Pengertian Redevelopment
Redevelopment atau yang biasa kita kenal dengan pembangunan kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara mengganti sebagian dari, atau seluruh, unsur-unsur lama dari kawasan kota tersebut dengan unsur-unsur kota yang lebih baru dengan yang bertujuan untuk meningkatkan vitalitas serta kualitas dari lingkungan suatu kawasan tersebut. Penataan kembali suatu kawasan kota terlebih dahulu melakukan pembongkaran sarana dan prasarana dari sebagian atau seluruh kawasan kota tersebut yang telah dinyatakan tidak dapat dipertahankan lagi kehadirannya.
Dampaknya akan terjadi perubahan secara struktural dari peruntukan lahan, profil sosial ekonomi, serta ketentuan-ketentuan pembangunan lainnya yang mengatur intensitas pembangunan baru (KLB, KDB, GSB, Tinggi max, dan lain-lain) biasanya terjadi.
Dalam bidang perencanaan dan perancangan kota, redevelopment merupakan upaya di dalam merumuskan kebijaksanaan pembangunan kota yang menyangkut proses dan prosedur re-organisasi dari unsur-unsur tata ruang kota yang akan di remajakan. Hasil rumusan kebijaksanaan berupa pedoman bagi penataan kembali unsur-unsur kota, seperti : peruntukan lahan, peruntukan bangunan, sirkulasi dan parkir, intensitas pembangunan, tata ruang terbuka/hijau serta unsur-unsur pendukung lainnya, sehingga kemampuan lahan kawasan tersebut secara ekonomis dapat ditingkatkan.
Pemukiman Kumuh
Pemukiman merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung dan dapat merupakan kawasan perkotaan dan perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan masyarakat. Sedangkan kata “kumuh” menurut kamus besar bahasa indonesia diartikan sebagai kotor atau cemar.
Menurut Johan Silas pemukiman kumuh dapat diartikan menjadi dua bagian, yang pertama ialah kawasan yang proses pembentukannya karena keterbatasan kota dalam menampung perkembangan kota sehingga timbul kompetisi dalam menggunakan lahan perkotaan. Sedangkan kawasan pemukiman berkepadatan tinggi merupakan embrio pemukiman kumuh.
Pengertian pemukiman kumuh yang kedua adalah kawasan yang lokasi penyebarannya secara geografis terdesak perkembangan kota yang semula baik, lambat laun menjadi kumuh yang disebabkan oleh adanya mobilitas sosial ekonomi yang stagnan sehingga pemukiman kumuh tercipta karena kurangnya daya perkembangan kota dalam menampung jumlah masyarakatnya.
Karakteristik Pemukiman Kumuh : (Menurut Johan Silas)
- Keadaan rumah pada pemukiman kumuh terpaksa dibawah standar rata-rata m2/orang. Sedangkan fasilitas perkotaan secara langsung tidak terlayani karena tidak tersedia. Namun karena lokasinya dekat dengan pemukiman yang ada, maka fasilitas lingkungan tersebut tak sulit mendapatkannya.
- Pemukiman ini secara fisik memberikan manfaat pokok, yaitu dekat tempat mencari nafkah (opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas keterjangkauan) baik membeli atau menyewa. Manfaat pemukiman disamping pertimbangan lapangan kerja dan harga murah adalah kesempatan mendapatkannya atau aksesibilitas tinggi. Hampir setiap orang tanpa syarat yang bertele-tele pada setiap saat dan tingkat kemampuan membayar apapun, selalu dapat diterima dan berdiam di sana.
Dalam perkembangan suatu kota sangat erat kaitannya dengan mobilitas penduduknya. Masyarakat yang mampu cenderung memilih tempat huniannya keluar dari pusat kota. Sedangkan bagi masyarakat yang kurang mampu akan cenderung memilih tempat tinggal di pusat kota khususnya kelompok masyarakat urbanisasi yang ingin mencari pekerjaan dikota. Tidak tersedianya fasilitas perumahan yang terjangkau oleh kantong masyarakat yang kurang mampu serta kebutuhan akan akses ke tempat usaha menjadi penyebab timbulnya lingkungan pemukiman kumuh di perkotaan. Ledakan penduduk di kota-kota besar, baik karena urbanisasi maupun karena kelahiran yang tidak terkendali juga dapat menjadi salah satu penyebab terbentuknya pemukiman kumuh, hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara pertambahan penduduk dengan kemampuan pemerintah untuk menyediakan pemukiman-pemukiman baru, sehingga para pendatang akan mencari alternatif tinggal di pemukiman kumuh untuk mempertahankan kehidupan di kota. Dibangunnya perumahan oleh sektor non-formal, baik secara perorangan maupun dibangunkan oleh orang lain dapat mengakibatkan munculnya lingkungan perumahan kumuh, yang padat, tidak teratur dan tidak memiliki prasarana dan sarana lingkungan yang memenuhi standar teknis dan kesehatan.
Waterfront
Konsep ini pertama kali berawal dari pemikiran seorang ‘urban visioner’ Amerika yaitu James Rouse pada tahun 1970an. James Rouse mengatakan bahwa waterfront development adalah sebuah konsep pengembangan pada daerah tepian air baik itu tepi pantai, sungai maupundanau. Konsep waterfront development dapat juga diartikan sebagai suatu proses hasil pembangunan yang memiliki kontak visual dan fisik dengan air serta merupakan bagian dari upaya dalam pengembangan wilayah perkotaanyang secara fisik alamnya berdekatan dengan air, dimana dalam bentuk pengembangan pembangunan kota berorientasi pada daerah perairan.
Pada awal mulanya konsep waterfront muncul di wilayah-wilayah yang memiliki tepian air (seperti laut, sungai, danau) yang memiliki potensial, antara lain terdapat sumber air yang dibutuhkan untuk minum dan terletak di sekitar muara sungai yang dapat memudahkan hubungan transportasi antara kawasan luar dan kawasan pedalaman, perkembanganwaterfront selanjutnya mulai mengarah ke wilayah daratan yang selanjutnya berkembang lebih cepat dibandingkan perkembangan di tepian air.
Kawasan tepian air merupakan lahan atau area yang terletak langsung berbatasan dengan air, pembangunan kawasan tepian air merupakan suatu area atau wilayah yang dibatasi oleh air dan dalam pengembangannya mampu memasukkan nilai aktifitas manusia, contohnya seperti kebutuhan akan ruang publik dan nilai alami yang terkait dengan area tepian air. Berdasarkan fungsinya, waterfront sendiri dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu :
- Mixed-used waterfront, adalah waterfront yang merupakan kombinasi dari perumahan, perkantoran, restoran, pasar, rumah sakit, dan/atau tempat-tempat kebudayaan.
- Recreational waterfront, adalah semua kawasan waterfront yang menyediakan sarana-sarana dan prasarana untuk kegiatan rekreasi, seperti taman, arena bermain, tempat pemancingan, dan fasilitas untuk kapal pesiar.
- Residential waterfront, adalah perumahan, apartemen, dan resort yang dibangun di pinggir perairan.
- working waterfront, adalah tempat-tempat penangkapan ikan komersial, reparasi kapal pesiar, industri berat, dan fungsi-fungsi pelabuhan. (Breen, 1996).
Perancangan kawasan tepian air, terdapat dua aspek penting yang dapat menjadi dasar dari keputusan - keputusan rancangan yang nantinya akan dihasilkan, kedua aspek tersebut merupakan faktor geografis serta konteks perkotaan (Wren, 1983 dan Toree, 1989).
a. Faktor Geografis
Faktor-faktor yang menyangkut geografis kawasan dan nantinya akan menentukan jenis, fungsi serta pola penggunaannya, dalam hal ini yaitu :
- Kondisi perairan, yaitu dari segi jenis (laut, sungai, dst), dimensi dan konfigurasi, pasang-surut, serta kualaitas airnya.
- Kondisi lahan, yaitu ukuran, konfigurasi, daya dukung tanah, serta kepemilikannya.
- Iklim, yaitu menyangkut jenis musim, temperatur, angin, serta curah hujan.
b. Konteks perkotaan (Urban Context)
Faktor-faktor yang dapat memberikan ciri khas tersendiri bagi kota serta dalam menentukan hubungan antara kawasan waterfront yang nantinya akan dikembangkan dengan bagian kota yang terkait, yang termasuk dalam aspek ini yaitu :
- Pemakai, yaitu mereka yang tinggal, bekerja atau berwisata di kawasan waterfront, atau yang menggunakan sebagai sarana publik.
- Pencapaian dan sirkulasi, yaitu akses dari dan menuju tapak serta pengaturan sirkulasi didalamnya.
- Karakter visual, yaitu hal-hal yang memberikan ciri yang membedakan satu kawasan waterfront dengan lainnya.
Penerapan konsep waterfront development di Indonesia sudah dimulai pada zaman penjajahan oleh kolonial Belanda di tahun 1620, pembangunan konsep waterfront di terapkan oleh penjajah yang menjajah Jakarta atau Batavia pada saat itu dan mempunyai tujuan untuk membangun sebuah kota tiruan Belanda sebagai tempat bertemunya lalu lintas perdagangan, dan penataan sungai Ciliwung saat itu hanya untuk sebagai kelancaran lalu lintas semata pada masa itu.
Riverfront
Riverfront atau tepian sungai merupakan salah satu konsep dari urban waterfront development, riverfront merupakan kawasan yang berada pada batas, dilalui serta mempunyai hubungan kuat dengan badan sungai di dalam kawasan. Elemen sungai sendiripun merupakan bagian terpenting dalam proses bentukan riverfront dan juga berfungsi sebagai kegiatan kawasan atau perkotaan, baik yang sudah tumbuh/berkembang maupun yang dalam perencanaan kawasan berada pada tepian sungai dan memiliki bangunan-bangunan yang menghadap langsung ke arah sungai, dan yang dibatasi oleh jalur hijau atau ruang terbuka hijau sesuai dengan ketentuan garis sempadan dan kawasan lindung setempat. Riverfront yang juga merupakan salah satu bagian dari konsep waterfront development yang mampu memberikan kontribusi atau dampak positif pada perkembangan suatu kawasan sungai, yang menurut peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 38 tahun 2011 pasal 9 mengenai sungai mengatakan :
Garis sempadan pada sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a (sungai dalam kota
tidak bertanggul) ditentukan:
- Paling sedikit berjarak 10 m (sepuluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 m (tiga meter).
- Paling sedikit berjarak 15 m (lima belas meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 3 m (tiga meter) sampai dengan 20 m (dua puluh meter).
- Paling sedikit berjarak 30 m (tiga puluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 20 m (dua puluh meter).
Sumber : http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-2-01219-AR%20Bab2001.pdf