Mengurai Ketegangan Islam Dan Lokalitas Dengan Etnohermeneutik
Adakah otentisitas dalam Islam? Di manakah ruang eksistensial Islam, dalam universalitas atau lokalitas? Ini deretan pertanyaan yang sungguh menggelisahkan banyak orang. Jeffrey Lang, seorang muallaf Amerika, salah satunya. Demi menggapai otentisitas dan apa yang disebut Islam yang universal, ia pun pergi ke “sentra” Islam, Makkah. Dengan mengenal lebih dekat komunitas muslim dan baytullah, ia berharap dapat memperdalam keislamannya. Lama ia menetap di sana sebelum kemudian mudik setelah menyadari betapa pemikiran Islam di negeri asalnya, Amerika, lebih cocok dan menantang tinimbang paham Islam yang ditumbuh-kembangkan di Saudi Arabia yang berorientasi ke masa lalu. Di Arab Saudi, akunya, Islam berhenti sebagai kekuatan pendorong untuk mengembangkan kepribadian dan itu segera membuat imannya kehilangan daya hidup.
Intelektual muslim anyaran asal Amerika itu berupaya meninggalkan watak “Amerika-nya” untuk menjadi muslim nan “sejati”.[1] Dan ia gagal. Namun, kegagalannya itu justru menghantarkan ia pada suatu kesadaran baru: no escape from being an American! Untuk menjadi muslim yang baik, seseorang tidak lalu berarti musti meninggalkan seluruh latar budayanya. Islam tidak pernah datang pada suatu situasi vakum kultural. Ia hadir dan hidup tidak dalam ruang dan waktu yang kosong budaya; keduanya, agama (Islam) dan budaya, berkelindan dan saling memperkaya.
Lang pun memilih berislam secara realistis, yakni jalan penghayatan religius yang menenggang variabilitas khazanah tradisi. Dalam konteks itu Islam lebih dipahami sebagai entitas ajaran yang lahir dan mengikat diri dalam sejarah. Ia bergerak menyejarah, menjadi agama, muncul sebagai sebuah kategori sosial yang karenanya profane. Kehadirannya secara demikian merupakan konsekuensi logis dari keputusan Tuhan untuk menyudahi risalahnya, “menyempurnakannya” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 3). Sebagai sang author, Tuhan telah berikan Islam sebagai hal final. Ia tak lagi turut-campur menentukan, tapi memasrahkan nasib Islam kepada manusia. Kini tinggallah Ia menunggu kreativitas hamba-Nya dalam memahami-menyikapi verbalisasi seluruh ajaran-Nya yang nge-teks dan mengeras menjadi “corpus resmi tertutup” (mushhaf; official closed corpus). Dan manusia pun menghampiri, memahami, dan menghayatinya dengan horison budaya masing-masing.
Terlepas mengapa Allah memilih Arab sebagai locus ajaran-Nya, pengambilan locus bahasa dan budaya (yang kebetulan) Arab tersebut niscaya. Seluruh agama ketika memulai proses menyejarah pada dasarnya memerlukan wadah kultural (seperti bahasa dan budaya). Dalam prosesnya sangat mungkin saling mengkayakan (atau sebaliknya, memiskinkan?) sehingga dapat muncul suatu kultur berciri keagamaan atau simbol-simbol kultural tertentu dipakai guna mengekspresikan nilai-nilai keagamaan.[2] Mengingat masyarakat tumbuh dalam bangun kultur yang beragam, maka ekspresi suatu agama secara kultural dan simbolik sangat boleh jadi juga beragam, sekalipun pesannya sama. Taruhlah, dalam hal keragaman bahasa: substansi suatu pesan tauhid dapat saja sama tetapi simbol bahasanya berbeda. Misalnya, sebutan untuk Allah swt. Di Jawa, Ia sering disapa dengan sebutan “Gusti”, di Madura Allah disebut bergantian dengan nama “Pangeran” atau “Se Kobhasah,” sementara di etnis Sasak Lombok Ia digauli akrab dengan nama “Ninik Kaji,” dan di suku Mbojo Bima Ia disebut ta’dzim dengan nama “Ruma” atau “Tala”.
Pendek kata, Islam dan budaya memang tidak dapat dipisahkan sehingga sangat logis bila artikulasi dan ekspresi keislaman tidak pernah berwajah tunggal. Kendati terdapat ajaran baku yang diyakini sama-serupa, tetapi di level penafsiran, tradisi dan keyakinan akan selalu dijumpai keanekaragaman. Sayangnya, kenyataan itu umumnya terabaikan dalam kesadaran berislam umat. Yang berlangsung justru keterikatan umat Islam secara sangat ta’dzim pada fakta-fakta partikular masa lalu.[3] Kebanyakan mereka kemudian bangga menyebut diri kaum salafiy (al-salaf al-shâlih).” Lantaran Islam lahir di tanah Arab, ber-locus bahasa dan budaya Arab, dan ratusan tahun pertama perkembangannya dalam kemulan sejarah Arab, maka secara keseluruhan performa keberagamaan mereka tidak mampu (baca: tidak mau) memisahkan antara mana yang budi-daya Arab dan mana yang ajaran Islam. Akibatnya serius, (universalitas nilai) Islam yang sesungguhnya mengatasi dimensi ruang dan waktu menjadi terbekap erat oleh batasan-batasan ruang Arab dan waktu Arab kala itu. Simbol-simbol Islam lokal-Arab, semisal jilbab bercadar, jenggot, atau celana cingkrang, akhirnya dianggap sebagai Islam itu sendiri!
Lalu, bagaimana mendamaikan ketegangan antara Islam yang Arab itu dan lokalitas yang ketempatan Islam? Bagaimana mengejawantahkan pesan substantif Islam di tengah aneka partikularitas lokal yang berbeda dengan situasi partikular Arab tempo doeloe?
Problem Pembacaan
Artikulasi dan ekspresi (umat) Islam dalam tatanan budaya dan peradaban menunjukkan karakter yang berbeda-beda tatkala bersentuhan dengan setiap khazanah peradaban yang bercorak-ragam. Islam pada masing-masing tempat membentuk karakter baru sesuai dengan sistem tata nilai daerah bersangkutan. Apa yang acap disebut sebagai capaian prestisius peradaban Islam adalah sebuah kebudayaan hibrida yang dilambari oleh spirit tauhid sehingga watak peradaban Islam bersifat toleran, inklusif, dan terbuka bagi berbagai inovasi dan pengembangan intelektual keislaman yang coraknya tentu saja diametral berbeda dengan ekspresi keislaman di asal kelahirannya, Hijaz. Demikian juga ketika menyentuh masuk ke Indonesia. Islam pun menjumpai aneka varian kultur lokal.
Akan tetapi, proses-proses simbiose yang seyogyanya berlangsung saling memperkaya, hingga tingkat tertentu gagal. Dalam banyak hal, itu lantaran metode pembacaan yang digunakan masih cenderung “medieval” yang, tentu saja, sangat berorientasi ke teks (text-oriented approach) dan masa lalu―ke konteks historis Arab (baca: Timur Tengah) Abad Pertengahan hingga terus ke belakang ke masa Nabi saw. Model tafsir ala Abad Tengah itu umumnya dipegangi secara amat tawadlu’ oleh kaum muslim “tradisional”―sementara kelompok Islam “modernis” yang mencoba menanggalkan khazanah tafsir klasik itu dan mengambil model tafsir yang lebih kontemporer-“modern”, tragisnya justru kian terjebak pada trend puritanis-fundamentalis. Pendek kata, sementara kita sudah terlanjur mengimpor ajaran Islam yang Arab itu, untuk memahaminya pun kita menggunakan metode impor yang dari banyak sisi tidak cukup compatible dan karenanya inadequate dengan tuntutan-tuntutan niscaya dari pluralitas budaya lokal di Indonesia.
Untuk konteks Indonesia, seluruh aktivitas pembacaan-penghayatan atas ajaran Islam (yang “Arab” itu) sebagaimana terketengahkan via teks-teks suci menghadapkan seluruh muslim Indonesia pada dua pilihan: “mengarabkan Indonesia” atau, sebaliknya, “mengindonesikan Arab”. Trend apa yang berlangsung sejauh ini dalam dinamika pemikiran Islam di Indonesia tampaknya lebih pada yang pertama, “mengarabkan Indonesia”―tepatnya ialah pengaraban tradisi lokal atas nama Islam. Konstruk pembacaan semacam itu, secara hermeneutis, mendudukkan teks-teks begitu dominan di hadapan konteks, sehingga yang kemudian menjadi subordinat semata-mata. Akibatnya nyaris seluruh nilai dan simbol budaya lokal harus melalui proses “screening” dengan pola pikir Islam-Arab sebagai parameter bagi diterima-tidaknya sebagai simbol Islam. Pola baca sedemikian jelas bukan jawaban solutif bagi variabilitas budaya-tradisi lokal. Dalam konteks itulah Islam perlu mereformulasi performa hadirnya di tengah ragam budaya yang saling menegaskan diri. Dan itu hanya melalui penafsiran Islam yang berikhtiar “mengindonesiakan Arab,” yang memandang ramah dan bersikap arif terhadap lokalitas.[4]
Sayangnya, kehendak “mengindonesiakan Arab,” melokalkan simbo-simbol partikular-lokal Islam-Arab, itu menghadapi problem mendasar. Problem tersebut menunjuk pada inadekuasi pola tyafsir yang lazim dilangsungkan di kita.[5] Itu tampaknya berkaitan kuat dengan trend umum pemikiran Islam, termasuk wacana tafsir, mutakhir. Dalam identifikasinya terhadap kecenderungan yang semakin dominan di kalangan ulama negeri-negeri muslim kini itu, Arkoun menyebutnya sebagai logosentrisme pemikiran keislaman.[6] Kecenderungan berpikir sedemikian menganggap bahwa kebenaran wahyu dapat ditangkap dan dikuasai dengan cara analisis gramatikal dan makna kata dalam teks belaka. Wahyu dipandang sebagai sesuatu yang mandek, final, tanpa alternatif. Dalam pada itu, sisi imaginaire dalam kehidupan kaum muslim nyaris punah. Sisi ini menampak dalam tradisi rakyat, dalam budaya yang tumbuh dari tempat asal, imajinasi sosial yang dalam sejarah berlangsung spontan, yang memungkinkan munculnya aneka ekspresi (tak melulu keagamaan) otentik di tengah masyarakat muslim. Oleh trend logosentrisme, semua itu kini terancam. “Gerakan modernis” dan kian formalistisnya ibadah (selain fenomena urbanisasi) telah mengikis sisi yang kaya itu. Dan umat Islam pun, kata Arkoun, kian terdorong ke arah uniformitas dalam cara dan isi mereka berhubungan dengan Allah Swt.
Di sini, kepentingan kita ialah mengembalikan kekayaan sisi imaginaere itu. Dalam konteks revitalisasi khazanah tradisi di tengah keinginan pembumian Islam di Indonesia melalui proses pembacaan-penafsiran (ulang) risalah Muhammad saw itu menarik bila menengok hermeneutik dalam arti sebagai sebuah metode epistemologis sekaligus sebagai suatu pencarian ontologis penafsir. Penggunaannya diharapkan mampu mengantar umat Islam yang berlatar budaya-tradisi beda menemukan “otentisitas” Islamnya masing-masing.
Melalui Etnohermeneutik
Hermeneutik pada prinsipnya merupakan suatu ilmu atau teori metodis tentang penafsiran yang bertujuan menjelaskan teks mulai dari ciri-cirinya, baik secara objektif (arti gramatikal kata-kata dan bermacam variasi historisnya) maupun subjektif (maksud pengarang).[7] Teks-teks yang dihampiri terutama berkenaan dengan teks-teks otoritatif (authoritative writings), yakni teks-teks kitab suci (sacred scripture). Pengenaan hermeneutik sedemikian sebanding-maksud dengan exegesis atau tafsîr dalam khazanah Islam.[8]
Membawa hermeneutik ke dalam wacana tafsir di Islam dalam banyak hal boleh jadi mengusik kemapanan dinamika pemikiran keislaman, tak hanya dalam disiplin ‘ulûm al-Qur’ân tapi juga ‘ulûm al-Hadîts.[9] Mengusik, karena karena tradisi pemikiran Islam klasik (juga modern) pada umumnya menggeliat dalam bayang-bayang hegemonik teks. Ini merupakan konsekuensi logis dari penekanan aspek sakralitas yang berlebihan terhadap teks-teks ajaran Islam (al-Qur’an, hadits). Bahkan, trend sakralisasi itu juga melebar pada produk pemikiran keagamaan yang jelas-jelas sekedar pemahaman atas ajaran (taqdîs al-afkâr al-dîniyyah) dan bukan Islam itu sendiri. Alhasil, kerangka tafsir yang ditawarkan hermeneutik boleh jadi akan menghentak kesadaran “membaca Islam” yang terlanjur membatu berabad-abad lamanya. Adapun gagasan apa yang disebut di sini sebagai tafsir lokal membangun paradigmanya berdasar tawaran hermeneutik itu dan bergerak dengan kerangka etnohermeneutik sebagai basis tolaknya.
Sandaran Ontologis.[10] Dalam kerangka hermeneutik, teks-teks suci yang tercetak (mushhaf al-Qur’an, misalnya) menjadi disembodied dan terdekontekstualisasi karena segera dapat dipisahkan dari konteks aslinya. Teks-teks tertulis dengan sendirinya menunjukkan tingginya dekontekstualisasi sejak teks-teks tertulis itu lepas dari pengarangnya.[11] Terdekontekstualisasinya teks, atau disebut juga intertekstualitas, secara signifikan memberi kekuasaan yang jauh lebih menguniversal kepada kata-kata tertulis. Gagasan atau pesan-pesan yang diungkapkan dalam teks tertulis tidak lagi terikat secara kuat dengan konteks pengarangnya, karena makna yang ditemukan pembaca/penafsir di dalam teks pada dasarnya juga merupakan produk atau tafsiran dari penafsir teks itu sendiri.
Teks, dalam pada itu, otonom (lihat, Gambar ). Tidak ada lagi dialektika antara teks dan pengarang atau antara pengarang dan penafsir via teks, kecuali antara teks dan penafsir. Dialog yang memperkaya hanya mungkin terjadi antara teks dan penafsir di mana teks dapat memberi respon sejauh bila, secara hermeneutis, penafsir bersikap terbuka terhadap respons teks. Maka, makna yang muncul merupakan hasil negosiasi antara penafsir dan teks dan bukan secara serta-merta ditemukan dalam teks itu sendiri. Dus, memahami adalah suatu peristiwa di mana keduanya, teks dan penafsir, saling menentukan. Alhasil, seluruh aktivitas penafsiran atas teks bersifat kreatif.
Gambar Pola Kaitan Pengarang-Teks-Penafsir
Dengan demikian, anggapan yang memungkinkan terjadinya dialog aktif dan saling memperkaya “pengarang-teks-penafsir” sungguhlah melecehkan akal sehat. Tuntutan rekonstruksi makna teks seperti digagas Dilthey[12] adalah mustahil, sebab tatkala teks itu dilepas, maka seketika itu pula teks menjadi otonom dengan sendirinya. Karena itu, berbeda dengan Dilthey yang menghendaki penafsir menanggalkan konteks (kekinian) historisnya saat menafsir, pelibatan dimensi historis kekinian penafsir justru harus. Meninggalkan dimensi historis saat menafsiri teks selain mustahil juga tidak perlu. Sebab, justru dengan dimensi historis yang dimiliki, penafsir akan memperkaya penafsirannya. Interpretasi tidak lalu berarti mengambil makna asli yang diletakkan pengarang ke dalam teks bikinannya, tetapi menampilkan makna baru yang sesuai dengan kondisi kekinian penafsir. Itulah sebabnya tindak interpretatif, mengutip Gadamer,[13] bukanlah proses mereproduksi makna teks sesuai kehendak pengarang, melainkan sungguh-sungguh memproduksi makan (baru) yang relevan dengan konteks kekinian penafsir.
Memproduksi makna baru dalam proses menafsirkan teks adalah suatu kemestian, sebab orang tidak dapat menghindar dari keterkondisian historisnya (historical situatedness), yakni faktisitas ke-ada-annya di dunia.[14] Di sinilah arti penting tradisi dan prasangka dalam proses memahami, menafsir teks. Keduanya merupakan hal yang niscaya dalam tindakan menafsir, sebab keduanya merefleksikan keterkondisian historis dan kultural manusia. Proses memahami (understanding) terkondisikan oleh tradisi masa lalu dan juga prasangka kekinian sang penafsir. Kekhususan situasi ini membuat konsep penafsiran yang objektif dan bebas nilai menjadi problematis,[15] karena itu mustahil mengingat prasangka yang berasal dari sejarah afektif penafsir menyediakan kerangka pikir yang memfasilitasi pemahaman. Dalam setiap aktivitas menafsir, prasangka itu pasti hadir. Orang mustahil memahami sesuatu tanpa menghubungkannya dengan “ke-ada-an dirinya sendiri di dunia”. Tak ada kemungkinan meta-narasi terhadap realitas yang dapat diterapkan secara universal.
Pendek kata, adalah mustahil pembacaan-penafsiran teks menghasilkan tafsiran (baca: “kebenaran”) yang definitif, objektif, dan univokal. Dalam menafsir, seseorang pasti melibatkan proyeksi nilai, agenda, dan kepentingannya ke dalam teks. Penafsiran yang baik, merujuk Gadamer,[16] adalah penafsiran yang menciptakan suatu “fusi dari horison-horison”; penafsiran yang berlangsung secara dialogis menuju suatu tingkat persetujuan-kesepakatan antara horison makna yang disediakan teks (seperti yang disediakan oleh keadaan di mana teks itu diproduksi) dan yang disediakan oleh penafsir.
Secara keseluruhan, peran penting horison (tradisi, prasangka, dan keterkondisian historis) penafsir dalam setiap proses penafsiran memungkinkan gagasan tafsir lokal ini absah secara ontologis. Ia, di level pertama, memungkinkan terlukarnya Islam dari aroma partikular-Arabnya (juz’iyât) hingga yang tinggal dimensi universal (kulliyât; spirit moral)-nya untuk kemudian menggumulkannya dengan realitas kultural non-Arab demi terbangunnya apa yang disebut Islam citarasa lokal.
Apa yang hendak digagas di sini sebagai pola tafsir bergaya lokal dimulai dengan kesadaran terhadap watak eksistensi penafsir di mana horison penafsir bersifat niscaya keterlibatannya dalam setiap tindak penafsiran. Betapa pentingnya keterlibatan horison dalam menafsir itu semakin menemui kebermaknaannya dan bentuk aktualnya pada salah satu varian hermeneutik mutakhir, ethnohermeneutics.[17] Tanpa berpretensi mencari preseden di luar tradisi tafsir dunia Islam, penyinggungan etnohermeneutik di sini dipentingkan sebagai titik tolak pencarian dan peneguhan awal basis epistemologis dari gagasan tafsir gaya lokal yang coba dipancangkan.
Hal menarik dari etnohermeneutik adalah ciri utamanya, yakni seluruh penerapan metode hermeneutis musti berorientasi pada receptor, penerima. Pengalihan orientasi ini berangkat dari satu postulate bahwa tak ada satu pun metode tafsir yang sungguh universal, yang berlaku sama cocok pada seluruh konteks budaya di mana pesan-pesan teks ajaran hendak dibumikan. Maka, penafsiran teks yang dilakukan pada konteks lintas-budaya, dalam kerangka etnohermeneutik, sejauh mungkin harus menerapkan metode-metode hermeneutis dinamis yang telah berfungsi pada kebudayaan dimaksud. Tujuannya untuk menafsirkan teks-teks ajaran dengan cara-cara yang paling dipahami sehingga melahirkan produk-produk tafsiran yang paling adaptable dengan budaya receptor.
Ethnohermeneutics bermaksud menafsirkan firman Tuhan dengan cara-cara yang paling dipahami dari dalam weltanschauung masyarakat penerimanya. Tersebab itu pencarian pola metodis penafsiran yang berorientasi pada penerima dengan latar budaya masing-masing yang berlainan menjadi komitmen utama dari pengetengahan etnohermeneutik.[18] Di sini tampak implisit perlunya dilakukan kontekstualisasi teks pada ruang dan waktu receptor.
Kontekstualisai yang dituntut etnohermeneutik adalah apa yang disebut “kontektualisasi tingkat dalam” (deep level contextualization),[19] yang dengannya diharapkan menghasilkan suatu pesan kitab suci yang digali dengan orientasi kebudayaan penafsir atau penerima pesan. Kontekstualisasi tingkat-dalam tidak sekedar berkait dengan suatu produk akhir penafsiran yang secara budaya layak, tteapi juga dengan cara-cara pencapaian produk final tersebut yang secara budaya layak pula. Kontekstualisasi yang baik merupakan sebuah paket menyeluruh; ia bersikap peka terhadap segenap aspek suatu kebudayaan, termasuk metode-metode hermeneutis yang boleh jadi muncul dari kebudayaan tersebut. Bertolak dari status ontologis, pola orientasi, dan kontekstualisasi yang ditawarkan etnohermeneutik sebagai basis awal inilah gagasan tafsir lokal menyusun kerangka epistemologisnya.
Rangka Epistemologis. Dari penyandaran ontologis pada hermeneutik Gadamer dan penitik-tolakan pada etnohermeneutik, kesan awal yang muncul dari gagasan tafsir lokal boleh jadi “merisaukan.” Jujur, pilihan sedemikian kemana ide tafsir lokal hendak diarahkan memang dapat mengundang problem. Dalam hubungan ini “kerisauan hermeneutis” Nasr Hamid Abu-Zayd[20] dapat dipahami. Menurutnya, filsafat hermeneutik kontemporer memberikan tekanan kelewat besar pada peran (horison) penafsir dalam memahami, menentukan signifikansi dan makna teks hingga kerapkali eksistensi teks dikorbankan demi kepentingan efektivitas interpretasi. Anggapan yang lalu mengedepan, sambungnya, ialah bahwa aktivitas penafsiran hanya menarik teks ke horison penafsir.
Tanpa mengurangi spirit ontologis hermeneutik Gadamer sembari tetap memperhatikan wanti-wanti Abu-Zayd, gagasan tafsir lokal membangun nalar epistemologisnya dalam suatu gerak hermeneutik melingkar[21] (lihat Gambar ). Seluruh proses diretas dengan bertolak dari realitas yang dialami, yang dihadapi yang berada di “alas struktur” (fundamental structure?). Melalui cara mengalami yang baru, kaya, dan mendalam, proses tahap pertama dilakukan dengan merumuskan realitas dimaksud. Bagaimana wujud hasil perumusan realitas akan sangat tergantung pada kaya-mendalam tidaknya cara mengalami. Gerak melingkar ini sekurangnya menegaskan keterlibatan atau kedekatan penafsir dengan konteks realitas sebagai syarat mesti.
Gambar Lingkar Hermeneutik Tafsir Lokal
Selanjutnya realitas yang telah terumuskan dihadapkan, tepatnya didialogkan, dengan teks-teks suci (Qur’an, hadits) yang bertempat di “puncak struktur” (superstruktur). Tentu pendialogan ini dengan pada saat yang sama menghiraukan the world of the text, dunia teks (konteks dari eksistensi teks). Pendialogan ini secara langsung ataupun tidak akan menjalankan suatu proses pemetaan kategoris atas teks-teks (tafsir mawdlû‘i?) dalam hubungannya dengan realitas yang telah dirumuskan. Dari situ gerak melingkar hermeneutis diteruskan pada tahap pelangsungan interpretasi (tafsîr, ta’wîl) atas teks-teks yang telah terpetakan sejalan dengan konteks kekinian dari realitas yang dirumuskan.
Pada tahap kedua tersebut, interpretasi terhadap teks-teks terkait dilakukan dengan prosedur hermeneutis regresif-progresif.[22] Gerak regresif menegaskan suatu pembalikan terus-menerus ke masa lalu. Bukan untuk memproyeksikan kebutuhan dan tuntutan kekinian atas dasar teks-teks suci itu, melainkan untuk menemukan mekanisme dan faktor-faktor historis yang melatari lahirnya teks-teks tersebut dan memberinya fungsi-fungsi. Dalam hal ini proses pemunculan teks (pewahyuan Qur’an) di dalam konteks kemasyarakatan dikaji dan maknanya dalam konteks masa lalu yang khas dipahami. Namun, proses pemahaman itu dijalankan di dalam sebuah konteks personal dan sosial kekinian, yakni konteks realitas yang telah dirumuskan tadi. Inilah proses gerak progresif.
Jadi karena teks-teks suci itu merupakan bagian integral dari identitas muslim dan aktif di dalam sistem ideologis mereka, maka ia harus dibuat bekerja kembali agar memperoleh kembali makna kontemporer dan kontekstualnya. Proses ganda regresif-progresif antara teks dengan konteks sosio-historisnya dan konteks umat Islam dengan konteks realitas kekiniannya dianggap sebagai keperluan untuk memperoleh suatu pengertian dan makna yang sejalan dengan tuntutan-tuntutan realitas sosial kekinian penafsir (umat) itu sendiri. Dengan memproyeksikan interpretasi teks terhadap realitas akan otomatis melahirkan cara baru memahami dan menyikapi realitas teralami secara kreatif-responsif. Ini menandakan gerak melingkarnya tidak mengenal finalitas, terus berlangsung menuju pengayaan yang tiada henti pada setiap proses hermeneutisnya. Alhasil, gerak hermeneutik yang dilangsungkan secara keseluruhan memiliki dua dimensi, yakni objektif (teks) dan subjektif (konteks realitas yang dirumuskan).[23]
Prosedur regresif-progresif pada dasarnya adalah penerapan suatu analisis tekstual-kontekstual (textual and contextual analysis)[24] terhadap teks dan konteks sekaligus (lihat, Gambar). Penerapan model analisis ini merupakan wujud konkrit dari pelangsungan prosedur regresif-progresif. Karena itu ia merupakan bagian tak terberai dari proses hermeneutis melingkar di atas.
Gambar Analisis Tekstual-Kontekstual
Proses analisis dimaksud bertolak dari kesadaran akan teks suci (wahyu: al-Qur’an atau hadits) dan keterikatannya pada konteks (sejarah, bagian dari dunia teks). Hubungan antarkeduanya sebagaimana ditunjukkan dengan garis timbal-balik terputus pada gambar menandakan ada-tidaknya hubungan dialektis pada keduanya (yakni sejarah yang terkait langsung dengan kehadiran teks, yang terakomodir; dalam tradisi ‘ulûm al-Qur’ân kurang lebih semau dengan asbâb al-nuzûl). Kemudian dilakukan teoretisasi dari dan berdasar teks maupun konteks sejarah tersebut untuk membangun suatu kerangka teori (theoretical framework) yang umum (general theory). Penderivasian teoretis dari keduanya merupakan langkah pertama analisis. Di tahap inilah analisis tekstual secara kritis dilakukan.
Selanjutnya, langkah kedua, menghadapkan kerangka teori yang telah terbangun dengan teori sosial. Ini merupakan awal dari proses analisis kontekstual. Teori-teori sosial yang ada dipilah dan dipilih untuk digunakan melihat dan memahami realitas sosial (kekinian) kemana proses kontekstualisasi nanti hendak dilakukan. Setelah itu, langkah ketiga, dalam rangka memahami secara kritis realitas sosial, penggunaan teori sosial diarahkan pada penyodoran suatu hipotesis. Bertolak dari ajuan hipotesis, selanjutnya penafsir mengamati, melibatkan diri dalam realitas sosial (kekinian) untuk kemudian berdasar bantuan teori-teori sosial terpilih merumuskan realitas kekinian dimaksud secara baru, kaya, dan mendalam. Di sini, hasil perumusan bisa saja meneguhkan hipotesis (dan suatu teori sosial) atau meruntuhkannya.
Atas hasil pembacaan kritis terhadap realitas yang dihadapi-alami itu seterusnya dilakukan upaya confirm kepada kerangka teoretis yang telah disusun berdasar derivasi teks dan konteks sejarahnya. Berdasar itu lalu dilakukan teoretisasi baru berdasar konteks kekinian. Di sinilah puncak proses kontekstualisasi teks dan konteks sejarahnya ke konteks hari ini (realitas terhadapi). Dalam kerangka lingkar hermeneutik, proses analisis tekstual-kontekstual ini terus berlangsung tanpa batas finalitas. Dari teks menuju konteks (kekinian), kembali ke teks, untuk kemudian dibumikan kembali (dikontekstualisasi) ke konteks. Dengan ini diharapkan akan selalu ada bentuk penyikapan realitas yang lebih baru, kaya, dan mendalam berdasar hasil interpretasi kontekstual atas teks yang baru, kaya dan mendalam pula.
Secara keseluruhan, proses tekstual-kontekstual itu niscaya menenggang segenap anasir budaya yang bersemayam di diri dan menjadi horison penafsir. Karena itulah peran penafsir dengan horisonnya sangatlah menentukan. Melalui cara ini maka yang berlangsung sesungguhnya adalah dialektika dinamis manusia dengan realitas di satu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain suatu proses kreatif kemana peradaban dan kebudayaan menumpukan bangunannya.
Di sisi lain, pola analisis sedemikian pada dasarnya tengah berupaya menjadikan teks-teks ajaran relevan dan menuai signifikansinya untuk masa sekarang, sebagaimana teks-teks tersebut pernah relevan dan memberi arti pada konteks kesejarahan aslinya dulu, Makkah dan Madinah. Dengan begitu, eksistensi teks tidaklah terkorbankan sebagaimana dicemaskan Abu-Zayd tetapi pada saat berbarengan penafsir juga tidak berada di bawah bayang-bayang hegemonik teks. Dialektika yang berlangsung tidak saling menegasikan, tetapi saling memperkaya antara teks dan penafsir. Keduanya berada dalam hubungan dialektik yang seimbang: penafsir memberi makna atas teks lewat tindak interpretatifnya dan teks bisa memberi respons sepanjang secara hermeneutis penafsir membuka diri.
Melalui pola paradigmatik tafsir semacam itu, gagasan tafsir lokal tidak hanya memfokuskan komitmennya pada gairah melokalkan ajaran-ajaran Islam simbolik yang terikat oleh ruang-waktu historis Arab kala itu, misalnya bacaan al-Qur’an,[25] jilbab, atau simbol-simbol superfisial lain sejenisnya. Lebih jauh dari itu menera ulang slogan “congkak”, shâlih li kulli zamân wa makân, agar realistis dan manusiawi dengan jalan memetakan sekaligus melakukan redefinisi, reformulasi, reformasi, rekonstruksi, atau bahkan dekonstruksi beberapa ajaran partikular Islam yang karena konteks jaman yang berubah tidak lagi berlaku, seperti soal waris yang diskriminatif, persaksian dan kepemimpinan perempuan, perbudakan, diskriminasi non-muslim, dan seterusnya.
Gagasan tafsir lokal ini pada dasarnya tidak sedang bermaksud mengusung sebuah metode tertentu. Ia bukan terutama dimaksudkan sebagai panduan metodis-teknis-praktis tertentu penafsiran teks, tetapi lebih sebagai sebuah tawaran paradigmatik,[26] sebuah paradigma pembacaan-penafsiran yang dalam banyak hal berupaya menggeser paradigma (shifting paradigm) tafsîr klasik yang umumnya berorientasi ke teks. Artinya, teknis penafsiran bisa model apa saja; mawdlu‘î, tahlîlî atau tajzi’î, atau gaya ensiklopedis, atau apalah asalkan secara paradigmatik ia meniscayakan kontekstualisasi di mana teks pada akhirnya harus diabdikan pada konteks realitas melalui gerak regresif-progresif, sehingga hasil tafsiran mesti diproyeksikan pada kepentingan sosial-budaya receptor.
Sebegitu, tak ada kecurigaan pada akal secara berlebihan, tak ada pendewaan teks, tak ada penafian atau apalagi penegasian horison intelektual yang terbangun dari kearifan lokal. Paradigma yang dikembangkan mendudukkan manusia (yang otonom dengan keunikan horison budaya masing-masing) sebagai pusat. Sebagai penafsir atau pembaca, mereka adalah pemakna otonom terhadap konteks, sementara teks mengabdi pada konteks terumuskan itu. Karena itu tidak boleh ada monopoli kebenaran, karena makna teks terlalu kaya untuk direduksi menjadi satu kebenaran dan dimonopoli oleh suatu budaya dominan (Arab); Allah swt terlalu besar untuk diwakili hanya oleh satu penafsiran belaka.
Simpulnya, sebagai sebuah paradigma, tafsir lokal adalah sebuah pola tafsir yang melibatkan secara terutama seluruh anasir tradisi-lokal dalam penafsiran teks-teks suci Islam (Qur’an atau hadits), termasuk dalam hal ini kitab-kitab klasik. Tafsir ini mencoba menafsir Islam dengan melibatkan, misalnya, khazanah tradisi Madura untuk melahirkan Islam yang cocok bagi orang Madura dan mereka tetap menjadi oreng Madura. Orang-orang suku Asmat atau Dani di pedalaman Papua tetap dapat menjadi muslim yang shâlih tanpa harus membuang koteka atau rumbai mereka dan menggantinya dengan kafiyeh atau jilbab bercadar, sebab Islam mengurus aurat dan bukan tetek-bengek model busana.
Dengan pola paradigmatik sedemikian gagasan Tuhan yang bernama Islam itu akan terbumikan dalam arti sesungguhya. Masing-masing lokalitas budaya di mana Islam mengambil tempat persemayaman memiliki potensi sendiri-sendiri untuk mewakili kebenaran Tuhan melalui tradisi mereka masing-masing sebagai titik berangkat. Tawaran tafsir lokal akan membantu kaum muslim menerapkan kebenaran-kebenaran Islam yang mereka rumuskan sendiri berdasar khazanah budaya lokal mereka sendiri dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus terikat oleh tuntutan penerapan yang menundukkan diri pada partikularitas Islam masa lalu; tanpa bersandar pada sekian dogma-dogma keagamaan interpretasional membatu bikinan para ulama klasik di mana mereka sendiri terikat oleh konteks Abad pertengahan Hijriyah. Dengan memahami suatu kebudayaan tertentu dan bertolaka darinya, penerapam paradigma tafsir lokal memberi kemungkinan orang-orang muslim lokal untuk mengembangkan kontekstualisasi ajaran Islam secara mendalam ke dalam kebudayaan mereka sendiri.
Setiap muslim mestilah membangun hubungan dialogisnya sendiri dengan teks-teks ajaran agamanya berdasar horison budayanya masing-masing. Dengan cara begitu Islam akan selalu memiliki relevansi dengan setiap kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan Arab tempat asalnya. Dan yang lebih penting lagi itu menegaskan suatu penghayatan keberagamaan baru bahwa beragama memang haruslah benar-benar untuk manusia, dan bukan untuk Allah. Bukankah tafsir dalam Islam, mengutip Machasin,[27] dimaknai dengan usaha untuk mengetahui apa yang dikehendaki Allah sebatas “kemampuan” manusia?
Islam Citarasa Lokal?
Demikianlah kebenaran Islam telah terekspresikan dalam berbagai warna dan corak ungkapan sejalan dengan keniscayaan-keniscayaan bahasa, budaya, adat-kebiasaan para pemeluknya. Segala ekspresi dengan mengikuti kenisbian budaya adalah absah, sebab nyaris tak ada jalan lain kecuali begitu itu. Suatu pola adat tertentu mengutip Ibn ‘Âsyûr, seorang ulama terkemuka Maghrib[28] sekalipun itu adat budaya tempat dilahirkannya Rasul saw, yakni adat Arab, tidaklah dapat dipaksakan kepada masyarakat lain dari daerah lain. Masing-masing lingkungan budaya memiliki hak untuk mengembangkan inti kebenaran Islam menurut bentuk-bentuk kemestian kultural setempat. Masing-masing tetap memiliki kans untuk memberi sumbangan kepada Islam dan peradabannya. Demikian halnya dengan kaum muslim Indonesia, selalu terbuka peluang lebar untuk secara kreatif dan produktif memberi kontribusi pada pengembangan budaya Islam.
Pergumulan Islam dengan khazanah lokal sebenarnya niscaya, automatically. Namun ide “pribumisasi Islam”-nya Gus Dur menjadi relevan dan tetap penting untuk terus didesakkan karena hubungan simbiosis Islam dan budaya yang saling mengkayakan itu dicoba-negasikan oleh kaum modernis-puritanis yang bergerak sistematis dengan jargon “al-ruju‘ ilâ al-Qur’ân wa al-hadîts”.[29] Akibatnya, seperti kita tahu, sungguh menggiriskan. Betapa gerakan untuk kembali menghamba pada teks, yang kuat berorientasi ke masa lalu,[30] itu dalam banyak hal telah membuat kajian Islam menjadi sangat tekstual, hitam-putih, mandul, tidak produktif, kering, tidak kaya..
Akan tetapi, gagasan tafsir berorientasi lokal ini tidak terutama dimaksudkan sebagai counter-paradigm terhadap gerakan kaum “Islamis” itu. Sekedar berikhtiar menggali sebanyak mungkin kebenaran Allah yang me-latent di teks-teks suci (Qur’an atau hadits) dengan menjadikan dunia manusia (horison penafsir, the world of the reader) dengan latar budaya masing-masing sebagai orientasi-proyektif utama kebenaran tersebut. Karena Allah “tidak menggunakan busana tertentu,” maka kitalah yang (harus) memberi-Nya “busana” menurut cara dan kecenderungan kita masing-masing mempersepsi keinginan atau “busana” kesukaan-Nya.
Kearifan itu akan membuat kita welcomed dengan kenyataan betapa Islam multiwajah. Betapa ketika Islam menjumpai varian-varian kultur lokal, maka yang segera berlangsung ialah proses-proses simbiose yang kurang-lebih sama saling memperkaya. Demikian di berbagai belahan, halnya juga di Indonesia. Maka muncullah berbagai varian Islam. Ada Islam-Jawa, Islam-Madura, Islam-Melayu, Islam-Sasak, Islam-Bima, dan seterusnya yang masing-masing mengetengahkan karakter berbeda satu sama lain. Begitu pula, tak cuma Islam-Arab, tapi juga Islam-Iran, Islam-Cina, Islam-Amerika, Islam-Afrika, Islam-India, dan Islam-Indonesia yang muncul dengan bangunan kebenarannya sendiri-sendiri.[31]
Bila begitu, dimanakah lalu “Islam yang otentik” itu? Masih adakah (bila ini perlu) Islam yang sungguh-sungguh ala Allah swt kini? Tidak ada. Itu kalau terma “otentik” pada “Islam” dimaknai sebagai penunjukan pada “Islam yang sesungguhnya,” yakni Islam yang dikehendaki Allah atau Islam yang benar-benar menurut Rasulillah Muhammad saw. Namun bila kata otentik atau otentisitas dimaknai sebagai “keunikan” dan “otonomi,” maka dengan segera―secara ontologis-epistemologis ide “Islam otentik” tersebut justru menunjuk pada apa yang disebut sebagai Islam-lokal.[32] Dalam pengertian umum, otentik atau otentisitas bermakna menjadi diri sendiri. Unique, tidak sama berbeda dengan yang lain. Otonom dalam memilih, memilah, dan menentukan bentuk-bentuk pemaknaan-penghayatan terhadap kehidupan.[33] Dalam konteks masyarakat, otentisitas itu memestikan mereka merumuskan agendanya (politik, ekonomi, dan sosial) secara bersama yang mencerminkan kekayaan budaya mereka sendiri. Seluruh konstruksi nilai maupun kelembagaan harus sesuai dengan dan karenanya mesti arus dibangun berdasar kebudayaan masyarakat bersangkutan.[34] Ide keotentikan menghendaki pengunggulan budaya sebagai kekuatan utama dalam membentuk manusia sekaligus penemuan landasan bagi kemencukupan otonomi dalam menjustifikasi keyakinan akan kemampuan mereka dalam memaknai kehidupan.[35]
‘Alâ kulli hâl, menghadirkan Islam (yang ndilalah nge-Arab itu) ke dalam suatu masyarakat lokal bukan dalam pengertian menjadikannya sebagai kebenaran tunggal yang menjajah atau menepikan seluruh kebenaran lokal yang selama ini “menafasi” mereka. “Pemaksaan” Islam yang Arab ke dalam masyarakat lokal bukan tak mungkin hanya akan menjerembabkan masyarakat ke dalam alienasi, keterasingan dalam (ber) agama. Maka satu-satunya jalan tampaknya adalah menghadirkannya lebih dalam fungsi komplementer, saling melengkapi antara kebenaran bawaan Islam sono dan kebenaran lokal sini. Tanpa proses saling menegasikan, tapi saling mengafirmasi kebenaran (aktual maupun potensial) hingga yang muncul adalah kearifan atas kebenaran itu sendiri. Pada gilirannya, yang terhayati di tengah masyarakat adalah Islam yang dekat, yang tidak senjang, yang ramah, yang merangkul... Rasanya kok itu yang dikhidmati jargon bahwa Islam senantiasa “shâlih li kulli zamân wa makân.”
Dalam konteks itulah ide tafsir berwajah lokal merebahkan niat baiknya: menuntun pada kearifan memahami aneka kebenaran. Kebenaran tidaklah terutama ditentukan apakah ia secara verbal-langsung berasal dari Tuhan atau tidak. Ia bisa muncul dimana saja sebagaimana Allah juga hadir di mana saja. Allah tak pernah melempar dadu, tapi kitalah yang mau tidak mau terus bertaruh seputar persepsi-persepsi kita tentang kebenaran-Nya. “Kebenaran itu,” kata Mohsen Makhmalbaf,[36] sutradara film Iran terkemuka, “laksana cermin yang diberikan Tuhan dan kini telah pecah.” Manusia memungut pecahannya dan tiap orang melihat pantulan di dalamnya, dan menyangka telah melihat kebenaran. Maka sungguh repot, bila kemudian ada yang menggunakan pecahan kaca itu untuk atas nama kebenaran menusuk orang lain yang memegangi pecahan yang lain.
SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS
[1]Refleksi pengembaraan spiritual dan kegelisahan intelektual Lang ini lamat terungkap dalam bukunya, Struggling to Surrender and Even Angels Ask: A Journey to Islam in America. Telah diterjemahkan, Bahkan Malaikat pun Bertanya: Membangun Sikap Islam yang Kritis (Jakarta: Serambi, 2001).
[2]Lihat Frederick J. Streng, Understanding Religious Life (California: Dickenson Publishing Company, 1876), 1. Streng sendiri bertutur, untuk memahami kehidupan beragama, selain melandaskan pada kajian teks-teks suci agama bersangkutan, harus memperhatikan tiga dimensi penyerta, yakni dimensi personal, dimensi ultima, dan dimensi kultural. Tentang ketiganya, ia menegaskan, “The interaction of these three dimensions of religious phenomena, make the study of religious life a complex effort, because it requires the interpretation of a variety of particular cultural expression in relation to a general notion of ultimate value” (hal. 7).
[3]Fakta-fakta masa lalu itu didudukkan sebagai rujukan kebenaran tunggal dalam berislam. Menurut Arkoun, di situlah letak persoalan mengapa geliat pemikiran Islam nyaris tak pernah berlangsung revolusioner. Sebab, tambahnya, apabila revolusi meniscayakan pemisahan dengan masa lalu, revolusi Islam justru mengakomodasi dan menomorsatukan masa lalu. Lihat, Mohammed Arkoun, Al-Fikr al-Ushûlî wa Istihâlat al-Ta’shîl, Nahwa Târîkhin Akhar li al-Fikr al-Islâmî (London: Dâr al-Sâqî, 1999), 115.
[4]Sebenarnya kehendak “mengindonesiakan Arab,” melokalkan simbo-simbol partikular-lokal Arab, bukan tanpa preseden. Upaya-upaya rintisan telah dicoba-lakukan dan terbilang sukses. Misalnya, kasus pendamaian ajaran Islam yang meng-“Arab” dengan kultur lokal yang dilakukan Sunan Kalijaga. Salah seorang Wali Sembilan penyebar Islam di tanah Jawa itu memainkan wayang kulit (sebuah bentuk kesenian Jawa pra-Islam) sebagi medium dakwah; atau akulturasi simbol arsitektur Islam-Arab dan Jawa pra-Islam oleh Sunan Kudus dalam membangun masjid Menara Kudus. Namuni, toh pilihan gaya berislam semacam itu tak menjadi favorit. Padahal kalau trend pemikiran ini berlanjut dan menguat besar kemungkinan umat Islam Indonesia bakal mampu menemukan kesejatian Islamnya sendiri yang khas Indonesia sebagaimana yang dilakukan kaum muslim awal-awal abad Hijriyah. Upaya-upaya eksperimentasi mutakhir mencari Islam khas Indonesia sebenarnya bukan tak pernah dicoba, bahkan di antaranya diinisiasi dan difasilitasi negara, misalnya diterbitkannya Inpres 1/1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Namun, itu hampir bisa dikatakan gagal. Kegagalan tak hanya disebabkan, antara lain, oleh kesenjangan diktum-diktum hukum yang dibangun KHI (yang cenderung Syafi’iyah sentris; medieval-oriented) dengan heterogenitas tradisi-lokal (keberagamaan) masyarakat, tetapi juga kegagapan pemerintah di tingkat pemberlakuan (yang cenderung fakultatif; sebatas tawaran hukum alternatif bagi masyarakat). Ulasan menarik seputar KHI berikut tendensi politis dibaliknya, lihat Marzuki Wahid, “Politik Hukum Orde Baru: Reduksi Agama di Balik Kompilasi Hukum Islam,” dalam GerbanG, Edisi 02, Th. II (April-Juni, 1999): 85-101.
[5]Dalam khazanah ‘ulûm al-Qur’ân terdapat dua cara “baku” untuk memahami al-Qur’an, yakni tafsîr dan ta’wîl. Sejauh ini penggunaan pola tafsîr lebih populer ketimbang ta’wîl. Tafsîr yang dipahami sebagai suatu cara untuk mengurai bahasa, konteks, dan pesan-pesan moral yang dikandung teks-teks ajaran mendudukkan teks sebagai “subjek” penghampiran. Paradigma tafsîr berepistemologi bayâni inilah yang disoal al-Jabiri dalam proyek naqd ‘aql al-‘araby-nya ―untuk informasi antaran seputar trilogi “kritik nalar Arab” al-Jabiry ini lihat pengantar panjang Ahmad Baso, “Pengantar Penerjemah: Posmodernisme sebagai Kritik Islam – Kontribusi Metodologis ‘Kritik Nalar’ Muhammad Abed al-Jabiri,” dalam Muhammad Abed al-Jabiri, Post-tradisionalisme Islam, ab. Ahmad Baso (Jogjakarta: LKiS, 2000), ix-liv. Sedang ta’wîl adalah cara memahami teks dengan memposisikannya sebagai “objek” kajian. Tapi, pemaknaan ta’wîl begitu tidaklah lazim dalam tradisi klasik yang cenderung menganggap ‘ulûm al-Qur’ân telah “matang” dan “gosong” (nadhaja wa ihtaraqa). Pengertian ta’wîl lazim menunjuk pada apa yang dikenal sebagai al-ta’wîl al-batinî, yang agaknya equivalen dengan al-tafsîr al-isyarî. Untuk pengertian klasik seputar tafsîr dan ta’wîl ini lihat, misalnya, Mannâ‘ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân (t.t.: t.p., t.th.).
[6]Kata Arkoun, trend logosentrisme dalam studi-studi Islam mutakhir telah menyebabkan kajian-kajian keislaman, doktrin dan sejarahnya, mandul dan tidak produktif. Di antara ciri utama pemikiran logosentris, selain kecenderungannya mendasarkan diri pada satu ‘ashl yang dipancang sebagai satu-satunya kriteria absahnya kebenaran, juga mengalihkan realitas dan fakta-fakta menjadi sebatas retorika-retorika, permainan bahasa dan kata-kata, belaka. Realitas masa lalu di mana Islam melalui masa “formatifnya” sebagai agama tidak lagi diperlakukan sebagai sekumpulan fakta yang terikat oleh ruang dan waktu, tapi sebagai fiksi yang mengatasi kedua dimensi itu. Akibatnya seluruh ajaran Islam kehilangan dimensi historisitasnya. Lihat, Mohammed Arkoun, “Logocentrisme et Vérité Religieuse dans la Pensée Islamique,” dalam Studia Islamica, No. 35 (1972): 5-51.
[7]Secara etimologis, hermeneutik merujuk pada akar kata “hermeneuein” yang berarti “menafsirkan’; dalam Inggris, “hermeneutic”; dan Yunani, hermeneutikos (penafsiran). Pada perkembangan selanjutnya terma ini memiliki aneka pengertian. Namun sebagai sebuah istilah, tersepakati sebagai suatu proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi ‘mengerti’. Konsepsi dasar hermeneutik ini agaknya telah menjadi semacam konsensus, baik dalam pandangan modern maupun klasik. Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 3. Dalam penggunaan klasik, hermeneutik mengacu pada penafsiran teks, teristimewa teks-teks suci agama (Kristen; Alkitab). Dalam konteks filsafat, ia bergabung dengan strukturalisme dalam kerangka penciptaan metode penafsiran teks yang menempatkan filsafat di tengah-tengah kebudayaan. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), 283-4. Secara kategoris, hermeneutik terpilah pada tiga, yakni sebagai metode, filsafat, dan sebagai kritik. Kategori pertama memfokuskan bahasannya selaku metodologi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan (geistesswissenchaften); kategori kedua lebih menekankan pada status ontologis ‘memahami’ itu sendiri; sedangkan kategori terakhir, ketiga, mengarahkan penyisirannya pada penyebab adanya distorsi dalam pemahaman dan komunikasi yang berlangsung sehari-hari. Lihat Josef Bleichert, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique (London: Routledge and Kegan Paul, 1980), 1.
[8]Selengkapnya sekitar definisi hermeneutik ini, lihat Kurt F. Leidecker, “Hermeneutics,” dalam Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy (Totowa, New Jersey: Littlefield, Adams & Co., 1976), 126. Bdk., Nashr Hamid Abu-Zayd, Isykâliyyât al-Qirâ’ah wa Liyyât al-Ta’wîl (al-Dâr al-Baydlâ’: al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, 1994), 13.
[9]Memang―sebagaimana diidentifikasi Machasin―dari sudut pandang tradisi keislaman ada beberapa hal yang menghalangi perhatian kepada hermeneutik. Pertama, istilah ini berasal dari tradisi pemikiran Barat dan banyak orang Islam yang masih alergi terhadap hal-hal yang berbau sono. Kedua, dalam Islam sendiri sudah ada tradisi panjang ilmu tafsir yang diyakini tidak kalah dengan apa yang berkembang dalam tradisi lain. Selain itu ada juga anggapan bahwa al-Qur’an sudah berpengertian jelas, sehingga pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai bagaimana orang menangkap pesan yang terkandung dalam kata-kata, kalimat-kalimat, dan ungkapan-ungkapannya tidak lagi diperlukan. Apalagi, hermeneutik sudah berkembang sedemikia rupa sehingga tidak hanya berkenaan dengan aturan-aturan penafsiran, tapi juga pembicaraan mendalam tentang hakikat penangkapan pesan atau pemaknaan teks dan ungkapan kemanusiaan lainnya. Selengkapnya, lihat Machasin, “Sumbangan Hermeneutika terhadap Ilmu Tafsir,” makalah (tidak diterbitkan), disampaikan dalam “FCM-3” yang diselenggarakan èLSAD Surabaya di Jombang, 3 November 2002.
[10]Basis ontologis gagasan tafsir pribumi di sini sedikit-banyak bertumpu pada teoretisasi hermeneutik Hans Georg Gadamer. Dia sendiri memang menyebut gagasan hermeneutiknya lebih sebagai sebuah risalah ontologis daripada metodologis. Lihat Richard King, Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme, ab. Agung Prihantoro (Jogjakarta: Qalam, 2001), 138. Bagi Gadamer, situasi hermeneutik merupakan starting point ontologis dari seluruh prilaku dan pemikiran manusia yang memperluas konsepsi tradisional hermeneutik sebagai metodologi penafsiran biblikal atau metodologi analisis filologis dan tekstual umumnya. Lihat, Palmer, Hermeneutics..., 33, 42.
[11]Lihat Walter Ong, Orality and Literacy: The Technologizing of the World (London: Methuen, 1982), 103.
[12]Selengkapnya, lihat Howard Nelson Tuttle, Wilhelm Dilthey’s Philosophy of Historical Understanding (Leiden: E.J. Brill, 1969). Atau telusuri langsung, Wilhelm Dilthey, Pattern and Meaning in History (New York: Harper and Row, 1962).
[13]Lihat Hans Georg Gadamer, Truth and Method (London: Sheed & Ward, 1975), 264.
[14]Karena itu, kata Gadamer, hermeneutik bukanlah sebuah metodologi, melainkan suatu masalah mengenai watak eksistensi itu sendiri karenanya bersifat ontologis. Lihat, King, Agama..., 138.
[15]Mengikuti Gadamer, konsep hermeneutik sedemikian menolak setiap klaim yang memandang mungkin adanya pendekatan yang “objektif” dan “netral,” yang terbebas dari bias emosional, afektif dan interest pribadi. Pengetahuan, menurutnya, merupakan akibat belaka yang secara historis terkondisikan oleh faktor-faktor sosio-kultural. Lihat Ibid.
[16]Ibid., 143.
[17]Sebagai sebuah pola paradigmatik penafsiran Injil, kemunculan etnohermeneutik sendiri bermula dari kegelisahan sementara sarjana (penginjil) Kristen yang gelisah setelah melihat kenyataan betapa keanekaragaman kultural di berbagai belahan dunia mematahkan kemapanan berabad paradigma dan metodologi hermeneutis klasik penafsiran Injil. Pada akhirnya mereka menyadari tidak hanya perlu mengkaji ulang adekuasi metodologis dari metode-metode hermeneutik kawak selama ini, tetapi juga menggugah perlunya dicari suatu metode hermeneutik yang adekuat dan compatible dalam situasi masyarakat multikultur. Di tengah kebuntuan itu, ethnohermeneutics menampilkan diri sebagai sebuah pola paradigmatik penafsiran Injil dalam konteks lintas-budaya yang salah satu agendanya merumuskan metode-metode hermeneutis dinamis yang layak secara budaya. Secara khusus, horison penafsir yang terbangun dari kesadaran tradisi dan penghayatan akan kesejarahan dirinya memang semacam entry-point ke etnohermeneutik. Untuk paparan pengantar ke ethnohermeneutics dan nilai strategisnya dalam penafsiran lihat dua tulisan reflektif-kritis Larry W. Caldwell, “Towards the New Discipline of Ethnohermeneutics: Questioning the Relevancy of Western Hermeneutical Methods in the Asian Context,” dalam Journal of Asian Mission, Vol. 1, Nr. 1 (March 1999): 21-43; dan, “A Response to the Responses of Tappeiner and Whelchel to Ethnohermeneutics,” dalam Journal of Asian Mission, Vol. 2, Nr. 1 (March 2000): 135-45.
[18]Premis dasar yang mendasari keseluruhan disiplin etnohermeneutik adalah bahwa Tuhan bekerja pada masing-masing kebudayaan dengan menyeru pribadi-pribadi dari dalam masing-masing kebudayaan pada diri-Nya. Inilah sesungguhnya cara Tuhan bekerja dalam budaya penerima, Ia bekerja melalui proses hermeneutik yang inheren pada setiap kebudayaan. Karena itu penting berupaya menghadirkan Injil lewat tindak-tindak interpretatif yang sensitif secara kultural hingga pada gilirannya pesan-pesan kebenaran kitab suci menebar dalam bentuk-bentuk yang relevan secara budaya. Ibid.
[19]Ibid., 136-7.
[20]Diungkap Abu-Zayd ketika mengantari bukunya, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, ab. Khoiron Nahdliyyin (Jogjakarta: LKiS, 2002), xvi. Pengungkapan ini penting dalam konteks pembedaannya terhadap makna tafsîr dan ta’wîl. Tafsir lebih ia pahami dalam hubungan mufassir dan teks pada proses penafsiran (bayânî), sedang ta’wîl tegas ia arahkan pada makna interpretasi teks baik yang didasarkan pada rasio seperti Mu’tazilah (Burhânî) atau pada intusi-spekulatif (‘irfânî) yang dilakukan kalangan sufi. Ibid.
[21]Lingkar hermeneutik ini diotak-atik gathuk dari beberapa teoretisasi hermenuetik. Lihat dan bdk., Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 82-6; Mohammed Arkoun. Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru. ab. Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), 15-29, 43-124; dan, John Goldingay, “The Hermeneutics of Liberation Theology,” dalam Horizon in Biblical Theology, 11 (1989), 133-61.
[22]Istilah regresif-progresif ini dipinjam dan dikembangkan dari sodoran hermeneutik Arkoun. Lihat dan bdk. Arkoun, Rethinking Islam (Washington, D.C.: Center for Contemporary Arab Studies, 1987), 7.
[23]Salah satu contoh menarik pemroyeksian teks ke konteks adalah pola ijtihad “kontroversial” yang ditunjukkan Umar Ibn al-Khaththab. Salah di antaranya adalah keputusan ijtihâdi-nya yang “mengabaikan” pesan eksplisit Qs. 5: 38 tentang hukum potong tangan bagi pencuri. Disebutkan seorang pelaku pencurian ketangkap tangan menyatroni harta majikannya dan dihadapkan pada Umar. Setelah disidik diketahui pencurian itu dilakukan berlatar keterpaksaan sebab sang majikan abai, tak memenuhi hak pelaku sebagai sahayanya. Sementara dikisahkan pula kala itu tengah masa paceklik yang hebat. Berdasar fakta-fakta itu Umar menilai kasus tersebut tidak memenuhi syarat bagi diberlakukannya ayat “muhkam” terkait, sehingga ia pun tidak menerapkan potong tangan dan melepas pelaku. Lihat Ahmad Azhar Basyir, “Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu Relevan,” dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, ed. Iqbal AS (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988): 103-116.
[24]Model penghampiran tekstual-kontekstual ini hasil bongkar-pasang beberapa ide dan diadaptasi untuk kepentingan paradigmatik dari tafsir lokal. Bdk. dengan kontruksi analisis yang diajukan Louay Safi, The Foundation of Knowledge: A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry (Selangor Darul Ehsan: International Islamic University Press, 1996), 196.
[25]Dalam tradisi ‘ulûm al-Qur’ân soal ini sungguh kontroversial. Ia tak hanya dihubung-hubungkan dengan perdebatan soal “turunnya al-Qur’an dengan tujuh huruf”, tapi juga soal cara shahîh melantukan al-Qur’an yang menunjuk pada qirâ’ât al-sab‘ah. Lihat, al-Qaththân, Mabâhits..., 156-69. Qirâ’ât yang tujuh itu berkaitan dengan perbedaan langgam, cara, dan sifat pengucapan al-Qur’an. Muasal keragaman ini bersumber dari pengajaran qirâ’ât yang berbeda-beda oleh beberapa sahabat, semisal Ubay, Ali, Zayd ibn Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, dan lain-lain. Kemudian kian berkembang ragamnya di berbagai wilayah (Kufah, Basrah, Syam, selain Makkah dan Madinah) hingga kemudian pengakuan keshahîhan mengerucut pada tujuh imam ahli qira’at terkenal, yakni Nafi’, Abu ‘Amr, ‘Asim, Hamzah, al-Kisa’i, Ibn ‘Amir, dan Ibn Katsir. Lihat Jalâl al-Dîn al-Suyuthi, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Jilid I (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), 72-3. Di luar ketujuhnya, para ulama juga mengakui tiga imam yang qirâ’ât-nya dipandang shahîh dan mutawatir, yakni Abu Ja’far Yazzin bin Qa’qa’ al-Madani, Ya’qub bin Ishaq al-Hadrami, dan Khalaf bin Hisyam. Di luar itu masih banyak jenis qirâ’ât (tapi ditolak ulama), misalnya qirâ’ât Ibn Zubayr dan Yazidi. Lihat al-Qaththân, Mabâhits..., 170-9. Pegemukaan fakta ini sekedar menunjukkan betapa dalam hal melagukan bacaan al-Qur’an banyak muncul ragam cara, yang tentu saja masing-masing terikat kondisi hostoris dan perbedaan tempat dan kultur para imam pencetusnya. Lalu mengapa tak kita coba melantunkan al-Qur’an dengan qira’at yang bertolak dari kekayaan kultur kita sendiri, budaya-budaya lokal di Indonesia? Alangkah menariknya dan betapa terasa dekatnya Islam bila orang-orang muslim kawasan Mataraman, misalnya, boleh mengaji al-Qur’an dengan laras-laras pelog dan slendro, atau orang Surabaya menyenandungkannya dengan qirâ’ah gaya ngremo...
[26]Yang dimaksud paradigma di sini ialah konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dipergunakan oleh suatu nilai dan/atau tema pemikiran. Konstelasi ini dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan situasi sosial, untuk memberi kerangka konsepsi dalam memaknai realitas. Kekuatan suatu paradigma terletak pada kemampuannya membentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara melihat sesuatu, apa yang dianggap masalah, apa masalah yang sekiranya bermanfaat untuk dipecahkan, dan apa metode yang kita gunakan dalam meneliti dan berbuat. Selengkapnya, untuk ulasan seputar paradigma, lihat Thomas Kuhn, The Structures of Scientific Revolution (Chicago: the University of Chicago Press, 1970).
[27]Machasin, “Sumbangan...,” 6.
[28]Sebagaimana dikutip Nurcholish Madjid, “Kata Sambutan: Universalisme Agama dan Kenisbian Peradaban,” dalam M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996):
[29]Kelompok ini umumnya mengembangkan pola “purifikasi” (al-ishlâh al-dînî) yang mengklaim diri sebagai penerus golongan salaf. Sedihnya, banyak dari mereka yang lalu bersikap ekstrim, eksklusif, dan mudah men-takfir sesama muslim. Jika diamati seksama, berdasar karakteristik yang mereka kembangkan, rasanya tak berlebihan jiak ada yang menyebut mereka neo-Khawarij.
[30]Tradisi keagamaan masa lalu, yang acap disebut salaf, tidaklah “salah.” Ia tetap memiliki otentisitas kebenarannya sendiri sesuai konteks ruang-waktunya. Yang keblinger bila itu di bawah ke hari ini sebagai sebuah prototype kebenaran yang penunggalannya (baca: penerapannya) bersifat “pokoknya”. “Kita tidak bisa menjadi religius dalam cara yang sama seperti para pendahulu kita di dunia pra-modern yang konservatif,” kata Armstrong. Betapapun kerasnya kita berusaha menerima dan melaksanakan warisan tradisi agama pada masa keemasannya itu, kita memiliki kecenderungan alami untuk melihat kebenaran secara faktual, historis, dan empiris. Lihat Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen, dan Yahudi, ab. Satrio Wahono, et. al. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), 577.
[31]Keberagaman wajah Islam ini belum termasuk polarisasi pemikiran paradigmatik keislaman, semisal varian Islam-Sunnî, Islam-Syi‘î; atau kembangannya, berupa school of thought (madzhab) di bidang fiqh, kalâm, tasawuf, dan filsafat.
[32]Pemaknaan sedemikian bukan tanpa preseden ilmiah, sekurangnya Robert D. Lee melakukannya dalam bukunya, Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal Hingga Nalar Kritis Arkoun, ab. Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 2000), secara khusus lihat, hal. 11-34 dan 199-223.
[33]Bdk., Ibid.
[34]Ibid., 11-2.
[35]Ibid., 200-1.
[36]Mengutip dari kutipan Goenawan Mohamad (yang mengutip dari kutipan KOMPAS), “Kaca,” dalam Catatan Pinggir 4 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995): 119-21.