Teori Dan Penelitian Kewirausahaan
Dunia usaha boleh saja berubah cepat. Sayangnya, teori-teori yang muncul, relative tidak diperbarui. Hasilnya? Ekonomi berdasarkan manajemen telah mati. Upaya penerapan teori yang dihasilkan dari kajian akademis seringkali terbentur berbagai variable yang tak pernah diperhitungkan sebelumnya. Manajemen amat lambat menjawab perubahan yang terjadi. Pihak yang mampu menjawab perubahahn dunia usaha yang begitu cepat bukanlah manajemen, tetapi ekonomi berdasarkan kewirausahaan (entrepreneurship).
Maju mundurnya perusahaan tergantung pada kemampuan sang entrepreneur umumnya pendiri atau pemilik usaha untuk mengembangkan bisnisnya. Kesimpulannya, kegagalan sang pemilik memajukan perusahaan, berakibat macetnya perusahaan yang bersangkutan. Artinya, terdapat ketergantungan yang begitu tinggi terhadap sang entrepreneur (si empunya perusahaan atau sang wirausaha).
Prof. Alejandrino J. Ferreria dari Asean Institute of Management di Filipina, sami mawon, menurutnya, superioritas usaha yang digeluti amat ditentukan oleh paradigma wirausaha itu sendiri. “Sukses yang dicapai sekarang, tidak ada artinya jika tidak diimbangi dengan perencanaan dan kemampuan melihat kedepan,” ungkap Alejandrino dalam suatu lokakarya di lembaga manajemen PPM di Jakarta. Masih kata Alejandrino, setidaknya ada empat paradigma yang dapat membuat seorang wirausaha menjadi sukses atau superior ditingkat persaingan usaha yang semakin ketat.
1. Seorang wirausaha harus mampu memprediksi kemungkinan dimasa mendatang. Sebab, entrepreneur itu harus sarat ide-ide, seolah hanya melihat peluang dan kepuasan pelanggan. Sedangkan eksekutif, adalah seorang yang senantiasa menyelesaikan masalah yang timbul di perusahaan.
2. Fleksibilitas dari sang wirausaha. “Seorang entrepreneur harus bisa cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja maupun lingkungan usaha,” paparnya. Nah, hal ini diyakini akan membawa perusahaan untuk terus bisa bertahan.
3. Rule of the game, harus dinamis dalam mengantisipasi berbagai macam kemungkinan sebagai kemampuan mengubah aturan main. Hal ini berkaitan erat dengan inovasi atau penciptaan hal-hal baru dalam berbisnis. Perubahan sistim pembayaran tarif telepon selular dari pascabayar ke prabayar merupakan contoh nyata perubahan aturan main (rule of the games) yang sangat antisipatif.
4. Yang terakhir adalah kemampuan melanjutkan perubahan dari aturan atau bentuk yang telah ada sebelumnya. “Inovasi yang kita buat dalam beberapa masa ke depan akan selalu tertinggal. Kemampuan memperbaharui produk dan aturan main inilah yang dapat membuat seorang wirausaha menjadi superior, “ tandas Alejandrino serius.
Tapi tunggu dulu, kenyataan lain mengungkap bahwa kewirausahaan seorang entrepreneur saja ternyata belum cukup. Sebab, tentu ada keterbatasan-keterbasatan sang wirausaha itu sendiri dalam menggelindingkan roda usahanya. Itu sebabnya seorang wirausaha tidak boleh pelit dalam menularkan (mentransformasikan) ilmu entrepreneurshipnya kepada individu-individu disetiap lini perusahaannya. Nah, ini yang disebut dengan intrapreneurship atau intrausaha.
Sebab, pada dasarnya, intrapreneurship adalah jiwa wirausaha yang juga merupakan hal mutlak yang harus dibangkitkan pada individu-individu dalam suatu perusahaan. Konon, intrapreneurship belakangan makin berkembang saat perusahaan pusing tujuh keliling memikirkan pesaing-pesaing barunya yang memiliki sumber daya manusia dengan tingkat entrepreneurship amat tinggi.
“Timbulnya fenomena ‘baru’ seperti ini, pada akhirnya memaksa perusahaan untuk mentransformasikan jiwa wirausahanya kepada individu-individu di organisasinya,” kata pakar pemasaran dari Universitas Indonesia D. Rhenald Kasali. Kedepan, lanjutnya, kombinasi antara entrepreneurship dan intrapreneurship inilah yang akan menjadi kendaraan untuk mencapai tujuan secara optimal. Jadi, ketika manajemen dianggap mati dan digantikan kewirausaha, bukan berarti manajemen tak diperlukan sama sekali.
Manajemen tetap perlu, dan sebagai jawabannya ada pada intrausaha. Jadi, intrausaha merupakan kombinasi antara wirausaha dengan manajemen, karena jiwa entrepreneur juga tumbuh dari sebuah organisasi yang dijalankan dengan mengadopsi manajemen sebagai sarana mentransformasikannya. Memang, seperti kata Rhenald, entrepreneurship wajib dimiliki setiap pemimpin (leader) masa kini. Namun entrepreneurship dapat diciptakan, bukan hanya dilahirkan. Karena itu, entrepreneur adalah seorang individu yang terorganisasi dengan baik, bukan acak-acakan dan tak ter struktur.
Lantas, bagaimana MLM? Banyak menyebut, bidang usaha ini “Universitas Entrepreneur”. Maklumlah, dibisnis yang memadukan selling dan sponsoring ini, setiap pelakunya diarahkan menjadi pengusaha mandiri, tanpa melihat embel-embel pendidikan maupun status sosial lainnya. Mereka terus dituntut kreatif dan inovatif dalam setiap kondisi, bangkit dari kegagalan, menciptakan downlinenya sebagai wirausaha juga. Tanpa duplikasi ini, jangan berharap seseorang menunai kesuksesan di MLM.
Inovasi Kewirausahaan : Kewirausahaan untuk Semua Orang.
Menjadi wirausaha yang handal tidaklah mudah. Tetapi tidaklah sesulit yang dibayangkan banyak orang, karena setiap orang dalam belajar berwirausaha. Menurut Poppy King, wirausaha muda dari Australia yang terjun kebisnis sejak berusia 18 tahun, ada tiga hal yang selalu dihadapi seorang wirausaha dibidang apapun, yakni:
a. Obstacle (hambatan).
b. Hardship (kesulitan).
c. Very rewarding life (imbalan atau hasil bagi kehidupan yang memukau).
Dan saya setuju sepenuhnya dengan pernyataan itu. Karenanya saya berpendapat bahwa sesungguhnya kewirausahaan dalam batas tertentu adalah untuk semua orang. Mengapa? Saya kira cukup banyak alasan untuk mengatakan hal itu. Pertama, setiap orang memiliki cita-cita, impian, atau sekurang-kurangnya harapan untuk meningkatkan kualitas hidupnya sebagai manusia. Hal ini merupakan semacam "intuisi" yang mendorong manusia normal untuk bekerja dan berusaha.
"Intuisi" ini berkaitan dengan salah satu potensi kemanusiaan, yakni daya imajinasi kreatif. Karena manusia merupakan satu-satunya mahluk ciptaan Tuhan yang, antara lain, dianugerahi daya imajinasi kreatif, maka ia dapat menggunakannya untuk berpikir. Pikiran itu dapat diarahkan ke masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dengan berpikir, ia dapat mencari jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penting seperti: Dari manakah aku berasal? Dimanakah aku saat ini? Dan kemanakah aku akan pergi? Serta apakah yang akan aku wariskan kepada dunia ini?
Menelusuri sejarah pribadi di masa lalu dapat memberikan gambaran mengenai kekuatan dan kelemahan seseorang. Didalamnya terdapat sejumlah pengalaman hidup : hambatan dan kesulitan yang pernah kita hadapi dan bagaimana kita mengatasinya, kegagalan dan keberhasilan, kesenangan dan keperihan, dan lain sebagainya. Namun, karena semuanya sudah berlalu, maka tidak banyak lagi yang dapat dilakukan untuk mengubah semua itu. Kita harus menerimanya dan memberinya makna yang tepat serta meletakkannya dalam suatu perspektif masa kini dan masa depan.
Masa kini menceritakan situasi nyata dimana kita berada, apa yang telah kita miliki, apa yang belum kita miliki, apa yang kita nikmati dan apa yang belum dapat kita nikmati, apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita dan apa yang menjadi hak asasi kita sebagai manusia, dan lain sebagainya. Dengan menyadari keberadaan kita saat ini, kita dapat bersyukur atau mengeluh, kita dapat berpuas diri atau menentukan sasaran berikutnya, dan seterusnya. Masa depan memberikan harapan, paling tidak demikianlah seharusnya bagi mereka yang beriman berkepercayaan.
Bila kita memiliki masa lalu yang tidak menyenangkan, dan masih berada pada situasi dan kondisi yang belum sesuai dengan cita-cita atau impian kita, maka adalah wajar jika kita mengharapkan masa depan yang lebih baik, lebih cerah, lebih menyenangkan. Sebab selama masih ada hari esok, segala kemungkinan masih tetap terbuka lebar (terlepas dari pesimisme atau optimisme mengenai hal itu). Jelas bahwa masa lalu, masa kini, dan masa depan bertalian langsung dengan daya imajinasi kita.
Dan didalam masa-masa itulah segala hambatan (obstacle), kesulitan (hardship), dan kesenangan atau sukacita (very rewarding life) bercampur baur jadi satu. Sehingga, jika Poppy King mengatakan bahwa ketiga hal itulah yang dihadapi oleh seorang wirausaha dalam bidang apapun, maka bukankah itu berarti bahwa kewirausahaan adalah untuk semua orang? Siapakah manusia dimuka bumi ini yang tidak pernah menghadapi hambatan dan kesulitan untuk mencapai cita-cita dan impiannya? Alasan kedua yang membuat kewirausahaan itu pada dasarnya untuk semua orang adalah karena hal itu dapat dipelajari.
Peter F. Drucker, misalnya, pernah menulis dalam Innovation and Entrepreneurship bahwa, "Setiap orang yang memiliki keberanian untuk mengambil keputusan dapat belajar menjadi wirausaha, dan berperilaku seperti wirausaha. Sebab (atau maka) kewirausahaan lebih merupakan perilakudaripada gejala kepribadian, yang dasarnya terletak pada konsep dan teori, bukan pada intuisi". Dan perilaku, konsep, dan teori merupakan hal-hal yang dapat dipelajari oleh siapapun juga.
Sepanjang kita bersedia membuka hati dan pikiran untuk belajar, maka kesempatan untuk menjadi wirausaha tetap terbuka. Sepanjang kita sadar bahwa belajar pada hakekatnya merupakan suatu proses yang berkelanjutan, yang tidak selalu berarti dimulai dan berakhir disekolah atau universitas tertentu, tetapi dapat dilakukan seumur hidup, dimana saja dan kapan saja (saya menyebutnya Sekolah Besar Kehidupan), maka belajar berwirausaha dapat dilakukan oleh siapa saja, meski tak harus berarti menjadi wirausaha "besar".
Alasan keempat yang ingin saya sebutkan disini adalah karena setelah mempelajari kiat-kiat sukses puluhan wirausaha kecil, menengah dan besar, dalam konteks lokal-nasional-regional sampai internasional-global-dunia, maka saya sampai pada kesimpulan bahwa kiat-kiat sukses mereka sangatlah sederhana. Dalam buku Berwirausaha dari pertama telah saya sampaikan bahwa mereka:
- Digerakkan oleh ide dan impian.
- Lebih mengandalkan kreativitas.
- Menunjukkan keberanian.
- Percaya pada keberuntungan, tapi lebih percaya pada usaha nyata.
- Melihat masalah sebagai peluang.
- Memilih usaha sesuai hobi dan minat.
- Mulai dengan modal seadanya.
- Senang mencoba hal baru.
- Selalu bangkit dari kegagalan.
- Tidak mengandalkan gelar akademis.
Sepuluh kiat sukses itu pada dasarnya sederhana, tidak memerlukan orang-orang yang luar biasa. Orang dengan IQ tinggi, sedang, sampai rendah dapat (belajar) melakukannya.
Alasan kelima adalah karena kewirausahaan mengarahkan orang kepada kepemimpinan. Dan kepemimpinan adalah untuk semua orang. Dengan lima alasan sederhana diatas, saya ingin menegaskan bahwa kewirausahaan adalah untuk semua orang. Saya tidak percaya pada teori atau konsep yang mengatakan bahwa orang yang berdarah Tionghoa saja yang dapat sukses berwirausaha (pandangan ini diyakini sebagian orang di Indonesia).
Sebab dengan demikian bagaimana kita menjelaskan keberhasilan orang Aceh, Batak, Minang Kabau, Lampung, Sulawesi, Lombok, dan pribumi lainnya yang juga sukses berwirausaha? Saya juga tidak mendukung teori Max Weber yang menempatkan kaum protestan sebagai wirausaha ulung tanpa tanding (meski untuk konteks Amerika dan Eropa mungkin ada benarnya). Sebab bagaimana ia menjelaskan keberhasilan wirausaha-wirausaha diwilayah Asia dan Timur Tengah yang bukan protestan?
Bukankah keberhasilan Taiwan dan Singapura oleh Lee Teng-hui dan Lee Kuan Yew dinyatakan sebagai "dampak" etika konfusianisme? Tetapi saya setuju ketika Anugerah Pekerti, mantan Direktur Utama Lembaga Manajemen PPM, mendefinisikan kewirausahaan sebagai tanggapan terhadap peluang usaha yang terungkap dalam seperangkat tindakan serta membuahkan hasil berupa organisasi usaha yang melembaga, produktif, dan inovatif.
Saya juga sependapat dengan Howard H. Stevenson, mantan Presiden Harvard Business School yang memahami kewirausahaan sebagai suatu pola tingkah laku manajerial yang terpadu dalam upaya pemanfaatan peluang-peluang yang tersedia tanpa mengabaikan sumber daya yang dimilikinya. Saya mendukung pendapat Drucker bahwa pemanfaatan peluang merupakan definisi yang tepat untuk kewirausahaan dan bahwa seorang wirausaha harus mengalokasikan sumber daya dari bidang-bidang yang memberi hasil rendah atau menurun ke bidang-bidang yang memberi hasil tinggi atau meningkat.
Richard Cantillon, orang pertama yang menggunakan istilah entrepreneur di awal abad ke 18, mengatakan bahwa wirausaha adalah seseorang yang menanggung risiko. Ia benar! Joseph Schumpeter juga benar ketika mengatakan bahwa wirausaha adalah inovator produksi. Dan mengatakan bahwa wirausaha adalah seorang peniru, seperti pendapat William H. Sahlman, juga tak ada salahnya. Tetapi saya pribadi lebih suka pada pandangan Jose Carlos Jarillo Mossi yang mengatakan bahwa wirausaha itu adalah seseorang yang merasakan adanya peluang, mengejar peluang-peluang yang sesuai dengan situasi dirinya, dan percaya bahwa kesuksesan merupakan suatu hal yang dapat dicapai.
Kewirausahaan adalah untuk semua orang. Semua orang berpotensi untuk menjadi wirausaha. Namun apakah ia wirausaha yang berhasil, setengah berhasil, atau gagal, itu soal lain. Sama seperti orang-orang yang berpotensi menjadi presiden tidak semuanya menjadi presiden sungguhan, sementara yang tidak disangka-sangka menjadi presiden (seperti Gus Dur tercinta, misalnya) justru berhasil menjadi presiden. Artinya, antara lain, tak ada konsep atau teori yang bersifat mutlak, juga tentang kewirausahaan.
Ada anggapan bahwa, kewirausahaan itu bakat dari lahir dan karenanya tidak dapat diajarkan. Etnis Cina dianggap memiliki bakat dibidang perdagangan, maka mereka potensial menjadi wirausahawan. Sedangkan suku Jawa dianggap memiliki mental priyayi dan suku Minang dianggap tidak dapat menjadi wirausahawan yang sukses. Lalu konklusinya, baik orang Jawa maupun orang Minang dianggap tidak mampu menjadi seorang pengusaha.
Benarkah demikian ?. Mitos-mitos tersebut diatas tidak benar, sebab pengertian kewirausahaan bukan berpijak pada bakat sejak lahir, melainkan erat dengan tindakan atau aksi. Jadi tindakan atau aksi itulah yang menentukan seseorang sukses menjadi wirausahwan atau tidak.