Kedudukan Al-Hadits Dalam Islam
Seluruh umat islam, tanpa kecuali telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran islam. Ia menempati kedudukannya yang sangat penting setelah Al Qur’an. Kewajiban mengikuti hadits bagi umat islam sama wajibnya dengan mengikuti Al Qur’an. Hal ini karena hadits mubayyin (Penjelasan) terhadap Al Qur’an. Tanpa memahami dan menguasai hadits siapa pun tidak bisa memahami Al Qur’an. Sebaliknya siapapun tidak akan bisa memahami hadits tanpa memahami Al Qur’an karena Al Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar syariat, dan hadits merupakan dasar hukum kedua yang didalamnya berisi penjabaran dan penjelasan Al Qur’an. Dengan demikian antara hadits dan Al Qur’an memiliki kaitan yang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, kedudukan hadits dalam islam tidak dapat diragukan karena terdapat penegasan yang banyak, baik didalam Al Qur’an maupun dalam hadits nabi Muhammad SAW, Jumhur Ulama menyatakan bahwa Al-Hadits menempati urutan kedua dalam Islam setelah Al-Qur’an. Dalam Al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal tersebut dapat kita lihat dari beberapa firman Allah sebagai berikut :
Surat Annisa ayat 59
يآايــها الـذين امنوآ اطيعواالله واطيعواالـرسول واولي الأمر منــكم فإن تنــازعـتم فى شئ فـردوه الى الله والرســول ان كـــنتم تؤمـنون بــالله واليوم الأخــر, ذلك خــير واحــسن تأويـــلا.
(النساء : )
Artinya :
hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah-Nya). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Surah Annisa ayat 69
ومن يطــع الله والرســول فأولئــك مع الذى انــعم الله عليــهم من النبـــيين والصديـــقين الشــهدآء والصلحـــين وحســن اولئــــك رفيــــــقا
(النســـاء : )
Artinya :
Dan barang siapa yang menta’ati Allah dan Rasul (Nya) mereka itu akan bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, para Shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.
1. PERANAN AL-HADITS TERHADAP AL-QUR’AN
Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan pedoman hidup yang tak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Disamping itu keduanya juga merupakan sumber hukum dalam Islam. Al-Qur’an sebagai hokum yang pertama dan utama banyak memuat ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itu Hadits yang menjadi sumber hukum Islam yang kedua menjadi penjelas (Bayan) terhadap isi kandungan Al-Qur’an yang masih bersifat umum tersebut. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an,
Surah Annahl ayat 44 yaitu :
بالبيــنت والـزبر. وانزلـــنا اليـك الـذ كر لتبــين للنـاس ما نـزل اليـهم ولعـلهم يتفـــكرون ( النحل : )
Artinya :
Keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab dan kami turunkan kepada mu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an kepada manusia untuk difahami dan diamalkan, karena itu agar maksud tersebut terwujud, maka Allah SWT memerintahkan kepada Rasullah Muhammad SAW untuk menjelaskannya melalui hadits Beliau.
Hadits sebagai penjelas atau bayan Al-Qur’an itu memiliki bermacam-macam fungsi. Imam Malik bin Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu sebagai bayan at-taqrir, bayan at-tafsir, bayan at-tafsil, bayan at-bast, bayan at-tasyri’. Sementara itu, Imam syafi’I menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan at-tafsil, bayan at-takhsis, bayan at-ta’yin, bayan at-tasyri’, dan bayan an-nasakh.
Jika dirinci maka secara umum peranan (fungsi) Al-Hadits terhadap Al-Qur’an diantaranya adalah sebagai berikut :
Al-Hadits memperkuat (memperkokoh) isi kandungan Al-Qur’an.
Contoh :
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 185
شهر رمضــان الذى أنـزل فيه الـقران هدى للنـاس وبينت من الـهدى والفرقــان فمن شــهد منـكم الشـهر فليصـمه ومن كان مريـضا أو على سفـر فعــدة من أيام اخـر, يريـد الله بكم اليـسر ولا يريد بـكم العسـر ولتكمـلواالعـدة ولتكـبر الله على ما هــداكم ولعـلكم تشـكرون (البقرة : )
Artinya : (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembela (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur.
Untuk memperkuat ayat di atas rasullah SAW bersabda :
صوموا لرؤيـته وافـطروا لرؤيـته فإن غـم عليـكم فاقدروا لــه. ( رواه مسلم )
Artinya : Apabila kalian melihat (ruyah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah (H.R.Muslim)
b. AL-Hadits memberi rincian terhadap ayat-ayat yang masih bersifat umum (mujmal)
diantara ayat yang bersifat mujmal itu adalah ayat-ayat yang bercerita tentang shalat, zakat, puasa, syari’at jual beli, nikah dan sebagainya. Salah satu contohnya adalah perintah shalat yang ada dalam Al-Qur’an (Surah Al-Baqarah ayat : 43 ) berikut ini :
واقـيم الصـلوة واتو الزكوة واركـعوا مع الراكعين (البقرة : )
Artinya :
Dan dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’
Ayat di atas hanya berbicara secara umum tentang shalat, sedangkan tata cara pelaksanaan shalat tidak dijelaskan di dalam ayat tersebut, maka hal ini dijelaskan oleh Rasullah SAW di dalam Hadits beliau, sebagaimana sabda Beliau yang berbunyi :
صَـلُّوْا كَمـَا رَاَيْتُمُـوْنِي اُصَلّي (رواه البخارى)
Artinya :
Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat (HR. Bukhori)
AL-Hadits menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya dalam Al-Qur’an atau bisa juga dikatakan bahwa hokum sesuatu itu hanya pokok-pokoknya saja yang ada dalam Al-Qur’an.
Kemudian hadits menunjukkan suatu kepastian hukum. Misalnya saja di dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa haram hukumnya memakan bangkai, bangkai disini hanya dijelaskan secara umum. Kemudian Al-hadits menetapkan hukum yang lebih tegas dengan mengatakan bahwa semua bangkai adalah haram kecuali bangkai ikan dan belalang. Contoh lain adalah hadits tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara dalam satu ikatan pernikahan semisal istri dan bibinya atau wanita yang merupakan saudara kandung.
Al-Hadits sebagai penentu di antara dua atau tiga perkara yang dimaksud dalam Al-Qur’an
Banyak ayat atau lafaz Al-Qur’an yang memiliki berbagai kemungkinan arti atau makna, sehingga terjadilah perbedaan tafsir oleh keterangan lain, kemungkinan pemahaman terhadap ayat tesebut akan berlainan dengan tujuan yang dikehendaki dan tentu daja akan menjadi sulit untuk dilaksanakan. Contohnya ayat tentang masa ‘iddah tiga kali quru’ bagi perempuan yang diceraikan suaminya. Lafal quru’ dalam ayat tersebut berarti haid dan suci. Tidak jelas apakah ayat tersebut berbicara tentang ‘iddah perempuan yang dithalaq itu tiga kali suci atau tiga kali haid. Oleh karena itu, muncul haidts yang menjelaskan atau menentukan (ta’yin) dari dua masalah tesebut.
Al-Hadits sebagai bayan An-nasakh
Para ulama berbeda pendapat tentang fungsi hadist yang satu ini, hal ini terjadi karena adanya Perbedaan pendapat dalam menta’rifkan pengertiannya. Sehingga ada yang menerima dan mengakui fungsi hadist sebagai nasikh terhadap sebagian hukum Al-Qur’an tetapi ada juga yang menolaknya.
Menurut ‘Ulama Mutaqaddimin terjadinya nasakh dikarenakan adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, sebab masa berlakunya telah berakhir dan tidak bisa diamalkan lagi. Akhirnya syari’ (pembuat syari’at) menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berlaku untuk selamanya ataupun temporal.
Maka ketentuan yang dating kemudian dapat menghapus ketentuan yang sebelumnya. Itu berarti, hadist dapat menghapus ketentuan dan kandungan isi Al-Qur’an. Ketidak berlakuan suatu hukum harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, terutama syarat adanya nasakh dan mansukh.
Kelompok yang membolehkan adanya nasakh ini adalah golongan Mu’tazilah, Hanafiah dan mazhab Ibnu Hazm Adh-Dhahiri. Mu’tazilah membatasi, Hanafiah dan mazhab Ibnu Hazm pada hadits yang mutawatir (mutawatir lafzhi). Sementara golongan hanafiah tidak mensyaratkan hadits yang mutawatir, yang masyhur (hadits ahad) pun bisa menasakhkan hukum ayat Al-Qur’an. Dam mazhab Ibnu HAzm Adh-Dhahiri menyatakan adanya nasakh meskipun dengan hadits ahad.
Salah satu contoh dari fungsi hadits sebagai bayan annasakh ini adalah firman Allah surah Al-Baqarah ayat 180, tentang wasiat bagi ahli waris, yaitu :
كتب عليكم اذا حضر عليكم الموت ان ترك خيران الوصية للوالدين والأقربين بالمعروف حقا على المتقين (البقرة : )
Artinya :
Diwajibkan atas kamu apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.
Ayat di atas disanadkan dengan hadits yang berbunyi :
لا وصية لرارث (رواه البخارى)
Artinya :
Tidak ada wasiat bagi ahli waris (HR. Bukhori)
Kelompok yang menolak nasakh ini adalah Imam Syafi’I, mazhab Zhahiriah dan Khawarij.
2. KEDUDUKAN HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM
Seluruh Umat Islam, naik yang ahli naql maupun ahli aql telah sepakat bahwa hadits/sunah meruapakan dasar hukum Islam, yaitu sakah satu dari sumber hukum Islam dan juga sepakat tentang diwajibkannya untuk mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-Quran.
Dalam kaitannya dengan masalah ini, Muhammad Ajjaj Al-Khatib mengatakan :
فالقــران والســنة مصدران تشـــريعيان متــلازمان لايمكن لمســلم أن يفـهم الشريــعة لا بالرجـوع اليهـــما معــا ولا غنى للمجـــتهد أو عــالم عن أحـــــدهما.
Artinya :
“Al-Qur’an dan As-sunnah (Al-Hadits) merupakan dua sumber hukum syari’at Islam yang tepat, sehingga umat Islam tidak mungkin mampu memahami syari’at Islam, tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Mujtahid dan orang alim pun tidak diperolehkan hanya mencakupkan diri dengan dalah satu dari keduanya.”
Banyak ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menjelaskan bahwa hadis merupakan salah satu sumber hukum Islam selain Al-Qur’an yang diikuti sebagaimana mengikuti Al-Qur’an, baik dalam bentuk awamir maupun nawahi-nya.
Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalil naqli mapun dalil aqli, berikut ini.
A. Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan kewajiban mempercayai dan menerima segala sesuatu yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup. Di antaranya adalah :
Firman Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 179 yang berbunyi :
ما كــان الله ليذر المؤمنــين على مآأنــتم عليــه حتى يمــيز الخبيث من الطــيب, وما كان الله ليـــطلعكم على الغبيب ولكن الله يجــتبي من رسولــه من يشــآء فا منــوا با الله ورســوله’ وان تؤمــنوا وتتــقوا فلكم أجــر عظـــيم.
Artinya :
“Allah sekali-kali tidka akan membiarkan orang-orang mukmin seperti keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia memisahkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi, Allah akan memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara Rasul-rasul-Nya. Karena itu, berimanlah kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan jika kamu beriman dan bertaqwa, maka bagimu pahala yang besar.”
Dalam surat Annisa ayat 136 Allah SWT berfirman :
يآايـــها الذين امــنوا با الله ورسولـــه والكتب الذي نــزل على رســوله والكتب الذي انــزل من يكفـــر با لله وملئــــكته وكتبــه ورسولـــه واليوم الاخـــر فقد ضـــللا بعـــــيدا.
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan ke[ada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Bagi siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang ini telah sesat sejauh-jauhnya..”
Dalam surat Ali Imran di atas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dan orang-orang munafik. Dia juga akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itu, orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Pada surat an-Nisa ayat 136, sebagaimana halnya pada surat Ali Imran ayat 179, Allah menyeru kaum muslimin agar tetap beriman kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad SAW), Al-Quran, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah SWT mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya.
Selain memerintahkan umat islam agar percaya kepada Rasuulllah SAW, Allah juga menyerukan agar umat-Nya menaati segala bentuk perundang-undangan san peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Allah SWT. Banyak ayat Al-Quran yang berkenaan dengan masalah ini.
B. Dalil Al-Hadits
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW. Berkenan dengan kewajiban menjadikan hadis sebagai pedoman hidup disamping Al-Quran sebagai pedoman utamanya, adalah dalam sabdanya:
تركـــت فيــكم أمــرين لن تضــــلوا أبدا مـــا إن تمســـكتم بهما كتــــاب الله وسنـــة رسولــــه. (رواه الحاكم)
Artinya :
“aku tinggalkan dua perkara untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian selalu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”
Dan hadits lain, Rasulullah SAW, bersabda :
عليـــكم بسنتي وسنة الخلـــفاء الراشــــدين المهـــديين تمســــكوا بهـــــا.
Artinya :
“wajib bagi kaum sekalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunah Khulafa Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya.”
Hadits-hadits tersebut di atas, menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadits atau menjadikan hadits, sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Qur’an.
C. Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah satu dasar hukum dalam amal perbuatan karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan hadits sama seperti penerimaan mereka terhadap Al-Qur’an, karena keduanay sama-sama merupakan sumber hukum Islam.
Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan sejak masa Rasulullah, sepeninggalan beliau, masa Khulafa Ar-Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya, banyak di antara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungannya, tetapi menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya.
Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain dalam peristiwa di bawah ini :
Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, ia berkata, “Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkannya.”
Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.”
Pernah ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan shalat safar dalam Al-Quran. Ibnu Umar menjawab, “allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana kami melihat Rasulullah berbuat.”
diceritakan dari Sa’ad bin Musayyab bahwa Usman bin Affan berkata, “saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah Saw, saya makan sebagimana makannya Rasulullah, dan saya akan shalat sebagaimana shalatnya Rasulullah SAW.”
Maka banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan, dilakukan, dan diserukan oleh Rasulullah SAW, selalu diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh mereka.
D. Sesuai Dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)
Kerasulan NAbi Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang diterimanay dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga, tidak jarang beliau menawarkan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada nash yang menasakhkan.
Bila kerasulan Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya apabila segala peraturan dan eprundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan wahyu atau hasil ijtihad semata ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Di samping itu, secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai Rasul mengharuskan umatnya menaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Quran. Sedangkan bila dilihat dari segi kehujjahan, hadits melahirkankan hukum zhanni, kecuali hadits yang mutawatir.