Pancasila Dalam Kajian Filsafat
Keberadaan, fungsi dan peran Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara, sebagai sesuatu yang ada, perlu dipahami dan pembuktian kebenaran adanya dan adanya kebenaran di dalamnya, melalui dialektika kefilsafatan. Dalam sesi ini, kajian dilakukan pada kontek pencarian pembuktian dan pemahanan pada kebenaran adanya. Kebenaran akan adanya Pancasila, apakah dalam wujud dokumen, tata nilai ataukah dalam bentuk lainnya, dari mana dan sejak kapan adanya, merupakan sebagian pertanyaan yang melandasi kajian. Untuk mengkaji hal itu diperlukan obyektivitas, netralitas, kejernihan, ketenangan dan kejujuran dalam berpikir dan merenung. Proses pencarian jawaban tidak semata terbatas pada dunia empiris, tetapi akan lebih baik pada dunia kefilsafatan.
Secara ontologi, mempertanyakan apa sejatinya Pancasila itu? Akan merujuk pada upaya pencarian makna keberadaan sesuatu sebagaimana yang benar adanya. Pemahaman atas makna hakekat Pancasila tidak bisa sepenggal, diperlukan pula pemahaman secara epistemologi secara menyeluruh. Ketika jawaban atas pertanyaan ontologi, hanya sebatas pada pernyataan bahwa Pancasila adalah filsafat bangsa dan filsafat negara, masih belum memberikan pemahaman yang kritis. Akan muncul pertanyaan selanjutnya secara mundur, sebelum kemudian ke depan kembali, yakni apa itu filsafat, apa itu bangsa, bangsa yang mana dan dimana, sejak kapan bangsa itu ada. Demikian pula halnya pada kontek Pancasila sebaga filsafat negara. Akan memunculkan dialektika yang panjang, dengan perenungan yang mendalam.
Filsafat sebagai pemikiran, sistem nilai dan ajaran filosof tentang kebenaran hakiki atas sesuatu, yang digali dari sistem nilai sosial budaya yang ada dan hidup dalam kehidupan masyarakat melalui dialektika pemikiran kritis. Pancasila sebagai filsafat adalah kebulatan pemikiran, kebulatan sistem nilai yang diajarkan secara turun-temurun dari generasi ke genarasi yang berisi tentang kebenaran hakiki atas sesuatu. Apakah itu “sesuatu”? dalam hal ini adalah tentang “hidup” dan “kehidupan” atas subyek, dan subyek itu adalah “manusia” baik manusia sebagai dirinya sendiri maupun manusia dalam kaitan dengan dan sebagai bagian dari manusia lain (sebagai masyarakat dan bangsa), lingkungannya, alam semesta dan seterusnya sampai dengan hubungannya dengan Tuhannya. Pemikiran akan menyangkut cara pandang bangsa Indonesia terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya, dan sistem nilai akan menyangkut pada kriteria dan ukuran atas sikap dan perilaku bangsa Indonesia dan semua komponen di dalamnya, baik terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Karena itu perwujudan Pancasila tidak dalam bentuk fisik, Pancsila itu abstrak, adanya di “alam pikir” sebagai pemikiran, dan dalam nurani manusia sebagai sistem nilai. Dokumen, teks dan lainnya merupakan simbul dan media bagi manusia untuk memudahkan dalam mempelajarinya, untuk mensosialisasikannya. Dalam kontek sebagai filsafat negara, Pancasila adalah pemikiran mendasar dan nilai tentang kebenaran dalam penyelenggaraan negara Kesatuan Republik Indonesia serta interaksi manusia dalam negara. Pemahaman dan pembahasan tentang Pancasila senantiasa sebagai sistem nilai, pemikiran dan ajaran tentang kebenaran hakiki.
Secara epistemologi, kebaradaan Pancasila baik sebagai filsafat bangsa maupun sebagai filsafat negara melalui proses dan dialektika yang panjang. Pada konteks proses terjadinya, dan kaedah yang membenarkan kebenaran dialektika proses terjadinya Pancasila sebagai filsafat bangsa dan filsafat negara, bertolak pada hukum kausalitas. Keberadaan, fungsi dan peran Pancasila tersebut merupakan sintesa yang dihasilkan dialektika ketemunya tesis dan antitesis. Selanjutnya apakah tesis dan antitesis itu dan bagaimana dialektika berproses.
Kausa material (muasal bahan) Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara, adalah nilai-nilai soial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat/bangsa Indonesia sendiri. Sejak kapan dan dimana adanya nilai tersebut, seiring dan bersamaan dengan tumbuh-kembangnya tata kehidupan dan peradaban pada masyarakat Indonesia sendiri (sejak nenek moyang yang menjadi cikal-bakalnya). Dalam hal Pancasila sebagai filsafat negara, material yang secara langsung sebagai kausa adalah filsafat bangsa Indonesia, sehingga nilai-nilai sosial budaya bangsa merupakan kausa materi tidak langsung.
Kajian terhadap kausa formal (muasal proses terjadinya), terdapat perbedaan dialektika antara Pancasila sebagai filsafat bangsa dan Pancasila sebagai filsafat negara. Bahasan dan kajian terhadap proses terjadinya Pancasila sebagai dasar negara jauh lebih mudah dan lebih dangkal dibanding proses terjadinya filsafat bangsa. Tingkat kesulitan untuk mengkaji proses terjadinya Pancasila sebagai filsafat bangsa, dikarenakan diantaranya : adanya pada masa lampau, sangat sedikitnya dokumen (bukti sejarah), dimana bukti yang ada masih dalam bentuk prasasti, yang ditulis dengan bahasa yang tidak dipahami oleh generasi sekarang (bahasa sansekerta dan jawa kuno), hanya sedikit orang (ahli) yang bisa menterjemahkannya. Pada dasarnya proses evolusi nilai sosial budaya masyarakat/bangsa menjadi suatu filsafat, sejalan dan seiring dengan tumbuh kembangnya tata kehidupan dan peradaban bangsa Indonesia.
Proses kausalitas / dialektika Pancasila menjadi filsafat negara ada pada proses pendirian / pembentukan dan penyelenggaraan negara Kesatuan Republik Indonesia. Kajian pada proses itu, seringkali diawali dari pendirian BPUPKI, namun sejatinya bisa dilacak sejak berdirinya Budi Utomo. Pada era Budi Utomo (1908) dan Sumpah Pemuda (1928) merupakan proses dialektika kristalisasi nilai-nilai kebangsaan dan re-aktiualisasi jati diri bangsa.
The founding fathers pada era kemerdekaan, melalui BPUPKI, Panitia dan PPKI, melaui perdebatan yang cukup panjang dan dengan segala kearifan dan kebijaksanaan membuat perumusan (mengabstraksikan) nilai-nilai sosial budaya bangsa dan filsafat bangsa dan membuat kesepakatan (sebagai wujud perjanjian bersama) menjadikan falsafah (filsafat) bangsa menjadi filsafat negara. Kausa materi (tesis) dari filsafat negara adalah filsafat bangsa, antitesis dalam dialektika itu adalah kausa formal, kausa final, dan kausa efisien menghasilkan sintesis filsafat negara.
Berpijak pada nilai-nilai luhur filsafat bangsa, dan didorong keinginan utuk mendirikan negara, melalui negara hendak dicapai tujuan kemerdekaan sebagai bangsa, yakni peri kehidupan yang bermartabat, yang berkemakmuran dan berkesejahteraan, the founding fathers menyiapkan dan merumuskan berbagai instrumen berdirinya negara, memerdekaan bangsa mendirikan negara, mengesahan berbagai syarat dan kelengkapan negara. Secara epistemologi, keberadaan Pancasila sebagai filsafat negara memenuhi kebenaran adanya, dan keberadaannya adalah benar (sah secara legal).
Secara aksiologi (yang mempertanyakan nilai atau manfaat atas sesuatu obyek kajian), meliputi azas nilai dan manfaat dari Pancasila sebagai filsafat bangsa dan sebagai filsafat negara, dan manfaat bagi bangsa sebagai bagian atau sebagai komponen dari negara yang dibentuk. Manfaat filsafat bagi suatu bangsa adalah sebagai tata nilai yang melandasi perilaku dan peri kehidupan sehari-hari, yang mengikat secara moral bagi setiap individu dan kelompok yang merupakan bagian dari bangsa. Tata nilai itulah yang disebut pandangan hidup (way of life), yang selain pedoman perilaku juga merupakan tujuan yang hendak diwujudkan dalam kehidupan di masa mendatang, sekaligus cara mencapai tujuan. Suatu nilai yang membudaya dalam kehidupan akan membentuk karakter dan menjadi kepribadian dari komunitas itu, hingga akan menampakan bagaimana perbedaan dengan komunitas yang lain.
Aksiologi Pancasila sebagai filsafat negara, berkait dan merupakan konsekuensi dari hakekat filsafat negara dalam kedudukan sebagai sumber dari sumber tertib hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya Pancasila merupakan sumber inspirasi dan menjiwai (harus dijabarkan dalam pasal-pasal) konstitusi negara.
Bangsa Indonesia adalah komponen dari negara yang dibentuknya, Negara Kesatuan Republik Indonesia, karenanya dalam kontek ini paralel dengan konsep “warganegara” dan “rakyat”. Aksiologi Pancasila bagi bangsa Indonesia dalam kontek penyelenggaraan negara adalah sebagai ideologi nasional. Sebagai ideologi nasional, Pancasila merupakan ideologi makro yang memayungi (di dalamnya ada) sub-sub ideologi yang berlakunya hanya pada kelompok-kelompok tertentu yang menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Sifat Pancasila dalam kontek filsafat bangsa, adalah resmi dan mengikat secara hukum, namun bila sebagai filsafat bangsa tidak resmi dan ikatannya secara moral.