Tanggung jawab sosial dalam konteks lintas budaya dan internasional.
Etika bisnis berkaitan dengan masing-masing karyawan dan manager, keputusan yang diambil, ada perilaku meereka. Organisasi tidak mempunyai etika, tetapi mengkaitkan lingkungan mereka dalam cara-cara yang sering mengakibatkan dilema etika dan mengacu pada konteks tanggung jawab sosial organisasi. Tanggung jawab sosial adalah kumpulan kewajiban organisasi untuk melindungi dan memajukan masyarakat di mana organisasi bekerja. Kompleksitas bagi manajer bisnis internasional jelas bahwa keseimbangan yang ideal antara tanggung jawab sosal secara global terhadap kondisi lokal yang mungkin memaksa perbedaan pendekatan dengan negara-negara yang berbeda dimana perusahaan tersebut melakukan bisnis (Griffin and Pustay, 2005; 130).
Bidang-bidang tanggung jawab sosial
Organisasi dapat menerapkan tanggung jawab sosial terhadap pihak-pihak yang berkepentingan, terhadap lingkungan alam, dan terhadap kesejahteraan sosial. Beberapa organisasi mengetahui tanggung jawab mereka di ketiga bidang itu dan berusaha sungguh-sungguh untuk mencapainya, yang lainnya menekankan pada satu atau dua bidang tanggung jawab sosial. Dan sedikit yang tidak mengetahui tanggung jawab sosial sama sekali.
Stakeholder organisasi
Stakeholder adalah orang dan organisasi yang dipengaruhi langsung oleh praktek organisasi tertentu dan mempunyai kepentingan terhadap kinerja organisasi. Kebanyakan perusahaan yang berjuang untuk bertanggung jawab terhadap stakeholder berkonsentrasi pertama dan terutama pada tiga kelompok: konsumen, karyawan, dan investor.
Organisasi yang bertanggung jawab terhadap konsumen berusaha untuk memperlakukan mereka dengan adil dan jujur. Mereka menjanjikan untuk memberikan harga yang sesuai, menganggap penting jaminan produk, menepati komitmen pengiriman, dan menjaga kualitas produk yang mereka jual.
Organisasi yang bertanggung jawab secara sosial dalam menghadapi karyawan memperlakukan para pekerja dengan adil, membuat mereka sebagia bagian tim dan menghargai kebebasan dan kebutuhan dasar manusia mereka.
Untuk menjaga sikap dan tanggung jawab terhadap investor, manajer harusnya mengikuti prosedur akuntansi yang benar, memberikan informasi yang cukup kepada pemegang saham tentang kondisi keuangan perusahaan, dan mengelola organisasi untuk melindungi hak pemegang saham dan investasi. Selain itu mereka harus akurat dan jujur dalm penilaian tentang pertumbuhan jangka panjang dan laba serta menghindari adanya ketidakwajaran dalam hal-hal yang sensitif seperti insider trading (perdagangan saham dengan informasi orang dalam), manipulasi harga saham, dan menahan data keuangan. (Griffin and Pustay, 2005; 130)
Lingkungan alam
Bidang kedua yang penting dalam tanggung jawab sosial berkaitan dengan lingkungan alam. Banyak organisasi yang membuang kotoran , limbah produksi, dan sampah ke sungai, ke udara, dan tanah kosong. Sekarang banyak undang-undang mengatur pembuangan limbah mineral sehingga perusahaan dapat bertanggung jawab secara sosial terhadap pembuangan bahan polusi dan perlakuan secara umum terhadap lingkungan (Griffin and Pustay, 2005; 130 - 132).
Perusahaan seharusnya memiliki kesadaran diri atas kegiatannya yang akan berdampak langsung kepada lingkungan sekitar. Pencemaran lingkungan juga menimbulkan dampak negatif baik itu bagi masyarakat sekitar maupun lingkungan itu sendiri. Apabila perusahaan tersebut mencemari lingkungan, maka perusahaan tersebut juga melanggar Hak Asasi Manusia, karena masyarakat banyak telah dirugikan dengan pencemaran lingkungan yang telah dilakukan oleh perusahaan tersebut. Selain itu perusahaan juga telah melanggar hukum yang telah ditetapkan di negara tempat perusahaan tersebut beroperasi. Contoh kasusnya adalah Kasus Tragedi Teluk Buyat. Penelitian masih terus berlanjut apakah perusahaan tambang milik Amerika Serikat, PT Newmount Minahasa Raya memang benar telah merusak ekologi. Kegigihan warga dan korban Teluk Buyat dalam mengejar keadilan telah mengungkap penyakit kronis penegakan hukum di sektor lingkungan, lalu memaksa kita merasakan adanya semacam situasi darurat, yakni minimnya perhatian dan usaha dari pengelola kekuasaan negara dalam melindungi hak-hak warga atas lingkungan hidupnya. Too little and too late: itulah ungkapan yang tepat untuk melukiskan langkah pemerintah dalam tragedi Buyat. Perhatian pemerintah baru tumbuh justru setelah sejumlah warga dan biota di kawasan teluk itu telanjur menjadi korban dari wabah penyakit. Padahal, jauh-jauh hari sebelum kasus ini meledak, potensi dan bahaya pencemaran ekologi di wilayah itu sebenarnya telah diekspos dan disuarakan oleh sejumlah LSM.
Pelajaran penting dari tragedi teluk Buyat adalah betapa mendesaknya perlindungan hak-hak asasi manusia jadi bagian dari sikap kebijakan pemerintah terhadap korporasi-korporasi yang beroperasi di Indonesia.
Hubungan di antara korporasi bisnis dan hak-hak asasi manusia sebenarnya bisa bersifat konstruktif. Pada tingkat internasional, bukti dari hubungan yang konstruktif ini dapat diperiksa dari beberapa kecenderungan yang berlangsung dalam tahun-tahun terakhir ini. Kian banyak, misalnya, korporasi-korporasi besar yang memasukkan perlindungan hak-hak asasi manusia dan hak-hak buruh ke dalam corporate codes of conduct mereka. Sanksi-sanksi perdagangan yang diterapkan kepada negara-negara yang secara terang-terangan mengabaikan hak-hak asasi manusia adalah contoh lain dari hubungan konstruktif itu.
Situasi darurat itu jadi demikian terasa, bila diingat, sebelum tragedi Buyat sebenarnya kasus-kasus pencemaran dan perusakan ekologi serupa sudah berkali-kali terjadi, dan semua itu secara tidak langsung telah melanggar Hak Asasi Manusia. Proses self destruction terhadap bumi dan bangsa ini tak boleh terus dibiarkan. Memang didalam bisnis internasional, pemerintah dituntut untuk konsisten dan reguler dalam melakukan kontrol terhadap perusahaan ataupun kegiatan-kegiatan perusahaan. Pemerintah, sebagai pengelola langsung kekuasaan negara, berkewajiban menjaga dan melindungi lingkungan hidup bagi warga negaranya. Dalam urusan itu, sudah waktunya pemerintah mengupayakan kebijakan-kebijakan yang tidak cuma memberi peluang bagi kalangan korporasi, tapi juga mendorong mereka untuk memenuhi kewajiban sosial mereka terhadap masyarakat dan lingkungan di mana mereka beroperasi.
Gugatan terhadap NMR ini disambut baik para aktivis lingkungan hidup. Sebelumnya, mereka mengeluhkan pertambangan di Indonesia tidak memperhatikan lingkungan. Akan tetapi, isu ini meresahkan para investor yang mengeluhkan sistem hukum di Indonesia yang tidak efisien dan penuh dengan korupsi.
Tahun lalu, sejumlah penelitian dilakukan terhadap air di Teluk Buyat. Hasil penelitian ini mengundang konflik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Kementerian Lingkungan Hidup melaporkan air di Teluk Buyat tidak tercemar. Tetapi sejumlah penelitian lain melaporkan konsentrasi arsen di dasar Teluk Buyat 100 kali lebih tinggi di lokasi pembuangan tailing (limbah) daripada di tempat lain di area itu (Lubis, 2004, Tragedi Teluk Buyat).
Kesejahteraan sosial
Untuk memperlakukan stakeholder dan lingkungan alam dengan penuh tanggung jawab, organisasi bisnis juga harus mendorong kesejahteraan umum masyarakat. Contohnya memberikan sumbangan kegiatan sosial, organisasi amal, dan yayasan nirlaba dan asosiasi, museum-museum, simfoni, serta radio dan telivisi publik serta mengambil peran dalam meningkatkan kesehatan dan pendidikan masyarakat. Organisasi harus bertindak lebih luas untuk memperbaiki ketidakmerataan politik dan sosial yang ada di dunia. Masalah yang terkait adalah kemiskinan global dan potensi peran bisnis untuk mengatasinya (Griffin and Pustay, 2005; 133). Contohnya adalah Contract Of Work (COW) pertama yang ditanda tangani oleh pihak PT Freeport dengan Pemerintah Indonesia sangat memberikan keuntungan kepada freeport, karena kontrak kerja ini menjamin hak bagi Freeport untuk menggunakan tanah dan kepemilikan lainnya di wilayah tambang dan untuk memindahkan masyarakat adat dari tempat tinggal asli mereka, tetapi tidak dicantumkan syarat-syarat bahwa Freeport akan membayar kompensasi, atau berkonsultasi dengan penduduk lokal tentang aktivitasnya. COW juga mengabaikan hak-hak adat atas tanah dari suku Amungme dan Kamoro serta menyediakan perlindungan yang minim terhadap hak komunitas untuk kesehatan, untuk perumahan yang layak, makanan, dan kesehatan, dan untuk mempratekkan kebudayaan mereka dan COW juga tidak menyebutkan dampak operasi tersebut terhadap lingkungan (2005, Perusahaan multinasional dan pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat adat: Sebuah studi kasus terhadap perusahaan tambang di Papua Barat).
Mengelola Tanggung Jawab Sosial Lintas Batas.
Usaha untuk mengelola pelaksanaan etika, bisnis biasanya membuat beberapa usaha aktif untuk mengatasi tanggung jawab sosial. Perusahaan biasanya mengadopsi satu dari empat pendekatan berbeda terhadap tanggung jawab sosial. Pendekatan dasar yang mereka adopsi membentuk mereka bagaimana mereka mengelola isu-isu penyesuaian, dimensi informal dari tanggung jawab sosial, dan evaluasi usaha-usaha tanggung jawab sosial mereka.
Pendekatan terhadap tanggung jawab sosial
Organisasi itu sendiri mengadopsi posisi yang beragam di bidang tanggung jawab sosial. Empat pendirian yang dapat diambil adalah berupa kewajiban terhadap masyarakat, yang terdapat dalam rentang dari tingkat yang terendah sampai tertinggi di bidang praktek tanggung jawab sosial.
Sikap pandang menghalangi
Biasanya sedikit untuk mengatasi masalah sosial atau lingkungan. Saat mereka melintas garis etika atau hukum mereka biasanya menolak atau menghindari menerima tanggung jawab atas tindakan mereka.
Sikap pandang bertahan
Dimana organisasi akan melakukan segala sesuatu yang dipersyaratkan secara hukum tapi tidak lebih. Pendekatan ini sering dihadapi oleh perusahaan yang tidak simpati pada konsep tanggung jawab sosial. Manajer di perusahaan yang bersikap bertahan dan berkeras bahwa pekerjaan mereka adalah menghasilkan profit. Perusahaan yang mengambil posisi ini kecil kemungkinan melakukan kesalahan daripada perusahaan yang bersikap menghalangi, dan umumnya mengakui kesalahan saat ditemukan dan kemudian melakukan tindakan perbaikan.
Sikap pandang akomodatif
Sebuah perusahaan yang mengadopsi sikap pandang akomodatif memenuhi persyaratan hukum dan persyaratan etika, tetapi juga akan melakukan lebih dari persyaratan ini dalam kasus tertentu. Perusahaan-perusahaan ini dengan sukarela setuju untuk berpartisipasi dalam program sosial.
Sikap pandang proaktif
Perusahaan yang menghadapi pendekatan ini sungguh-sungguh mendukung tanggung jawab sosial. Mereka melihat diri mereka sendiri sebagai warga masyarakat dan secara proaktif mencari kesempatan untuk menyumbang (Griffin and Pustay, 2005; 135-136).
Mengelola kesesuaian terhadap peraturan
Dimensi organisasi formal digunakan untuk menerapkan tanggung jawab sosial perusahaan yang mencakup hukum, kesesuaian dengan etika, dan bantuan kemanusiaan.
Kesesuaian dengan peraturan.
Kesesuaian hukum berarti bagaimana organisasi menyesuaikan diri dengan hukum regional, nasional, dan internasional. Tugas pengelolaan kesesuaian hukum biasanya dibebankan ke manajer fungsional yang sesuai. Contohnya, pimpinan eksekutif SDM bertanggung jawab untuk menyesuaikan dengan peraturan berkaitan dengan perekrutan, pembayaran, keselamatan, dan kesehatan. Demikian halnya, eksekutif keuangan umumnya mengawasi kesesuaian dengan peraturan sekuritas dan perbankan (Griffin and Pustay, 2005; 136). Salah satu contoh kasusnya adalah Pembangunan proyek infrastruktur pipanisasi gas dari Sumatra Selatan ke Jawa Barat, yang lebih dikenal dengan Onshore Gas Trasmission Pipeline (Grissik-Pagar Dewa-Labuhan Maringgai dan Muara Tawar-Karawang) South Sumatra West Java Phase II merupakan langkah penting dalam percepatan pemanfaatan gas bumi sebagai pengganti BBM PT Pertamina setuju menyalurkan gas untuk jangka waktu 12 tahun ditambah penyaluran gas yang akan disesuaikan dengan kemampuan lapangan PT Pertamina. Namun, dalam perjalanannya pembangunan proyek infrastruktur itu menghadapi sandungan gugatan yang dilayangkan Dewan Pengurus Nasional Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (DPN Inkindo) kepada PT PGN Tbk ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kasus perselisahan antara DPN Inkindo dan PT PGN soal tender itu kini sudah masuk ke wilayah pengadilan. Pada sidang pertama pertengahan bulan lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menawarkan perdamaian kepada kedua belah pihak melalui jalur mediasi.
Yang dipermasalahkan oleh DPN Inkindo, katanya, adalah soal tendernya, sehingga hal itu masuk dalam ruang lingkup UU No.5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Kasus tersebut bermula ketika PT PGN Tbk mengirim surat undangan tender internasional proyek tersebut pada September 2004. Undangan itu ditujukan kepada enam perusahaan, yaitu PT Tripatra Engineering; Gulf Interstate yang bergabung dengan PT Wirazee Adhi Engineering; Penspen Limited bergabung dengan PT Petrotechindo Utama; EON Engineering GmbH bergabung dengan PT Pacific Consultants International dan PT Connusa Energindo; PT. Wood Group Indonesia; dan Engineers India Limited. PT PGN menetapkan Penspen Limited bergabung dengan PT Petrotechindo Utama dan PT Erraenersi Konstruksindo sebagai pemenang.
Penetapan ketiga pemenang tender proyek itu kemudian menjadi masalah. Menurut DPN Inkindo, pemenang tender itu tidak memiliki izin usaha di bidang jasa konsultasi konstruksi dan sertifikat badan usaha yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN). Persyaratan izin usaha dan sertifikat itu, menurut DPN Inkindo, adalah mutlak ada untuk mengikuti proses tender.
Sebelum diajukan gugatan, DPN Inkindo sebenarnya sudah melakukan somasi kepada PT PGN Tbk soal penetapan pemenang itu. Namun, tak tercapai titik temu, sehingga DPN Inkindo memilih menempuh jalur hukum.
DPN Inkindo, melalui kusa hukumnya dari law offices Purbadi & Associates, mengajukan gugatan terhadap PT PGN Tbk karena organisasi itu merasa kepentingan asosiasi/nasional dirugikan dengan perbuatan PT PGN Tbk yang memenangkan ketiga perusahaan itu.
DPN Inkindo menemukan fakta pemenang tender Penspen Limtied, PT Petrochindo Utama dan PT Erraenersi Konstruksindo tidak memiliki izin usaha di bidang jasa konsultasi konstruksi dan sertifikat badan usaha yang dikeluarkan LPJKN.
PT PGN Tbk, sebagaimana tuduhan DPN Inkindo, telah mengabaikan ketentuan UU No.18/1999 tentang jasa konstruksi. PT PGN Tbk seharusnya berkewajiban untuk melakukan verifikasi dan penelitian secara akurat para calon peserta tender. Akibat perbuatan para tergugat itu, menurut kuasa hukum DPN Inkindo, maka kontrak PMC onshore proyek transmisi pipa gas itu tidak sah dan batal demi hukum.
Akibat dari perbuatan itu DPN Inkindo rugi, karena kepentingan anggotanya untuk berpotensi menjadi pemenang tender menjadi hilang. Untuk itulah DPN Inkindo menuntut ganti rugi material dan immaterial sebesar sekitar Rp130 miliar ditambah uang paksa sebesar Rp10 juta setiap hari atas keterlambatan pelaksanaan isi putusan pengadilan.
Darwin Aritonang, kuasa hukum PGN Tbk, mengemukakan gugatan perbuatan melawan hukum dari DPN Inkindo tidak tepat karena tak sesuai ketentuan formal sebuah gugatan perbuatan melawan hukum.
Yang jelas perselisihan antara kedua belah pihak sudah memasuki wilayah pengadilan. Konsekuensinya adalah DPN Inkindo juga harus siap menghadapi gugatan balik dari PT PGN Tbk
Pelanggaran etika yang terjadi adalah mengabaikan ketentuan UU No.18/1999 tentang jasa konstruksi. PT PGN Tbk seharusnya berkewajiban untuk melakukan verifikasi dan penelitian secara akurat para calon peserta tender (Suwantin, 2005, Proyek pipa gas Sumsel-Jabar bermuara ke pengadilan).
Kesesuaian dengan peraturan etika.
Bagaimana anggota-anggota organisasi mengikuti standar perilaku etika dan hukum. Organisasi-organisasi internasional yang lain telah menawarkan berbagai standar tentang pertangungjawaban korporasi dalam rangka untuk mendorong Perusahaan Multinasional untuk bertindak serta bertangungjawab dengan pendekatan sosial terhadap komunitas-komunitas lokal, namun mengakui bahwa kepentingan korporasi dalam menghasilkan keuntungan tidak bisa dikesampingkan seluruhnya. Semua syarat ini diajukan dengan pertimbangan bahwa regulasi secara individual oleh Perusahaan Multinasional tidak menunjukkan kesanggupann untuk memastikan sikap yang bertangungjawab secara sosial oleh korporasi di negara-negara berkembang. Organisasi-organisasi resmi mengungkapkan bahwa standar-standar kolektif berhubungan dengan pengawasan atau monitoring, walaupun secara sukarela diadopsi dan diterapkan, memberikan insentif yang kuat bagi korporasi-korporasi untuk bertindak serta bertangungjawab secara sosial, khususnya dalam industri-industri di mana jenis produk dan respon pemakai mempunyai dampak significan dalam penjualan dipasar (Griffin and Pustay, 2005; 137). Contoh, salah satu prinsip Norma-norma PBB tentang Pertangungjawaban dari Perusahaan Transnasional dan Perusahaan Bisnis lainya dengan berdasarkan pada Hak-hak Asasi Manusia menegaskan bahwa: “Korporasi Transnasional dan usaha bisnis lainnya harus mengakui dan menghargai norma-norma penerapan dari hukum internasional, hukum nasional dan regulasi-regulasi, juga praktek-praktek administratif, aturan hukum, kepentingan publik, tujuan-tujuan pembangunan, kebijakan-kebijakan ekonomi dan budaya termasauk transparansi, akuntabilitas dan pencegahan korupsi, dan kewenangan dari negara dimana perusahaan beroperasi.” (2005, Perusahaan multinasional dan pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat adat: Sebuah studi kasus terhadap perusahaan tambang di Papua Barat).
Pemberian bantuan kemanusiaan
Pemberian dana atau hadiah untuk kemanusiaan atau program sosial lain. Sayangnya, pada masa pemotongan seperti sekarang ini, banyak perusahaan juga membatasi pemberian sumbangan kemanusiaan dalam beberapa tahun terakhir karena mereka terus memotong anggaran mereka (Griffin and Pustay, 2005; 137-138). Salah satu contohnya adalah fakta-fakta menunjukkan bahwa bantuan dana satu persen bukanlah berdasarkan pada pemberian yang ‘murni’ secara sukarela dari Freeport, sebaliknya ini muncul sebagai hasil tekanan dari berbagai kelompok, khususnya mereka yang berada di komunitas lokal. Berkaitan dengan hal ini, Freeport perlu lebih terbuka terhadap komunitas lokal, menjelaskan prioritas-prioritas dari programnya. Walaupun, Bantuan dana Satu Persen hanya akan dianggap sebagai strategi yang tidak murni yang bertujuan untuk mengurangi ketidakpuasan dari penduduk lokal. Kebijakan Bantuan dana Satu Persen, di satu pihak akan dianggap sebagai sebuah upaya oleh Freeport untuk mengimplementasikan praktek terbaik dalam merespons tuntutan-tuntutan dari komunitas lokal. Di pihak lain, tanpa sebuah “dialog murni’ semua hasil dari kebijakan ini hanyalah negatif bagi komunitas lokal. Sebuah dialog yang murni harus melibatkan semua “pemilik saham” yang relevan khususnya komunitas lokal, dalam sebuah dialog yang murni berkaitan dengan pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh Freeport dan rencana Freeport di masa depan untuk Timika. Masyarakat lokal harus dilibatkan dan mengekspresikan pandangan-pandangan mereka dalam segala aspek dari proses ekploitasi sumber daya mereka (2005, Perusahaan multinasional dan pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat adat: Sebuah studi kasus terhadap perusahaan tambang di Papua Barat).
Dimensi informal tanggung jawab sosial
Kepemimpinan, budaya organisasi dan bagaimana organisasi menanggapi teguran direktorat jenderal (Dirjen) semua itu menetukan persepsi masyarakat mengenai sikap pandang organisasi terhadap semuanya itu.
Praktek kepemimpinan dan budaya organisasi dapat berpengaruh jauh ke pendefenisian sikap dan tanggung jawab sosial yang akan diadopsi perusahaan dan orang-orangnya. (Griffin and Pustay, 2005; 138)
Mengevaluasi tanggung jawab sosial.
Organisasi apapun yang serius tentang tanggung jaawab sosial harus memastikan bahwa usahanya menghasilkan keuntungan yang diinginkan. Ini memerlukan konsep pengendalian tanggung jawab sosial. Banyak organisasi sekarang mensyaratkan karyawan yang ada dan yang baru untuk membaca panduan atau standar etika mereka kemudian menandantangani pernyataan menyetujui untuk menaatinya. Organisasi juga harus mengevaluasi bagaimana ia merespon contoh-contoh perilaku hukum atau etika yang meragukan.
Banyak organisasi memilih melakukan evaluasi formal mengenai efektifitas usaha tanggung jawab sosial mereka. Beberapa organisasi secara rutin melakukan audit sosial perusahaan. Audit sosial perusahaan adalah analisa formal dan teliti mengenai efektifitas kinerja sosial perusahaan. Audit biasanya dilakukan oleh kelompok yang terdiri dari manajer tingkat tinggi dalam perusahaan tersebut.audit ini mensyaratkan bahwa organisasi secara jelas mendefinisikan semua tujuan sosial, menganalisa sumber yang ia korbankan untuk masing-masing tujuan, menentukan bagaimana ia mencapai berbagai tujuan, dan membuat rekomendasi tentang tujuan bagian mana yang memerlukan perhatian khusus (Griffin and Pustay, 2005; 139).