Konstitusi Dan Teori Keadilan John Rawls
Sekilas Biografi
Ketika berbicara tentang konsep keadilan, tentunya para pakar ilmu filsafat, hukum, ekonomi, dan politik di seluruh belahan dunia, tidak akan melewati pelbagai teori yang dikemukakan oleh John Rawls. Melalui karya-karyanya, seperti A Theory of Justice, Political Liberalism, dan The Law of Peoples, Rawls dikenal sebagai salah seorang filsuf Amerika kenamaan di akhir abad ke-20. Didasari oleh telaah pemikiran lintas disiplin ilmu secara mendalam, John Rawls dipercaya sebagai salah seorang yang memberi pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus mengenai nilai-nilai keadilan hingga saat ini.
Pemilik nama lengkap John Borden (Bordley) Rawls ini dilahirkan di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat pada 21 Februari 1921 dari pasangan William Lee Rawls dan Anna Abel Stump. Di usia remajanya, Rawls sempat bersekolah di Baltimore untuk beberapa saat dan kemudian pindah pada sekolah keagamaan di Connecticut. Walaupun keluarganya hidup dalam keadaan yang mumpuni, John Rawls mengalami dua peristiwa yang cukup menyedihkan di masa mudanya. Dalam dua tahun berturut-turut, dua adik laki-lakinya meninggal akibat penyakit yang ditularkan darinya, yaitu diphtheria dan pneumonia. Rawls amat merasa bersalah atas terjadinya peristiwa tersebut. Namun demikian, kakak laki-lakinya yang dikenal sebagai seorang atlet ternama di Princeton University selalu memberikan semangat dan dorongan moral kepada Rawls. Akhirnya, setelah berhasil menyelesaikan sekolahnya, John Rawls menyusul jejak kakaknya untuk berkuliah di Princeton University pada 1939. Karena ketertarikan dan pemahamannya yang amat mendalam pada ilmu filsafat, dirinya kemudian terpilih untuk bergabung dalam The Ivy Club yaitu sebuah kelompok elit akademis terbatas, dimana Woodrow Wilson, John Marshal II, Saud bin Faisal bin Abdul Aziz, serta Bill Ford pernah menjadi bagian dari keanggotannya.
Setelah sukses mempertahankan disertasi doktoralnya yang berjudul “A Study in the Grounds of Ethical Knowledge: Considered with Reference to Judgment on the Moral Worth of Character”, John Rawls akhirnya menyandang gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) dari Princeton University pada 1950. John Rawls kemudian dipercaya untuk mengajar pada almamaternya hingga 1952, sebelum akhirnya melanjutkan studi di Oxford University, Inggris, melalui program Fulbright Fellowship. Di Universitas inilah dirinya sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran tentang teori kebebasan di bidang hukum dan filsafat politik, seperti yang dikemukakan oleh Herbert Lionel Adolphus (H.L.A.) Hart dan Isaiah Berlin. Apabila John Rawls mencoba untuk mengkaji konsepsi mengenai praktik-praktik sosial (social practices) yang dikenalkan oleh Hart guna mengeksplorasi kelemahan utilitarianisme, maka konsepsi mengenai persandingan antara kebebasan negatif (negative liberty) dan kebebasan positif (positive liberty) diperolehnya dari pemikiran Berlin.
Sekembalinya ke Amerika Serikat, John Rawls melanjutkan karir akademiknya di Cornell University dan secara bertahap dirinya diangkat sebagai Guru Besar Penuh pada 1962. Tidak lama kemudian, Rawls juga memperoleh kesempatan untuk mengajar dan menjadi Guru Besar di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Dua tahun setelahnya, John Rawls memilih pindah untuk mengajar secara penuh di Harvard University, tempat dimana dirinya mengabdi hingga akhir hayat.
Selama masa hidupnya, John Rawls sempat dipercaya untuk memegang beberapa jabatan penting. Di antaranya, yaitu Presiden American Association of Political and Legal Philisopher (1970-1972), Presiden the Eastern Division of the American Philosophical Association (1974), dan Professor Emeritus di James Bryant Conant University, Harvard (1979). Selain itu, dirinya juga terlibat aktif dalam the American Philosophical Society, the British Academy, dan the Norwergian Academy of Science.
Sejak 1995 Rawls terpaksa harus meninggalkan pekerjaannya secara perlahan akibat penyakit stroke yang telah melemahkan daya jelajah berpikirnya. Tepat pada 24 November 2002 di rumahnya (Lexington), John Rawls menghembuskan nafas terakhirnya akibat gagal jantung. Pada saat itu, dirinya meninggalkan seorang istri, Margaret Fox, dan empat orang anak, yaitu Anne Warfield, Robert Lee, Alexander Emory, dan Elizabeth Fox, serta empat orang cucu yang masih belia.
Karya Monumental Rawls
Hampir sebagian besar filsuf dari seluruh dunia menyepakati bahwa karya-karya ilmiah dan monumental dari John Rawls telah memberikan kontribusi pemikiran yang akan terus diperbincangkan di ranah filsafat. Karya-karyanya tersebut memiliki gagasan pemikiran lintas disipin ilmu yang memicu perhatian serius berbagai kalangan, mulai dari para praktisi ekonomi, pakar hukum, ahli politik, pengamat sosiologi, hingga penggiat teologi. Karena keunikan dan kedalaman pemikirannya, karya ilmiah Rawls terlihat berbeda apabila dibandingkan dengan para filsuf kontemporer lainnya. Sehingga tidak jarang baik para ahli maupun hakim pengadilan di berbagai negara mengambil gagasan Rawls sebagai rujukan utamanya, tidak terkecuali di Indonesia sekalipun.
Karya besar Rawls mulai beredar di awal 1950-an yang tersebar di berbagai jurnal ilmiah internasional ternama. Beberapa artikel yang dikenal luas tersebut, misalnya “Two Concept of Rules” (Philosophical Review, 1955), “Constitutional Liberty and the Concept of Justice” (Nomos VI, 1963), “Distributive Justice: Some Addenda” (Natural Law Forum, 1968), “Some Reason for the Maximin Criterion” (American Economic Review, 1974), “A Kantian Conception of Equality” (Cambridge Review, 1975), dan “The Idea of an Overlapping Consensus” (Oxford Journal for Legal Studies, 1987).
Selain memberikan kontribusi pemikiran dalam bentuk tulisan untuk bab-bab khusus pada beragam buku ilmiah, John Rawls juga telah membuahkan setidaknya 7 (tujuh) buku fenomenal yang dianggap oleh banyak kalangan telah mampu membangkitkan kembali diskursus akademik di bidang filsafat. Pertama, “A Theory of Justice” (1971). Buku yang diterbitkan oleh Belkap Press (Cambridge) ini, telah dicetak kembali pada 1991 dengan beberapa penyempurnaan di dalamnya. Hingga kini, buku yang yang dikenal dengan sebutan populer “TJ” tersebut telah diterjemahkan setidaknya ke dalam 27 bahasa berbeda. Kedua, “Political Liberalism” (1993). Buku yang diterbitkan oleh Columbia University Press ini dikenal dengan sebutan popular “PL”. Setelah dicetak kembali pada 1996, buku tersebut kian syarat isinya dengan adanya penambahan tulisan yang berjudul “Reply to Habermas”. Ketiga, “The Law of Peoples” (1999) yang diterbitkan oleh Harvard University Press. Buku ini merupakan perpaduan dari dua karya Rawls yang cukup terkenal, yaitu “The Law of Peoples” dan “Public Reason Revisited”. Kemudian, keempat, “Collected Papers” (1999). Buku yang juga diterbitkan oleh Harvard University Press ini merupakan kompilasi dari karya-karya singkatnya yang telah disunting secara baik oleh Samuel Freeman.
Kelima, “Lectures on the History of Moral Philosophy”. Buku ini merupakan intisari dari perkuliahan yang diberikan oleh Rawls mengenai filsafat moral modern pada masa 1600-1800. Disunting oleh Barbara Herman, buku ini juga menguraikan penjelasan Rawls tentang pemikiran dari Hume, Leibniz, Kant, dan Hegel. Keenam, “Justice as Fairness: A Restatement” (2000). Diterbitkan oleh Belknap Press, Cambridge, buku ini memuat ringkasan yang lebih singkat mengenai gagasan utama Rawls mengenai filsafat politik. Terakhir, ketujuh, “Lectures on the History of Political Philosophy” (2007). Inilah buku pertama yang mengurai kembali perkuliahan John Rawls selepas meninggalnya pada 2002. Buku ini memaparkan teropong perspektif Rawls terhadap gagasan dan pemikiran dari Thomas Hobbes, John Locke, Jospeh Butler, J.J. Rousseau, David Hume, J.S. Mill, dan Karl Marx.
Dari beragam pemikiran yang dituangkan dalam karya-karyanya tersebut di atas, terdapat beberapa konsep Rawls yang memperoleh apresiasi dan perhatian luas dari beragam kalangan, diantaranya yaitu: (1) Keadilan sebagai bentuk kejujuran, yang bersumber dari prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kesempatan yang sama, serta prinsip perbedaan (two principle of justices), (2) Posisi asali dan tabir ketidaktahuan (the original position and veil of ignorance); (3) Ekuilibrium reflektif (reflective equilibrium), (4) Kesepakatan yang saling tumpang-tindih (overlapping consensus), dan (5) Nalar publik (public reason).
Berdasarkan sederet karya dan sejumlah gagasannya tersebut, John Rawls dipercaya telah memberikan penyegaran terhadap dunia ilmu pengetahuan, bahkan sejumlah bukunya telah dinominasikan untuk memperoleh National Book Award. Oleh karenanya, Rawls dianugerahi beberapa penghargaan berkelas, seperti Schock Prize for Logic and Philosophy (1999) dan National Humanities Medal (1999). Untuk mengenang dan menghormati kontribusi pemikirannya bagi masyarakat dunia, John Rawls dijuluki sebagai “Asteroid 16561 Rawls”.
Nilai-Nilai Pemikiran Rawls
Di dalam buku “TJ”, John Rawls mencoba untuk menganalisa kembali permasalahan mendasar dari kajian filsafat politik dengan merekonsiliasikan antara prinsip kebebasan dan prinsip persamaan. Rawls mengakui bahwa karyanya tersebut sejalan dengan tradisi kontrak sosial (social contract) yang pada awalnya diusung oleh pelbagai pemikir kenamaan, seperti John Locke, Jean Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant. Namun demikian, gagasan sosial kontrak yang dibawa oleh Rawls sedikit berbeda dengan para pendahulunya, bahkan cenderung untuk merevitalisasi kembali teori-teori kontrak klasik yang bersifat utilitarianistik dan intuisionistik. Dalam hal ini, kaum utilitaris mengusung konsep keadilan sebagai suatu keadaan dimana masyarakat dapat memperoleh kebaikan dan kebahagiaan secara sama-rata. Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, menurutnya, kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggangu rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat lemah. Oleh karena itu, sebagian kalangan menilai cara pandang Rawls sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”.
Secara spesifik, Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal dengan “posisi asali” (original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance). Sebagaimana pada umumnya, setiap teori kontrak pastilah memiliki suatu hipotesis dan tidak terkecuali pada konsep Rawls mengenai kontrak keadilan. Dirinya berusaha untuk memosisikan adanya situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, seperti misalnya kedudukan, status sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan, kekuatan, dan lain sebagainya. Sehingga, orang-orang tersebut dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang.
Kondisi demikianlah yang dimaksud oleh Rawls sebagai “posisi asali” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society). Hipotesa Rawls yang tanpa rekam historis tersebut sebenarnya hampir serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Thomas Nagel sebagai “pandangan tidak darimanapun (the view from nowhere), hanya saja dirinya lebih menekankan pada versi yang sangat abstrak dari “the State of Nature”.
Sementara itu, konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Melalui dua teori tersebut, Rawls mencoba menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip kesamaan yang adil. Itulah sebabnya mengapa Rawls menyebut teorinya tersebut sebagai “justice as fairness”.
Rawls menjelaskan bahwa para pihak di dalam posisi asali masing-masing akan mengadopsi dua prinsip keadilan utama. Pertama, setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain. Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga: (a) diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan, dan (b) jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana adanya persamaan kesempatan yang adil.
Prinsip pertama tersebut dikenal dengan “prinsip kebebasan yang sama” (equal liberty principle), seperti misalnya kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression), serta kebebasan beragama (freedom of religion). Sedangkan prinsip kedua bagian (a) disebut dengan “prinsip perbedaan” (difference principle) dan pada bagian (b) dinamakan dengan “prinsip persamaan kesempatan” (equal opportunity principle).
“Prinsip perbedaan” pada bagian (a) berangkat dari prinsip ketidaksamaan yang dapat dibenarkan melalui kebijaksanaan terkontrol sepanjang menguntungkan kelompok masyarakat yang lemah. Sementara itu prinsip persamaan kesempatan yang terkandung pada bagian (b) tidak hanya memerlukan adanya prinsip kualitas kemampuan semata, namun juga adanya dasar kemauan dan kebutuhan dari kualitas tersebut. Sehingga dengan kata lain, ketidaksamaan kesempatan akibat adanya perbedaan kualitas kemampuan, kemauan, dan kebutuhan dapat dipandang sebagai suatu nilai yang adil berdasarkan persepktif Rawls. Selain itu, prinsip pertama memerlukan persamaan atas hak dan kewajiban dasar, sementara pada prinsip kedua berpijak dari hadirnya kondisi ketimpangan sosial dan ekonomi yang kemudian dalam mencapai nilai-nilai keadilan dapat diperkenankan jika memberikan manfaat bagi setiap orang, khususnya terhadap kelompok masyarakat yang kurang beruntung (the least advantage).
Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip tersebut, Rawls meneguhkan adanya aturan prioritas ketika antara prinsip satu dengan lainnya saling berhadapan. Jika terdapat konflik di antara prinsip-prinsip tersebut, prinsip pertama haruslah ditempatkan di atas prinsip kedua, sedangkan prinsip kedua (b) harus diutamakan dari prinsip kedua (a). Dengan demikian, untuk mewujudkan masayarakat yang adil Rawls berusaha untuk memosisikan kebebasan akan hak-hak dasar sebagai nilai yang tertinggi dan kemudian harus diikuti dengan adanya jaminan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menduduki jabatan atau posisi tertentu. Pada akhirnya, Rawls juga menisbatkan bahwa adanya pembedaan tertentu juga dapat diterima sepanjang meningkatkan atau membawa manfaat terbesar bagi orang-orang yang paling tidak beruntung.
Teori keadilan yang diciptakan melalui kacamata Rawls sudah dipastikan akan menjadi topik perdebatan hangat di kalangan para filsuf etik dan politik dari bermacam mahzab pemikiran. Hingga kini banyak para pakar lintas disiplin yang mendukung gagasan Rawls, namun tidak sedikit pula yang menentangnya. Selaku rekan sejawatnya di Harvard University, Robert Nozick menjadi orang pertama yang melancarkan kritik secara terbuka terhadap “A Theory of Justice” melalui bukunya yang berjudul “Anarchy, State and Utopia” (1974). Umumnya hingga saat ini, kedua buku tersebut selalu dibaca bersandingan untuk mengetahui pelbagai ketidaksetujuan Nozick selaku kaum “libertian justice” terhadap konsep Rawls mengenai prinsip moral (moral principle), aturan-aturan (roles), jejak sejarah (historical trace), dan keadilan distibutif (distributive justice).
Robert Paul Wolff yang menulis “Understanding Rawls: A Critique and Reconstruction of A Theory of Justice” (1977) dari persepktif marxist dan Michael Walzer dari kelompok komunitarian melalui karyanya “Spheres of Justice” (1983), juga sama-sama menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap konsep keadilan yang didengungkan oleh John Rawls. Bahkan Amartya Sen dan G.A. Cohen turut pula mengkritisi teori Rawls atas kedalaman dan keseriusan basis egalitariannya.
Secara umum, kritikan yang muncul tersebut juga mempertanyakan keabsahan dan keberfungsian premis-premis keadilan Rawls apabila dihadapkan pada kondisi-kondisi khusus dan pola kehidupan masyarakat dunia yang terus berkembang, seperti misalnya terhadap keadilan internasional (international justice). Namun demikian, bagi John Rawls kritikan tersebut justru dimanfaatkannya sebagai dasar penyempurnaan dari teori kedilan yang tengah dikembangkannya.
Melalui bukunya “Political Liberalism” (1993), Rawls mencoba untuk menjernihkan dan memperbaiki kelemahan teori yang dibahasnya dalam “TJ”. Beragam perluasan masalah (problem of extension) yang muncul di kemudian hari, berusaha dijawab olehnya dalam “PL” yang tidak hanya sebatas bagaimana cara membentuk keadilan sosial, namun juga bagaimana politik yang adil, bebas, dan teratur dapat terus dipelihara dalam konteks kekinian serta situasi sosial yang ditandai dengan adanya keanekaragaman agama, filsafat, dan doktrin moral. Dalam bukunya tersebut, Rawls tidak saja memperkenalkan gagasan yang disebutnya sebagai “overlapping consensus” guna membentuk kesepakatan terhadap keadilan dan kesamaan diantara warga negara yang memiliki pandangan keyakinan agama dan filosofis yang berbeda-beda, namun juga menguraikan ide tentang “nalar publik” (public reason) sebagai penalaran bersama dari seluruh warga negara.
Berbeda dengan konsepsi dan paham kebebasan berpolitik yang ditawarkan oleh John Locke atau John Stuart Mill yang lebih mengedepankan filsafat kebebasan budaya dan metafisik, melalui “PL” John Rawls mencoba untuk memperkuat argumentasi dari adanya kemungkinan kesepakatan yang lebih bebas tanpa memperhatikan kedalaman dari nilai-nilai keyakinan agama dan metafisik yang disetujui oleh para pihak sepanjang kesepakatan tersebut terbuka untuk dibicarakan secara damai, logis, adil, dan bijaksana, serta melepaskan adanya klaim-klaim atas kebenaran yang universal (universal truth).
Dengan demikian, John Rawls telah menyempurnakan prinsip-prinsip keadilannya menjadi sebagai berikut: Pertama, setiap orang memiliki klaim yang sama untuk memenuhi hak-hak dan kemerdekaan-kemerdekaan dasarnya yang kompatibel dan sama jenisnya untuk semua orang, serta kemerdekaan berpolitik yang sama dijamin dengan nilai-nilai yang adil; Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi dapat dipenuhi atas dasar dua kondisi, yaitu: (a) melekat untuk jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang dibuka bagi semua orang di bawah kondisi adanya persamaan kesempatan yang adil; dan (b) diperuntukan sebagai kebermanfaatan sebesar-besarnya bagi anggota-anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan.
Perbedaan prinsip-prinsip yang dikemukan dalam “TJ” dan “PL” tersebut terletak pada konsep yang awalnya disebut sebagai “hak yang sama” (equal rights) menjadi “klaim yang sama” (equal claim), serta adanya modifikasi terhadap frasa “sistem kemerdekaan-kemerdekaan dasar” (system of basic liberties) menjadi “skema pemenuhan yang memadai terhadap hak-hak dan kemerdekaan-kemerdekan dasar” (a full adequate scheme of equal basic rights and liberties).
Berbeda dengan dua maha karya Rawls sebelumnya, buku “The Law of Peoples” (1999) mengurai secara komprehensif mengenai perspektif keadilan pada ranah politik internasional. Rawls mengupas diskursus mengenai keberadaan kaum minoritas untuk memperoleh posisi kekuasaan di dalam negara dan membuka adanya kemungkinan partisipasi politik hanya dengan pembahasan bertingkat, selain tentunya juga melalui mekanisme pemilihan umum. Pandangannya mengenai keadilan distributif secara global juga dipaparkan secara sistematis, misalnya mengenai konsep bantuan luar negeri yang cukup menarik untuk disimak. Walaupun Rawls mengakui bahwa bantuan harus diberikan kepada pemerintah di suatu negara yang tidak mampu melindungi hak asasi manusia karena alasan-alasan ekonomi, namun dirinya menekankan bahwa bantuan yang diberikan secara terus-menerus dan tanpa batas akan menimbulkan suatu permasalahan moral yang amat berbahaya. Sebab, pemerintah yang sah dapat melepaskan tanggung jawabnya terhadap masyarakat dan menjadi sangat tergantung karena merasa kebutuhannya akan selalu dijamin oleh negara-negara yang memberikan bantuan tersebut.
Selain pandangan-pandangan global sebagaimana diuraikan di atas, diskursus yang dikembangkan oleh Rawls juga termasuk namun tidak terbatas pada permasalahan seputar humaniter, imigrasi, dan pengayaan nuklir (nuclear proliferation). Dirinya juga memberikan lingkup dan ciri-ciri ideal seorang negarawan dan pemimpin politik di suatu negara yang harus mampu meneropong kebutuhan generasi selanjutnya, menciptakan dan memajukan keharmonisan hubungan internasional, serta menyelesaikan permasalahan domestik secara adil. Salah satu pendapatnya yang menimbulkan kontroversi yaitu mengenai pemberian legitimasi terhadap intervensi militer seandainya terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara.
Relevansi Konstitusi
Prinsip-prinsip keadilan yang disampaikan oleh John Rawls pada umumnya sangat relevan bagi negara-negara dunia yang sedang berkembang, seperti Indonesia misalnya. Relevansi tersebut semakin kuat tatkala hampir sebagian besar populasi dunia yang menetap di Indonesia masih tergolong sebagai masyarakat kaum lemah yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Akan tetapi, apabila dicermati jauh sebelum terbitnya karya-karya Rawls mengenai “keadilan sosial” (social justice), bangsa Indonesia sebenarnya telah menancapkan dasar kehidupan berbangsa dan bernegaranya atas dasar keadilan sosial. Dua kali istilah “keadilan sosial” disebutkan di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, keadilan sosial telah diletakkan menjadi salah satu landasan dasar dari tujuan dan cita negara (staatsidee) sekaligus sebagai dasar filosofis bernegara (filosofische grondslag) yang termaktub pada sila kelima dari Pancasila. Artinya, memang sejak awal the founding parents mendirikan Indonesia atas pijakan untuk mewujudkan keadilan sosial baik untuk warga negaranya sendiri maupun masyarakat dunia.
Dalam konsepsi Rawls, keadilan sosial tersebut dapat ditegakkan melalui koreksi terhadap pencapaian keadilan dengan cara memperbaiki struktur dasar dari institusi-institusi sosial yang utama, seperti misalnya pengadilan, pasar, dan konstitusi negara.
Apabila kita sejajarkan antara prinsip keadilan Rawls dan konstitusi, maka dua prinsip keadilan yang menjadi premis utama dari teori Rawls juga tertera dalam konstitusi Indonesia, terlebih lagi setelah adanya perubahan UUD 1945 melalui empat tahapan dari 1999 sampai dengan 2002. Prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle) tercermin dari adanya ketentuan mengenai hak dan kebebasan warga negara (constitutional rights and freedoms of citizens) yang dimuat di dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, diantaranya yaitu Pasal 28E UUD 1945 mengenai kebebasan memeluk agama (freedom of religion), kebebasan menyatakan pikiran sesuai hati nurani (freedom of conscience), serta kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat (freedom of assembly and speech).
Begitu pula dengan prinsip kedua bagian pertama sebagai prinsip perbedaan (difference principle), Konstitusi Indonesia mengadopsi prinsip yang sama pada Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Dari sinilah dasar penerapan affirmative action atau positive discrimination dapat dibenarkan secara konstitusional. Pengaturan demikian sama halnya dalam Konstitusi India yang menerapkan sistem “reservation” untuk mengangkat kelas terbelakang (backward class) di bidang pendidikan dan sosial berdasarkan Pasal 15 ayat (4) dan Bagian IV tentang “Directive Principles of State Policy” Konstitusi India.
Terhadap prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle) sebagai prinsip kedua bagian kedua dari teori keadilan Rawls, Konstitusi Indonesia secara tegas juga memberikan jaminan konstitusi (constitutional guarantee) yang serupa, sebagaimana salah satunya termuat pada Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terlepas dari adanya kesengajaan ataupun tidak, Indonesia secara nyata telah memasukan prinsip-prinsip keadilan yang digagas oleh John Rawls ke dalam batang tubuh Konstitusi.
Begitu pula dalam praktik ketatanegaraan sehari-hari, walaupun tidak selalu digunakan, eksistensi teori keadilan Rawls telah malang-melintang penggunaanya baik di muka persidangan maupun di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Ahli-ahli Hukum Tata Negara seringkali merujuk pemikiran Rawls ketika menafsirkan makna dan esensi keadilan yang terkandung di dalam Konstitusi, sebagaimana misalnya terekam dalam Perkara Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dan Perkara Nomor 3/PUU-VII/2009.
Dalam konteks prinsip-prinsip keadilan, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa keadilan tidak selalu berarti memperlakukan sama kepada setiap orang. Menurut Mahkamah, keadilan haruslah diartikan dengan “memperlakukan sama terhadap hal-hal yang sama, dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda”. Sehingga, apabila terhadap hal-hal yang berbeda kemudian diperlakukan sama, justru akan menjadi tidak adil. Pemaknaan yang demikian telah dituangkan secara riil dalam pelbagai Putusan Mahkamah Konstitusi, di antaranya yaitu Putusan Nomor 070/PUU-II/2004, Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007 dan Putusan Nomor 27/PUU-V/2007.
Masih terkait dengan konstitusi, Rawls juga menggarisbawahi bahwa keadilan dapat tercapai manakala terjadi kepatuhan terhadap konstitusi dan terintegralisasinya hak dan kewajiban konstitutional yang berlandaskan nilai-nilai moral. Dengan kata lain, Rawls juga menempatkan moral konstitusi (constitutional morality) untuk menentukan apakah institusi-institusi yang diatur di dalamnya sudah bersifat adil. Oleh karenanya menurut Rawls, antara moral dan konstitusi, keduanya saling membutuhkan satu sama lain guna mewujudkan tatanan dasar kehidupan sosial dan bernegara. Artinya, konstitusi haruslah berlandaskan nilai-nilai moral dan sebaliknya juga agar berlaku efektif maka nilai-nilai moral harus didukung oleh konstitusi.
Terhadap konsep demokrasi, John Rawls memilih pelaksanaanya berdasarkan demokrasi konstitusional (constitutional democracy) yang diwujudkan dengan keberadaan badan-badan perwakilan yang keanggotaannya dipilih melalui cara-cara yang adil. Kendatipun demikian, Rawls tetap membuka ruang adanya pembatasan terhadap kebebasan berpolitik. Akan tetapi pembatasan tersebut haruslah memberikan jaminan dan manfaat yang sama bagi kelompok atau golongan yang kurang beruntung (the least advantaged).
Post Scriptum
Masa lahirnya dua buku pertama karya John Rawls seringkali disebut sebagai zaman keemasan bagi pengembangan teori tentang keadilan, sebab keduanya telah memunculkan perdebatan intelektual terhangat sepanjang abad ke-20. Akibatnya, sebagaimana diungkapkan oleh Tom Campbell, diskursus mengenai “keadilan” hingga kini terus memperoleh tempat utama dan pertama dalam perdebatan normatif di bidang filsafat politik dan moral.
Meskipun di kalangan masyarakat awam, politisi, dan filsafat telah terdapat kesamaan pandangan mengenai keutamaan keadilan sebagai nilai-nilai politik dan moral, namun hingga kini dapat dikatakan belum ada titik temu kesamaan mengenai makna dan lingkupnya. Dalam hal ini, teori keadilan sosial yang diusung oleh para Rawlsian selaku kaum liberal-egalitarian menempati posisi sentral apabila dibandingkan dengan pandangan keadilan berdasarkan persepktif liberal, utilitaris, libertarian, komunitarian, marxist, dan feminis.
Kesepadanan antara prinsip-prinsip keadilan Rawls dengan karakteristik negara-negara berkembang, khususnya yang memiliki latar belakang masyarakat yang beranekaragam, menjadikan pengembangan prinsip tersebut merebak secara cepat dan luas bak cendawan di musim hujan. Namun demikian, adanya kelemahan-kelemahan konsepsi Rawls sebagaimana diutarakan oleh kelompok arus utama pemikir lainnya, selain harus dijadikan catatan penting dalam pengimplementasiannya, juga harus didudukan secara proporsional dalam perdebatan akademisnya, sehingga pengembangan diskursus tentang keadilan tidak akan pernah pudar semata-mata untuk menyempurnakan konsepsi “keadilan sosial” yang seadil-adilnya. Terlebih lagi, Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas telah menempatkan keadilan sosial sebagai pilar utama untuk mewujudkan cita negara dalam membentuk negara kesejahteraan (welfare state).