Pengertian Filasafat, Teologi Dan Tasawuf
Agama Islam menyimpan banyak sekali ilmu tentang pengetahuan didalamnya. Dengan sumber yang berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah lahirlah beberapa disiplin ilmu keislaman yang ada saat ini, seperti ilmu kalam, tasawuf, filsafat, dan lain sebagainya. Setiap disiplin ilmu yang itu mempunyai keterikatan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk lebih mempermudah mengetahui hubungan antara tasawuf, ilmu kalam dan filsafat alangkah lebih baiknya kita mengetahui pengertiannya terlebih dahulu.
1. Filsafat
Kata filasafat yang dalam bahasa Arab falsafah yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah philosophy, adalah berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata philosophia terdiri atas kata philein yang berarti cinta (love) dan sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom), sehingga secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom) dalam arti yang sedalam-dalamnya. [1]
Sedangkan secara terminologi diungkapkan oleh beberapa tokoh, antara lain:
Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli.
Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, politik, dan estetika (filsafat keindahan).
Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang menjadi pokok pangkal dari segala pengetahuan, yang di dalamnya tercakup masalah epistemologi (filsafat pengetahuan) yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui.
Filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumannya.[2]Pengetahuan indera mencakup segala sesuatu yang dapat diindera. Batasnya: segala sesuatu yang tidak tertangkap panca indera; pengetahuan ilmu mencakup sesuatu yang dapat diteliti (riset). Batasnya: segala sesuatu yang tidak atau belum dapat dilakukan penelitian; pengetahuan filsafat mencakup segala sesuatu yang dapat difikir oleh akal budi (rasio). Batasnya adalah alam. Namun ia juga mencoba memikirkan sesuatu di luar alam, yang disebut agama, Tuhan.
Pemikiran kefilsafatan menurut Drs. Suyadi MP mempunyai karakteristik sendiri, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Hal yang ini sama dengan pendapat Drs. Sri Suprapto Wirodiningrat yang menyebut juga pikiran kefilsafatan mempunyai tiga ciri, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif.
- Menyeluruh artinya pemikiran yang luas karena tidak membatasi diri dan bukan hanya ditinjau dari satu sudut pandangan tertentu. Pemikiran kefilsafatan ingin mengetahui hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu-ilmu yang lain, hubungan ilmu dengan moral, seni dan tujuan hidup.
- Mendasar artinya pemikiran yang dalam sampai kepada hasil yang fundamental atau esensial objek yang dipelajarinya sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai dan keilmuan. Jadi tidak hanya berhenti pada periferis (kulitnya) saja, tetapi sampai tembus ke kedalamannya.
- Spekulatif artinya pemikiran yang dapat dijadikan dasar bagi pemikiran selanjutnya. Hasil pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk menjelajah wilayah pengetahuan yang baru. (Sri Suprapto Wirodiningrat, 1981, hal. 113-114)
2. Teologi / ilmu kalam
Menurut ahli tata bahasa Arab, kalam didefenisikan sebagai ‘kata’ atau ‘lafaz’ dengan bentuk mejemuk (ketentuan/perjanjian). Secara teknis, kalam berarti alasan atau argumen rasonal untuk memperkuat pernyataan.[3] Nama lain : Ilmu Aqaid (ilmu akidah-akidah), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemahaesaan Tuhan), Ilmu Ushuluddin (Ilmu pokok-pokok agama). Disebut juga ‘Teologi Islam’. ‘Theos’ yang artinya Tuhan; ‘Logos’ berarti ilmu. Jadi Teologi adalah ilmu tentang ketuhanan yang didasarkan atas prinsip-prinsip dan ajaran Islam; termasuk di dalamnya persoalan-persoalan gaib. Ilmu sama dengan pengetahuan; Kalam sama dengan ‘pembicaraan’; pengetahuan tentang pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Dasar Ilmu Kalam adalah dalil-dalil fikiran (dalil aqli) Dalil Naqli (Al-Qur’an dan Hadis) baru dipakai sesudah ditetapkan kebenaran persolan menurut akal fikiran. (Persoalan kafir-bukan kafir).
Menurut al-Ghazali, kalam hanya bisa digunakan untuk menghadapi tantangan terhadap akidah yang sudah dianut oleh umat; tetapi tidak untuk menanamkan akidah yang benar kepada,umat yang menganutnya, apalagi untuk menuntut orang bisa menghayatinya.
[4] Ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang terdiri sendiri disebutkan untuk pertama kali pada masa Khalifah ‘Abbasiyah, Al-Ma’mun (W. 218 H), setelah ulama-ulama Muktazilah mempelajari kitab-kitab filsafat yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab dipadukan dengan meode ilmu kalam. Sebelum masa Al-Ma’mun, ilmu yang membicarakan masalah kepercayaan disebut Al-Fiqh sebagai imbangan fiqh Fialilmi, yaitu tentang hukum Islam, sebagaimana Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) menamakan bukunya mengenai kepercayaan agama dengan Al-Fiqh Al-Akbar, perkembangan lebih lanjut istilah fiqh ini khusus untuk ilmu yang membicarakan perrsoalan-persoalan hukum-hukum Islam.ilmu kalam belakangan juga dikenal dengan teologi Islam yang sudah lama dikenal penulis-penulis Barat. Dalam pembahasan para ahli ketimuran selalu digunakan theology (Islam) untuk ilmu kalam ini. Ilmu kalam/teologi Islam timbul karena Islam sebagai agama merasa perlu menjelaskan poko dasar agamamya dan segi-segi dakwah sebagai tujuan Al-Qur’an dan Sunah. Dua dasar ini membicarakan wujud Tuhan yang segala aspeknya dan mengatakan hubungan-Nya dengan makhluk.
Ilmu kalam belum dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW. Selang beberapa periode, setelah ilmu-ilmu keIslaman satu-persatu mulai muncul dan banyak orang membicarakan soal metafisika atau alam gaib, dalam ilmu ini terdapat berbagai golongan dan aliran, kurang lebih 3 abad lamanya kaum muslimin melakukan berbagai perdebatan baik sesama pemeluk Islam maupun dengan pemeluk agama lain, akhirnya kaum muslimin mencapai ilmu yang membicarakan dasar-dasar akidah dan rinciannya; baik oleh faktor dari dalam Islam sendiri maupun karena faktor dari luar Islam karena berbagai persoalan kalam yang muncul, timbullah bermacam-macam aliran kalam.[5]
3. Tasawuf
Tasawuf adalah ajaran (cara dan sebagainya) otak mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar denganNya.[6] Tasawuf, sebagai aspek mistisisme dalam Islam, pada intinya adalah kesadaran adanya hubungan komunikasi manusia dengan Tuhannya, yang selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat (qurb) dengan Tuhan. Hubungan kedekatan tersebut dipahami sebagai pengalaman spritual dzauqiyah manusia dengan Tuhan, yang kemudian memunculkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah kepunyaan-Nya. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi tidak ada artinya di hadapan eksistensi Yang Absolut.[7]
Salah satu disiplin ilmu yang berkembang dalam tradisi kajian Islam, selain Ilmu Kalam, Filsafat dan Fiqih. Tujuannya: memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Tasawuf berusaha mengetahui dan menemukan Kebenaran Tertinggi (Allah SWT); dan bila mendapatkannya, seorang sufi tidak akan banyak menuntut dalam hidup ini.[8]
Abu al-Wafa’al-Ganimi at-Taftazani (peneliti tasawuf) menyebutkan karakteristik secara umum, baginya tasawuf mempunyai 5 ciri umum, yaitu:
1) Memiliki nilai-nilai moral
2) Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak
3) Pengetahuan intuitif langsung
4) Timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah SWT dalam diri sufi karena terciptanya maqamat (makam-makam atau beberapa tingkatan)
5) Penggunaan simbol-simbol pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat.[9]
Hubungan Filsafat, Teologi dan Tasawuf
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan spritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam melalui hati (dzauq dan widan) terhadap ilmu tauhid atau ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan penyempurna ilmu tauhid jika dilihat dari sudut pendang bahwa ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniah dari ilmu tauhid.
Kajian-kajian Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan ternyata telah banyak memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia Islam. Pemahaman tentang jiwa dan roh itu pun menjadi hal yang esensial dalam tasawuf. Kajian-kajian kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf. Namun, perlu juga dicata bahwa istilah yang lebih banyak dikembangkan dalam tasawuf adalah istilah qalb (hati). Istilah qalb ini memang lebih spesifik dikembangkan dalam tasawuf. Namun, tidak berarti bahwa istilah qalb tidak berpengaruh terhadap roh dan jiwa.[10]
Selain itu, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadarran rohaniah dalam perdebaan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan nasional, di samping muatan naqliah. Jika tidak diimbangi dengan kesadaran rohaniah, ilmu kalam dapat bererak ke arah yang lebih liberal dan bebas. Di sinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehinggailmu kalam tidak dikesani sebagai dialektika keislaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qabliah (hati).
[11]
Dari uraian-uraian singkat di atas, dapat kita ketahui bahwa hubungan antara Filsafat, Teologi (kalam) dan Tasawuf adalah sebagai berikut:
a. Ketiganya berusaha menemukan apa yang disebut Kebenaran (al-haq).
b. Kebenaran dalam Tasawuf berupa tersingkapnya (kasyaf) Kebenaran Sejati (Allah) melalui mata hati.
c. Kebenaran dalam Ilmu Kalam berupa diketahuinya kebenaran ajaran agama melalui penalaran rasio lalu dirujukkan kepada nash (al-Qur’an & Hadis)
Maka ketiganya mendalami pencarian segala yang bersifat rahasia (gaib) yang dianggap sebagai ‘kebenaran terjauh’ dimana tidak semua orang dapat melakukannya.
Perbedaan dan Persamaan Filsafat, Teologi dan Tasawuf
a. titik persamaan
Ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan di samping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada.
[12] Sementara itu objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-uapaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi, di lihat dari objeknya, ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.
[13]
Bagi ilmu kalam, filsafat, maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama yaitu kebenaran. Ilmu kalam dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia (yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuaan karena berada di luar atau di atas jangkauanya), atau tentang tuhan. Sementara itu, tasawuf juga dengan metodenya yang tipikal berusaha menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spritual menuju Tuhan.
b. titik perbedaan
Perbedaan di antara ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika di samping argumentasi-argumentasi naqliah berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai apologinya.
[14] Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadaliah) dikenal juga dengan istilah dialog keagamaan. Sebagai ilmuwan bahkan mengatakan bahwa ilmu ini berisi keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama, serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional.
[15]
Sementara itu, filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Metode yang digunakannya pun adalah metode rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam); tidak merasa terikata oleh apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika. Peranan filsafat sebagaimana dikatakan Socrates adalah berpegang teguh pada ilmu pengetahuan melalui usaha menjelaskan konsep-konsep (the gaining of conceptual clarity).[16]
Berkenaan dengan keragaman kebenaran yang dihasilkan oleh kerja logika maka dalam filsafat dikenal apa yang disebut kebenaran korespondensi. Dalam pandangan korespodensi, kebenaran adalah persesuaian antara kenyataan sebenarnya di alam nyata.
[17]
Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa dari pada rasio. Oleh sebab itu, filsafat dan tasawuf sangat distingtif. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa, ilmu tasawuf bersifst subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Itulah sebabnya, bahasa tasawuf sering tampak aneh bila dilihat dari aspek rasio. Hal ini karena pengalaman rasa sulit dibahasan. Pengalaman rasa lebih muda dirasakan langsung oleh orang yang ingin memperoleh kebenaranya dan mudah digambarkan dengan bahasa lambang, sehingga sangat interpretable dapat diinterpretasikan bermacam-macam). Sebagian pakar mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah intuisi, atau ilham, atau inspirasi yang datang dari tuhan. Kebenaran yang dihasilkan ilmu tasawuf dikenal dengan istilah kebenaran hudhuri, yaitu suatu kebenaran yang objeknya datang dari dalam diri subjek sendiri. Itulah sebabnya dalam sains dikenal istilah objeknya tidak objektif. Ilmu seperti ini dalam sains dikenal dengan ilmu yang diketahui bersama atau tacit knowledge, dan bukan ilmu proporsional.
Didalam pertumbuhannya, ilmu kalam (teologi) berkembang menjadi teologi rasional
[18] dan teologi tradisional.
[19] Filsafat berkembang menjadi sains dan filsafat sendiri. Sains berkembang menjadi sains kealaman,sosial, dan humaniora; sedangkan filsafat berkembang lagi menjadi filsafat klasik, pertengahan, dan filsafat modern. Tasawuf selanjutnya berkembang menjadi tasawuf praktis dan tasawuf teoritis.
SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :
[1] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal. 3
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 317.
[3] Ensiklopedi Islam 2, (Jakarta: PT Ichitar Baru Van Hoeve ,2001), hal. 345.
[4] Syumhoedim, Fadjar Noegraha, Tasawuf Kehidupan Al-Ghazali, (Jakarta: CV. Putra Harapan, 1999), hal. 81.
[5] Ensiklopedi Islam 2, Op. Cit., hal. 346
[6] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit, hal. 1147.
[7] Solihin, Sejarah dan pemikiran Tasawuf di Indonesia, ( Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 1
[8] Hadiyan, “Hubungan Tasawuf, Ilmu Kalam, Dan Filsafat”, disampaikan pada Perkuliahan Tatap Muka Ke-4 Ilmu Tasawuf 8 November 2008. (online) avaible: google.com//download, diakses pada tangal 16 Juli
[9] Solihin, Op. Cit., Hal. 75
[10] Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal 107.
[11] Ibid, hal. 102-103.
[12] Plato menyatakan bahwa objek filsafat adalah menemukan kenyataan (the discovery of realty) atau kebenaran mutlak (absolute truth) kedua hal itu bisa dikenal dengan istilah dialektika (dialectic). Aristoteles menyatakan bahwa pada mulanya filsafat merupakan kebujaksanaan. Kemudian menjadi upaya menyelidik sebab atau latar belakang dan prinsip-prinsip dari segala sesuatu (consernet with the investigasion of couses and prinsiple of things). Prinsip atau unsur pokok di sini adalah mengidentifikasi seluruh ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kemanusiaan (to be identical with the totaliti of human knowledge). Aristoteles selanjutnya mengatakan bahwa filsafat yang pertama (first philosophy) dinamakan sebagai theology yang kajian utamanya berkenan dengan sebab terakhir yang dikenal istilah Tuhan (concernet with ultimate prinsiples and couses, which includs the idea of god ). Selanjutnya lihat: Dr. Abdul Rozak dan Dr. Rosihan Anwar. Ilmu Kalam, (Bandung : CV Pustaka Setia), hal. 39.
[13] Ibid…., hal. 39
[14] Pius,Abdillah P. pada Kamus Ilmiah Populer Lengkap, (Surabaya: Arkola), . Opologi artinya Pidato pembelaan, hal. 38.
[15] Rasional (Descarates-Spinoza-Lebniz ) yakni: masuk akal; sesuai dengan nalar; menurut pikiran sehat; bijaksankan sedangkan Rasionalisme adalah faham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan , ibid. . .,hal. 522 dan prof. Dr . Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), hal 127
[16] log.ci . ., hal. 40
[17] Ibid . ., hal 41
[18] Teologi rasional memiliki prinsip-prinsip berikut ini:
a. Hanya terikat pada dogma-doma yang dengan jelas dan tegas di sebut dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi.
Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal. Ibid . . .,hal. 42
[19]Teologi tradisional memiliki prinsip-prinsip berikut ini:
a. Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti zhanni teks yang boleh mengandung arti lain selain dari arti harfiah.
b. Tidak memberikan kebebasan pada manusia dalam kehendak dan berbuat.
c. Memberikan daya yang kecil kepada akal. Ibid. . .,hal.42