Kebijakan Moneter dan Inflation Targeting
Interaksi ekonomi antar negara adalah sebuah keniscayaan dalam perekonomian yang semakin terbuka. Dengan semakin besarnya keterkaitan antar-negara, maka semakin terbuka pula perekonomian, dalam kondisi demikian, menjaga stabilitas perekonomian tidaklah mudah.
Kejadian ekonomi yang terjadi secara global, baik secara langsung maupun tidak langsung, memberikan pengaruh terhadap perekonomian dalam negeri. Untuk mengurangi dampak goncangan perekonomian global terhadap perekonomian dalam negeri, khususnya indonesia yang merupakan negara kecil yang mempunyai karakteristik perekonomian dengan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi pada perekonomian global; perekonomian yang relatif tidak stabil, dengan tingginya tingkat kerentanan terhadap goncangan dari luar negeri serta tingginya tingkat ketergantungan terhadap perubahan harga internasional dibutuhkan kebijakan yang efektif dan efisien, baik kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal serta kebijakan-kebijakan ekonomi lainnya. Fokus penerapan kebijakan moneter di Indonesia sesuai Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia adalah pada pengendalian laju inflasi (inflation targeting). Keberhasilan kebijakan ini dapat dinilai dari bagaimana efektivitas kebijakan dalam menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan laju inflasi pada jangka panjang, meskipun dalam penerapannya banyak ahli ekonomi yang mengkritik. Hal itu disebabkan terdapat trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi dalam jangka pendek yang sering digambarkan dalam kurva philip jangka pendek. Khusus Indonesia, dalam praktiknya, kebijakan moneter ditujukan untuk menjaga stabilitas ekonomi makro, yang dicerminkan oleh: (1) stabilitas harga (rendahnya laju inflasi); (2) membaiknya perkembangan output riil (pertumbuhan ekonomi); dan (3) cukup luasnya lapangan kerja yang tersedia (Warjiyo, 2004).
Inflation targeting adalah sebuah kerangka kerja untuk kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada masyarakat tentang angka target inflasi dalam satu periode tertentu. Inflation targeting secara eksplisit menyatakan bahwa tujuan akhir kebijakan moneter adalah mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil B. Manajemen Moneter, Mekanisme transmisi dan Kondisi Perbankan
Kerangka dasar manajemen moneter yang diterapkan di berbagai bank sentral pada umumnya tidak banyak berbeda. Di satu sisi, bank sentral ingin mencapai sasaran-sasaran akhir yang menjadi tugas pokoknya seperti laju inflasi, laju pertumbuhan ekonomi, dan keseimbangan neraca pembayaran. Namun di sisi yang lain, bank sentral hanya mampu mempengaruhi beberapa instrumen kebijakan yang secara langsung di bawah pengendaliannya. Karena itu diperlukan sasaran operasional sebagai sasaran segera yang hendak dicapai dari penggunaan instrumen tersebut dan, dengan suatu mekanisme tertentu yang diasumsikan, dapat mempengaruhi sasaran antara. Pada dasarnya pencapaian sasaran antara ini diharapkan dapat mempengaruhi pencapaian sasaran akhir yang diinginkan.
Alur mekanisme manajemen moneter demikian oleh Friedman (1975) digambarkan sebagaiberikut: instrumen kebijakan moneter →sasaran operasional →sasaran antara →sasaran akhir. Dengan demikian kebijakan moneter lebih difokuskan pada pengendalian permintaan aggregate yaitu untuk mengendalikan tekanan-tekanan permintaan (aggregate demand pressures) yang disebabkan oleh tingginya kesenjangan antara permintaan aggregat dengan output potensial (output gap). Hal ini mengingat besarnya output gap tersebut menentukan tingkat laju inflasi dan laju pertumbuhan dalam ekonomi. Semakin tinggi output gap, laju pertumbuhan ekonomi dapat lebih tinggi akan tetapi akan dibarengi dengan laju inflasi yang lebih tinggi pula. Bank Sentral harus menentukan seberapa jauh output gap tersebut akan diperkecil untuk menentukan imbangan antara sasaran laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi yang dianggap paling “optimal”.
Sistem nilai tukar Rupiah yang mengambang penuh yang diberlakukan di Indonesia juga memberikan beberapa implikasi terhadap pengendalian moneter. Secara teori, dalam system nilai tukar mengambang penuh kebijakan moneter akan semakin efektif khususnya apabila diikuti oleh mobilitas kapital secara internasional yang semakin sempurna. Setiap terjadi tekanan nilai tukar Rupiah sebagai efek kebijakan moneter akan disesuaikan melalui pengaruh suku bunga terhadap aliran modal dan pengaruh perubahan nilai tukar Rupiah terhadap penawaran ekspor dan permintaan impor. Melalui mekanisme demikian, neraca transaksi berjalan berfungsi sebagai alat mekanisme penyesuaian yang penting sehingga overall Balance of Payment (BOP) selalu dalam ekuilibrium. Suku bunga memegang peranan vital dalam pengendalian moneter dalam sistem nilai tukar yang fleksibel.
Mekanisme pengaruh suku bunga dalam menjaga keseimbangan overall BOP dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Apresiasi nilai tukar Rupiah akan menyebabkan neraca transaksi berjalan memburuk sehingga diperlukan kenaikan suku bunga dalam negeri dalam rangka menarik aliran modal masuk ke dalam negeri. Akibatnya neraca transaksi modal meningkat dan overall BOP mencapai ekuilibrium.
2. Depresiasi nilai tukar Rupiah akan memperbaiki posisi neraca transaksi berjalan sehingga diperlukan suku bunga yang lebih rendah untuk menghambat aliran modal masuk. Akibatnya, neraca transaksi modal menurun dan overall BOP mencapai keseimbangan.
Dalam berbagai literatur ekonomi-moneter, pada dasarnya terdapat empat jalur transmisi utama yang menunjukkan bagaimana kebijakan moneter dapat mempengaruhi perekonomian (Mishkin, 1995,), yaitu : jalur suku bunga, jalur nilai tukar, jalur harga aset dan jalur kredit. Mekanisme transmisi kebijakan moneter merupakan proses pengaruh kebijakan moneter terhadap sector keuangan dan sektor riil (Warjiyo, 2004). Masing-masing jalur transmisi tersebut menjelaskan mengenai alur pengaruh kebijakan moneter terhadap sektor keuangan dan aktivitas ekonomi.
Jalur suku bunga pada dasarnya merupakan pandangan Keynessian dimana suku bunga riil jangka panjang paling berpengaruh dalam perekonomian. Pengetatan moneter mengurangi uang beredar dan dalam jangka pendek akan mendorong naiknya suku bunga nominal jangka pendek.
Apabila kebijakan ini dianggap credible, masyarakat akan mempunyai ekspektasi bahwa laju inflasi akan menurun di waktu mendatang sehingga expected inflation menurun atau suku bunga riil jangka panjang meningkat. Permintaan domestik baik untuk investasi maupun untuk konsumsi akan menurun karena biaya dana(cost of capital) yang lebih tinggi. Akhirnya laju pertumbuhan ekonomi cenderung lebih rendah. Aliran Keynesian percaya bahwa elastisitas suku bunga terhadap permintaan akan uang relatif tinggi sedangkan elastisitas suku bunga terhadap investasi relative rendah. Aliran ini juga berkeyakinan bahwa velocity of circulation tidak stabil dan bergejolak dan uang beredar merupakan faktor endogen. Berbagai karakteristik pasar tersebut mengakibatkan mekanisme transmisi kebijakan moneter bersifat tidak langsung, yaitu melalui suku bunga. Oleh karena itu, aliran Keynesian merekomendasikan penggunaan sasaran suku bunga dalam melaksanakan kebijakan moneter.
Beberapa jalur transmisi kebijakan moneter dengan menggunakan sasaran suku bunga diataranya adalah :
1. Intertemporal substitution. Perubahan suku bunga akan mengubah biaya pinjaman atau pendapatan dari tabungan. Hal ini selanjutnya akan berpengaruh terhadap komponen utama pengeluaran, terutama untuk investasi usaha, investasi perumahan, dan mungkin juga pengeluaran konsumsi barang-barang tahan lama.
2. Exchange rate effect. Di dalam sistem nilai tukar mengambang, kenaikan suku bunga, ceteris paribus, biasanya akan dihubungkan dengan apresiasi nilai tukar dalam jangka pendek sehingga barang impor relatif menjadi lebih murah dan laju inflasi akan menurun. Kegiatan ekspor juga akan terpengaruh karena penjualan barang ekspor akan beralih ke dalam negeri. Pengalihan pasar produk ekspor ini juga akan mendorong turunnya harga harga di dalam negeri.
3. Cash-flow effect. Dengan meningkatnya suku bunga nominal, pendapatan nominal debitur akan menurun. Jika debitur menghadapi kendala likuiditas akibat meningkatnya suku bunga dan tidak dapat meminjam lagi dalam jumlah lebih besar untuk mempertahankan tingkat pengeluaran semula maka pengeluaran mereka terpaksa harus diturunkan.
4. Wealth effect. Perubahan suku bunga yang biasa digunakan sebagai faktor diskonto dari ekspektasi pendapatan untuk masa yang akan datang akan mengubah nilai aset finansial dan aset riil. Perubahan nilai aset-aset tersebut mengakibatkan perubahan tingkat kesejahteraan pelaku ekonomi dan pada gilirannya akan mempengaruhi keputusan konsumsi, investasi dan produksi.
5. Credit rationing effect. Peningkatan suku bunga dapat mendorong bank-bank untuk meningkatkan premi resiko yang mereka bebankan kepada debitur lama maupun calon debitur baru akibat kekhawatiran akan turunnya kapasitas para debitur dalam membayar hutang-hutangnya. Implikasinya, suku bunga kredit meningkat, suplai kredit menurun, atau terjadi penjatahan kredit.
Jalur nilai tukar berpandangan bahwa pergerakan nilai tukar paling berpengaruh bagi perekonomian khususnya perekonomian terbuka dengan sistem nilai tukar fleksibel. Pengetatan moneter akan mendorong suku bunga nominal dalam negeri meningkat. Jika suku bunga internasional tidak berubah maka interest rate differential meningkat, dan ini akan mendorong masuknya dana dari luar negeri. Nilai tukar akan cenderung apresiasi. Kegiatan ekspor akan menurun dan sebaliknya impor meningkat, sehingga transaksi berjalan dalam neraca pembayaran akan membaik. Akibatnya, permintaan aggregat akan menurun dan demikian pula laju pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi.
Jalur harga aset merupakan pandangan Monetarist dimana pengaruh kebijakan moneter terjadi melalui pergeseran portfolio investasi yang dimiliki masyarakat. Kebijakan moneter akan mempengaruhi jumlah dana dalam portfolio para pelaku ekonomi (wealth effect) dan relokasi dari suatu jenis aset ke jenis aset lain dalam portfolio sesuai dengan expected returns and risks dari masing-masing bentuk aset. Dengan demikian, pengetatan moneter meningkatkan suku bunga yang mengakibatkan pelaku ekonomi lebih suka memegang aset dalam bentuk obligasi atau deposito daripada saham. Minat untuk berinvestasi dalam kegiatan ekonomi riil menjadi berkurang sehingga laju pertumbuhan ekonomi menurun.
Jalur kredit berpendapat bahwa pengaruh kebijakan moneter terhadap kegiatan ekonomi terjadi melalui perubahan perilaku bank dalam menyalurkan kreditnya kepada nasabah. Pengetatan moneter akan menurunkan net worth pengusaha sehingga berakibat pada menurunnya nilai jaminan atas kredit yang diterimanya dari bank. Resiko yang dihadapi bank menjadi meningkat sehingga bank lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit (adverse selection). Menurunnya net worth juga akan mendorong nasabah untuk lebih berani mengusulkan proyek-proyek yang menjanjikan tingkat hasil yang tinggi akan tetapi dengan tingkat resiko kegagalan yang tinggi pula (moral hazard). Dan ini meningkatkan resiko kredit macet bank-bank. Dengan demikian dampak dari pengetatan moneter terhadap penurunan permintaan aggregat dan laju pertumbuhan ekonomi lebih disebabkan oleh menurunnya kredit yang disalurkan bank-bank baik karena faktor adverse selection maupun untuk menghidari moral hazard nasabah.
Bagaimana efektivitas transmisi kebijakan moneter di Indonesia selama ini?. Efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral sangat ditentukan oleh kondisi perbankan. Kebijakan moneter berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi dan keuangan melalui berbagai jalur transmisi kebijakan moneter, yaitu jalur uang, kredit, dan suku bunga yang pada umumnya berlangsung melalui sistem perbankan. Dengan pemikiran demikian, kebijakan moneter dan kebijakan perbankan merupakan dua aspek yang saling terkait dan menentukan. Dari sisi kebijakan moneter, perubahan suku bunga, nilai tukar, dan inflasi akibat pelaksanaan kebijakan moneter jelas akan berpengaruh pada kesetahatan dan kestabilan perbankan melalui perubahan resiko pasar yang terkandung pada kondisi keuangan dan permodalan perbankan. Apabila inflasi dan nilai tukar terus mengalami peningkatan dan berfluktuasi, misalnya, maka akan terjadi proses redistribusi aset riil dari masyarakat penyimpan dana (investor) kepada para debitur kredit perbankan, khususnya dengan suku bunga tetap. Simpanan masyarakat dapat saja turun, sementara resiko kredit debitur dapat meningkat dengan menurunnnya permintaan riil atas produk usaha debitur. Dengan kata lain, volatilitas inflasi dan nilai tukar akan meningkatkan resiko perbankan, khususnya resiko likuditas dari sisi simpanan dana masyarakat dan resiko kredit macet dari sisi kondisi usaha debitur. Demikian pula, operasi moneter juga berdampak pada perbankan dalam hal terjadi perubahan suku bunga yang diperlukan untuk pengendalian inflasi dan nilai tukar. Peningkatan dan volatilitas inflasi dan nilai tukar jelas akan meningkatkan resiko pasar yang terkandung dalam neraca bank-bank. Selain itu, perubahan suku bunga yang relatif besar dalam jangka pendek jelas akan meningkatkan ketidakpastian dalam pasar keuangan dan resiko pasar yang dihadapi perbankan. Apalagi apabila terjadi penundaan suku bunga, sehingga pada waktu suku bunga benar-benar diubah diperlukan perubahan yang relatif besar, dampak terhadap resiko yang dihadapi perbankan semakin besar. Dengan kata lain, perubahan kebijakan moneter secara gradual dan dilakukan pada waktu yang tepat dan dapat diantisipasi akan berdampak relatif lebih kecil pada resiko perbankan. Sebaliknya, kebijakan yang ditempuh Bank Sentral untuk menjaga kesehatan dan stabilitas sistem perbankan juga dapat berdampak pada kondisi dan pelaksanaan kebijakan moneter. Pengawasan terhadap perbankan yang lebih efektif dan ketat, misalnya, akan meningkatkan kesehatan dan mengurangi resiko insolvensi perbankan.
Kondisi ini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat, dan karenanya akan meningkatkan dana yang disimpan pada perbankan. Apabila kondisi ini dibarengi dengan pengendalian uang beredar yang optimal dari sisi kebijakan moneter, maka tekanan terhadap inflasi juga akan lebih mudah dikendalikan. Akan tetapi, semakin ketatnya pengawasan perbankan akan cenderung mendorong bank- bank lebih ekstra hati-hati dalam menyalurkan kredit dan menyediakan pembiayaan lain yang diperlukan sektor riil. Disintermediasi financial bisa saja terjadi, dalam arti peningkatan simpanan dana dari masyarakat tidak diikuti dengan peningkatan penyaluran kredit dan pembiayaan lain kepada dunia usaha. Apabila kondisi ini diikuti pula dengan moral hazard dan adverse selection bias, dalam arti penyaluran kredit lebih banyak diberikan kepada debitur yang berani membayar suku bunga yang tinggi, atau bahkan terjadi fenomena credit crunch seperti diuraikan di atas, maka resiko kredit macet perbankan juga akan meningkat. Perkembangan seperti ini tidak saja akan membuat rentan kondisi kesehatan dan kestabilan perbankan, tetapi juga kurang efektifnya kebijakan moneter dan aktivitas ekonomi riil secara keseluruhan. Dari uraian di atas, keterkaitan yang erat antara kesehatan dan kestabilan perbankan dengan kebijakan moneter menekankan pentingnya koordinasi antara kebijakan moneter dan kebijakan perbankan. Secara lebih rinci, keterkaitan ini dapat diletakkan pada empat aspek. Pertama, perbankan mempunyai peran penting dan menentukan dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhir yang diinginkan, yaitu inflasi dan atau stabilitas nilai tukar. Kedua, perbankan menghadapi resiko pasar dari pelaksanaan kebijakan moneter, khususnya dalam bentuk perubahan suku bunga, nilai tukar, dan inflasi. Ketiga, sejumlah instrument kebijakan mempunyai dua aspek pengaruh baik pada perbankan ataupun moneter, seperti reserve requirement, discount facility, maupun net open position. Keempat, penanganan kesulitan perbankan, seperti dengan lenders of last resort ataupun financial sistem safety net, akan mempunyai implikasi penting pada pelaksanaan kebijakan moneter.
Inflation Targeting
Inflasi adalah fenomena ekonomi yang tak pernah basi dalam sejarah panjang ekonomi . Inflasi menjadi pembahasan yang krusial karena mempunyai dampak yang amat luas dalam perekonomian makro. Inflasi yang tinggi akan menyebabkan memburuknya distribusi pendapatan, menambah angka kemiskinan, mengurangi tabungan domestik, menyebabkan defisit neraca perdagangan, menggelembungkan besaran utang luar negeri serta menimbulkan ketidakstabilan politik. Mengingat begitu krusialnya inflasi ini, Bank Sentral dalam tugasnya menjaga stabilitas ekonomi menetapkannya sebagai tujuan utama dalam pelaksanaan kebijakan moneternya. Dalam melaksanakan tugasnya, Bank Indonesia telah menyusun berbagai kerangka kebijakan moneter yang akan menjadi pedoman dalam langkah usaha stabilisasi ini. Kebijakan ini tentunya selalu disesuaikan dengan perkembangan dinamika ekonomi nasional dari tahun ke tahun. Perkembangan ekonomi nasioanl dan global beberapa tahun terakhir ini telah memfokuskan perhatian BI kepada masalah pengendalian inflasi. Hal ini juga didukung oleh perkembangan teori ekonomi dalam literatur dan temuan empiris di beberapa negara bahwa kebijakan moneter dalam jangka menengah panjang hanya berpengaruh pada inflasi, bukan pada pertumbuhan ekonomi (Perry Warjiyo dan Solikin, 2004). Rancangan rencana strategis dalam pengendalian inflasi yang telah dirancang oleh bank Indonesia ini lebih popular disebut dengan Inflation Targetting Framework (ITF). Sebagai implementasi dari kerangka kerja ITF tersebut, sejak tahun 2000 Bank Sentral telah menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi yang akan dicapai melalui kebijakan moneternya. Kebijakan ini dituangkan dalam kerangka kebijakan yang dilakukan dengan menggunakan uang primer sebagai sasaran antaranya. Kebijakan semacam ini popular disebut kerangka kebijakan dengan pendekatan kuantitas (quantity based approach). Namun sejak tahun 2004, BI mengubah pendekatan yang digunakannya menjadi kerangka kebijakan dengan pendekatan harga.
Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan tingkat harga barang secara umum (Mankiw, 2000). Sedangkan untuk mengukur tingkat inflasi suatu negara, bisa digunakan tiga indicator yaitu: (1).Perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Indeks Biaya Hidup (IBH).
(2). Perubahan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB).
(3). Perubahan Deflator GDP/GDY.
Masing-masing indikator punya kelebihan dan kekurangan, namun yang utama adalah kita bagaimana menggunakan jenis indikator sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pengukuran. Di Indonesia, indikator yang sering digunakan untuk mengukur inflasi ini adalah IHK Laju inflasi yang tinggi tidak hanya menurunkan daya beli masyarakat tetapi juga dapat mengganggu kestabilan ekonomi makro lainnya, seperti mengganggu keseimbangan neraca pembayaran dan memperlemah nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Penyebab terjadinya inflasi dapat dilihat dari beberapa sisi, sisi permintaan, sisi penawaran, atau campuran antara keduanya. Secara umum, penyebab terjadinya inflasi dapat diidentifikasi menjadi 2, yakni
a. Inflasi tarikan permintaan (Demand Pull Inflation), Demand-Pull Inflation merupakan inflasi yang terjadi akibat peningkatan jumlah aggregate demand (permintaan agregat) barang atau jasa, yang ditandai dengan pergeseran kurva AD ke kanan. Kenaikan jumlah permintaan agregat ini akan mengakibatkan kenaikan tingkat harga
b. Inflasi desakan biaya (Cost Push Inflation) atau karena inflasi negara lain yang tersalur melalui jaringan perdagangan (imported inflation). Cost-push inflation merupakan inflasi yang terjadi akibat kenaikan biaya sehingga terjadi penurunan nilai aggregate supply (penawaran agregat).
Proses dinamika harga ini dapat berlangsung secara natural melalui mekanisme pasar, maupun karena kebijakan. Kerangka umum yang sering dipergunakan dalam menganalisa interaksi simultan antara permintaan dan penawaran baik pada pasar barang dan pasar uang adalah kerangka IS-LM. Kerangka ini secara gamblang dapat menunjukkan bagaimana kebijakan moneter dan fiskal mampu mempengaruhi tingkat pendapatan atau output (Mankiw, 2000). Bagi Bank Sentral yang merupakan otoritas moneter, kebijakan yang ia pilih bergantung pada target, kondisi aktual perekonomian, kapasitas kebijakan dan pertimbangan tentang efektivitas kebijakan tersebut.
Inflation targeting adalah sebuah kerangka kerja untuk kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada masyarakat tentang angka target inflasi dalam satu periode tertentu. Inflation targeting secara eksplisit menyatakan bahwa tujuan akhir kebijakan moneter adalah mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Stanley Fischer (1994), menyatakan bahwa inflation targeting perlu menjadi sasaran utama kebijakan moneter Bank Indonesia manapun di dunia. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi laju inflasi sedangkan pertumbuhan ekonomi cenderung mengkuti pertumbuhan naturalnya (Guitan, 1994). Inflation
targeting adalah kesetabilan harga. Stabilitas harga yang masuk akal dan operasional adalah setiap angka inflasi antara nol dan 3%. Inflation targeting adalah strategi kebijakan moneter yang mencakup lima elemen utama: 1) pengumuman publik jangka menengah untuk target angka inflasi; 2) komitmen institusional terhadap stabilitas harga sebagai tujuan utama dari kebijakan moneter, dimana tujuan lainnya adalah subordinasi; 3) strategi informasi inklusif di mana banyak variabel, dan tidak hanya agregat moneter atau kurs, digunakan untuk menentukan penetapan instrumen kebijakan; 4) meningkatkan strategi transparansi kebijakan moneter melalui komunikasi dengan masyarakat dan pasar tentang rencana, tujuan, dan keputusan dari otoritas moneter; dan 5 ) peningkatan akuntabilitas Bank Sentral untuk mencapai tujuan obyektif inflasi.
Inflation targeting memiliki beberapa keuntungan sebagai strategi jangka menengah untuk kebijakan moneter. Berbeda dengan nilai tukar tetap, Inflation targeting memungkinkan kebijakan moneter untuk fokus pada pertimbangan domestik dan untuk merespon guncangan terhadap perekonomian domestik. Sasaran inflasi memiliki keuntungan bahwa hubungan yang stabil antara uang dan inflasi tidak penting untuk kesuksesan: strategi tidak bergantung pada hubungan tersebut, melainkan menggunakan semua informasi yang tersedia untuk menentukan pengaturan terbaik untuk instrumn kebijakan moneter. Inflation targeting juga memiliki keuntungan kunci yang mudah dipahami oleh publik dan dengan demikian sangat transparan.
Inflation targeting adalah strategi kebijakan moneter yang bersifat forward looking dengan memfokuskan secara langsung pada kestabilan harga atau inflasi yang rendah sebagai sasaran tunggal akhir. Umumnya strategi pencapaian tersebut dilakukan melalui transmisi besaran-besaran harga (price targeting), seperti suku bunga dan nilai tukar. Sementara itu, Warjiyo dan Zulverdi (1998) menyatakan bahwa suku bunga yang cocok dijadikan sebagai sasaran operasional kebijakan moneter adalah suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB).
Pemilihan suku bunga PUAB sebagai sasaran operasional karena pertimbangan bahwa suku bunga PUAB memiliki kaitan yang erat dengan suku bunga deposito, mencerminkan kondisi likuiditas di pasar uang, dan sekaligus dapat dipengaruhi oleh instrumen operasi pasar terbuka.
Berkaitan dengan tujuan inflation targeting, yaitu untuk mencapai laju inflasi yang rendah dan stabil dalam jangka panjang, maka pemerintah dan BI menetapkan bahwa sasaran inflasi jangka menengah dan panjang yang ingin dicapai adalah sebesar 3%. Untuk mencapai keinginan tersebut, Pemerintah dan BI menetapkan sasaran inflasi jangka pendek yang harus dicapai setiap tahun . Dalam penerapan inflation targeting, kerangka kebijakan moneter dijalankan dengan penetapan sasaran tunggal yaitu inflation targeting. Dengan penetapan sasaran tunggal inflasi maka dapat mendorong terfokusnya pengendalian moneter, sehingga dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter dalam memerangi inflasi. Oleh karena itu banyak negara telah menggunakan sasaran akhir tunggal dalam kebijakan moneternya, seperti Selandia Baru, Kanada, Australia, Swedia, Spanyol dan Inggris. Sejak 1990, sasaran inflasi telah diadopsi oleh banyak negara-negara industry (Selandia Baru, Kanada, Inggris, Swedia, Israel, Australia dan Swiss), oleh beberapa Negara berkembang (Chili, Brazil, Korea, Thailand, dan Afrika Selatan) dan oleh beberapa Negara-negara transisi (Republik Ceko,Polandia dan Hungaria). Bernanke dan Mishkin mengemukakan beberapa motivasi dari banyaknya beberapa negara-negara pada akhir-akhir ini menggunakan inflasi sebagai sasaran tunggal, dapat disarikan sebagai berikut (Bernanke dan Mishkin ,1997 ).Penetapan inflasi sebagai sasaran tunggal dapat digunakan sebagai nominal anchor dalam kebijakan moneter untuk meyakinkan masyarakat bahwa Bank Sentral akan melaksanakan kebijakan moneter secara disiplin dan konsisten.
Adanya suatu preposisi dalam teori makroekonomi yang mengemukakan bahwa inflasi yang rendah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan efisiensi dalam jangka panjang. Uang bersifat netral dalam jangka menengah dan panjang sehingga peningkatan jumlah uang beredar hanya mempengaruhi tingkat harga, bukan output dan kesempatan kerja. Mahalnya biaya inflasi yang tinggi, khususnya dalam kaitan dengan alokasi sumber daya atau pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang atau keduanya. Pengaruh kebijakan moneter terhadap inflasi memerlukan lag yang sulit diprediksikan dan bervariasi pengaruhnya.
Penetapan stabilitas harga akan mendorong kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Namun di sisi lain jika pencapaian kebijakan moneter tidak dilakukan secara terukur juga dapat mengakibatkan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi. Misalnya, kebijakan moneter yang terlalu ketat dapat menekan (sequeze) pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan jumlah pengangguran.
Sebagaimana dikatakan oleh Wijoyo dan Iskandar (1999), Salah satu alas an pertimbangan penggunaan strategi kebijakan moneter ini adalah karena melemahnya hubungan antara besaran-besaran moneter (monetary aggregates), sehingga mempersulit dalam pencapaiaan sasaran akhir. Pertimbangan lainnya adalah karena terdapatnya kesulitan dalam mencapai sasaran akhir ganda (multiple targets) dalam waktu bersamaan karena terdapatnya tradeoff antara masing-masing sasaran ganda tersebut. Sebagai misal adalah inflasi dan pengangguran, apabila Bank Sentral melakukan ekspansi moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, maka tindakan tersebut akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap laju inflasi dan keseimbangan neraca pembayaran.
Sebaliknya, apabila otoritas moneter ingin mengetatkan kebijakan moneter dalam rangka mengendalikan laju inflasi maka hal tersebut akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pengangguran. Tradeoff tersebut merupakan phenomena umum sebagaimana dikemukakan dalam teori Phillips Curve. Kerangka kerja inflation targeting sebagaimana di kemukakan oleh Wijoyo Santoso dan Iskandar (1999) adalah sebagai berikut :
Prasyarat Penerapan Inflation Targeting
Menurut Debelle dan Lim serta Masson sebagaimana ditulis oleh oleh Wijoyo dan Iskandar (1999) untuk melaksanakan inflation targeting sebagai strategi kebijakan moneter terdapat dua prasyarat utama yang harus dipenuhi. Pertama, Independensi bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter. Kedua, Menghindarkan penggunaan nominal anchor lainnya bersamaan dengan penerapan inflafion targeting.
a. Independensi Bank Sentral
Persyaratan utama untuk melaksanakan kerangka kebijakan moneter dengan menggunakan inflation targeting adalah kemampuan bank sentral untuk mencapai inflasi tanpa ada campur tangan politik dari pemerintah. Dalam pengertian independent disini tidak hanya terbatas dari sisi kelembagaan tetapi juga independen dalam melaksanakan instrumen moneter. Independensi instrumen berarti bahwa pemerintah tidak diperkenankan melakukan kebijakan yang dapat mengganggu dalam pencapaian inflasi. Untuk mencapai kondisi tersebut maka suatu negara dipersyaratkan agar tidak mempunyai kebijakan fiskal yang terlalu dominan atau dengan kata lain kebijakan fiscal jangan sampai mendikte kebijakan moneter. Hal tersebut berarti bahwa pemerintah tidak diperkenankan untuk meminjam dari bank sentral atau bank-bank komersial di dalam negeri. Jika kondisi ideal tersebut tidak dapat terpenuhi maka paling tidak, jumlah pinjaman tersebut harus ditekan sekecil mungkin. Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa pemerintah hendaknya mempunyai sumber penerimaan yang cukup luas dan menghindarkan penerimaan yang berasal dari seignoirage dari pencetakan uang berlebihan. Sementara dalam hal terdapat pinjaman pemerintah maka pasar uang di dalam negeri harus mampu menyerap seluruh pinjaman pemerintah tersebut maupun pinjaman swasta. Disamping itu juga pinjaman pemerintah harus dikendalikan dalam level tertentu agar tidak mengganggu pelaksanaan kebijaksanaan moneter. Pemberian independensi dimaksudkan untuk menghindarkan tekanan-tekanan fiskal dari pemerintah akibat adanya slippages dalam kebijakan fiskal.
b. Menghindarkan penggunaan nominal anchor lainnya
Prasyarat kedua untuk megaplikasikan inflation targeting adalah Pemerintah atau otoritas moneter menghindarkan untuk menggunakan nominal anchor lainnya, seperti variabel upah dan nilai tukar nominal. Negara yang menggunakan sistem nilai tukar tetap, kebijakan moneternya terikat untuk mempertahankan nominal nilai tukar pada tingkat tertentu sehingga hal tersebut tidak efektif digunakan bersamaan dengan variabel nominal lainnya seperti inflasi. Hal tersebut dapat terjadi karena mempertahankan nilai tukar dapat mengorbankan target inflasi. Dalam hal otoritas moneter tidak dapat mencapai salah satu target tersebut maka hal tersebut dapat mengurangi kredibilitas.
Kerangka Kerja Inflation Targeting
Menurut Wijoyo Santoso dan Iskandar (1999) karakteristik kerangka kerja kebijakan moneter dari negara-negara yang menganut inflation targeting secara garis besar meliputi 3 kegiatan utama, yaitu penetapan target inflasi, melakukan proyeksi inflasi dan menetapkan kebijakan operasional dalam pencapaian sasaran inflasi.
a. Penetapan target inflasi
Karena inflation targeting adalah strategi kebijakan moneter yang bersifat forward looking maka dalam penetapan target inflasi perlu memperhatikan. (a). inflasi yang digunakan apakah akan menggunakan core inflation atau underlying inflation sebagai target. Sebaga misal apabila Bank sentral hanya menginginkan mengendalikan inflasi yang berasal dari sisi demand sementara sisi sisi supply dibiarkan diluar kendali bank sentral maka core inflation lebih tepat untuk digunakan, besarnya inflasi, jangka waktu pencapaian inflasi dan fleksibilitas dari pencapaian target dalam hal terjadi shock dalam ekonomi. (b). Besarnya inflasi yang ditargetkan. Besarnya inflasi yang ditargetkan hendaknya disesuaikan dengan potensi aktivitas ekonomi di masa yang akan datang, sehingga inflasi yang ditargetkan tidak terlalu kecil atau terlalu besar. Penetapan inflasi yang terlalu rendah akan sangat mahal bagi perekonomian karena selain berat bagi otoritas moneter juga menjadi beban bagi sektor riil. Penetapan target dapat dilakukan dengan menetapkan suatu target tertentu maupun dengan menetapkan band. (c). Jangka waktu pencapaian inflasi yang ditargetkan. Penetapan jangka waktu pencapaian inflasi terkait dengan struktur ekonomi. (d). Penerapan inflation targeting hendaknya juga tidak ditetapkan secara kaku.
Menurut Mc Donough sebagaimana ditulis oleh Wijoyo Santoso dan Iskandar (1999) ada 3 alasan mengapa fleksibilitas diperlukan dalam menerapkan inflation targeting. Pertama, stabilitas harga adalah sasaran jangka pendek dalam penciptaan ekonomi yang lebih stabil dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan akhir. Dengan demikian kebijakan moneter disesuaikan dengan siklus kegiatan ekonomi yang terjadi, sehingga inflation targeting tidak dijadikan sebagai rule. Kedua, inflation targeting merupakan strategi moneter ke depan (medium-term-forward-looking) sehingga ketidakpastiannya cukup besar khususnya dari sisi penawaran (supply shock). Oleh karena itu kebijakan moneter yang dilakukan juga harus mampu mengadopsi perubahan yang terjadi. Ketiga, penyimpangan inflasi dari target yang ditetapkan dapat menurunkan kredibilitas bank sentral.
Sebaliknya apabila terlalu longgar juga dapat mengurangi keyakinan masyarakat terhadap bank sentral dalam memerangi inflasi. Dengan demikian revisi inflasi dalam jangka pendek dapat dimungkinkan sepanjang terdapat alasan yang jelas untuk melakukan perubahan sesuai dengan perkembangan terakhir.
b. Proyeksi Inflasi
Tidak seperti target besaran moneter atau nilai tukar yang melihat perkembangan terkini dari target-target tersebut maka inflation target lebih bersifat strategi ke depan. Hal tersebut dapat terjadi karena terdapatnya kecenderungan mengenai lamanya lag dari perubahan piranti moneter ke inflasi.
Sebagai konsekuensinya maka sebelum melaksanakan kebijakan ini, otoritas moneter harus mempunyai model yang mampu dengan akurat memprediksikan inflasi dalam suatu jangka waktu tertentu. Ketidakakuratan dalam memprediksi inflasi ke depan tidak hanya menyangkut kredibilitas otoritas moneter tetapi juga akan dapat menjadi beban yang mahal bagi sektor riil apabila kebijakan moneter yang dilakukan terlalu ketat. Oleh karena itu diperlukan kejelian otoritas moneter untuk memprediksikan inflasi sebelum mengumumkannya kepadamasyarakat.
c. Penetapan Target Operasional
Umumnya negara-negara yang menganut rezim inflation targeting menggunakan suku bunga jangka pendek sebagai sasaran operasional.
Hambatan Dalam Pelaksanaan Targat Inflasi.
Meski kebijakan target inflasi ini cukup menjanjikan, namun sebenarnya terdapat banyak hambatan yang berkaitan dengan banyaknya prasyarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya di Indonesia. Ditambah dengan adanya faktor lain yang juga menjadi kendala dalam pemberlakuan kebijakan ini. Secara singkat, hambatan-hambatan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Hambatan dalam menciptakan independensi
Sulitnya menciptakan independensi bank sentral, karena hingga saat ini sistem pemerintahan Indonesia tidak memungkinkan untuk memberikan kewenangan penuh terhadap suatu lembaga/otoritas dalam menjalankan fungsi pengawasan instrumen keuangan. Dengan kata lain bahwa pemerintah tidak dapat benar-benar tidak turun campur tangan dalam urusan lembaga pengawas, meski lembaga tersebut disebut lembaga independen. Para pejabat dalam lembaga tersebut digaji oleh pemerintah, yang berarti loyalitas mereka terhadap pemerintah tak diragukan lagi. Hal ini jelas-jelas menyebabkan fungsi pengawasan tak dapat berjalan sebagaimana mestinya.
b. Hambatan dalam memprediksi inflasi.
Kemampuan untuk memprediksi inflasi merupakan kunci utama dalam pelaksanaan kebijakan target inflasi. Kemungkinan besar, peramalan inflasi di Indonesia akan sulit dilaksanakan. Hal ini berkaitan dengan kondisi politik dan keamanan yang boleh dikatakan tidak menentu akhir-akhir ini. Padahal, stabilitas nasional sangat berperan dalam menentukan kondisi ekonomi suatu negara. Untuk saat ini, para investor masih beranggapan bahwa negara kita tidak cukup kondusif bagi investasi. Isu-isu seputar politik dan keamanan daerah sudah rawan untuk memporak-porandakan perekonomian nasional. Jika stabilitas belum tercapai, mustahil dapat memprediksi dengan cermat.
c. Hambatan Konsistensi dan transparansi.
Pelaksanaan kebijakan target inflasi secara konsisten dan transparan juga akan sulit terwujud. Tingkat korupsi di Indonesia yang sedemikian tinggi akan mempersulit pemerintah dalam meraih kepercayaan dari masyarakat. Juga maraknya praktik kolusi yang menyebabkan sikap masyarakat semakin apatis dan enggan berpartisipasi dalam pelaksanaan pemulihan krisis ekonomi. Kebijakan target inflasi belum tentu didukung oleh masyarakat, kecuali apabila lembaga pelaksana kebijakan ini dapat meyakinkan masyarakat bahwa aparaturnya negara bersih dan bebas korupsi.
d. Hambatan dalam mewujudkan kebijakan secara fleksibel dan kredibel.
Menjalankan kebijakan secara fleksibel sekaligus kredibel juga bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Jika kebijakan diberlakukan secara lentur, sehingga menyebabkan incredible. Demikian juga sebaliknya, apabila kebijakan ini lebih berfokus pada kredibilitas, maka akan timbul sifat inflexible.
e. Tingkat keparahan krisis.
Faktor lain adalah tingkat keparahan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sudah tergolong akut, sehingga penanganannya juga lebih sulit dibanding negara-negara lain. Mungkin kebijakan target inflasi ini berhasil diberlakukan di negara-negara lain, namun belum tentu akan sesuai diberlakukan di Indonesia.
Sementara kerangka umum yang sering dipergunakan dalam menganalisa interaksi simultan antara permintaan dan penawaran baik pada pasar barang dan pasar uang adalah kerangka ISLM. Kerangka ini secara gamblang dapat menunjukkan bagaimana kebijakan moneter dan fiscal mampu mempengaruhi tingkat pendapatan atau output (Mankiw, 2000). Bagi bank sentral yang merupakan otoritas moneter, kebijakan yang ia pilih bergantung pada target, kondisi actual perekonomian, kapasitas kebijakan dan pertimbangan tentang efektivitas kebijakan tersebut.
Kebijakan moneter ini ditentukan secara terpusat oleh Bank Sentral. Meskipun dalam formulasi kebijakannya Bank Sentral sudah mempertimbangkan aspek regional, namun respon agen dan dampak pada masing-masing region tersebut sangat mungkin berbeda, dan ini sangat bergantung pada kondisi empirik masing-masing daerah. Dengan asumsi bahwa permintaan domestik lebih besar dibandingkan dengan permintaan eksternal maka perkembangan permintaan domestik dan eksternal ini menghasilkan penurunan nilai permintaan agregat. Penurunan permintaan agregat tersebut berarti bahwa nilai Produk Domestik Bruto (PDB) menurun. Besarnya permintaan agregat tersebut tidak selamanya seimbang dengan besarnya penawaran agregat yang ditentukan oleh volume produksi barang dan jasa secara nasional. Dengan asumsi bahwa penawaran agregat tidak mengalami perubahan, maka penurunan permintaan agregat akan mengakibatkan kesenjangan output semakin kecil. Kesenjangan output yang terjadi dalam ekonomi tersebut akan menimbulkan tekanan inflasi yang semakin kecil dari sisi domestik. Selain itu, apresiasi nilai tukar memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan harga barang-barang yang diimpor dari luar negeri.
Apresiasi nilai tukar menyebabkan harga barang impor semakin murah sehingga menimbulkan tekanan inflasi yang lebih kecil dari sisi eksternal. Tekanan inflasi dari sisi domestik dan eksternal yang semakin kecil ini mengakibatkan turunnya tingkat inflasi. Umumnya, apabila dipilih stabilitas harga sebagai sasaran akhir kebijakan dalam kerangka strategis inflation targeting, maka interest rate rule menjadi pilihan.