Penjelasan Dan Manfaat Fraudulent Financial Reporting
Akhir-akhir ini manajemen perusahaan (terutama perbankan) banyak yang mengkhawatirkan timbulnya kecurangan (fraud) dilingkungan perusahaannya. Hal ini dimungkinkan karena banyak terjadi fraud dilingkungan perbankan Indonesia. Beberapa waktu yang lalu, salah satu Kantor cabang Bank BNI di Jakarta, terjadi kasus fraud yang merugikan milyaran rupiah. Perbankan memang sangat rentan terhadap fraud, karena meskipun telah menggunakan teknologi tinggi (computerized) namun sulit terdeteksi jika terjadi kolusi antara oknum karyawan Bank dengan pihak lain. Fraud dapat dilakukan oleh seseorang dari dalam maupun dari luar perusahaan. Fraud umumnya dilakukan oleh orang dalam perusahaan (internal fraud) yang mengetahui kebijakan dan prosedur perusahaan. Mengingat adanya pengendalian (control) yang diterapkan secara ketat oleh hampir semua perusahaan untuk menjaga asetnya, membuat pihak luar sukar untuk melakukan pencurian. Internal fraud terdiri dari 2 (dua) kategori yaitu Employee fraud yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang untuk memperoleh keuntungan finansial pribadi maupun kelompok dan Fraudulent financial reporting.
Proses, unsur dan faktor pemicu fraud
Proses fraud biasanya terdiri dari 3 macam, yaitu pencurian (theft) dari sesuatu yang berharga (cash, inventory, tools, supplies, equipment atau data), konversi (conversion) asset yang dicuri kedalam cash dan pengelabuhan / penutupan (concealment) tindakan kriminal agar tidak dapat terdeteksi.
Unsur-unsur fraud antara lain sekurang-kurangnya melibatkan dua pihak (collussion), tindakan penggelapan/penghilangan atau false representation dilakukan dengan sengaja, menimbulkan kerugian nyata atau potensial atas tindakan pelaku fraud. Meskipun perusahaan secara hukum dapat menuntut pelaku fraud, ternyata tidak mudah usaha untuk menangkap para pelaku fraud, mengingat pembuktiannya relatif sulit.
Penyebab / faktor pemicu fraud dibedakan atas 3 (tiga) hal yaitu :
1. Tekanan (Unshareable pressure/ incentive) yang merupakan motivasi seseorang untuk melakukan fraud. Motivasi melakukan fraud, antara lain motivasi ekonomi, alasan emosional (iri/cemburu, balas dendam, kekuasaan, gengsi) dan nilai (values).
2. Adanya kesempatan / peluang (Perceived Opportunity) yaitu kondisi atau situasi yang memungkinkan seseorang melakukan atau menutupi tindakan tidak jujur.
3. Rasionalisasi (Rationalization) atau sikap (Attitude), yang paling banyak digunakan adalah hanya meminjam (borrowing) asset yang dicuri.
Ramos (2003), menggambarkan penyebab fraud dalam bentuk segitiga fraud (the fraud triangle), sebagai berikut :
Selain itu, fraud dapat dikatagorikan atas 3 (tiga) macam sbb. :
1. Penyalahgunaan wewenang/jabatan (Occupational Frauds); kecurangan yang dilakukan oleh individu- individu yang bekerja dalam suatu organisasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
2. Kecurangan Organisatoris (Organisational Frauds); kecurangan yang dilakukan oleh organisasi itu sendiri demi kepentingan/keuntungan organisasi itu.
3. Skema Kepercayaan (Confidence Schemes). Dalam kategori ini, pelaku membuat suatu skema kecurangan dengan menyalahgunakan kepercayaan korban.
Jenis-jenis fraud
Jenis-jenis fraud yang sering terjadi di berbagai perusahaan pada umumnya dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam :
1. Pemalsuan (Falsification) data dan tuntutan palsu (illegal act). Hal ini terjadi manakala seseorang secara sadar dan sengaja memalsukan suatu fakta, laporan, penyajian atau klaim yang mengakibatkan kerugian keuangan atau ekonomi dari para pihak yang menerima laporan atau data palsu tersebut.
2. Penggelapan kas (embezzlement cash), pencurian persediaan/aset (Theft of inventory / asset) dan kesalahan (false) atau misleading catatan dan dokumen. Penggelapan kas adalah kecurangan dalam pengalihan hak milik perorangan yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai hak milik itu di mana pemilikan diperoleh dari suatu hubungan kepercayaan. Contoh khas adalah kitting atau lapping dalam skema pencurian uang. Lapping adalah seseorang mencuri uang kas yang digunakan oleh Customer A untuk membayar piutangnya (Account Receivable), dana yang diterima dari Customer B digunakan untuk membayar saldo A/R milik Customer A, dst (gali lubang tutup lobang). Sedangkan Kitting adalah seseorang menutupi pencuriannya dengan menciptakan kas melalui transfer uang antar bank (interbank transfer). Seseorang menciptakan kas dengan mendepositokan check dari bank A ke Bank B dan menarik uangnya. Karena di Bank A, dananya tidak cukup, maka ybs mendepositokan check dari Bank C ke Bank A sebelum check ke Bank B dikliringkan. Demikian polanya berjalan terus dengan check dan deposit sebanyak diperlukan untuk menjaga agar check-nya tidak sampai ditolak.
3. Kecurangan Komputer (Computer fraud) meliputi tindakan ilegal yang mana pengetahuan tentang teknologi komputer adalah esensial untuk perpetration, investigation atau prosecution. Dengan menggunakan sebuah komputer seorang fraud perpetrator dapat mencuri lebih banyak dalam waktu lebih singkat dengan usaha yang lebih kecil. Pelaku fraud telah menggunakan berbagai metode untuk melakukan Computer fraud .
Pengkategorian Computer fraud melalui penggunaan data processing model, dapat dirinci sbb :
a. Cara yang paling sederhana dan umum untuk melaksanakan fraud adalah mengubah computer input.
b. Computer fraud dapat dilakukan melalui penggunaan sistem (dalam hal ini Processor) oleh yang tidak berhak, termasuk pencurian waktu dan jasa komputer serta penggunaan komputer untuk keperluan diluar job deskripsi pegawai.
c. Computer fraud dapat dicapai dengan mengganggu software yang mengolah data perusahaan atau Computer istruction . Cara ini meliputi mengubah software, membuat copy ilegal atau menggunakannya tanpa otorisasi.
d. Computer fraud dapat dilakukan dengan mengubah atau merusak data files perusahaan atau membuat copy, menggunakan atau melakukan pencarian terhadap data tanpa otorisasi.
e. Computer fraud dapat dilaksanakan dengan mencuri atau menggunakan secara tidak benar system output.
Fraudulent Financial Reporting
Fraudulent financial reporting adalah perilaku yang disengaja atau ceroboh,baik dengan tindakan atau penghapusan,yang menghasilkan laporan keuangan yang menyesatkan (bias). Fraudulent financial reporting yang terjadi disuatu perusahaan memerlukan perhatian khusus dari auditor independen.
Arens (2005 : 310) dalam bukunya yang berjudul “Auditing & Assurance Services : An Integrated Approach” edisi ke-10 pada bab 11 tentang fraud auditing, antara lain menyebutkan :
Fraudulent financial reporting is an intentional misstatement or omission of amounts or disclosure with the intent to deceive users. Most cases of fraudulent financial reporting involve the intentional misstatement of amounts not disclosures. For example, worldcom is reported to have capitalized as fixed asset, billions dollars that should have been expensed. Omission of amounts are less common, but a company can overstate income by omittingaccount payable and other liabilities.
Although less frequent, several notable cases of fraudulent financial reporting involved adequate disclosure. For example, a central issue in the enron case was whether the company had adequately disclosed obligations to affiliates known as specialm purpose entities.
Penyebab fraudulent financial reporting umumnya 3 (tiga) hal sbb :
1. Manipulasi, falsifikasi, alterasi atas catatan akuntansi dan dokumen pendukung atas laporan keuangan yang disajikan.
2. Salah penyajian (misrepresentation) atau kesalahan informasi yang signifikan dalam laporan keuangan.
3. Salah penerapan (misapplication) dari prinsip akuntansi yang berhubungan dengan jumlah, klasifikasi, penyajian (presentation) dan pengungkapan (disclosure).
Fraudulent financial reporting juga dapat disebabkan adanya kolusi antara manajemen dengan auditor independen. Salah satu upaya untuk mencegah adanya kolusi tersbut, maka perlu dilakukan rotasi auditor independen dalam melakukan audit suatu perusahaan. Berkaitan dengan hal ini Carcello (2004) dalam artikelnya yang berjudul ” Audit firm tenure and fraudulent financial reporting ”, menyatakan :
The Sarbanes-Oxley Act (U.S. House of Representatives 2002) required the U.S. Comptroller General to study the potential effects of requiring mandatory audit firm rotation. The U.S. General Accounting Office (GAO) concludes in its recently released study of mandatory audit firm rotation that "mandatory audit firm rotation may not be the most efficient way to strengthen auditor independence" (GAO 2003, Highlights). However, the GAO also suggests that mandatory audit firm rotation could be necessary if the Sarbanes-Oxley Act's requirements do not lead to improved audit quality (GAO 2003, 5).
Berdasarkan penelitian COSO (1999) yang berjudul “Fraudulent Financial Reporting : 1987 – 1997, An Analysis of U.S. Public Company”, bahwa dari hasil analisa perusahaan yang listing di Securities Exchange Commission (SEC) selama periode Januari 1987 s.d. Desember 1997 ( 11 tahun) dapat disimpulkan :
Teridentifikasi sejumlah 300 perusahaan yang terdapat fraudulent financial reporting yang memiliki karakteristik yaitu memiliki permasalahan bidang keuangan (experiencing financial distress), lax oversight dan terdapat fraud dengan jumah uang yang besar (Ongoing, large-dollar frauds). Contoh kasus Fraudulent Financial Reporting antara lain Enron, Tyco, Adelphia dan WorldCom.
Tanggung Jawab & Fungsi Auditor Independen
1. Statement Auditing Standards
Auditing Standards Board (ASB) di Amerika Serikat telah mengeluarkan 10 (sepuluh) standar auditing baru pada bulan April 1988. Beberapa Statements on Auditing Standards (SAS) yang cukup penting adalah :
a. SAS No. 53 tentang "The Auditor's Responsibility to Detect and Report Errors and Irregularities," yaitu mengatur tanggung jawab auditor untuk mendeteksi dan melaporkan adanya kesalahan (error) dan ketidak beresan (irregularities).
b. SAS No. 55 tentang "Consideration of Internal Control in a Financial Statement Audit," yang merubah tanggung jawab auditor mengenai internal control. Statement yang baru ini meminta agar auditor untuk merancang pemahaman tentang pengendalian intern yang memadai (internal control sufficient) dalam merencanakan audit. SAS No. 55 kemudian diperbaharui dengan diterbitkan SAS No. 78 pada tahun 1997, dengan mencantumkan definisi ulang pengendalian intern (redefined internal control) dengan memasukkan dua komponen yaitu lingkungan pengendalian (control environment) dan penilaian risiko (risk assessment) yang merupakan usulan dari the Treadway Commission.
c. SAS No. 61 mengatur tentang komunikasi antara auditor dengan komite audit perusahaan (Communication with Audit Committees). Auditor harus mengkomunikasikan dengan komite audit atas beberapa temuan audit yang penting, misalnya kebijakan akuntansi (accounting policy) perusahaan yang signifikan, judgments, estimasi akuntansi (accounting estimates), dan ketidaksepakatan manajemen dengan auditor.
Selain itu ASB pada Februari 1997 telah mengeluarkan SAS No. 82 yang berjudul Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit. Auditor harus bertanggung jawab untuk mendeteksi dan melaporkan adanya kecurangan (fraud) yang terjadi dalam laporan keuangan yang disusun oleh manajemen. SAS no. 82 menyatakan bahwa setiap melakukan audit auditor harus menilai risiko (assessment of risk) kemungkinan terdapat salah saji material (material misstatement) pada laporan keuangan yang disebabkan oleh fraud. SAS No. 82 akhirnya diperbaharui melalui SAS No. 99 dengan judul yang sama dan mulai diberlakukan efektif untuk audit laporan keuangan setelah tanggal 15 Desember 2002, penerapan lebih awal sangat dianjurkan. Auditor bertanggungjawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit guna mendapatkan keyakinan memadai (reasonable assurance) bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan (error) maupun kecurangan (fraud). Pengaruh SAS No. 99 terhadap tanggung jawab auditor antara lain :
- Tidak ada perubahan atas tanggung jawab auditor untuk mendeteksi fraud atas audit laporan keuangan.
- Tidak ada perubahan atas kewajiban auditor untuk mengkomunikasikan temuan atas fraud.
- Terdapat perubahan penting terhadap prosedur audit serta dokumentasi yang harus dilakukan oleh auditor atas audit laporan keuangan.
Dua tipe salah saji (misstatements) yang relevan dengan tanggung jawab auditor, yaitu salah saji yang diakibatkan oleh fraudulent financial reporting dan salah saji yang diakibatkan oleh penyalahgunaan asset (misappropriation of assets).
SAS No. 99 menegaskan agar auditor independen memiliki integritas serta menggunakan kemahiran professional (professional skepticism) melalui penilaian secara kritis (critical assessment) terhadap bukti audit (audit evidence) yang dikumpulkan.
2. Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP)
Profesi akuntan publik (auditor independen) memiliki tangggung jawab yang sangat besar dalam mengemban kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh masyarakat (publik). Tanggung jawab akuntan publik dalam melaksanakan pekerjaannya secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu :
a. Tanggung jawab moral (moral responsibility).
Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab moral untuk :
1). Memberi informasi secara lengkap dan jujur mengenai perusahaan yang diaudit kepada pihak yng berwenang atas informasi tersebut, walaupun tidak ada sanksi terhadap tindakannya.
2). Mengambil keputusan yang bijaksana dan obyektif (objective) dengan kemahiran profesional (due professional care).
b. Tanggung jawab profesional (professional responsibility).
Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab profesional terhadap asosiasi profesi yang mewadahinya (rule professional conduct).
c. Tanggung jawab hukum (legal responsibility).
Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab diluar batas standar profesinya yaitu tanggung jawab terkait dengan hukum yang berlaku.
Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam Standar Auditing Seksi 110, mengatur tentang “Tanggung Jawab dan Fungsi Auditor Independen”. Pada paragraf 2, standar tersebut antara lain dinyatakan bahwa auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan. Oleh karena sifat bukti audit dan karakteristik kecurangan, auditor dapat memperoleh keyakinan memadai, namun bukan mutlak. Bahwa salah saji material terdeteksi. Auditor tidak bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit guna memperoleh keyakinan bahwa salah saji terdeteksi, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan, yang tidak material terhadap laporan keuangan.
Pencegahan dan pendeteksian fraud
Mengingat fraud merupakan problem yang sangat serius, maka perusahaan harus mengambil langkah-langkah komprehensif untuk memproteksi sistem informasinya. Metode yang paling efektif untuk memperoleh security system yang mencukupi adalah terletak pada integritas (integrity) karyawan perusahaan. Perusahaan dapat mengambil langkah untuk meningkatkan integritas karyawan dan mengurangi kemungkinan karyawan melakukan fraud dengan memperhatikan :
1. Hiring & firing practices. Dalam melakukan penerimaan dan pemecatan karyawan harus dilakukan dengan hati-hati dan selektif..
2. Managing disgruntled employees. Banyak karyawan yang melakukan fraud adalah dalam rangka mencari pembalasan atau justice terhadap kesalahan-kesalahan yang pernah ditimpakan kepada mereka.
3. Employee training. Fraud jauh lebih sedikit akan terjadi dalam lingkungan dimana para karyawan percaya bahwa keamanan (security) merupakan tanggung jawab bersama, baik karyawan maupun manajemen.
Salah satu cara untuk mencegah timbulnya fraud adalah dengan merancang sebuah sistem yang dilengkapi dengan internal control yang cukup memadai sehingga fraud sukar dilakukan oleh pihak luar maupun orang dalam perusahaan.
The National Commission On Fraudulent Financial Reporting (The Treadway Commission) merekomendasikan 4 (empat) tindakan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya fraudulent financial reporting, yaitu :
1. Membentuk lingkungan organisasi yang memberikan kontribusi terhadap integritas proses pelaporan keuangan(financial reporting).
2. Mengidentifikasi dan memahami faktor- faktor yang mengarah ke fraudulent financial reporting.
3. Menilai resiko fraudulent financial reporting di dalam perusahaan.
4. Mendisain dan mengimplementasikan internal control yang memadai untuk financial reporting.
Mulfrod & Comiskey (2002) menulis buku yang berjudul “The Financial Numbers Game : Detecting Creative Accounting Practices”. Buku yang diterbitkan oleh John Wiley & Sons tersebut lebih difokuskan bagi para investor sebagai pembelajaran untuk mengetahui secara cepat adanya kecurangan akuntansi (fraudulent accounting). Beberapa atribut yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya risiko terdapat fraudulent financial reporting di perusahaan, antara lain terdapat kelemahan dalam pengendalian intern (internal control), perusahaan tidak memiliki komite audit dan terdapat hubungan kekeluargaan (family relationship) antara manajemen (Director) dengan karyawan perusahaan. Klasifikasi dari Creative Accounting Practices menurut Mulfrod & Comiskey, terdiri dari :
1. Pengakuan pendapatan fiktif (recognizing Premature or Ficticious Revenue).
2. Kapitalisasi yang agresif dan Kebijakan amortisasi yang terlalu lebar (Aggressive Capitalization & Extended Amortization Policies).
3. Pelaporan keliru atas Aktiva & Utang (Misreported Assets and Liabilities).
4. Perekayasaan Laporan Laba Rugi (Creative with the Income Statement).
5. Timbul masalah atas pelaporan Arus Kas (Problems with Cash-flow Reporting).
Menurut laporan dari The National Commission on Fraudulent Financial Reporting, pencegahan dan pendeteksian awal atas fraudulent financial reporting harus dimulai saat penyiapan laporan keuangan.
Buku (textbook) yang membahas cukup mendalam tentang teknik untuk mencegah dan mendeteksi adanya fraud dalam laporan keuangan adalah “Financial Statement Fraud: Prevention and Detection” karangan Rezaee (2002). Dalam buku tersebut dijelaskan kasus kolapsnya enron di Amerika Serikat, yang menghebohkan kalangan dunia usaha secara jelas dan lengkap, termasuk adanya praktek kolusi.