Pentingnya Ilmu Kalam (Teologi)
Konsekuensi ajaran tauhid yang seperti itu terhadap penganutnya adalah berupa dorongan kuat, dengan mengerahkan semua potensinya, untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah dipikulkan kepadanya oleh Islam. Yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan disini adalah kandungan ajaran Islam itu sendiri yang mana setiap muslim dituntut untuk mengetahui dan memahaminya.
Sumber utama ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah, yang disebut pertama merupakan kalam Allah yang diwahyukan-Nya kepada Nabi Muhammad s.a.w., melalui Malaikat Jibril, sedangkan yang kedua merupakan tradisi (Sunnah) Nabi, baik dalam bentuk ucapan, tingkah laku maupun ketetapan (taqrir) dari Nabi. Kedua-duanya (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi), secara gradual menduduki posisi sentral dalam bangunan ajaran Islam, atau dengan kata lain, berbicara tentang kandungan ajaran Islam harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
A. Pandangan Ulama terhadap Eksistensi Ilmu Kalam (Teologi)
Ajaran Islam menuntut agar setiap muslim mempunyai keyakinan (akidah) tertentu dalam masalah ketuhanan sebab hal itu termasuk masalah yang sangat pokok dalam sistem ajaran Islam yang tidak boleh diabaikan. Al-Qur’an, sumber keagamaan dan moral yang utama dalam Islam seringkali melontarkan ide agar terciptanya masyarakat yang terdiri atas individu-individu yang shaleh, dengan kesadaran religius yang tinggi serta memiliki keyakinan (akidah) yang benar dan murni tentang Tuhan. Al-Qur’an sebagaimana diketahui juga memberikan bimbingan dalam rangka terciptanya cara yang layak bagi manusia dalam rangka berhubungan dengan Tuhan.
Dari ide Al-Qur’an tersebut para pakar Muslim yang tergolong ke dalam kelompok Mutakallimin, menciptakan dan mengembangkan sebuah ilmu tentang kebutuhan (teologi Islam) yang kemudian dikenal dengan sebutan ilmu kalam.
Secara historis dapat diketahui bahwa kaum Hanbaliah merupakan kelompok yang paling keras menolak kehadiran ilmu kalam (Teologi) dalam sistem ajaran Islam.
Pada umumnya kaum Hanbaliah melihat problematika ilmu kalam (teologi) yang terpenting adalah terletak pada metode argumentasinya yang tidak sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Sunnah karena menggunakan metode dialektis dan rasional, yang pada dasarnya pinjaman dari luar, khususnya filsafat Yunani.
Pandangan ini disanggah oleh kaum Mutakallimin, terutama oleh Al-Asy’ari. Menurut al-Asy’ari, Nabi Muhamamd memang tidak merumuskan ilmu kalam (teologi), tetapi dasar-dasar pemikiran dalam ilmu kalam (teologi) yang dikembangkan kaum Mutakallimin terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Kaum Mutakallimin mempunyai pandangan bahwa metode dan teori rasional-lah yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar, oleh karena itu mempelajarinya merupakan suatu keharusan (wajib). Pandangan dan anggapan inilah, kata Ibnu Taimiyyah yang membuat kaum Mutakallimin mengklaim bahwa metode kalam yang mereka sodorkan adalah satu-satunya metode yagn absah, tepat untuk menjelaskan ushul al-din, dan oleh karena itu pula mereka menganggap ilmu kalam (teologi) yang mereka kembangkan menempati posisi penting dalam sistem ajaran Islam.
Ibn Taimiyyah menuduh kaum Mutakallimin telah mengabaikan metodologi yang ditawarkan Al-Qur’an dalam menjelaskan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ushul al-din. Tuduhan ini erat kaitannya dengan kepercayaannya bahwa Al-Qur’an meskipun tidak pantas disebut selain sebagai kalam, mengandung ajaran yang sesungguhnya pantas di sebut ushul al-din itu. Al-Qur’an dan Sunnah, menurutnya mengajukan bukti-bukti dalam berbagai bentuk dan cara, sesuai dengan kebutuhan manusia. Al-Qur’an mengajukan bukti dalam bentuk berita (ikhbar) sederhana, peringatan (tanbih), bimbingan (irsyad), dan dalam bentuk argumen-argumen rasional yang bersifat badihi. Sehubungan dengan itu, Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa tidak seorang pun mendapat petunjuk kecuali orang-orang yang ditunjuki oleh Tuhan dengan wahyunya.
Ibn Taimiyah setuju dengan sikap dan perlakuan kasar Imam al-Syafi’I terhadap kalam dan Mutakallimin. Imam al-Syafi’i pernah mengatakan bahwa ahl al-kalam haruslah disingkirkan dan dijadikan momok karena mereka telah terbukti membawa hasil kerja nalar mereka, dan berbahaya bagi umat.
Ulama lain yang mempunyai sikap anti kalam yang cukup ekstrim adalah Fakhr al-Din al-Razi. Kalama menurutnya lebih banyak memberikan keraguan daripada kepastian. Al-Razi ini pernah mengatakan bahwa ia telah lama melakukan perenungan yang mendalam tentang metodologi kalam dan prosedur-prosedur yang dilalui filsafat, dan ia menemukan bahwa kedua-duanya tidak pernah dapat menyembuhkan penyakit sebagaimana kedua-duanya tidak pernah dapat melepaskan lapar dan dahaga iman. Metodologi yang terbaik menurutnya adalah apa yang disodorkan oleh Al-Qur’an.
Meskipun ulama-ulama yang disinggung diatas tampak begitu keras mengkritik dan menolak ilmu kalam (teologi), namun tidaklah berarti mereka sama sekali meninggalkan pembahasan-pembahasan teologis dalam kerja intelektual keagamaan mereka.
Sebenarnya kritik yang dilontarkan ulama-ulama tersebut sebagaimana telah diungkapkan di atas, lebih tertuju kepada persoalan metodologis yang dipergunakan oleh kaum Mutakallimin dalam merumuskan kalam formal yang hasil bersihnya adalah berupa rumusan-rumusan mengenai ushul al-din yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Tetapi kritik dan tawaran itu segera mendapat sanggahan balik dari pihak pembela kalam (teologi). Di antara ahl-kalam yang paling bersemangat menanggapi kritik-kritik terhadap ilmu kalam tersebut adalah Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Pembelaan al-Asy’ari terhadap kaum kalam selain karena ia terlibat dalam merumuskannya, juga karena teologi yang dikembangkannya tidak terlepas dari sasaran kritik keras, terutama yang datang dari kaum Hanbaliah, walaupun ia sendiri sebenarnya telah berusaha mendekatkan faham keagamaannya kepada Hanbalisme.
Dalam penjelasannya, al-Asy’ari menganggap orang-orang yang tidak menrima kehadiran ilmu kalam sebagai orang-orang yang menjadikan kejahilan sebagai modal, dan oleh karena itulah mereka merasa berat untuk melakukan pembahasan-pembahasan mengenai ushul al-din dengan menggunakan metode rasional (al-nazhr).
Al-Asy’ari melihat argumen-argumen yang dikemukakan oleh pengkritik kalam adalah argumen-argumen yang tidak mempunyai dasar sama sekali. Upayanya menolak tuduhan dan argumen-argumen mereka itu, al-Asy’ari sebagaimana dikutip oleh al-Badawi mengemukakan tiga alasan penting.
1. Kalau pengkritik kalam menganggap ilmu kalam yang diciptakan oleh kaum Mutakallimin sebagai hasil perbuatan bid’ah dan menyesatkan, lantaran Nabi menurut mereka tidak pernah menganjurkan untuk membahas ilmu seperti itu, maka al-Asy’ari menolak dan membantah argumen ini dengan mengemukakan alasan: Nabi pun tidak pula pernah berkata: “barang siapa yang membahas ilmu kalam, Jadikanlah ia sebagai pembawa bid’ah dan kesesatan”.
2. Anggapan pengkritik kalam bahwa persoalan-persoalan yang dibahas dalam ilmu kalam bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, menurut al-Asy’ari adalah anggapan yang keliru sebab nyata sekali bahwa hal-hal yang dibahas di dalam ilmu kalam itu, demikian al-Asy’ari berargumen, berakar dari al-Qur’an dan Sunnah.
3. Seluruh persoalan teologis yang dibahas oleh ulama-ulama kalam itu sebenarnya bukanlah persoalan-persoalan yang tidak diketahui oleh Nabi. hanya saja dari masa Nabi sampai kepada masa sahabat, meskipun persoalan-persoalan tersebut ada dasarnya pada Al-Qur’an dan Sunnah, kebetulan tidak menjadi bahasan yang sistematis di kalangan sahabat.
Demikianlah pembelaan al-Asy’ari terhadap ilmu kalam yang pada prinsipnya merupakan sanggahan balik terhadap keberatan kaum Hanbaliah terhadap disiplin ilmu tersebut.
Hampir semua ahli kalam berpendapat bahwa nalar merupakan jalan untuk membuka pengetahuan, terdapat pengetahuan tentang ketuhanan. Kaum Mu’tazilah umpamanya, menghargai akal atau daya nalar tanpa mengabaikan wahyu karena mereka menyadari bahwa kedua-duanya sama-sama berasal dari Tuhan.
Abu Ma’in dari kubu Ahl al-Sunnah berpendapat bahwa setiap orang yang sudah balligh harus sanggup membuktikan adanya Tuhan, pencipta alam semesta, melalui argumen rasional. al-Baqillani mendeskripsikan pandangan Al-Asy’ariah yang mewajibkan seseorang karena yang demikian itu adalah perintah syara’. Ia menyatakan bahwa yang pertama kali diwajibkan Allah atas hamba-hamba-Nya, dan berargumen secara rasional dengan bukti kekuasaan-Nya sebab Allah tidak dapat diketahui begitu saja dan tidak dapat dicapai dengan pandangan empiris.
Imam al-Zarkasyi juga melihat upaya yang dilakukan oleh kaum Mutakallimin sebagai upaya yang positif. Ia menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada argumen dan dalil pembagian dan pembatasan terhadap semua pengetahuan aqliyyan dan sam’iyyah melainkan al-Qur’an juga membicarakannya.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa memang terdapat perbedaan pandangan ulama sejak dulu tentang keperluan disiplin ilmu kalam dan membantu umat untuk mendekati persoalan keagamaan, terutama yang bersifat ‘aqadiyyah. Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan pandangan tersebut berakar pada perbedaan ulama dalam menilai akurasi pengetahuan yang ditimbulkan oleh capaian-capaian akal atau nalar.
B. Pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq Terhadap Ilmu Kalam
Berdasarkan karya-karya tulisnya, Syeikh Abdurrahman Shiddiq dapat dikatakan tidak melibatkan diri secara eksplisit dalam diskusi-diskusi yang mewarnai sikap pro-kontra terhadap kehadiran dan keabsahan ilmu kalam (teologi) sebagai ilmu tentang ushul al-din. Walaupun demikian, secara implisit tidak dapat terhindar dari pengaruh diskusi-diskusi tersebut. Oleh karena itu pula ia bebas menentukan pandangan dan sikapnya mengenai pentingnya ilmu kalam dalam menjelaskan akidah islamiah.
Metode ilmu kalam menurut Syeikh Abdurrahman Shiddiq dapat diandalkan untuk mengantarkan umat kepada tingkat pemahaman dan penghayatan yang benar tentang ushul al-din.
Syeikh Abdurrahman Shiddiq menyatakan bahwa mengenali dan mempelajari aqai’id al-iman, itu merupakan suatu keharusan atau kewajiban yang bersifat individual (fardhu ‘ain) bagi setiap mukallaf. Berdasarkan ini saja, cukup kuat untuk dapat dijadikan alasan bahwa Syeikh ini benar-benar memberikan kedudukan yang strategis kepada ilmu kalam (teologi) dan mendapatkannya sebagai sains keislaman yang tidak boleh diabaikan oleh setiap Mukallaf.
Meskipun Syeikh Abdurrahman Shiddiq menghargai arti penting ilmu kalam, namun tampaknya ia juga mengakui bahwa metode yang disodorkan dalam ilmu kalam bukanlah satu-satunya metode yang dapat menghantarkan orang kepada suatu bentuk keyakinan (akidah) yang sesungguhnya. Bahkan ia melihat segi keterbatasan ilmu kalam justru terletak pada metode rasional (al-nazhar) yang diterapkan di dalamnya untuk menangkap hakikat kebenaran dari materi akidah. Secara fundamental, Syeikh ini kelihatannya ingin mendukung metode agnostisisme mengenai sifat Tuhan yang mutlak dan hakiki, dengan menyatakan bahwa “Dia dapat dikenal sejauh Dia menganugerahkan ma’rifat sufistik kepada manusia”. Dengan ini capaian tasawuf dapat memberi makna kepada keyakinan (akidah) yang dihasilkan oleh ilmu kalam.
Dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq, antara ilmu kalam dan ilmu tasawuf, secara struktur keilmuan, keduanya mempunyai hubungan.
Pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq tampaknya sejalan dengan pandangan al-Ghazaly. Al-Ghazaly sebagaimana diketahui, sudah berusaha keras melakukan pendalaman makna terhadap kepercayaan-kepercayaan yang bersifat rasional yang dihasilkan oleh ilmu kalam, yang secara an-sich di pandangnya tidak merupakan iman yang hidup.
Berbeda dengan Al-Ghazaly, Syeikh Abdurrahman Shiddiq menganggap ilmu kalam tidak berbahaya bagi orang-orang awam. Ini terlihat dari pandangannya yang tidak membedakan kualitas mukallafin dalam kewajiban mereka untuk mempelajari dan mendalami ilmu kalam. Sedangkan al-Ghazaly melarang orang-orang awam mendalami ilmu kalam karena hal itu hanya akan menambah bodoh mereka, dan bahkan berbahaya bagi kemantapan akidah mereka.
Kepercayaan teguh Syeikh Abdurrahman Shiddiq kepada metode kalam merupakan implikasi yang wajar dari kepercayaannya kepada capaian akal dalam menggunakan argumen-argumen rasional, yang tidak bertentangan dengan dalil naqliyyah untuk pembuktian ushul al-din, yang menjadi dasar bagi kemantapan akidah.
MANUSIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN TUHAN
A. Akal Manusia dan Fungsi Wahyu
Di dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, ternyata persoalan akal dan wahyu menjadi bahan diskusi yang serius di kalangan para pakar Islam, terutama di kalangan filosofi muslim dan kaum Mutakallimin.
Bagi kaum Mutakallimin, ilmu kalam (teologi) sebagai ilmu yang membahas masalah-masalah ketuhanan dan masalah hubungan timbal balik antara manusia dan Tuhan, sudah barang tentu memerlukan akal dan wahyu sebagai sumbernya. Akal yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia secara potensial berupaya sedemikian rupa membangun preposisi-preposisi logis sehingga dapat membawa manusia sampai kepada pengetahuan yang utuh dalam masalah ketuhanan. Sedangkan wahyu yang diturunkan kepada manusia membawa pengkhabaran, berisikan penjelasan-penjelasan yang perlu mengenai masalah ketuhanan, manusia, serta kewajiban-kewajibannya kepada Tuhan.
a. Hakikat akal bagi manusia
Akal menurut Syeikh Abdurrahman Shiddiq, merupakan daya untuk berfikir bagi manusia dalam rangka mencari kebenaran yang kemudian menjadipenetahuanya. Itulah sebabnya Syeikh Abdurahman Shiddiq menjuluki orang yang mempunyai kemampuan berfikir sebagai ahl al-nazhar.
Syeikh Abdurrahman Shiddiq yang mengukuhkan bahwa akal secara potensial memang dimiliki oleh setiap orang normal. Tetapi kenyataannya tidak setiap orang memanfaatkan potensi tersebut menurut semestinya. Akal yang berfikir secara rasional (al-nazhar), dalam pandangannya, akan menghasilkan capaian-capaian pengetahuan (kebenaran) yang kemudian dapat membawa manusia kepada keselamatan.
Kepercayaan Syeikh Abdurrahman Shiddiq terhadap capaian akal dalam memperoleh pengetahuan (kebenaran) disebabkan oleh pandangannya yang positif terhadap tabi’at dan kerja akal itu sendiri. Akal menurutnya adalah nur yang rohani sifatnya, yang dengannya semua orang memperoleh ilmu dharuri dan nazhari. Yang dimaksud dengan nur disini adalah potensi suci dari kebenaran yang berasal dari yang Maha Suci, yaitu Allah. Kata “nur” berasal dari Bahasa Arab yang berarti cahaya. Akal disebut sebagai nur karena ia merupakan sarana yang mampu memerangi manusia kepada jalan kebenaran. Dengan demikian, akal menurut pandangan Syeikh ini merupakan hal yang bersifat immateri.
Apabila akal potensial berfungsi sebagai daya untuk berfikir rasional dalam diri seseorang, maka akal itu akan membawa derajad manusia menjadi tinggi dan mulia di sisi Tuhan.
Penghargaan Syeikh Abdurrahman Shiddiq kepada akal tidak terlepas dari pandangan positifnya terhadap ilmu pengetahuan. Akal baginya, mempunyai hubungan erat dengan ilmu. Ilmu tidak akan dapat berkembang tanpa pendayagunaan akal. Akal dengan potensinya, membangun dalil-dalil rasional, merupakan dasar bagi tercipta dan berkembangnya pengetahuan tentang kebenaran. Syeikh ini menggambarkan akal sebagai anugerah Tuhan yang sangat indah justru karena akal lah yang membangun argumen-argumen yang menyampaikan manusia kepada pembuktian-pembuktian rasional, yang kemudian menjadi ilmu pengetahuan bagi manusia.
Ilmu yang dimaksud oleh Syeikh Abdurrahman Shiddiq bukanlah sekedar dalam pengertian “mengetahui,” tetapi lebih dari itu yaitu, dalam pengertian “mengenal” (ma’rifat). Pengetahuan dalam arti ma’rifat ini menurutnya merupakan keputusan yang mantap (al-jazm), bersesuaian bagi kebenaran melalui pembuktian-pembuktian menggunakan dalil. Pengetahuan seperti inilah, dalam pandangannya merupakan jalan untuk memperoleh iman atau kepercayaan keagamaan. Dengan demikian, penggunaan akal atau pemikiran rasional dalam soal keyakinan keagamaan, bagi sheikh ini, sangat penting dan fundamental sifatnya sebab dengan demikian orang (mukallaf) akan terhindar dari bentuk iman taqlid.
Demikianlah hakikat akal manusia dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq. Dari pemaparan tersebut, secara kongkrit dapat dikatakan bahwa Syeikh ini tergolong ulama yang mengukuhkan pentingnya akal bagi kehidupan manusia. Akal sebagai daya berfikir bagi manusia, dapat melahirkan dan mengembangkan pengetahuan tentang hakikat yang sesungguhnya, amat diperlukan oleh manusia dalam hidupnya.
b. Kekuatan Akal dan Fungsi Wahyu dalam Sistem Teologi Syeikh Abdurrahman Shiddiq.
Pembahasan mengenai kekuatan akal dan fungsi wahyu dalam sistem teologi Syeikh Abdurrahman Shiddiq, tidak dapat dilepaskan dari pandangan Syeikh ini tentang kemampuan akal manusia dalam mengetahui masalah-masalah yang berkaitan dengan Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia sebagai makhluknya, dan berapa pula fungsi wahyu dalam masalah-masalah pokok teologis tersebut.
Akal dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq, tidak hanya mampu menangkap fenomena-fenomena lahiriah dan membuat konsep-konsep tentangnya, tetapi akal dalam batas-batas tertentu, mampu memikirkan tentang sesuatu yang bersifat metafisik. Manusia dengan bantuan akalnya yang berfikir, dapat mengenal adanya Tuhan. Dengan memperhatikan gejala-gejala alam yang bersifat baharu (hadist), orang dengan menggunakan akalnya akan sampai kepada kesimpulan bahwa dibalik yang baharu mesti ada wujud yang tidak bersifat baharu, yang karenanya yang baharu menjadi wujud, atau dengan kata lain, yang hadist ini mesti ada yang menciptakannya (muhdist) yaitu Tuhan.
Akal dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq, merupakan saran yang ampuh atau dalam istilah Syeikh ini merupakan pagar bagi manusia untuk mengenal Tuhan.
Akal dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq, tidak hanya mempunyai kemampuan untuk mengenal adanya Tuhan, tetapi juga dapat memastikan (wajib aqly) bahwa Tuhan mempunyai sifat sempurna dan suci (tanazzuh) dari segala bentuk sifat kekurangan. Tuhan tidak qadim dan tidak baqi sebab wujud yang tidak kekal jelas berhubungan dengan ‘adam (ketiadaan), dan sifat ketiadaan hanya pantas bagi wujud yang baharu, yaitu wujud selain Tuhan. Dengan demikian, jika Tuhan tidak kekal esensi nya maka tentulah ia serupa dengan baharu, yaitu sesuatu yang wujudnya menghendaki yang mengwujudkannya (Muhdist), dan ini ditolak oleh akal. Dari itu, akal juga menetapkan bahwa Tuhan mestilah zat yang tidak menyerupai sesuatu yang baharu (mukhalafatuh Ta’ala li al-hawadist).
Tuhan yang Maha Esa itu harus pula mempunyai sifat-sifat qudrat (kekuasaan), iradat (kemauan), ilmu dan hayat (hidup) yang semuanya merupakan sifat kesempurnaan. Ketiadaan sifat-sifat ini pada Tuhan, tidak diterima oleh akal karena demikian itu akan menyebabkan Dia tidak mempunyai kuasaan, kemauan, pengetahuan dan daya untuk menciptakan alam dan segala yang baharu ini.
Dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq, dapat menetapkan kemestian Tuhan mempunyai sifat-sifat kesempurnaan, walaupun kita melihat argumen-argumen yang diajukan Syeikh ini untuk itu adalah argumen-argumen yang secara umum telah dikembangkan sebelumnya oleh para ahli kalam (teologi), terutama dari golongan Sunny, yang sesungguhnya tidak bebas dari pengaruh metode Hellenis-Aristotelian, tetapi bagaimanapun juga Syeikh, Abdurrahman Shiddiq, tampaknya tetap mempunyai keyakinan yang teguh bahwa dengan Burhan (argumen-argumen demonstratif) seperti itu, orang akan mengenal Tuhan dan sekaligus mentauhidkan-Nya.
Akal dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq, juga mempunyai kemampuan untuk mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat. Hal ini secara tegas diungkapkannya dalam salah satu bait Syair:
“Akal dan Ilmu sangat pilihan
dapat membezakan jadi beriman
jahat dan baik nyata kelihatannya
lepaslah engkau daripada niran.”
Kutipan syair di atas, mengandung penjelasan dari Syeikh Abdurrahman Shddiq bahwa akal yang berpikir menduduki posisi yang sangat mulia justru karena akal merupakan sarana rohani yang amat menentukan bagi manusia, terutama dalam soal iman atau dengan ungkapan lain, akal memegang peranan penting dalam menentukan kehidupan keberagaman seseorang. Mengetahui adanya kebahagiaan di akhirat, tergantung kepada imannya dan perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan di dunia ini.
Pandangan yang dianut Syeikh Abdurrahman Shiddiq tentang kekuatan akal dan fungsi wahyu dalam menanggapi persoalan-persoalan teologi, lebih jauh dapat pula ditinjau dari penjelasannya mengenai obyek kajian ilmu ushul al-din itu sendiri. Di dalam kitabnya, Fath al-‘Alim, Syeikh Abdurrahman Shiddiq menjelaskan bahwa obyek kajian dan pembahasan ilmu ushul al-din dapat dibagi ke dalam tiga kategori. Pertama, meliputi pembahasan mengenai apa-apa yang wajib (mesti adanya menurut akal) bagi Tuhan, dan apa-apa yang mustahil (mesti tidak ada menurut akal) atas-Nya, serta apa yang harus (ada atau tidak adanya menurut akal) pada-Nya. Kedua, pembahasan mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan nabawiyyah, yang meliputi pembahasan tentang apa-apa yang wajib, yang mustahil dan yang harus ada bagi Rasul-rasul Tuhan. Ketiga, mengenai persoalan-persoalan teologis yang bersifat syam’iyyah yaitu, segala masalah yang tiada ditemui ia melainkan daripada pendengaran dan tiada diketahui yang demikian itu melainkan daripada jalan wahyu kepada pesuruh (Rasul) Allah Ta’ala.
Uraian diatas memberikan gambaran yang jelas bahwa akal dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk; (1), mengenal adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya dalam rangka beriman kepada-Nya. (2), mengetahui apa yang baik untuk dilakukan atau diperbuat oleh manusia, dan apa yang jahat atau tercela untuk dihindari atau ditinggalkannya, dan (3), mengetahui bahwa manusia nanti di akhirat akan terlepas atau terhindar dari niran (siksaan neraka).
Hukum aqly (hukum akal) adalah prinsip-prinsip yang berhubungan dengan tanggapan akal terhadap sesuatu, baik yang bersifat dharuri (mudah dicerna oleh akal) maupun yang bersifat nazhari (teoritis). Sehubungan dengan itu maka hukum akal terbagi atas tiga macam yaitu, wajib, mustahil dan jaiz (harus).
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum syar’iy menurut Syeikh Abdurrahman Shiddiq adalah kalam Allah Ta’ala yang merupakan taklif (tugas keagamaan) dan wadha’ (berlaku baginya). Ditinjau dari bentuk kalam atau firman Allah kepada manusia maka hukum syar’iy yang bersifat taklifi itu dapat dibagi menjadi lima macam kategori hukum yaitu; Wajib, Sunnat (mandub), Haram, makruh, dan Mubah.
Adapun hukum ‘ada’iy (hukum adat), menurut definisi yang diberikan oleh Syeikh Abdurrahman Shiddiq adalah menetapkan suatu keadaan bagi sesuatu (yang bersifat empirik) atau meniadakannya melalui percobaan-percobaan yang berulang-ulang.
Diantara ketiga macam hukum (aqliy, syar’iy, dan ‘ada’iy) yang telah dijelaskan diatas, hukum syar’i-lah menurut Syeikh Abdurrahman Shiddiq yang hanya mempunyai nilai taklif bagi manusia.
Dari penjelasan diatas nyatalah bahwa akal dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq, tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib, dan karena itu kewajiban-kewajiban manusia tidak dapat ditentukan oleh akal. Wahyulah yang menjelaskan dan menetapkan kewajiban-kewajiban manusia tersebut.
B. Paham Kebebasan Manusia dan Determinisme
Suatu paham yang sudah diketahui secara umum dalam teologi Islam adalah paham yang mengatakan bahwa; wujud ada dua yaitu; Tuhan sebagai Khaliq dan alam sebagai makhluk-Nya. Manusia merupakan bagian dari makhluk Tuhan, yang biasanya disebut sebagai alam kecil (micro-cosmos) dalam rangka membandingkannya dengan alam semesta (macro-cosmos).
Fokus bahasan ini pada prinsipnya ditujukan untuk melihat pemikiran (paham) Syeikh Abdurrahman Shiddiq mengenai persoalan af’al al-ibad tersebut.
1. Paham Jabariah
Dalam Fath al-‘Alim, Syeikh Abdurrahman Shiddiq mengungkapkan bahwa jabariah adalah paham kaum yang menetapkan segala perbuatan manusia, ini sudah ditentukan oleh Tuhan semenjak azal.
2. Paham Qadariah
Secara definitif, Syeikh Abdurrahman Shiddiq mengungkapkan bahwa qadariah adalah paham yang menetapkan (itsbat) semua perbuatan manusia atau hamba ini terwujud dengan qudrat yang bersifat baharu. Dalam paham ini manusialah, katanya lebih lanjut, yang menciptakan segala perbuatannya melalui ikhtiar, baik yang mubasyarah maupun yang tawallud, yakni dengan daya dan qudrat yang dijadikan Allah Ta’ala padanya.
Disini Syeikh Abdurrahman Shiddiq mengidentifikasi paham qadariah sebagai paham yang mengukuhkan konsepsi bahwa manusialah yang sebenarnya yang menciptakan atau mewujudkan perbuatan-perbuatannya atas kemauan dan kehendaknya sendiri, dengan daya sendiri yang telah di anugerah-Kan Tuhan kepadanya.
C. Konsep Iman dan Hakikatnya
Misi terpenting dari kerja Intelektual Syeikh Abdurrahman Shiddiq, terutama dalam bidan pemikiran kalam (teologi) adalah untuk mengenalkan dan menyebar-luaskan pemikiran keagamaan dalam rangka membina individu dan masyarakat yang tidak hanya muslim, tetapi juga mukmin.
Di sini dengan jelas, Syeikh Abdurrahman Shiddiq ingin mengukuhkan pendapat yang menekankan pentingnya setiap orang memiliki nilai iman yang dapat menjamin kelangsungan kehidupan keagamaannya sebagai seorang muslim.
Iman yang didasarkan atas penerimaan pengkhabaran wahyu disebut tashdiq yaitu, menerima sesuatu sebagai benar dari apa yang didengar dan apa yang disampaikan wahyu. Sedangkan iman yang didasarkan atas kemampuan akal dan intelektual disebut ma’rifat yaitu, mengenal dengan sungguh-sungguh apa yang menjadi keyakinan dan kepercayaan.
Berdasarkan formulasi di atas, dapat dikatakan bahwa dalam aliran-aliran teologi yang memberikan kedudukan yang lemah dan rendah kepada akal, iman bukan lagi dalam bentuk tashdiq tetapi merupakan ma’rifat atau amal.
Kaum Mu’tazilah yang dikenal dengan kaum rasionalis Islam, karena mereka memberikan kedudukan yang tinggi kepada akal, iman bagi mereka tidak berupa tashdiq tetapi ma’rifat.
Berbeda dengan aliran Mu’tazlah, dalam aliran Al-Asy’ariah, iman yang tidak dapat sampai kepada arti ma’rifat atau amal, tetap hanya dalam arti tashdiq.
Demikianlah konsep iman sebagaimana yang terdapat dalam aliran-aliran penting teologi Islam, yangtelah ada dan telah berkembang sebelum Syeikh Abdurrahman Shiddiq.
Karena menyadari kenyataan itu, maka Syeikh Abdurrahman Siddiq berpretensi menyuguhkan konsep iman yang menurutnya, dapat meliputi kepentingan golongan khawas dan golongan awam yaitu; dengan mengajukan batas iman dalam bentuk yang ideal di satu pihak dan dalam bentuk tradisional di pihak lain. Tetapi bagaimanapun juga, Syeikh ini kelihatannya sangat menekankan iman dalam batasan yang disebutkan pertama, yaitu iman dalam arti ma’rifat.
D. Persoalan Eskatologi
Menurut Syeikh Abdurrahman Shiddiq, perhatian Islam terhadap masalah eskatologi tersebut sangat erat hubungannya dengan kepentingan manusia akan adanya kelanjutan yang perlu dari hasil yang dicapai manusia selama mendapat kesempatan hidup di alam dunia.
Berdasarkan ide itu Syeikh Abdurrahman Shiddiq bermaksud untuk menempatkan manusia pada posisi sentral dalam orientasi pemikiran eskatologinya.
Penekanan Syeikh Abdurrahman Shiddiq terhadap pentingnya manusia memanfaatkan dengan baik kehidupan dunia ini dilandasi oleh keyakinan bahwa akan tiba suatu saat nanti (di akhirat), ketika setiap individu mendapatkan kesadaran untuk mengenang amal perbuatannya selama hidup di dunia, setiap individu, tanpa kecuali, pada saat itu akan berhadapan dengan apa saja yang pernah ia lakukan, dan kemudian ia menerima balasan dari perbuatan-perbuatannya sendiri.
Itulah sebabnya barangkali ungkapan-ungkapan Syeikh Abdurrahman Shiddiq, terutama dalam karya-karya tulisnya, mengisyaratkan keprihatinannya yang mendalam terhadap setiap individu yang melalaikan dan mengabaikan makna kehidupan dunia bagi kepentingan hidup jangka panjangnya nanti di alam akhirat.
Selain itu, presentasi itu dengan jelas sekali, juga mengandung pandangan Syeikh Abdurrahman SHiddiq yang menempatkan pentingnya eksistensi akhirat bagi kelanjutan hidup manusia.
Pendapat Syeikh Abdurrahman Shiddiq diatas sejalan dengan ungkapan al-Qur’an yang erring menyebutkan “hari itu” (akhirat) sebagai hari penentuan, yaitu penentuan terhadap manakah yang benar dan manakah yang salah, tidak hanya mengenai amal manusia yang berbeda tetapi juga mengenai keyakinan-keyakinan serta orientasi yang ada pada diri manusia dalam hidupnya.
Syeikh Abdurrahman Shiddiq sebagai ulama yang ikut membahas persoalan-persoalan teologis Islam mendatang masalah pembalasan amal bagi manusia berkaitan dengan bentuk orientasi dan amal perbuatannya selama di dunia. Ini terlihat dari pemahamannya mengenai hakikat surga dan neraka yang dikaitakan dengan ide tentang penimbangan amal manusia di alam akhirat itu.
Syeikh Abdurrahman Shiddiq kelihatannya memang memberikan gambaran umum tentang surga yaitu; sebagai tempat manusia menerima balasan berupa kenikmatan dan kebahagiaan yang berkepanjangan dalam rahmad serta ridha Allah. Sedangkan neraka adalah tempat manusia menerima hukuman berupa siksaan dan azab.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq tentang ketentuan balasan di akhirat tersebut lebih dekat kepada ajaran kaum Mu’tazilah tentang hal yang sama. Sebagaimana diketahui, kaum Mu’tazilah berbeda dengan golongan al-Asy’ariah, mendasarkan ajaran mereka tentang hakikat pembalasan di akhirat atas pandangan rasional dengan menetapkan bahwa Tuhan mesti menempati janji-Nya dengan memberikan balasan atau menimpakan hukuman kepada manusia, sejajar dengan corak amal perbuatannya.
Oleh karena balasan dan hukuman di akhirat itu adalah berupa kenikmatan surga dan siksaan neraka, maka kaum Mu’tazilah dengan paham keadilan Tuhan yang mereka anut, jelas meyakini bahwa orang mukmin sebagai orang yang ta’at kepada Tuhan akan masuk surga, dan orang kafir karena dia melanggar perintah-perintah Allah, akan masuk ke dalam neraka. Keyakinan yang seperti itu sebagaimana telah disinggung diatas, adalah juga merupakan keyakinan yang dianut oleh Syeikh Abdurrahman Shiddiq.
PEMIKIRAN SYEIKH ABDURRAHMAN SHIDDIQ TENTANG KETUHANAN
A. Eksistensi Tuhan
Hampir dapat dipastikan bahwa tidak ada seorangpun di antara para ahli kalam (teologi) yang meragukan kepastian adanya Tuhan dan keesaan zat-Nya.
Dalam upaya membuktikan adanya Tuhan, Syeikh Abdurrahman Shiddiq, selain berpegang teguh kepada teks-teks tertentu dalam Al-Qur’an yang ia jadikan sebagai dalil naqliy, ia juga menggunakan apa yang ia sebut sebagai burhan (pembuktian demonstratif melalui penalaran).
Kelihatannya, dalil naqly yang dikemukakan oleh Syeikh Abdurrahman Shiddiq tersebut sekaligus ia tujukan untuk memperkuat atau mengkonfirmasikan apa yang dapat dicapai oleh akal dalam membuktikan adanya Tuhan, yang diformulasikan nya dalam bentuk argumen rasional. menurutnya ada tiga rentetan burhan yang diperlukan untuk itu, yaitu; menetapkan baharunya jirm, menetapkan baharunya ‘aradh dan menetapkan baharunya alam. Pada argumen yang diajukan oleh Syeikh Abdurrahman Shiddiq terlihat dialektika yang lebih mampu bertumpu pada teori wajib dan mungkin yang ditujukan untuk mengaitkan, di samping membedakan antara hakikat wujud Tuhan dan wujud alam ini.
B. Sifat-sifat Tuhan
1. Hubungan sifat-sifat Tuhan dan zat-Nya, dikaitkan dengan pengertian tauhid
Tauhid atau keyakinan akan kemahaesaan Tuhan sebagaimana diketahui, merupakan ajaran yang sangat prinsipil dalam sistem ajaran Islam. Menurut penuturan Al-Qur’an diketahui bahwa ajaran tauhid itu tidak hanya merupakan misi utama Rasulullah (Nabi Muhammad s.a.w.) tetapi merupakan inti dari ajaran yang dibawa dan diserukan oleh Rasul-rasul Allah sebelumnya.
Golongan Mu’tazilah yang mengklaim diri mereka sebagai ahl al-tawhid, mempertahankan pengertian keesaan Tuhan dengan menolak setiap paham yang sepanjang pandangan mereka, dapat membawa kepada paham syirik (politeisme).
Kaum Mu’tazilah memberikan batasan pengertian sifat dalam usaha mereka untuk mengukuhkan paham “peniadaan sifat bagi Tuhan”. Sifat menurut mereka adalah sesuatu yang melekat pada zat. Dengan ini dipahami bahwa sifat dan zat jelas merupakan dua hal yang berbeda.
Yang jelas mereka pada umumnya sepakat mendukum paham peniadaan sifat-sifat bagi Tuhan, yang pada hakikatnya berisi rumusan yang mengharuskan persamaan sifat-sifat Tuhan dengan zat-Nya atau dengan kata lain sifat-sifat itu merupakan esensi Tuhan.
Tetapi pendapat dan tanggapan kaum al-Asy’ariah mengenai persoalan hubungan sifat-sifat Tuhan dengan zat-Nya apabila dikaitkan dengan pengertian tauhid. Mereka pada umumnya menyatakan bahwa sifat berwujud dalam esensi itu sendiri. Ungkapan ini tampaknya mereka tujukan untuk menetapkan bahwa sifat-sifat itu tidak terpisah dan malahan selalu melekat pada zat Tuhan dalam keadaan bagaimanapun juga.
Adapun kaum Muturidiah, baik golongan Bukhara maupun golongan Samarkand, mereka kelihatannya mempunyai pendapat yang sama dengan kaum al-Asy’ariah tentang kaitan sifat-sifat Tuhan dengan zat-Nya. Al-Muturidi sendiri menetapkan adanya sifat-sifat bagi Tuhan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan tetapi tidak lain daripada Tuhan.