Pengertian Globalisasi Dan Isu Lingkungan
John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1990) pernah memprediksikan lahirnya “globalisasi”. Kedua orang ini membayangkan globalisasi debagai keadaan di milenium baru yang “lain” daripada milenium sebelumnya (it will be a decade like none that has come before because it will culminate in the milenium, the year 2000). Indikasi bagi akan adanya globalisasi itu antara lain ditandai dengan bom ekonomi global tahun 1990-an, sosialisme pasar bebas, “gaya hidup global” dan tidak ketinggalan pula persoalan lingkungan hidup dunia.
Awal mulai ramainya diskursus tentang globalisasi memang berkaitan dengan ekonomi global dan juga politik, terutama soal “hilangnya” batas dunia yang menyebabkan politik tidak lagi terpasung pada nation state saja. Tapi sekarang sebagaimana dikatakan Anthony Giddins dalam The Third Way-nya (1999:35) bahwa globalisasi bukan hanya, atau bahkan terutama tentang saling ketergantungan ekonomi, tetapi tentang transformasi waktu dan ruang dalam kehidupan kita yang tanpa sekat.
Dari transformasi itu lalu tercipta struktur-struktur global untuk banyak aspek kehidupan, mulai dari soal makanan, pakaian, lingkungan hidup, bahasa sampai kepada teknologi informasi dan komunikasi serba canggih (globalisierung derKultur, KAAD, 1995:11). Pada arus demokrasi sosial dan kultural orang menenun identitas dan entitas nasional dan lokal serta individualisme gaya baru, yang sekaligus bersifat atau menjadi global. Maka tidak mengherankan bila perjumpaan kultural yang menembus ruang dan waktu ini melahirkan apa yang oleh Samuel P. Huntington (2002: dst) disebut sebagai The Clash of Civilization (benturan peradaban). Hakekatnya ialah soal pengetahuan kognitif, pemahaman dan peng-emban-an nilai secara berbeda dalam struktur modern global itu.
Itu juga terjadi dalam bidang lingkungan hidup. Maunya tercipta semacam “pandangan global tentang lingkungan” (ecocultur), namun itu sering bertabrakan dengan kepentingan sempit lokal yang juga merupakan unsur globalisasi (A. Giddens, 1999:37). Artinya wilayah lokal atau batasan nasional itu sama sekali tidak dihilangkan, melainkan tetap menjadi identitas. Kepentingan sempit lokal (juga nasional) seolah dapat menjadi kultur baru dalam batasan suatu negara bangsa (nation state) yang karena klaim globalisasi bukannya semakin menyempit melainkan meluas (mau menjadi global ?).
Dari situlah kita dapat memahami kenapa terjadi perbedaan kepentingan (yang hakekatnya adalah perbenturan prefensi nilai) antara negara maju dan negara berkembang dalam isu lingkungan hidup. Singkatnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, negara-negara sepakat bahwa lingkungan hidup global terancam atau dalam bahaya. Misalnya bahaya pemanasan global (global warning), robeknya lapisan ozon, hancurnya hutan hujan tropis, ledakan penduduk, kemiskinan, polusi dan seterusnya. Jadi konsensusnya terletak pada soal malapetaka global sebagai “megatrends milenium” yang akan dinikmati bersama.
Kedua, ketika sampai pada tataran aksi, isu-isu ekologisnya itu bertransformasi, sederhananya berubah menjadi nilai kepentingan (intrumenal) yang ditentukan oleh politik dan pasar. Dapat diambil contoh pada KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992, KTT Bumi+5 di New York 1997, COP-3 di Kyoto 1997, dan KTT Bumi di Johanesburg 2002. Perhelatan internasional itu dipenuhi dengan sitegang leher dan akrobatik urat syaraf antara negara maju dan negara-negara berkembang plus oragnisasi-organisasi non pemerintah (NGO). Negara-negara maju lebih banyak bermain dengan konsep pelestarian lingkungan global yang menurut mereka merupakan tanggung jawab negara-negara berkembang yang merupakan “biang keladi” rusaknya lingkungan global. Sementara itu negara-negara maju sendiri memperluas imperium ekonomi bisnisnya dan meninggalkan dampak buruk bagi lingkungan.
Di lain pihak negara-negara berkembang menginginkan kebebasan atau ekonomi dalam mengeksploitasi sumber-sumber daya alam yang dimilikinya. Justru negara-negara maju harus lebih banyak memikul tanggung jawab keselamatan lingkungan global, juga harus lebih komit terhadap janji mereka untuk membantu pembangunan di negara-negara berkembang (pada KTT Johanerburg dijanjikan bantuan 0,7 persen dari produk domestik Bruto/PDB), karena juga menikmati sumber daya alam dari negara berkembang. Udara bersih yang mereka hirup misalnya, juga karena terpeliharanya hutan di negara berkembang.
Sementara itu negara-negara maju dikritik sebagai mempunyai standar ganda dalam hal hukum internasional. Mereka ngotot bahwa hukum itu bertujuan umum melindungi kualitas lingkungan global. Tapi itu dijadikan pula sebagai instrumen akomodasi kepentingan bisnis mereka. Misalnya saja dalam ketentuan Protokol Montreal 1997 disebutkan pemberian dana gratis untuk proses peralihan teknologi CFC ke non CFC. Tapi ketentuan itu bisa saja merupakan “ambisi bisnis global” mengenai gas rumah kaca (OZON, Vol. 2 No. 1, September 2000). Selain itu hukum tersebut bisa saja dijadikan sebagai sarana “intervensi” dan pendiktean negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang (Hikmahanto, Juwana, 2001, dalam Eman Rajagukguk, ed., 2001:116).
Di lain pihak, NGO yang turut meramaikan KTT itu dengan segala protes mereka tampaknya punya filsafat globalisasi tersendiri. Berkaitan dengan isu-isu ekologis, mereka “netral” dan memperjuangkan eco-populism (Dietz, 1996), bukan eco developmetalism, apalagi eco-kapitalism. Mereka memandang bahwa globalisasi dalam isu lingkungan hidup mengarah kepada terbentuknya kerajaan kapitalism global yang menjadikan lingkungan hidup kehilangan esensi kemanusiaan manusia. Penolakan sebagian orang di negara maju terhadap globalisasi itupun dapat dipahami dari situ, yaitu bahwa yang menjadi korban adalah sebagian manusia yang akan selalu kalah.
Dua penjelasan singkat sederhana di atas mau menunjukan bahwa globalisasi yang dianggap sebuah keharusan zaman bukan tanpa konsekuensi buruk. Wilayah identitas lokal (katakanlah dari negara maju liberalis kapitalis atau neoliberal) yang kuat akan memperluas pengaruhnya (proses meng-global) dan berbenturan dengan identitas penolakan. Di satu pihak memang globalisasi itu dapat membantu mengatasi persoalan lingkungan. Misalnya bahwa produk kapitalis global berupa barang dan jasa ditentukan oleh pasar atau konsumen yang berpihak kepada lingkungan hidup. Namun di lain pihak politik ekonomi global juga merugikan lingkungan hidup. Dan ini mestinya merupakan argumen penolakan terhadap akibat buruk globalisasi itu.
Pertama, persoalan utang luar negeri yang punya dampak negatif serius bagi kondisi lingkungan di negara-negara berkembang (G-77), termasuk Indonesia. Carol Wetch (2000:65 dst) mengatakan bahwa lingkungan hidup malah menjadi korban dari lembaga donor seperti IMF (International Moneter Fund). Singkatnya, pinjaman IMF dan upaya penyelamatannya mendorong eksploitasi sumber-sumber daya alam dalam skala besar-besaran. Dalam pemberian pinjaman, IMF tidak memperhitungakn dampak lingkungan sebagai akibat dari pemulihan ekonomi negara-negara berkembang: pemulihan ekonomi sambil merusak lingkungan.
Kedua, isu lingkungan hidup dipolitisasi sedemikian rupa (bahkan dalam WTO / World Trade Organization pun) sehingga seolah-olah merupakan keprihatinan serius masyarakat internasional. Padahal isu tersebut sering dijadikan tameng negara-negara maju untuk melindungi kepentingan ekonomi dan bisnis mereka (Sonny Keraf, 2002:229-231). Maka yang dimaksud dengan perlindungan lingkungan global adalah “perlindungan lingkungan hidup di negara-negara maju”, sementara lingkungan hidup di negara berkembang dibiarkan hancur oleh kapitalism negara maju yang didukung oleh kapitalis lokal dan pemerintah negara-negara berkembang. Perusahaan multinasional misalnya merupakan salah satu contoh untuk itu.
Demikianlah catatan singkat dan bersifat umum tentang isu lingkungan hidup dalam globalisasi. Ringkasnya, globalisasi yang seolah menjadi “ideologi” internasional itu tidak saja hanya seolah-olah meningkatkan kebahagiaan hedonis dan “damai di bumi”, melainkan juga syarat dengan muatan kepentingan. Memang di satu pihak ada tekad bersama untuk menyelamatkan lingkungan hidup global, sebagaimana pernah diprediksikan J. Naisbitt dan kawannya itu sebagai a growing global consensus dengan segala kehebatan informasi dan teknologi. Namun di pihak lain, ia dapat menghancurkannya, terutama juga ketika kepentingan globalisasi itu mereduksi sifat komunal dan globalnya lingkungan hidup menjadi alat individualisme jenis baru.
Aspek degradatif bagi lingkungan hidup itulah yang perlu ditolak (atas nama globalisasi yang benar), apabila masyarakat global masih mau menyelamatkan lingkungan hidupnya. Penolakannya bukan pada globalisasi sebagai eksistensi empirik yang sedang bergerak, tetapi pada efek buruknya bagi lingkungan hidup manusia. Demikian juga penolakan terhadap perang kultural yang akan melahirkan penyeragaman karena dominasi budaya tertentu.
Peran Politikus
Persoalan lingkungan hidup dewasa ini telah mendapatkan suatu paradigma baru, yakni dari hanya persoalan para ekolog, ekonom dan pencinta lingkungan (LSM), menjadi persoalan politik yang dikonsumsi para tokoh politik. Para politikus itu punya perhatian, karena logika politik ada relevansinya dengan nasib lingkungan hidup. Dengan kata lain, lingkungan hidup sebagian berada di tangan politikus.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa masalah lingkungan hidup menyangkut siapa yang paling berhak atas sumber daya alam, siapa yang berhak memutuskan dan melalui proses yang bagaimana, siapa yang diuntungkan dan dirugikan. Sedang politik berkaitan antara lain dengan membuat keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan dan hak setiap orang, dan tentu saja juga menyangkut nasib lingkungan hidup, sumber daya lama dan kelestarian fungsinya (J. Gothenberg, 1991).
Relevansi antara politikus dan masalah lingkungan hidup itu sebenarnya juga berlaku untuk Indonesia. Nasib lingkungan hidup kita ditentukan oleh politikus, atau elit politik kita, yang sedang “bersitegang syaraf” untuk mendapatkan kursi di DPR/MPR, menjadi Presiden atau duduk di kursi Kabinet. Namun persoalannya ialah bahwa faktor atau visi lingkungan hidup dan sumber daya alam di dalamnya belum begitu populer, baik dalam program partai, kampanye politik dalam rangka Pemilu, maupun dalam debat calon presiden.
Kalau persoalan itu dicermati, maka dapat diduga ada tiga penyebabnya :
Pertama, lingkungan hidup bukan merupakan “umpan politik” yang mujarab untuk menarik minat massa agar mendukung suatu partai, ketimbang misalnya ekonomi atau popularitas tokoh. Kalaupun itu dilakukan, maka partai itu mungkin akan kalah populer dengan yang lainnya. Lain halnya kalau itu di Barat, Jerman misalnya, yang punya “Partai Lingkungan” sehingga tetap ada peminatnya, jelas programnya untuk bidang itu.
Kedua, para tokoh politik atau caleg kita barangkali saja “tidak punya” visi dan misi lingkungan hidup, sebagaimana disinyalir banyak kalangan belakangan ini. Padahal, persoalan lingkungan hidup adalah persoalan “eksistensi” manusia, pembangunan dan kemanfaatan ekonomi. Karena itu, kalau ada usulan agar “MPR Rakyat Jangan Pilih Presiden yang tak Bervisi Lingkungan” (Baca Berita Suara, 19/6/1999, hal. 10), menjadi sulit terwujud. Kalau ternyata sebagian besar anggota MPR sendiri pun tidak punya visi lingkungan. Tetapi baiklah kalau visi lingkungan itu dijadikan salah satu kriteria calan presiden.
Ketiga, input dari masyarakat sendiri menyangkut berbagai persoalan lingkungan hidup tidak ada, karena untuk menjadikannya sebagai suatu aspirasi, mereka butuh seluk-beluk pengetahuan yang memadai tentang lingkungan hidup dengan seluruh persoalannya yang terkait. Karena itu ada anggapan, bahwa urusan lingkungan hidup adalah urusan mereka yang tahu betuk soal itu yakni pakar, LSM dan politikus itu sendiri.
Rupanya ketiga sebab itulah yang membuat lingkungan hidup menjadi tidak populer selama proses Pemilu lalu. Kalaupun ada program untuk masalah itu, tetapi tidak banyak menunjukkan adanya kebulatan tekad untuk melakukan “reformasi” yang berarti. Akibatnya ialah, masyarakat kita tidak banyak tahu tentang bagaimanakah solusi untuk masalah lingkungan hidup mereka waktu-waktu mendatang.
Bertolak dari itu, kalau para politikus kita mau memprogramkan bidang itu atau bahkan menjadikannya sebagai sebuah visi, mesti diperhatikan minimal tiga hal berikut ini :
1). Kebijakan pengelolaan lingkungan yang masih bersifat homosentris dan tidak ditunjang oleh prinsip pelestarian fungsi lingkungan hidup, termasuk di dalamnya adalah tumpang tindihnya kebijakan berbagai sektor atau fungsi kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup;
2). Penanggung jawab suatu usaha/kegiatan pembangunan berprinsip menguras sumber daya alam sebanyak mungkin, mendapatkan keuntungan besar untuk diri dan kroninya sendiri, dan enggan mengurusi limbah karena berbagai macam alasan;
3). Penegakan hukum lingkungan belum berjalan sebagaimana “seharusnya” baik karena ketidakberesan peraturan perundangan, unsur KKN, maupun ketidakmengertian aparat penegak hukum tentang masalah lingkungan.
Perlu diakui bahwa itu belum dibereskan sampai tuntas. Kualitas lingkungan hidup kita pun bukannya bertambah, melainkan semakin merosot, apalagi ditambah dengan krisis ekonomi yang cukup parah belakangan ini. Akibatnya apa yang disebut “hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat” itu (dalam arti luas) termasuk manfaat ekonomis yang mesti ikut dirasakan masyarakat banyak, hanyalah sebuah impian belaka. Sekarang, kalau sekiranya persoalan tersebut di atas itu sudah bosan disuarakan, atau bukan lagi menjadi aspirasi rakyat, maka para politikus, caleg, calon menteri lingkungan hidup kita seharusnya proaktif, berinisiatif memberikan reaksi politis, menyikapi keprihatinan nasional itu, dan menuangkannya ke dalam program kerjanya. Dari sini mereka juga mesti punya konsep atau agenda yang jelas untuk menuntaskan berbagai persoalan kualitas lingkungan hiduop itu, dan kemudian merealisasikannya secara konsekuen, tidak ingkar janji. Salah satu program penting untuk ikut diperjuangkan oleh politikus kita adalah Agenda 21 Indonesia yang pernah dikeluarkan Kantor Men-LH 1997. Dalam agenda tersebut tercantum semacam strategi nasional (eco-populisme) untuk pembangunan berkelanjutan yang terdiri atas empat program pokok, yaitu : pelayanan masyarakat, pengelolaan limbah, pengelolaan sumber daya tanah, dan pengelolaan sumber daya alam. Seandainya saja agenda 21 itu dapat diwujudkan di masa depan, maka boleh dikatakan bahwa kualitas lingkungan hidup dan sumber daya alam di Indonesia akan terjamin baik, masyarakat dapat menikmati haknya, termasuk merasakan keuntungan, dan pembangunan berkelanjutan terlaksana tanpa beban bararti bagi lingkungan.
Pada tataran global pun ada juga kewajiban umum yang perlu juga dikaji politikus kita, yakni pelaksanaan berbagai konsensus, konvensi, perjanjian atau etika internasional yang berkaitan dengan upaya penyelamatan kualitas ekosistem bumi, yang tidak lain adalah “the common heritage of mankind” itu. Saat ini ekosistem global sedang dalam kerapuhan. Dalam kontek ini, Indonesia yang sering disebut sebagai memegang peranan kunci itu dapat memainkan perannya, misal dalam soal hutan, keanekaragaman hayati, kelautan, eco-pariwisata dan sebagainya.
Kalau lingkungan hidup, ekosistem dan sumber daya alam kita itu sudah ditata sesuai dengan keinginan masyarakat internasional, umpamanya hutan kita selamat dari bahaya kebakaran terus menerus, keanekaragaman hayatinya dijaga, maka kita akan turut menyumbang pada penyelamatan kualitas lingkungan global. Dengan begitu kita juga akan dikatakan sebagai bangsa yang punya visi dan peduli lingkungan. Di sinilah sebenarnya politikus kita dapat ikut “bermain” dalam arena atau panggung politik lingkungan (Unweltpolitik) internasional itu untuk sekaligus memulihkan kembali kepercayaan dunia kepada kita.