQ dapat menunjang efektivitas produksi dengan membantu menjaga kesinambungan usaha perusahaan melalui proses produksi yang berjalan dengan lancer. Untuk menjaga agar proses produksi dapat berjalan dengan lancar, maka diperlukan adanya persediaan untuk mengantisipasi terjadinya proses produksi yang tidak dapat diandalkan karena keterlambatan bahan baku atau kerusakan pada mesin atau suku cadang dan juga untuk mengantisipasi adanya permintaan pelanggan yang berfluktuasi, sehingga perusahaan dapat menjaga kesinambungan usahanya.
Dalam metode EOQ dikenal adanya persediaan pengaman (safety stock) untuk mengatasi masalah-masalah tersebut di atas yang dapat menyebabkan terjadinya kemacetan dalam produksi. Untuk ketepatan waktu pengiriman, dibutuhkan adanya bahan baku yang tepat waktu saat dibutuhkan untuk segera diproduksi sehingga dapat menghasilkan barang jadi sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan segera dikirim kepada customer. Dengan metode EOQ, perusahaan dapat menghitung saat persediaan mencapai titik dimana perlu dilakukan pemesanan kembali sehingga bahan baku dapat tersedia pada saat dibutuhkan untuk produksi sehingga tidak menghambat ketepatan waktu pengiriman kepada customer.
Untuk kualitas produk, tentunya sangat erat kaitannya dengan supplier tempat perusahaan membeli bahan baku untuk produksi, oleh karena itu perusahaan harus memilih supplier yang menyediakan bahan baku yang baik dan bisa menyediakan bahan baku tersebut tepat saat dibutuhkan karena lamanya bahan baku dalam perjalanan dapat mempengaruhi kualitas bahan baku tersebut sehingga menyebabkan produk yang dihasilkan menjadi kurang berkualitas. Selain dengan supplier, kualitas produk juga sangat berkaitan dengan lamanya persediaan disimpan. Bahan baku yang terlalu lama disimpan dapat menjadi usang, rusak, dan kurang baik lagi untuk diproduksi.
Dengan menggunakan metode EOQ, perusahaan dapat menghitung berapa jumlah bahan baku yang dibutuhkan selama satu periode produksi sehingga bahan baku tidak terlalu lama disimpan digudang karena bahan baku yang disiapkan digudang sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan untuk produksi.
Metode JIT dan Efisiensi Biaya Persediaan
Metode JIT dapat menghilangkan atau mengurangi aktivitas yang tidak bernilai tambah pada produk sehingga proses produksi dapat berjalan lebih efisien. Metode JIT berusaha mendorong biaya biaya pemesanan dan biaya penyimpanan sampai nol atau mendekati nol sehingga total biayanya dapat diefisienkan, mengingat total biaya dapat dihitung dari total biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. Biaya penyimpanan tentunya dapat menjadi sangat rendah karena JIT pada dasarnya mengurangi persediaan sampai pada tingkat yang sangat rendah atau dengan kata lain metode ini mendorong untuk mencapai persediaan sampai pada tingkat nol.
Terdapat asumsi pada penerapan JIT yaitu ukuran lot kecil di mana pada dasarnya konsep JIT melakukan pemesanan bahan baku sesuai dengan yang dibutuhkan untuk memproduksi barang sesuai permintaan pelanggan, sehingga pemesanan yang dilakukan tidak terlalu besar seperti yang dilakukan perusahaan yang memproduksi massal untuk dijual di pasaran. Hal ini menggambarkan biaya pemesanan pada penerapan JIT dapat lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang melakukan pemesanan berdasarkan jumlah barang yang akan diproduksi secara massal sehingga melakukan pembelian bahan baku secara besar-besaran. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa dengan menerapkan metode JIT, biaya pemesanan dapat lebih efisien sehingga dapat mengefisiensikan total biaya persediaan.
Sebagai pendukung, Egy (2009) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa perusahaan Toyota Astra Motor dan Astra Honda Motor menerapkan sistem JIT melalui penggunaan Enterprise Resource Planning (ERP) guna menunjang proses JIT berjalan lebih baik. Enterprise Resource Planning (ERP) merupakan sistem informasi yang diperuntukkan bagi perusahan manufaktur maupun jasa yang berfungsi untuk mengintegrasikan dan mengotomasikan proses bisnis yang berhubungan dengan aspek operasi, produksi maupun distribusi di perusahaan bersangkutan. Hasil yang didapat dari penerapan JIT tersebut yaitu biaya persediaan perusahaan dapat diefisiensikan. Tidak hanya biaya persediaan, waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi motor juga dapat menjadi lebih efisien.
Metode JIT dan Kinerja Non-Keuangan
Pada kinerja non-keuangan, JIT merupakan suatu usaha untuk meningkatkan produktivitas dengan menghapuskan segala bentuk pemborosan. Produktivitas yang meningkat tentunya akan sangat menunjang efektivitas produksi dapat tercapai yakni kesinambungan produksi yang terus terjaga dan tidak terhambat. Menurut Liliana Sukmasari (2003), metode JIT dapat meningkatkan produktivitas dan menghapuskan segala pemborosan dengan cara:
1. Mereorganisasi pemanufakturan ke dalam sel-sel, di mana semua proses produksi dilakukan pada satu ruangan yang dapat mengurangi waktu tunggu dan lebih mempercepat dan mempermudah proses produksi.
2. Menggunakan pendekatan demand pull (tarikan permintaan), yaitu proses produksi yang didasarkan atas pemintaan pelanggan (bereaksi terhadap permintaan saat ini) dan bukan sistem tekanan dengan tindakan antisipasi terhadap permintaan di masa datang.
3. Mengembangkan hubungan kemitraan yang kuat dengan para pemasok untuk menjaga kontrak jangka panjang agar ketepatan waktu pengiriman pesanan bahan baku dan kualitas produk tetap terjaga karena perusahaan memiliki hubungan kerjasama yang baik.
4. Menekankan pengendalian mutu total dan pemeliharaan pencegahan total, untuk meningkatkan komitmen kerja para karyawan sehingga menghasilkan peningkatan kualitas dan produktivitas.
Dengan metode JIT, perusahaan dapat mengurangi waktu tunggu. Waktu tunggu yang lebih singkat akan meningkatkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi permintaan pengiriman pada tanggal yang diminta oleh pelanggan dan sekaligus dapat dengan cepat menghadapai permintaan pasar. Dengan demikian, daya saing perusahaan meningkat.
Dalam hal kualitas, agar sistem JIT dapat berjalan dengan baik maka kualitas persediaan harus benar-benar baik, karena tidak ada cadangan persediaan yang dapat menggantikan produk yang cacat. Pencapaian nol adalah tujuan dari sistem JIT. Tujuan ini dapat dicapai dengan cara perusahaan mencari masalah kualitas pada sumber masalah, memecahkan masalah tersebut, dan tidak membiarkan produk yang cacat tersebut terlewatkan. Menurut Hernandez (1993) dalam Liliana Sukmasari (2003), sistem kualitas JIT mendorong untuk memecahkan segala masalah dengan pemasok sebelum bahan baku dikirimkan dan masalah pada pekerja saat produk tersebut dibuat.
Identifikasi Variabel
1. Variabel Independen
Menurut Jogiyanto (2007) dalam Meythi (2009), variabel independen adalah variabel yang menjelaskan/mempengaruhi variabel yang lain. Variabel independen dalam penelitian ini ada dua, yaitu metode EOQ dan metode JIT.
2. Variabel Dependen
Menurut Jogiyanto (2007) dalam Meythi (2009), variabel dependen adalah variabel yang dijelaskan/dipengaruhi oleh variabel independen. Terdapat dua variabel dependen dalam penelitian ini, yaitu efisiensi biaya dan kinerja non-keuangan.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif adalah data yang dinyatakan dalam angka-angka atau data kualitatif yang diangkakan. Data kualitatif merupakan data hasil wawancara pada PT Indoto Tirta Mulia. Adapun sumber data penelitian ini adalah data biaya persediaan perusahaan selama satu periode (tahun 2008), dan data untuk menganalisis kinerja non-keuangan perusahaan melalui wawancara dengan manajer bagian produksi dan manajer bagian akuntansi perusahaan.
Teknik Pengumpulan Data
1. Penelitian Pustaka
Teknik penelitian pustaka dimaksudkan untuk memperoleh data kepustakaan dengan cara mempelajari, mengkaji serta menelaah literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti berupa buku, jurnal, maupun makalah yang berkaitan dengan penelitian. Kegunaan penelitian kepustakaan untuk memperoleh dasar-dasar teori yang dapat digunakan sebagai landasan teori dalam menganalisis masalah yang diteliti.
2. Penelitian Lapangan
Teknik penelitian lapangan ini dilaksanakan untuk meninjau secara langsung objek penelitian, untuk memperoleh data primer maupun sekunder. Dalam penelitian ini, pengumpulan data diperoleh melalui data primer. Pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara. Wawancara dilakukan dengan manajer bagian produksi dan manajer bagian akuntansi perusahaan. Pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dalam wawancara berkaitan dengan biaya persediaan perusahaan, efektivitas produksi, ketepatan waktu pengiriman, dan kualitas produk pada PT Indoto Tirta Mulia.
Pengolahan Data
Untuk pengolahan data, perhitungan efisiensi biaya persediaan untuk metode EOQ dan JIT dilakukan dengan cara menghitung secara manual data yang diperoleh dari perusahaan berdasarkan konsep metode EOQ dan JIT. Kemudian diperbandingkan dalam hal efisiensi biaya persediaan metode mana yang lebih baik diterapkan pada PT. Indoto Tirta Mulia.
Untuk kinerja non-keuangan, hasil wawancara dengan pihak perusahaan menggambarkan kondisi kinerja non-keuangan yang ada di PT Indoto Tirta Mulia, dalam hal ini kinerja non-keuangan ditinjau dari segi efektivitas produksi, ketepatan waktu pengiriman dan kualitas produk. Hasil wawancara tersebut kemudian diinterpretasikan dan dianalisis berdasarkan teori yang ada, yang mana menggambarkan bagaimana penerapan metode EOQ dan JIT yang baik dan tepat dalam meningkatkan kinerja non-keuangan suatu perusahaan (ditinjau dari segi efektivitas produksi, ketepatan waktu pengiriman dan kualitas produk). Kemudian hasil interpretasi dan analisis tersebut dibandingkan, antara metode EOQ dan JIT, agar diketahui metode mana yang tepat untuk diterapkan di PT Indoto Tirta Mulia sesuai dengan kondisi perusahaan saat ini, sehingga dapat menunjang peningkatan kinerja non-keuangan di PT Indoto Tirta Mulia. Dalam hal ini tidak tertutup kemungkinan bahwa diperlukan kombinasi dari kedua metode tersebut yaitu EOQ dan JIT untuk menunjang perbaikan kinerja non-keuangan pada PT Indoto Tirta Mulia.