Kebutuhan Manusia Terhadap Agama
Pengertian Agama
Secara sederhana, pengertian agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan (etimologis) dan sudut istilah (terminologis). Mengartikan agama dari sudut istilah kebahasaan akan terasa lebih mudah daripada mengartikan agama dari sudut istilah karena pengertian agama dari sudut istilah ini sudah mengandung muatan subyektivitas dari orang yang mengartikannya. Atas dasar ini, maka tidak mengherankan jika muncul beberapa ahli yang tidak tertarik mendefinisikan agama. James H. Leuba, misalnya, berusaha mengumpulkan semua definisi yang pernah dibuat orang tentang agama, tidak kurang dari 48 teori. Namun, akhirnya ia berkesimpulan bahwa usaha untuk membuat defenisi agama itu tak ada gunanya karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah. Selanjutnya Mukti Ali pernah mengatakan, barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan defenisi selain dari kata agama. Pernyataan ini didasarkan kepada tiga alasan. Pertama, bahwa pengalaman agama adalah soal batin, subyektif dan sangat individualis sifatnya. Kedua barangkali tidak ada orang yang begitu bersemangat dan emosional daripada orang yang membicarakan agama. Karena itu, setiap pembahasan tentang arti agama selalu ada emosi yang melekat erat sehingga kata agama itu sulit didefinisikan. Ketiga, kosepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan definisi tersebut.
Senada dengan Mukti Ali, M. Sastrapratedja mengatakan bahwa salah satu kesulitan untuk berbicara mengenai agama secara umum adalah adanya perbedaan-perbedaan dalam memahami arti agama dan disamping adanya perbedaan juga dalam cara memahmi serta penerimaan setiap agama terhadap suatu usaha memahami agama. Setiap agama memiliki interpretasi diri yang berbeda dan keluasan interpretasi diri itu juga berbeda-beda..
Sampai sekarang perdebatan tentang definisi agama masih belum selesai, sehingga W.H. Clark, seorang ahli Ilmu Jiwa Agama, sebagaimana dikutip Zakiah Daradjat mengatakan, bahwa tidak ada yang lebih sukar daripada mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk membuat definisi agama karena pengalaman agama adalah subyektif, intern dan individual, dimana setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda dari orang lain.
Pengertian agama dari segi bahasa dapat kita ikuti antara lain uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya, dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenan pula kata din (Ïﻴﻦ ) dari bahasa Arab dan kata religi dalam bahasa Eropa. Menurutnya, agama berasal dari kata sanskrit. Menurut satu pendapat, demikian Harun Nasution mengatakan, kata itu tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi agama artinya tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi secara turun-temurun. Hal demikian menunjukkan pada salah satu sifat agama, yaitu diwarisi secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. Selanjutnya ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci, dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci.
Selanjutnya din dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan dan kebiasaan
Sementara itu Elizabeth K Nottingham yang pendapatnya tersebut tampak lebih menunjukkan pada realitas objektif, yaitu bahwa ia melihat pada dasaranya agama itu bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia dengan cara memberikan suasana batin yang nyaman dan menyejukkan, tapi juga agama terkadang disalah-gunakan oleh penganutnya untuk tujuan-tujuan yang merugikan orang lain.
Substansi agama bersifat transenden tetapi juga sekaligus imanen. Ia transenden, karena substansi agama sulit didefinisikan dan tidak terjangkau kecuali melalui predikat atau bentuk formalnya yang lahiriah. Namun begitu, agama juga imanen karena sesungguhnya hubungan antara predikat dan substansi tidak mungkin dipisahkan. Kalau saja substansi agama bisa dibuat hierarki, maka substansi agama yang paling primordial hanyalah satu. Ia bersifat parennial, tidak terbatas karena ia merupakan pancaran dari yang mutlak. Ketika substansi agama hadir dalam bentuk yang terbatas, maka sesungguhnya agama pada waktu yang sama bersifat universal sekaligus partikular.
Karena banyaknya definisi tentang agama yang dikemukakan para ahli, Harun Nasution mengatakan bahwa dapat diberi definisi sebagai berikut :
1). Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi;
2). Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia;
3). Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia;
4). Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu;
5). Suatu sistem tingkah laku (code of condut) yang berasal dari kekuatan gaib;
6). Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib;
7). Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia;
8). Ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul (utusan Allah).
Selanjutnya, Taib Thahir Abdul Mu’in mengemukakan definisi agama sebagai suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk dengan kehendak dan pilihannya sendiri mengikuti peraturan tersebut, guna mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat.
Dari beberapa definisi di atas, kita dapat menjumpai 4 unsur yang menjadi karakteristik agama sebagai berikut :
a). Pertama, unsur kepercayaan terhadap kekuatan gaib.
b). Kedua, unsur kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat nanti tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan yang dimaksud.
c). Ketiga, unsur respon yang bersifat emosional dari manusia
d). Keempat, unsur paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab suci yang mengandung ajaran-ajaran agama yang bersangkutan, tempat-tempat tertentu, peralatan untuk menyelenggarakan upacara dan sebagainya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun menurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dari kesimpulan tersebut dapat dijumpai adanya lima aspek yang terkandung dalam agama. Pertama, aspek asal-usulnya, yaitu ada yang berasal dari Tuhan seperti agama samawi, dan ada yang berasal dari pemikiran manusia seperti agama ardli atau agama kebudayaan. Kedua, aspek tujuannya yaitu untuk memberikan tuntunan hidup agar bahagia di dunia dan akhirat. Ketiga, aspek ruang lingkupnya, yaitu keyakinan akan adanya kekuatan gaib, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib, respon yang bersifat emosional, dan adanya yang dianggap suci. Keempat, aspek pemasyarakatannya, yaitu disampaikan secara turun temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi lain. Kelima, aspek sumbernya, yaitu kitab suci.
Latar Belakang Perlunya Manusia Terhadap Agama
Sekurang-kurangnya ada empat alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Keempat alasan tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Latar Belakang Fitrah Manusia
Dalam bukunya yang berjudul Perspektif Manusia dan Agama, Murthada Muthahhari mengatakan, bahwa di saat berbicara tentang para nabi, Imam Ali as. menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang telah diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya. Perjanjian itu tidak tercatat di atas kertas, tidak pula diucapkan oleh lidah, melainkan terukir dengan pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia, dan di atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniah.
ﻓﺄﻗﻢæﺟﻬﻚﻟﻠﺪﻳﻦﺣﻨﻴﻔﺎﻓﻄﺮﺓﺍﷲﻓﻄﺮﺍﻟﻨﺎﺱﻋﻠﻴﻬﺎ (ﺍﻟﺮﻭã٣٠)
Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetapkanlah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah itu (QS. Al-Rum, 30:30).
Berdasarkan informasi tersebut terlihat dengan jelas bahwa manusia secara fitri merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal demikian sejalan dengan petunjuk nabi dalam salah satu hadisnya yang mengatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Bukti manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat dilihat melalui bukti historis dan antropologis. Melalui bukti-bukti historis dan antropologis kita mengetahui bahwa pada manusia primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi mengenai Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguh pun Tuhan yang mereka percayai itu terbatas pada daya khayalnya.
Sebagian hipotesis mengatakan bahwa agama adalah produk rasa takut. Seperti rasa takut manusia dari alam, dari gelegar suara guruh yang menggetarkan, dari luasnya lautan, dan dari deburnya ombak yang menggulung serta gejala-gejala alamiah lainnya. Sebagai akibat dari rasa takut ini, terlintaslah agama dalam benak manusia. Lucterius, seorang filosof Yunani yang pendapatnya dikutip Murthada Muthahhari mengatakan bahwa nenek moyang pertama para dewa adalah dewa ketakutan. Hipotesis lainnya mengatakan bahwa agama adalah produk kebodohan. Sebagian orang percaya bahwa faktor yang mewujudkan agama adalah kebodohan manusia, sebab manusia, sebab dengan wataknya selalu cenderung untuk mengetahui sebab-sebab dan hukum-hukum yang berlaku atas alam ini serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya.
Beberapa hipotesis tersebut telah banyak dibuktikan kegagalannya oleh para ahli karena dasar hipotesis tersebut adalah pemikiran manusia yang terbatas, sedangkan agama yang benar mesti datang dari yang Maha Tidak Terbatas, yaitu Tuhan. Hipotesis tersebut sekedar menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi beragama, namun potensi tersebut jka tidak diarahkan akan keliru hasilnya sebagaimana terlihat pada beberapa hipotesis tersebut. Namun demikian, hal ini tidak berarti akal manusia tidak ada manfaatnya, melainkan menunjukkan bahwa dalam hal beragama akal saja tidaklah cukup.
Informasi lainnya yang menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi beragama dikemukakan oleh Carld Gustave Jung. Jung percaya, bahwa agama termasuk hal-hal yang memang sudah ada di dalam bawah sadar secara fitri dan alami. Selanjutnya William James, seorang filosof dan ilmuan terkemuka dari Amerika mengatakan, ”Kendatipun benar pernyataan bahwa hal-hal fisis dan meterial merupakan sumber tumbuhnya berbagai keinginan batin, namun banyak pula keinginan yang tumbuh dari alam di balik alam material ini”. Buktinya, banyak perbuatan manusia tidak bersesuaian dengan perhitungan-perhitungan material. Sementara itu, Alexis Carell, salah seorang pemenang hadiah Nobel berpendapat bahwa doa merupakan gejala keagamaan yang paling agung bagi manusia, karena pada keadaan itu jiwa manusia terbang melayang kepada Tuhan. Pada bagian lain dari bukunya yang berjudul Doa, Carell mengatakan bahwa pada batin manusia ada seberkas sinar yang menunjukkan kepada manusia kesalahan-kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan yang kadang-kadang dilakukannya. Sinar inilah yang mencegah manusia dari terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan penyimpangan.
Adanya naluri beragama (bertuhan) tersebut lebih lanjut dapat semakin diperjelas jika kita mengkaji bidang tasawuf. Ketika kita mengkaji paham hulul dari Al-Hallaj (858 – 933 M) misalnya kita jumpai pendapatnya bahwa pada diri manusia terdapat sifat dasar ke-Tuhanan yang disebut lahut, dan sifat dasar kemanusiaan yang disebut nasut. Demikian pula pada diri Tuhan pun terdapat sifat lahut dan nasut. Sifat lahut Tuhan mengacu pada zat-Nya, sedangkan sifat nasut Tuhan mengacu pada sifat-Nya. Sementara itu sifat nasut manusia mengacu pada unsur lahiriah dan fisik manusi, sedangkan sifat lahut manusia mangacu kepada unsur batiniah dan Ilahiah. Jika manusia mampu merdam sifat nasutnya maka akan tampak adalah sifat lahutnya. Dalam keadaan demikian terjadilah pertemuan antara nasut Tuhan dengan lahut manusia, dan inilah yang dinamakan hulul.
2. Kelemahan dan Kekurangan Manusia
Faktor lainnya yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena di samping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Hal ini antara laian diungkapkan oleh kata Al-Nafs. Menurut Qurash Shihab, bahwa dalam pandangan Alquran, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh Alquran dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar. Kita misalnya ayat yang berbunyi :
ﻭﻧﻔﺲﻭﻣﺎﺳﻮﻫﺎ٧ﻓﺎﻟﻬﻤﻬﺎﻓﺠﻮﺭﻫﺎﻭﺗﻘﻮﻫﺎ(ﺍﻟﺜﻤﺲ)
Demi nafs serta penyempurnaa ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakutan. (QS. Al-Syams) 91 : 7 – 8).
Menurut Quraish Shihab bahwa kata mengilhamkan berarti potensi agar manusia melalui nafs menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Di sini antara lain terlihat perbedaan pengertian kata ini menurut Alquran dengan terminologi kaum Sufi, yang oleh Al-Qusyairi dalam risalahnya dinyatakan bahwa nafs dalam pengertian sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk. Pengertian kaum Sufi tentang nafs ini sama dengan yang terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang antara lain menjelaskan bahwa nafs adalah dorongan hati yang kuat untuk berbuat yang kurang baik.
Kaum Mu’tazilah mewajibkan pada Tuhan agar menurunkan wahyu dengan tujuan agar kekurangan yang dimiliki akal dapat dilengkapi dengan informasi yang datang dari wahyu (agama). Dengan demikian, Mu’tazilah secara tidak langsung memandang bahwa manusia memerlukan wahyu.
3. Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan (Lihat QS. 12:5; 17:53). Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan uapaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan.