Praktik Etika Bisnis Di Indonesia
Pada paper ini, kami mencoba untuk mengamati dan memunculkan persoalan mengenai praktek etika bisnis pada usaha penerbangan di Indonesia. Karena, pada prakteknya, perusahaan penerbangan di Indonesia mampu melakukan segala cara untuk dapat menarik penumpang. Melalui paper ini, kami akan menguraikan usaha-usaha yang dilakukan oleh Perusahaan Penerbangan di Indonesia dalam menarik penumpang, serta bersaing dengan Perusahaan Penerbangan lainnya.
Pada pertengahan tahun 2000, penerbangan sipil komersial Indonesia mulai bangkit, hal ini dipicu karena jatuhnya nama Sempati dari persaingan ekonomi. Salah satu dampak yang timbul dari krisis tersebut adalah adanya persaingan berebut penumpang yang semakin ketat. Persaingan perebutan penumpang tersebut dilakukan oleh sejumlah airline baru yang berusaha dapat memaknakan kebangkitan dunia penerbangan komersial Indonesia, untuk menggantikan Sempati Air. Persaingan yang semakin ketat, membuat pemerintah khawatir. Demi kebaikan bersama, pemerintah menghimbau agar persaingan yang timbul diantara airline diharapkan dapat membawa dampak yang positif, seperti peningkatan pelayanan dan fokus terhadap faktor keselamatan penumpang, misalnya. Selain itu, pemerintah Indonesia juga mengupayakan penataan sebuah pola perkembangan industri penerbangan nasional. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar persaingan antara perusahaan penerbangan, baik yang baru maupun yang sudah mapan akan berjalan wajar dan sehat, sehingga kehadiran perusahaan-perusahaan penerbangan baru yang akan datang dapat benar-benar menjadi era awal kebangkitan penerbangan nasional Indonesia.
Faktor yang mempengaruhi praktek etika bisnis di penerbangan Indonesia
· Riset Pasar Pemerintah yang Cenderung Fleksibel
Terdapat berbagai macam permasalahan yang berkaitan dengan perkembangan sektor penerbangan komersial di Indonesia, untuk menciptakan iklim usaha angkutan udara yang kondusif, yaitu:
Kemudahan pemberian izin kepada investor
Pemerintah memberi kemudahan izin bagi para investor untuk menanamkan modalnya di bidang penerbangan. Meski demikian, dalam pemberian izin itu, pemerintah tetap meninjau beberapa aspek, diantaranya yaitu:
- Aspek organisasi dan manajemen.
- Aspek teknik dan operasi.
- Aspek SDM.
- Faktor keselamatan penerbangan.
Adanya campur tangan pemerintah pada aspek komersial dan operasi perusahaan penerbangan nasional.
Pemerintah mengurangi pengaturan pada aspek komersial dan operasional kegiatan jasa angkutan udara yang menyangkut daerah operasi, rute penerbangan, dan pentarifan. Selain itu, pemerintah juga akan mengatur segala aspek yang menyangkut masalah keselamatan dan keamanan penerbangan.
· Masalah rute dan pertarifan
Pemerintah menyerahkan konsep rute dan pertarifan kepada mekanisme pasar. Pemerintah menetapkan dua jenis rute, yaitu:
- Rute terbuka
Rute terbuka ditetapkan untuk diterbangi oleh setiap perusahaan penerbangan atau setiap perusahaan angkutan udara niaga berjadwal.
Yang termasuk dalam rute terbuka adalah rute-rute yang memiliki jumlah penumpang lebih dari 200.000/tahun. Pada rute terbuka, pemerintah memperlonggar batas kapasitas angkut pesawat, selama tipe pesawat yang dipakai masih layak mendarat dan tinggal landas di bandara tujuan.
Pada rute ini, pemerintah hanya akan mengatur aspek keselamatan penerbangan, seperti mengatur pembatasan tipe pesawat sesuai dengan kelas bandar udara yang akan dilewati.
- Rute tertutup/rute tidak terbuka
Yang termasuk pada rute tidak terbuka adalah rute yang diterbangi kurang dari 200.000 penumpang tiap tahunnya.
Konsep pembebasan rute tersebut sebenarnya sudah ditetapkan sebelum krisis ekonomi melanda. Krisis membuat pemerintah perlu mengatur kembali masalah keseimbangan supply dan demand. Alasannya, bila pemerintah benar-benar menyerahkan pengelolaan rute itu kepada mekanisme pasar, maka akan terjadi persaingan yang tidak sehat.
Pemerintah khawatir, daerah yang tidak memperhitungkan keseimbangan supply dan demand akan menjadi “killing field” bagi perusahaan yang menerbangkannya. Mungkin saja terjadi, sebuah perusahaan penerbangan menjual tiket pada konsumen dengan harga yang jauh dari standar yang telah ditetapkan. Pemerintah yang mempunyai fungsi sebagai regulator, bisa saja memberi sanksi kepada mereka yang menjual tiket jauh dibawah harga standar. Tetapi dari segi peraturan, pemberian sanksi itu sulit untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan dasar hukumnya tidak jelas. Terlebih lagi setelah pemerintah menyerahkan masalah penentuan harga tikep kepada INACA. Dalam hal penentuan harga jual tiket, pemerintah hanya menyetujui harga terendah dan tertinggi yang ditetapkan INACA, dimana tujuan utamanya adalah untuk melindungi konsumen.
Di sisi lain, pemerintah mengharapkan perusahaan penerbangan tidak hanya menerbangi rute-rute padat. Alasannya, jika hanya melihat rute padat untuk memenuhi target penumpang per tahun, maka rakyat Indonesia yang berada di luar jalur tradisional itu tidak akan menikmati keberhasilan transportasi udara di Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang dapat menyebabkan permasalahan-permasalahan dalam menentukan rute tersebut adalah:
- Riset pasar yang belum dilakukan dengan baik.
- Perusahaan hanya menerbangkan rute-rute tradisional yang sudah dari dulu ada dan sampai sekarang masih diperebutkan. Seharusnya, perusahaan berupaya untuk membuat rute baru dan juga pola yang baru.
Pada masa yang akan datang, rute dan tarif tidak akan lagi diatur oleh pemerintah. Ini dilakukan dalam rangka menghadapi globalisasi dan AFTA. Tetapi pemerintah tetap akan bertanggung jawab atas rute-rute itu, termasuk rute transportasi laut dan transportasi darat.
Hal yang Dilakukan Perusahaan Penerbangan Dalam Persaingan
Berebut penumpang
Munculnya sekian banyak maskapai penerbangan baru dalam waktu yang relatif singkat, terasa mengejutkan dan belum pernah terjadi selama ini. Hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan di kalangan dunia penerbangan, antara lain:
- Apakah kemunculan beberapa maskapai penerbangan baru dalam waktu yang relatif singkat ini merupakan dorongan euforia reformasi?
- Ataukah dikarenakan oleh liberalisasi peraturan yang dulu terasa sangat ketat?
- Atau mungkin untuk saat ini perusahaan penerbangan memang menjadi alat transportasi udara yang mampu membangkitkan era emas penerbangan komersial Indonesia?
Jika ingin maju, maka perusahaan penerbangan Indonesia harus mau bekerjasama, kalaupun harus ada persaingan, maka persaingan yang dilakukan haruslah bersih dan sehat. Artinya, masing-masing perusahaan penerbangan harus mampu “menyedot” perhatian calon penumpang yang diperkirakan sebesar empat juta penumpang per tahun, tanpa ada intrik dan praktek licik. Menurut teorinya, perusahaan penerbangan tidak bisa mengandalkan harga tiket yang murah untuk menarik penumpang. Yang seharusnya dilakukan adalah meningkatkan pelayanan bagi para penumpang. Misalnya, dengan memberikan kompensasi bagi para penumpangnya. Pemberian kompensasi dapat dijadikan sebagai sarana untuk membina hubungan dengan penumpang. Kompensasi yang diberikan oleh sebuah airline kepada mantan penumpangnya, setelah mereka mendapatkan pelayanan yang kurang baik, dapat mengubah kesan buruk dan dapat menjadikan hubungan antara penumpang dan airlines tersebut konstruktif.
Namun pada prakteknya, pada saat ini, banyak penumpang domestik cenderung memilih maskapai penerbangan yang menjual tiket murah (dibawah harga standar). Bagi mereka, yang penting terbang dan sampai di tujuan dengan aman. Kalaupun terjadi kecelakaan nantinya, mereka akan menerima konsekuensinya. Kondisi seperti itu sangat berbahaya bagi kelangsungan bisnis penerbangan di Indonesia. Hanya demi berebut penumpang, banyak airlines akan menurunkan harga tiket penerbangan mereka hingga serendah mungkin. Artinya, perang tarif akan semakin menggila.
Praktek bisnis semacam ini terjadi pada rute Jakarta-Pontianak. Rute yang jumlah penumpang per harinya mencapai sekitar 1.000 orang ini, diterbangi oleh lima maskapai dalam tujuh kali penerbangan per harinya. Untuk merebut penumpang, hampir semua perusahaan penerbangan yang melayani rute ini menurunkan harga serendah-rendahnya. Tujuannya yaitu hanya untuk menarik para penumpang. Bila hal ini terus dibiarkan, maka “killing field” akan benar-benar terwujud. Yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi praktek semacam itu adalah INACA harus mengetahui betul harga tiket penerbangan yang paling rendah. Sehingga bila ada perusahaan penerbangan yang menjual tiket penerbangannya dibawah harga yang paling rendah tersebut, INACA bisa memberikan sanksi. Penetapan harga semacam itu sangat perlu dilakukan agar pengusaha airline tidak membanting harga serendah mungkin hanya untuk menarik penumpang. Bila harga terendah sudah ditetapkan, maka persaingan berebut penumpang tidak lagi dari sisi harga tiket yang murah, melainkan akan bergeser pada sisi faktor pelayanan dan keselamatan penumpang.
Tetapi INACA memiliki pemikiran lain. Menurut INACA, semakin rendah tarif penerbangan, maka semakin tinggi permintaan masyarakat akan jasa transportasi udara. Maka dari itulah, perusahaan airline mengalami dilema antara keinginan menaikkan tarif guna memperoleh pendapatan yang besar, atau menurunkan tarif guna meraih jumlah penumpang yang banyak yang pada akhirnya mampu meningkatkan pendapatan.
Untuk itu, INACA memberikan ilustrasi yang dapat menggambarkan kasus Jakarta-Pontianak tersebut sebagai berikut:
Dengan menggunakan pesawat terbang B-737/200 berkapasitas 100 orang penumpang, sebuah perusahaan penerbangan menetapkan tarif Rp. 550.000,- per penumpang. Dengan tarif sebesar itu, airline tersebut hanya mampu menyerap penumpang sebanyak 40 orang. Itu berarti pendapatan airline perhari hanya Rp. 22.000.000,-. Sementara bila airline tersebut menurunkan tarif hingga Rp. 350.000,- per penumpang, maka airline itu dapat menarik penumpang hingga 70 orang. Dan itu berarti pendapatan airline per harinya mencapai Rp. 24.500.000,-. Peningkatan pendapatan seperti itulah yang menurut INACA merupakan tujuan utama dari para pengusaha airline.
Contoh:
Sebetulnya tidak ada yang salah dengan iklan itu. Maskapai penerbangan yang membuat iklan tersebut memang memiliki dan menjual tiket sesuai harga yang ditawarkan. Namun jumnlahnya amat terbatas, tergantung dari situasi saat tiket terjual. Dari puluhan baris kursi dalam pesawat, mungkin ada dua atau tiga baris saja yang dijual sesuai dengan harga yang tercantum dalam iklan tersebut. Sisanya, dijual dengan harga yang jauh lebih mahal lagi.
Di tingkat internasional, sistem pertarifan seperti di atas telah lama berlaku, yaitu sejak tahun 1996-an. Misalnya Air France di Jakarta yang membagi kelas ekonomi menjadi delapan subkelas dengan harga yang berbeda. Kedelapan kelas tersebut adalah kelas Y, K, H, W, T, V, X, dan L. Tiket kelas V dan L menyandang harga termurah. Jumlahnya hanya sekitar 10 kursi saja. Sementara itu, kelas W dan X yang harganya sedikit lebih mahal dari tiket kelas L dijual khusus untuk para penumpang setia. Harga tiket untuk masing-masing subkelas itu bervariasi, tergantung waktu dan situasi saat tiket terjual.
Di Indonesia, sistem serupa belum lama diterapkan. Garuda Indonesia menerapkannya sejak setahun yang lalu. Boleh dibilang, di Indonesia, Garuda merupakan pemrakarsa dalam bidang itu. Setiap langkah Garuda pasti diikuti oleh maskapai lain, terutama maskapai penerbangan baru. Yang menjadi masalah adalah banyak penumpang, bahkan agen penjualan tidak paham akan pengelompokan harga tiket berdasar subkelas.
Saat persoalan ini dikonfirmasikan kepada beberapa maskapai dalam negeri yang menerapkan sistem ini, pihak mereka memberi jawaban bahwa itu hanya sekedar penerapan sistem manajemen pendapatan saja.
Pihak maskapai airline menjelaskan bahwa praktek semacam ini sebetulnya sudah terjadi sejak dulu. Bedanya, dulu maskapai penerbangan menerapkan sistem manajemen pendapatan primitif, yaitu membagi kursi pesawat kedalam 2 kelas, yaitu kelas bisnis dan kelas ekonomi. Sekarang kelas primitif ini dibagi lagi dalam beberapa kelas. Kelas bisnis dibagi menjadi dua, yang kelas ekonomi dibagi menjadi dua atau lebih kelas baru.
Menurut pihak maskapai airline, diversifikasi harga tiket dilakukan perusahaan sebagai strategi untuk melakukan pengembangan ke depan. Bagaimanapun, di tengah persaingan yang ketat, setiap maskapai penerbangan harus punya trik bisnis yang bisa diandalkan. Untuk itu, mengikuti pola yang sudah diterapkan Garuda Indonesia, Lion Air juga menerapkan sistem subkelas.
Pada rute Jakarta-Surabaya, misalnya. Maskapai berlogo kepala singa ini membagi kelas ekonominya kedalam 5 subkelas, yakni kelas Q, M, L, Y, dan V. Subkelas Y menyandang tiket dengan harga jual termahal, yakni Rp. 400.000/tiket. Sementara subkelas V adalah yang termurah dengan harga tiket Rp. 255.000.
Sejak dua bulan lalu, Lion Air melaju kencang dengan sistem tiket barunya ini. Tidak tanggung-tanggung, semua 20 rute penerbangan yang dilayani oleh 14 pesawat MD-82 itu menerapkan sistem tiket subkelas.
Sistem tiket subkelas memang membagi harga tiket, antara lain, berdasar kapan seorang calon penumpang melakukan pemesanan atau pembelian. Bukan berdasar pelayanan yang didapat di pesawat. Makin awal memesan, maka mereka akan mendapat tiket paling murah. Sebaliknya, makin dekat dengan hari keberangkatan, makin mahal pula harga tiket yang harus dibeli.
Meski masih membingungkan pengguna jasa, penerapan subkelas oleh sejumlah maskapai domestik ternyata mendongkrak tingkat isian kursi pesawat. Jumlahnya pun cukup signifikan. Rata-rata 70 hingga 80 persen per setiap penerbangan. Hampir bisa dipastikan, tingkat isian pesawat Lion Air kini tak pernah kurang dari 90 persen.
Satu hal yang perlu disiasati oleh pihak maskapai adalah bagaimana menyosialisasikan sistem subkelas ini hingga masyarakat tidak kebingungan. Menjaga komunikasi yang baik dengan penumpang dan biro penjual tiket adalah hal utama. Kepada mereka harus diberitahukan bahwa tiket subkelas terendah mempunyai validitas rendah pula.
Pihak Lion Air menegaskan bahwa pihaknya tidak akan mengatakan kepada para calon penumpang bahwa tiket termurah sudah habis terjual demi menjual tiket termahalnya. Sistem subkelas telah menarik minat banyak maskapai. Namun demikian, rupanya tidak semua maskapai penerbangan melakukan cara-cara manajemen pendapatan ini. Entah karena masih malu-malu atau masih mengevaluasi hasilnya.
Demi untuk menarik penumpang, ada beberapa maskapi yang menganut tarif fleksibilitas tinggi. Prinsipnya hampir sama dengan strategi tarif subkelas. Layaknya tarik ulur karet, tarif minggu depan bisa lebih murah atau lebih mahal daripada tarif minggu ini. Yang diiklankan biasanya yang paling murah. Paling hanya empat atau enam seat saja. Kalau sudah habis, baru tiket dijual dengan harga yang biasa.
Akal-akalan seperti diatas ternyata tidak luput dari perhatian Departemen perhubungan. Meski melihat bahwa praktek semacam itu tidak melanggar aturan yang ada, pemerintah mengharap agar maskapai penerbangan tidak lagi mencantumkan harga tiket murah dalam iklannya. Karena hal ini akan berbuntut merugikan para penumpang yang akan mengeluh sulit memperoleh tiket sesuai harga dalam iklan.