Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights)
Pembangunan ekonomi dan bisnis bidang Industri dan Teknologi tidak terlepas peran serta pemerintah termasuk peran pelaku ekonomi dan bisnis. Salah satu program kerja pemerintah adalah membuat “kebijakan program revitalisasi industri yang dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2010 dengan dana membutuhkan anggaran tertentu dengan hitungan sebesar Rp. 310 miliar dari APBN. Pada tahun 2010 rencananya dialokasikan untuk program revitalisasi industri, program ini harus diperkuat dengan orientasi jelas dan transparan”, demikian pengamat ekonomi Faisal Basri dalam Diskusi Tentang “ Penyusunan Visi Indonesia 2030 dan Roadmap 2015, diselenggarakan Kadin Indonesia di Jakarta pada tgl. 4 Agustus 2009 (Harian KOMPAS, 5 Agustus 2009).
Berkaitan pembangunan ekonomi dan bisnis di bidang industri dan teknologi, Menteri Riset dan Teknologi (selanjutnya disebut dengan Menristek) Kusmayanto Kadiman mengatakan, “bahwa ada tiga sektor industri yaitu industri berbasis hankam, industri kreatif (yang dalam hal ini menurut hemat peneliti adalah hasil dari industri HAKI atas Kekayaan Perindustrian khususnya bidang Desain Industri dan Paten, dan industri berbasis SDA, berpeluang memenangi persaingan di pasar domestik maupun global pada saat ini maupun masa yang akan datang/depan”. Selanjutnya Kusmayanto mengatakan : “kalau kita bersaing dengan teknologi (industri) yang orang lain sudah duluan, maka kecil peluang kita untuk menang. Kita perlu upaya yang sangat besar. Tapi kalau pengembangan industri berbasis kekuatan sendiri, maka daya saingnya menjadi luar biasa.” Ini diungkapnya pada Lokakarya perencanaan dan pengembangan teknologi dalam mencapai visi Indonesia sebagai negara industri baru 2020”.
Lanjut Kusmayanto menjelaskan : “industri berbasis hankam memiliki peluang industri berdaya saing tinggi. Menurut dia, di negara manapun untuk produk hankam, pemerintah akan mengupayakan penggunaan produk hasil negeri sendiri. Sedangkan untuk produk kreatif, dia menilai kita memiliki peluang besar menjadi pemain dunia, seperti pada batik dan produk kreatif lainnya termasuk musik dan film” (Harian ANALISA, 7 Agustus 2009).
Globalisasi dan liberalisasi perdagangan, dihadapkan pada tantangan persaingan semakin tajam. Untuk itu agar bersaing dalam perdagangan bebas, kita meningkatkan kemampuan bangsa dalam mengembangkan kreatifitas bangsa berorientasi pada HAKI khususnya Hak Kekayaan Perindustrian di bidang Desain Industri dan Paten.
Sesjed Depdiknas Anggota Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran HKI Dodi Nandika dalam Kata Pengantar Buku tentang Potensi Kekayaan Intelektual yang dikeluarkan dan diterbit oleh Departemen Pendidikan Nasional, Dodi mengatakan : “Sebagai dampak dari globalisasi dan liberalisasi perdagangan, Indonesia dihadapkan pada suatu tantangan yaitu adanya persaingan yang semakin tajam. Untuk dapat bersaing dalam era perdagangan bebas, kita perlu meningkatkan kemampuan bangsa dalam mengembangkan keunggulan teknologi yang kompetitif dan mengembangkan kreatifitas bangsa diantaranya berorientasi pada Hak Kekayaan Intelektual (HKI)” (Dodi Nandika, 2008 : 1/Kata Pengantar)
Bisnis di bidang industri dan teknologi dapat dilakukan dengan cara alih teknologi. Alih teknologi bukanlah masalah sederhana melainkan harus terlebih dahulu memahami cakupan yang melingkupi alih teknologi antara lain mengenai batasan teknologi, kaitan dengan industri dan teknologi itu sendiri, metode pengalihannya, identifikasi teknologi yang ada dengan yang akan ditransfer, perjanjian dan negosiasi teknologi, kaitan teknologi dengan berbagai hak yang terkait antara lain paten, desain industri dan lain-lain hak, penilaian tentang teknologi, cara perdagangannya dan bagaimana pasar penjualan dan pembeli teknologi dan hubungan pengertian teknologi sebagai modal uasaha yang sifatnya intangible. Masing-masing hal tersebut memerlukan penelaahan. (Sumantoro, 1993 : 10)
Bagi pelaku ekonomi dan bisnis melaksanakan kegiatannya terlebih dahulu melakukan negosiasi dan kesepakatan bersama antara para pihak yang terkait, bila kesepakatan tercapai mereka menuangkannya kedalam klausula Surat Perjanjian dan dibuat sebagai pedoman dalam pelaksanaan transaksi bisnis, penyelesaian sengketanya apabila ada perselisihan kesepakatan dikemudian hari.
Paten dan Desain Industri khususnya dan industri lain pada umumnya hal ini merupakan hasil karya cipta, rasa dan karsa manusia dan tertuang ke dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Iptek ini dapat ditransformasikan atau disampaikan kepada orang lain baik secara perseorangan/pribadi maupun badan hukum perusahaan melalui proses alih teknologi dan perjanjian lisensi (Lisence Agreemet). Untuk menampung semua kegiatan dan program kerja proses alih teknologi dan perjanjian lisensi ini, di Indonesia melalui pemerintah telah mengaturnya sedemikian rupa kedalam perangkat peraturan perundang-undangan yang terkait.
Secara Internasional menurut “Ketentuan TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) yang merupakan issue baru dalam kancah perekonomian internasional. Salah satunya mengatur tentang Desain Industri termasuk Disain Industri dan Paten merupakan bagian dalam persetujuan pembentuk WTO ( World Trade Organization) yang merupakan Organisasi Perdagangan Dunia. Kemudian Indonesia ikut serta dalam Konvensi Paris yang juga merupakan Hukum Positif dan ditindaklanjuti dalam hirarchie perangkat peraturan perundang-undangan diperlukan suatu peraturan khusus mengenai perlindungan di bidang Desain Industri. TRIP’S ini dapatlah dikatakan sebagai issue baru dalam kancah perekonomian internasional. Sebagaimna dijelaskan oleh Mochtar Mas’oed, dimasukkannya TRIP’S dalam kerangka WTO lebih merupakan sebagai mekanisme yang sangat efektif untuk mencegah alih teknologi, yang memainkan peranan kunci dalam proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi” (Saidin, 1997 : 4)
. Dalam rangka memajukan industri mampu bersaing dalam lingkup perdagangan nasional dan internasional diciptakan iklim yang mendorong kreasi dan inovasi masyarakat terhadap sistem Kekayaan Perindustrian di bidang Desain Industri dan Paten. Berkaitan dengan hal tersebut diatas didorong pula oleh perkembangan iptek merupakan sumber bagi pengembangan Desain Industri dan Paten khususnya dan industri secara umum, maka Indonesia telah meratifikasi kesepakatan bersama Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
Bahwa Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights (Persetujuan TRIP’S). Lebih lanjut menimbang lagi sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian internasional, perkembangan teknologi, industri dan perdagangan yang semakin pesat, diperlukan adanya perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan perlindungan yang wajar bagi inventor.
Mengingat Pasal 5 ayat 1, Pasal 20 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian , Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, maka ditetapkanlah suatu Undang Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri (yang selanjutnya disebut dengan UUDI) dan Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten (yang selanjutnya disebut dengan UUP).
Pengertian Kekayaan Perindustrian Bidang Desain Industri dan Paten.
“Perindustrian adalah tatanan dan segala kegiatan bertalian dengan kegiatan industri. Industri adalah kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang melalui kegiatan pengolahan bahan baku, kegiatan pembuatan/perakitan barang dari bahan baku atau komponen penyusunannya menjadi barang yang memiliki nilai kegunaan dan nilai ekonomi lebih tinggi termasuk industri perangkat lunak teknologi informasi dan komunikasi dan kegiatan jasa keteknikan industri yang terkait erat dengannya. Teknologi industri adalah hasil inovasi dan/atau invensi dalam bentuk proses, produk, alat produksi yang diterapkan dalam kegiatan industri” (Pasal 1 butir 1, 2 dan 12 UU Perindustrian yang selanjutnya disebut dengan RUUPerind).
Pemerintah dapat memberikan kemudahan, fasilitas dan/atau perlindungan dan penegakan hukum yang dibutuhkan kepada jenis-jenis industri yang diprioritaskan. “Pemerintah melindungi Hak kekayaan Intelektual khususnya Kekayaan Perindustrian termasuk di bidang Desain Industri dan Paten sebagai hasil karya warga negara/bangsa Indoensia yang digunakan tanpa hak di luar negeri baik yang belum atau sudah terdaftar di instansi yang berwenang di Indonesia” (Pasal 24 RUUPerind)
“Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi atau komposisi garis atau warna atau garis dan warna atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri atau kerajinan tangan” (Pasal 1 butir 1 UUDI).
Selanjutnya UUDI mengatur bahwa “Hak atas Kekayaan Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara Republik Indonesia kepada pendesain industri atas hasil kreasinya selama waktu tertentu melaksanakan sendiri atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut” (Pasal 1 butir 5 UUDI).
Pendesain industri (inventor) adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain Industri yang dipatenkan. Dialah yang membuat kreasi bersangkutan hingga menjadi sesuatu yang mempunyai nilai estetis dan dapat diproduksi dan reproduksi kembali, serta kemampuan jatidiri baru. Bukan jiplakan dari karya milik orang lain. Bukan hanya seorang saja yang dapat menjadi pendesain tetapi bisa juga beberapa orang yang bersama-sama datangnya dan secara bersama-sama juga memilikinya dan mengajukan permohonan bersama untuk didaftarkan.
Hasil Pendesain industri (inventor) yang dipatenkan didaftarkan di Daftar Umum di Dirjen HAKI Depkeh dan HAM RI, agar legalitas hasil desain industrinya mendapat pengakuan secara hukum, maka lebih lanjut dia sebagai pemilik/pemegang hak mendaftarkan ke dalam Daftar Umum bidang Desain Industri danPaten di Dirjend HAKI Depkeh dan HAM RI yang diatur dalam Undang_Undang Paten. Jadi pemilik/pemegang Paten (inventor) tersebut secara hukum telah memiliki Desain Industri dan Paten atas Desain Industri tersebut sekaligus untuk dapat dinikmati, disebarluaskan, ditransformasikan kepada pihak lain baik perseorang maupun dalam bentuk badan hukum secara komersial dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
Desain Industri dianggap “baru” jika pada tanggal penerimaan, Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya. Jadi jika ada pendaftaran hak Desain Industri yang dilakukan oleh pihak lain dan juga tidak ada pengungkapan (pengumuman, sosioalisaasi, promosi) yang sama melalui sarana mas media cetak maupun elektronik dan internet maupun melalui sarana media pameran yang dilakukan secara luas kehadapan publik/umum.
Pemberian hak tersebut diatas dapat dilakukan melalui perjanjian Lisensi (Lisence Agreement). Perjanjian Lisensi (Lisence Agreement) adalah suatu persetujuan bersama antara pemberi hak atas kekayaan Desain Industri dan Paten kepada penerima hak dipihak lain tersebut berdasarkan pada pemberian hak untuk menikmati ekonomi dari suatu Desain Industri dilindungi dengan jangka waktu dan syarat tertentu. “Perjanjian Lisensi adalah suatu izin yang diberikan oleh pemegang Hak Desain Industri kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Disain Industri yang diberi perlindungan dalam jangka tertentu dan syarat-syarat tertentu” (Pasal 1 butir 11 UUDI).
“Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru. Desain Industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan, Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya. Pengungkapan Desain Industri sebelumnya : (a) tanggal penerimaan : atau (b) tanggal prioritas apabila Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas ; (c) Telah diumumkan atau digunakan di industri atau di luar Indonesia”. (Pasal 2 : 1, 2, 3 UUDI).
Lanjut UUDI mengatur bahwa “suatu Desain Industri tidak dianggap telah dimumkan apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal penerimaannya Desain Industri tersebut : (a) telah dipertunjukkan dalam suaatu pameran nasional ataupun internasional di Indonesia atau di luiar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi, atau (b) telah digunakan di Indonesia oleh pendesain dalam rangka percobaan dengan tujuan pendidikan, penelitian atau pengembangan”. (Pasal 3 butir a, b UUDI)
“Jadi jika ada pendaftaran lain dan juga tidak ada pengungkapan, pengumuman (sosialisasi) atau juga promosi sekaligus pameran langsung dihadapan masyarakat konsumen lain mengenai Desain Industri yang sama yaitu melalui mas cetak, elektronik, media internet di dalam maupun di luar negeri. Jika suatu pengungkapan, pengumuman (sosialisasi), promosi sekaligus pameran tersebut sebelum tanggal pendaftaran dari Desain Industri bersangkutan ini, maka tidak dipenuhi unsur baru”.(Sudargo Gautama & Rizawanto Winata, 2000 : 47, 48)
“Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya”. Selanjutnya UUP “ Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses”. “Pemegang Paten adalah inventor sebagai pemilik Paten atau pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik Paten atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dal Daftar Umum Paten” (Pasal 1 Butir 1, 2, 6 UUP).
“Suatu invensi dianggap baru jika pada tanggal penerimaan, invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diajukan sebelumnya. Teknologi yang diungkap sebelumnya adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan , uraian lisan melalui peragaan atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan invensi tersebut sebelum : (a) tanggal penerimaan; atau (b) tanggal prioritas. Teknologi yang diungkapkan sebelumnya mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia yang dipublikasikan pada atau setelah tanggal Penerimaan yang pemeriksaan substansinya sedang dilakukan, tetapi tanggal Penerimaan tersebut lebih awal dari pada Tanggal Penerimaan atau Tanggal Prioritas Permohonan: negeri” (Pasal 3 : 1, 2, 3 UUP)
“Hak kekayaan intelektual teknologi dan industri merupakan tiga wujud yang sangat kuat berinteraksi satu terhadap yang lain dalam proses pembentukan nilai tambah di segala aspek kehidupan kita” (Rahardi Ramelan, 1996 : 3)
Perjanjian Lisensi (Lisence Agreement) Kekayaan Perindustrian di Bidang Desain Industri dan Paten Dalam Alih Teknologi.
Umumnya kita terlibat pada masalah perjanjian alih teknologi melalui media perjanjian lisensi (lisence agreement). Perjanjian merupakan hukum bagi yang membuat yaitu pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Hasil dari perjanjian diperoleh melalui suatu kesepakatan bersama diantara pihak yang berjanji dan masing-masing pihak yang bersepakat tersebut mempunyai kedudukan dan kekuatan hukum yang sama pula.
Menurut hemat peneliti ketidakseimbangan kekuatan kesepakatan bersama dalam negosiasi akan menghasilkan kesepakatan atau perjanjian yang tidak adil. Oleh karena itu maka hukum perjanjian (sebagaimana yang diatur dalam pasal 1320 Burgerlijke Wetboek van Wetgeving atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata ) dalam harus dipahami oleh pihak pemberi hak dan pihak penerima hak yang membuat kesepakatan alih teknologi di bidang Disain Industri dan Paten. Lanjut hemat peneliti, berbicara tentang alih teknologi melalui media perjanjian Lisensi (Lisence Agreement) bidang Disain Industri dan Paten, tentu saja untuk tahap proses negosiasi dan selanjutnya menyusun draf klausula isi perjanjiannya yang mengandung hak dan kewajiban masing masing pihak, syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan umum maupun khusus, perlu terlebih dahulu memahami apa dan bagaimana materi teknologi termasuk hasil Disain Industri dan Paten itu sendiri. Sebelum kearah proses negosiasi inilah sangat dibutuhkan sekali konsultan seorang ahli hukum, ahli teknologi, ahli ekonomi/akuntansi dan bisnis serta teknis dibidang teknologi di bidang Disain Industri Paten yang akan dialihkan menjadi sangat penting peranannya.
“Alih teknologi dilakukan diantaranya melalui pemberian lisensi. Hal ini juga tidak sederhana. Siapa pemegang atau pemberi lisensi dan siapa pula penerima lisensi. Syarat dan kondisi pemberi lisensi dan penerima lisensi perlu pemikiran. Berapa pula harga lisensi dan apa hak-hak yang melekat pada pemegang lisensi. Di samping hak lisensi masing-masing banyak pembahasan yang menjadi praktek dalam lisensi atau dalam alih teknologi pada umumnya” (Sumantoro, 1993 : 12).
Menurut hemat peneliti bahwa setelah dicapai kesepakatan melalui negosiasi dan rumusan klausula materi sisi perjanjian yang mengandung hak dan kewajiban antara pemberi Desain Industri dan Paten dengan penerima hak tersebut, masalah berikutnya adalah bagaimana pelaksanaannya terhadap perjanjian lisensi tersebut. Oleh karenanya banyak masalah dalam pelaksanaan alih teknologi melalui media perjanjian lisensi tersebut, maka dalam proses kesepakatan bersama melalui negosiasi diperlukan ketajaman analisis dalam meneliti proses alih teknologi tersebut sampai kepada rumusan klausula materi isi perjanjian tersebut secara tuntas dilengkapi dengan berbagai sanksi dan jaminan keberhasilan alih teknologi melalui media perjanjian lisensi tersebut selanjutnya.
“Setelah negosiasi dilakukan dan dicapai kesepakatan dan rumusan perjanjian disetujui oleh masing-masing pihak, masalah berikutnya adalah bagaimana pelaksanaannya. Di sinilah kejelian pihak penerima alih teknologi sangat dituntut termasuk antara lain apakah ada jaminan pelaksanaan alih teknologi tepat waktu, tidak salah penerapannya, bagaimana proses penyerahannya. Di sini seperangkat pengaturan terkait seperti surety bond, sanksi, proses pengeloaan usahanya setelah pengalihan teknologi, dalam banyak hal ada proses turn key atau turn key plus, purna alih teknologi dan banyak hal lainnya lagi yang terkait” (Sumantoro, 1993 : 12-13).
Alih teknologi melalui perjanjian Lisensi yang dipatenkan kaitannya tentang know how yang intinya diwujudkan dalam suatu pengakuan hak penemuan, umumnya dicatatkan dan secara formal implisit mengandung pengakuan pihak penemu, pemberi hak Disain Industri dan paten. Dengan kata lain hasil temuan dari Desain Industri tersebut dipatenkan. Dengan demikian pihak penemu tersebut yang mematenkan hasil temuannya diakui hak-haknya sebagai pemegang paten.
Pihak yang menerima hak Desain Industri Paten akan memanfaatkan atau menggunakan hak paten untuk input usahanya sebagai pelaku usaha harus meminta izin persetujuan dari pihak penemu hak, dalam hal peristiwa demikian maka terjadilah transaksi perjanjian lisensi (license agrrement).
Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru. “Desain industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya. Pengungkapan sebelumnya adalah pengungkapan Desain Industri yang sebelum : (a) tanggal penerimaan atau (b) tanggal prioritas apabila Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas, (c) telah diumumkan atau digunakan di Industri atau diluar Indonesia”. (Pasal 2 : 1, 2, 3 UUDI).
“Hak Desain Industri (termasuk hasil industri Paten) dapat beralih atau dialih kan dengan : (a) pewarisan, (b) hibah, (c) wasiat, (d) Perjanjian tertulis; atau (e) sebab sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undang (Pasal 31 : 1 UUDI)
Lebih lanjut UUDI mengatur bahwa pengalihan Desain Industri sebagaimana yang tersebut diatas harus disertai dengan dokumen pengalihan hak tersebut. “Segala bentuk pengalihan Hak Desain Industri wajib dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri pada Direktorat Jenderal dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Pengalihan hak tersebut yang tidak dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri (termasuk Desain Industri Paten) tidak berakibat hukum pada pihak ketiga” (Pasal 31 : 2, 3, 4 UUDI).
Pihak penemu Desain Industri sebagai pemegang berhak memberikan lisensi kepada pihak lain melalui perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan untuk melaksanakan Desain Industri yang dimilikinya dan untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannnya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, dan/atau mengedarkan barang yang diberi Hak Desain Industri , kecuali jika diperjanjikan lain. “Pemegang Desain Industri berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi untuk melaksanakan perbuatan dalam pasal 9, kecuali jika diperjanjikan lain” (Pasal 33 UUDI).
“Perjanjian Lisensi wajib dicatatkan dalam Daftar Umum Industri pada Direktorat Jenderal dengan dikenai biaya sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri” (Achmad Fauzan, 2006 : 79). Lanjut Achmad mengutip UUP menguraikan bahwa “Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil invensinya di bidang Teknologi yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan. Pemegang Paten adalah inventor sebagai pemilik Paten atau pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik Paten atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang Paten kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Paten yang diberikan perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu”. (Hal ini diatur dalam pasal 1 Butir 1, 6 dan 13 UUP).
“Pemegang Paten berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi untuk melaksanakan perbuatan untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya dalam hal Paten-produk : membuat, menggunakan menjual, mengimpor; menyewakan, menyerahkan atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberikan” (Pasal 16 UUP).
Berbicara tentang perjanjian lisensi Insan Budi Maulana mengatakan bahwa “perjanjian lisensi terbagi atas 2 macam yaitu (a) Perjanjian Lisensi Secara Eksklusif (PLSE) dan Perjanjian Lisensi Secara Non-Eksklusif (PLSNE). Bila dibandingkan dengan Amerika Serikat, Jepang dan beberapa negara lainnya di Eropa Barat yang mengadakan pemisahan terhadap macam perjanjian lisensi itu. Maka tidak keliru bila kitapun melakukan hal yang sama. Hal ini dipandang perlu , karena untuk menentukan apakah suatu perjanjian lisensi itu wajib didaftarkan atau tidak akan sangat bergantung pada macam perjanjian lisensi itu sendiri”.(Insan Budi Maulana, 1997 : 133). Lebih lanjut Insan menjelaskan dan mengutip dari pendapat/pandangan “Yoshio Kumakura, dalam bukunya “Licencing” Doing Business in Japan, Umpamanya di Jepang, setiap PLSE untuk Paten diwajibkan didaftarkan kepada Fair Trade Commision. Apabila PLSE tersebut tidak didaftarkan maka tidak mempunyai konsekuensi hukum terhadap pihak ketiga. Selain itu, biasanya hanya PLSE saja yang berhak melakukan sub-lisensi kepada pihak ketiga sedangkan PLSNE tidak mempunyai hak untuk mengadakan sub-lisensi”.
“Di Amerika Serikat, apabila perjanjian lisensi itu merupakan PLSE yang secara tegas dinyatakan dalam perjanjiannya walaupun PLSE itu tidak diuraikan secara terperinci, namun Penerima Lisensi (Licensee) secara otomatis mempunyai hak (a) mengadakan sub-lisensi, (b) menutut pihak ketiga yang melanggar paten, dan (c) Pemberi Lisensi (Licensor) harus meminta izin kepada Penerima Lisensi apabila Pemberi Lisensi akan memberikan lisensi lagi kepada pihak ketiga uang berada dalam wilayah Penerima Lisensi (USCA Title 35 ss 261). Oleh karen itu akan lebih baik bila ketentuan tentang PLSE dan PLSNE) dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang lisensi memperjelas macam lisensi sebagaimana diberlakukan di negara-negara tersebut” (Insan Budi maulana, 1997 : 134)
“Studi penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Ekonomi FHUI menunjukkan bahwa dari 100 perusahaan PMA yang memiliki perjanjian lisensi atau sejenis adalah sekitar 25 perusahaan. Perjanjian tersebut pada umumnya diselenggarakan pada perusahaan patungan di Indonesia dengan induk perusahaan di luar negeri yang memiliki atau pemegang hak atas teknologi yang bersangkutan. Pendekatan yang ditempuh oleh perusahaan asing pada umumnya mengkombinasikan kegiatan modalnya dengan sekaligus menyelenggarakan perjanjian lisensi, adalah untuk memaksimalkan hasil usahanya yaitu dari keuntungan modal dan dari hasil lisensi tersebut” (Sumantoro, 1994 : 119-120)
Lanjut Sumantoro menjelaskan bahwa “dalam konteks PMA perjanjian lisensi merupakan dasar kerja sama yang mengatur syarat-syarat dan kondisi pemindahan teknologi dari pihak asing kepada perusahaan-perusahaan penerima lisensi di Indonesia. Akibat belum adanya pengaturan oleh pemerintah dalam bidang ini maka masalah pemindahan teknologi yang berlangsung melalui proses PMA (dalam bentuk perjanjian-perjanjian lisensi) pada dasarnya masih merupakan masalah hubungan kontraktual antara para pihak yang dalam prakteknya ditentukan oleh kemampuan berunding antara pihak pemberi lisensi dengan pihak penerima lisensi. Proses pengalihan teknologi yang di dalamnya terdapat aspek-aspek pengaturan PMA dan pemilihan teknologi yang tepat dan diperlukan di Indonesia, kita menghadapi permasalahan lain seperti penilaian teknologi yang dipindahkan, pemindahan teknologi yang sudah uang atau masa paten sudah habis, syarat-syarat dan kondisi yang sangat memberatkan pihak penerima teknologi terutama yang tergolong Restrictive Business Pratices (RBP)”. (Sumantoro, 1994 : 119-120).
Sumantoro menjelaskan “pemindahan teknologi negara sedang berkembang mempunyai arti penting bagi pembangunan negaranya. Mekanisme pemindahan teknologi merupakan transaksi dagang teknologi internasional. Teknologi sudah merupakan satu jenis komoditi internasional yang langka. Karena sifat pasar teknologi internasional maka dalam pembahasannya sangat dipengaruhi oleh keadaan politik dan ekonomi serta taraf kemajuan dari negara yang bersangkutan”. Selanjutnya Sumantoro menjelas lagi, “bagi Indonesia yang penting adalah mendapatkan teknologi yang tepat guna dan dapat mempunyai pengaruh pengembangan indutrialisasi. Untuk itu perlu diperhatikan terlebih dahulu tingkat teknologi yang telah ada dan keahlian yang tersedia serta potensi sumber yang dapat menunjang”
Hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima Lisensi Desain Industri dan Paten.
Hak dan kewajiban pihak pemberi dan penerima lisensi yang dituangkan ke dalam perjanjian lisensi mereka harus kerjasama yang serasi antara pengalih dan penerima teknologi yang dilandasi oleh semangat saling mengutung bagi masing-masing pihak.
Dirjend HAKI Depkeh dan HAM RI dalam Kompilasi Undang Undang Republik Indonesia di bidang Hak Kekayaan Inteletual mengatur dan menetapkan bahwa pihak penemu (sebagai pemegang, pemilik hak, prinsipal dan pemberi hak Desain Industri Paten) dan penerima hak Desain Industri Paten memiliki hak dan kewajiban masing dalam suatu perjanjian Lisensi (license Agreement) dalam rangka proses alih teknologi.
Ketentuan Undang-Undang baik Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri maupun ketentuan Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten mengatur tentang hak dan kewajiban pemberi Hak Desain Industri yang dipatenkan oleh permohonan pendisainer (pemegang disain atau inventor)
Hak pemberi lisensi akan merupakan kewajiban bagi penerima lisensi terhadap Desain Industri Paten. Sebaliknya apa yang menjadi kewajiban bagi pemberi lisensi akan juga merupakan hak bagi penerima lisensi tersebut. Oleh karenanya kita perlu melihat dari segi kewajiban dari masing-masing pihak yaitu pemberi dan penerima lisensi, yang sekaligus akan merupakan hak dari penerima dan pemberi lisensi di bidang Desain Industri Paten.
Walaupun banyak hak dan kewajiban pemberi dan penerima lisensi yang timbul dari perjanjian yang mereka perbuat, namun ada beberapa hak dan kewajiban yang karena sifatnya dianggap akan selalu ada pada perjanjian lisensi tersebut, walaupun ada kemungkinan pengaturan yang lebih jelas mengenai beberapa hal tersebut tidak diberikan.
Ada beberapa kewajiban dari pihak penemu sebagai pemegang, pemilik hak, prinsipal dan pemberi hak Desain Industri sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri antara lain :
1. “Pihak penemu inventor berkewajiban terlebih dahulu mengajukan permohonan atau permintaan pendaftaran dan Daftar Umum Desain Industri apada kantor pendaftaran Desain Industri Dirjen HAKI Depkeh dan HAM RI untuk memenuhi persyaratan administrasi ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dengan melampirkan contoh fisik atau gambar atau foto dan uraian dari Desain Industri yang dimohonkan, surat pernyataan bahwa Desain Industri yang dimohonkan pendaftarannya adalah milik Pemohon atau milik Pendesain”. (Bab III, tentang Permohonan Pendaftaran Desain Industri, Pasal 11 butir 2, 4 UUDI).
2. “Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas harus diajukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali diterima di negara lain yang merupakan anggota Konvensi Paris atau anggota Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Permohonan ini wajib dilengkapi dengan dokumen prioritas yang disahkan oleh kantor yang menyelenggarakan pendaftaran Desain Industri disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung setelah berakhirnya jangka waktu pengajuan Permohonan dengan Hak Prioritas” (Pasal 16 : 1-2 UUDI).
3. Hak Desain Industri yang telah dimohon dan disahkan secara resmi oleh instasi terkait dinyatakan sah secara hukum sebagai penemu (pemegang, pemilik hak, prinsipal dan pemberi hak Desain Industri Paten) dapat mengalihkan kepada pihak lain (apakah dalam bentuk individu perseorang atau bentuk badan hukum) dengan cara : pewarisan, hibah, wasiataaa, perjanjian tertulis atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-perundangan. “Segala bentuk pengalihan Hak Desain Industri, wajib dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri pada Dirjen HAKI dengan membayar biaya sebagaimana diatur UU” (Pasal 31 : 1 dan 3 UUDI)
4. Pihak penemu/pemilik hak berkewajiban dan sekaligus mempunyai hak memberikan lisensi yang dituangkan kedalam perjanjian. “Lisensi kepada pihak lain untuk melaksanakan perbuatan untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannnya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, dan/atau mengedarkan barang yang dipatenkan dan sekaligus diberi Hak Desain Industri, kecuali diperjanjikan lain” (Pasal 33 UUDI).
5. “Kewajiban penemu sekaligus pemilik hak sebagai Lisensor untuk mengusahakan dan menjamin hak-hak tersebut yang dilisensikan dapat dipergunakan oleh penerima lisensi. Pemberi lisensi menjamin bahwa hak-hak yang dilisensikan akan dapat dipergunakan oleh penerima lisensi. Termasuk di dalamnya adalah kewajiban pemberi lisensi untuk menyediakan “specification”, “drawing” dan informasi yang cukup dan diperlukan oleh penerima lisensi”. (Sumantoro, 1993 :68)
6. “Pemilik dan pemberi Hak Desain Industri berkewajiban menjaga hak-hak yang dilisensikan dalam keadaan baik. Pemberi hak melalui perjanjian lisensi khusus di bidang know-how, misalnya berkewajiban untuk menjaga agar informasi mengenai know-how yang dilisensikan adalah akurat dan terjaga kerahasiaanya” (Sumantoro, 1993 : 68)
7. “Pada beberapa perjanjian lisensi, pemberi lisensi biasanya akan mencantumkan“No Warranty clause”. Dengan klausula ini, pemberi lisensi tidak memberikan suatu jaminan apapun kepada penerima lisensi, kecuali tentang apa-apa yang dengan secara jelas disebut pada perjanjian lisensi. Yang dengan jelas akan disebut, biasanya akan mencakup : i) bahwa pemberi lisensi berhak memberikan lisensi dan (ii) hak informasi yang diberikan itu memenuhi standar yang umum dipergunakan untuk bidang tersebut. Masalah “commercial value” biasanya berada di luiar cakupan perjanjian lisensi” (Sumantoro, 1993 : 69)
Disamping kewajiban-kewajiban pemberi lisensi, penerima lisensi juga sebaliknya memiliki kewajiban antara lain :
1. “Penerima lisensi berkewajiban membayar sejumlah uang royalti. Membayar royalti merupakan kewajiban prioritas utama dari penerima lisensi. Yang sering dipermasalahkan adalah berapa besar dan bagaimana cara pembayaran royalti harus dilakukan. Ada beberapa cara pembayaran royalti yang sering dipergunakan dalam praktek perjanjian lisensi antara lain : (i) Lumpsum payment, (ii) Installment payment, (iii) fixed annual payment, (iv) running royalties : (a) percertage basis, (b) fixed sum per unit sold, (v) minimum royalti payment, (vi) maximum toyalti payment, (vii) payment paid up clause. Masing-masing cara menggunakan rumus perhitungan secara teknis. Masalah-masalah lain sehubungan dengan royalti adalah (a) mulai kapan royalti harus dibayarkan, (b) apakah pembayaran royalti tadi bebas dari pembayaran pajak, (c) apakah atas keterlambatan pembayaran royalti akan dikenakan bunga dan/atau sanksi ?
2. Penerima lisensi pada dasarnya dibebani kewajiban untuk menggunakan hak-hak yang diperolehnya dari perjanjian lisensi. Kecuali dalam beberapa hal misalnya (i) apabila penerima lisensi setuju membayar suatu jumlah minimal royalti tertentutanpa melihat apakah ia akan mempergunakan haknya atau tidak, (ii) dalam hal non-eksklusive lisence agreement, kewajiban tersebut tidak diwajibkan kepada penerima lisensi.
3. Penerima lisensi juga berkewajiban untuk (a) tidak melakukan sanggahan hak yang dilisensikan, (b) kewajiban untuk tidak melakukan kompetisi, (c) kewajiban menjaga kerahasiaan, (d) kewajiban menjaga kualitas dari produk , dan (e) kewajiban untuk memenuhi dan mematuhi persyaratan-persyaratan dari peraturan perundang-undangan yang berlaku”. (Sumantoro, 1993 : 69-70)
Ada beberapa hak penerima lisensi sebagaimana yang diatur dalam UUDI maupun UUP antara lain :
1. Si “Penerima lisensi atau sipenerima hak Desain Industri yangdipatenkan dari penemu (pemegang hak, pemilik hak, prinsipal hak Desain Industri) adalah sebagai subjek Desain Industri yang berhak menerima hak tersebut untuk membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor dan/atau mengedarkan barang yang diberi Hak Desain Industri Paten . yang berhak memperoleh Desain Industri Paten adalah pendesain atau yang menerima hak tersebut dari pendesain industri Paten” (Pasal 6 UUDI jo Pasal 10 UUP)
2. Penerima lisensi hak Desain Industri Paten berhak dan dapat memberikan lisensi berikutnya kepada pihak ketiga lainnya dengan persetujuan penemu, pemegang hak, pemilik hak, prinsipal hak Desain Industri Paten. Pemberian Lisensi bisa bersifat tidak eksklusif. Artinya, bahwa si pemegang hak dapat juga memberi lisensi lagi kepada pihak ketiga dan seterusnya kepada pihak lainnya atau melaksanakan apa yang telah dialihkannya kepada pihak lain.
“Pasal 6 ayat 1 tersebut diatas diatur soal Permohonan dengan Hak prioritas atau “droit de priorite”. Praktek ini seringkali dipergunakan dan didasarkan atas Konvensi Internasional, Paris Convention dan WTO yang mengatur segala sesuatu berkenaan dengan Hak Prioritas ini. Jika seorang Pemohon dari luar negeri hendak mengajukan Pendaftaran dari Desain Industri Indonesia, maka apabila sudah mengajukannya di negara sendiri atau negara alain, anggota daripada Konvensi Paris atau WTO, maka Permohonannya di Indonesia dapat diajukan dengan Hak Prioritas yaitu terhitung sejak tanggal diajukan di negara lain itu untuik pertama kali”. (Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata : 2000, 87-88). Lebih lanjut Sudargo mengatakan “dengan demikian dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung dari tanggal pengajuannya diluar negeri, ia dapat mengajukan prioritas di Indonesia. Jika hal ini diterima, maka kantor yang mengurus Desain Industri di Indonesia akan mengakui seolah-olah Desain Industrinya ini sudah diajukan pendaftarannya pada saat telah diajukan permohonan pertama kali dalam negara peserta Konvensi Paris atau WTO di luar negeri. Untuk ini harus diserahkan Dokumen Prioritas tersebut disertai terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dan syaratnya harus dalam 3 (tiga) bulan telah diajukan Pendaftaran di Indonesia harus dilengkapi Permohonan dengan Hak Prioritas ini oleh dokumen-dokumen Prioritas itu (ayat 2)”.
Tanggung jawab Penerima Kekayaan Perindustrian di Bidang Desain Industri dan Paten Dalam Perjanjian Lisensi (Lisence Agreement).
Hak Desain Industri dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain dari penemu/pemilik hak dengan cara antara lain : (a) Pewarisan, (b) Hibah, (c) Wasiat, (d) Perjanjian Tertulis; atau (e) Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh Peraturan Perundang-undangan. Pengalihan Hak Desain Industri harus dengan dokumen tentang pengalihan hak dan segala bentuk Pengalihan Hak Desain Industri wajib dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri pada Dirjen HAKI DepKum dan HAM RI serta diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri.
Peralihan hak dengan cara pewarisan adalah setelah meninggal dunia si pewaris Hak Desain Industri maka warisan ditindaklanjuti oleh para dan/atau ahli waris. Hibah adalah perbuatan yang langsung mengakibatkan mengalihkan suatu hak pada orang lain yang dihibahkan. Wasiat juga meruapakan suatu tindakan di mana secara tidak langsung si pembuat wasiat ini memberikan haknya kepada orang lain setelah ia meninggal dunia. Dengan cara perjanjian tertulis perjanjian yang dilakukan oleh pemberi Hak Desain Industri dengan penerima Hak Desain Industri atas dasar kesepakatan bersama negosiasi yang dituangkan ke dalam perjanjian tertulis yang selanjutnya disebut dengan perjanjian Lisensi dengan syarat dan ketentuan umum dan khusus serta sesuai dengan perangkat perundang-undangan yang berlaku.
Perjanjian Lisensi dengan klausula materi isi perjanjiannya ditentukan dengan jelas hak-hak dan kewajiban serta tanggung jawab pemberi dan penerima Hak Desain Industri Paten. Hak Desain Industri biasa dialihkan kepada pihak orang lain dan bisa diselenggarakan oleh pihak lain berdasarkan lisensi yang diberikan. Yaitu hak yang melekat pada Desain Industri ini sebagai hak khusus untuk melaksanakannya yakni melarang orang lain yang tanpa hak persetujuannya.
Pihak yang berhak memperoleh Paten atas suatu invensi yang dihasilkan dalam suatu hubungan adalah pihak yang memberikan pekerjaan tersebut, kecuali diperjanjikan lain. Inventor yang memberikan pekerjaan tersebut berhak mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari hasil invensi tersebut (Pasal 12 : 1, 2, 3 UUP).
Yang memberikan imbalan adalah pihak penerima hak Desain Industri Paten dari penemu (pemegang hak, pemilik hak, prinsipal hak Desain Industri Paten) dan merupakan salah satu tanggungjawabnya sebagai konsekuensi dari perjanjian lisensi yang mengandung hak dan kewajiban dari masing-masing pihak pemberi dan penerima Hak.
Tanggung jawab penerima Hak Paten dalam perjanjian Lisensi (lisence Agreement) berupa pemberian imbalan dapat dibayarkan : (a) dalam jumlah tertentu dan sekaligus ; (b) persentase; (c) gabungan antara jumlah tertentu dan sekaligus dengan hadiah atau bonus; (d) bentuk lain yang disepakati para pihak; yang besarnya ditetapkan olehn pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam hal tidak terdapat kesesuaian mengenai cara perhitungan dan penetapan besarnya imbalan, keputusan untuk itu diberikan oleh Pengadilan Niaga (Pasal 12 : 4, 5 UUP).
Tanggung jawab yang paling urgensi penerima lisensi yang dituangkan ke dalam perjanjian lisensi dalam prosess alih teknologi adalah memberikan balas jasa langsung dan tidak langsung yang disebut dengan uang jasa lisensi dan royalti sebagai kompensasi pengorbanan waktu, tenaga, keahlian dan sumber daya langka lainnya.
Berbicara tentang tanggung jawab penerima hak Desain Industri Paten melalui perjanjian Lisensi yang menyangkut tentang pembayaran imbalan atas hasil karya industri dan teknologi sebagaimana telah diuraikan terlebih dahulu kewajiban penerima hak melalui perjanjian lisensi, syarat bahwa lisensi didasarkan atas teknologi yang telah dipatenkan. Kapan paten tersebut dipatenkan/didaftarkan dan kapan umur tersebut dapat diakui.
Perhitungan imbalan pembayaran royalti didasarkan atas apa. Teori apa pula yang digunakan. Apakah pendekatan dari kedua belah pihak yaitu pemberi dan pebnerima lisensi atas desain industri Paten cocok satu dengana lainnya. “ Hal yang sering menjadi masalah adalah kurangnya peluang untuk memilih teknologi yang akan ditransfer dengan cara perjanjian lisensi tersebut. Pada gilirannya sering terjadi praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat serta praktek pembatasan (restructive business practice).
Perlindungan dan Penegakan Hukum Perjanjian Lisensi (Lisence Agreement) Desain Industri Dan Paten Kaitannya Alih Teknologi.
Telah diuraikan diatas bahwa pemerintah memberikan perlindungan dan penegakan hukum berkaitan dengan hak kekayaan perindustrian bidang Desain Indstri dan Paten. “Pemerintah melindungi hak kekayaan intelektual hasil karya warga negara/bangsa Indonesia yang digunakan tanpa hak di luar negeri baik yang belum atau sudah terdaftar di instansi yang berwenang di Indonesia (Pasal 24 RUU Perind)
Perlindungan dan penegakan hukum Kekayaan Perindustrian Desain Industri dan Paten diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan perlindungan ini dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri.
Perlindungan dan penegakan hukum terhadap Kekayaan Perindustrian Desain Industri dan Paten secara Internasional menjadi persoalan yang pada saat ini merupakan perhatian dunia internasional menyangkut Desain Industri maupun Paten termasuk perlindungan dan penegakan hukumnya yang diberikan oleh masing-masing negara di dunia.
“Perlindungan dan penegakan hukum yang demikian menjadi lebih penting lagi setelah adanya kebijakan-kebijakan berbagai-bagai negara tersebut (termasuk bagi negara-negara yang sedang berkembang) khususnya mengenai Kekayaan Perindustrian Desain Industri dan Paten kaitannnya dengan proses alih teknologi. Teknologi yang dimiliki oleh negara-negara maju cenderung menarik perhatian negara berkembang untuk dapat diambil alih. Sudah barang tentu pengambilalihan itu tidak dapat dilakukan begitu saja, tanpa memperhatikan aspek hukum yang berkenaan dengan proses pengambilalihannya” (O.K.Saidin, 1997 : 225-226)
Lanjut Saidin mengatakan “bahkan kecenderungan proteksionis oleh negara-negara maju sudah mulai terlihat jelas untuk bidang perlindungan hak kekayaan inteletual ini. Adanya kerangka WTO sebagai kelangsungan era GATT, sudah terlihat jelas bahwa alih teknologi tidak dapat dapat dilakukan begitu saja, tanpa memperhatikan aspek juridisnya.kata “alih teknologi berasal dari kata Transfeer of Technology (Bahasa Inggris). Terhadap arti kata ini belum ada kesepakatan. Ada yang mengartikan “pengalihan teknologi”, “pemindahan teknologi”, “pelimpahan teknologi” dan “alih teknologi”. Terhadap arti kata “teknologi” itu sendiri, para sarjana masih memberikan pengertian yang berbeda-beda”.
“Perlindungan dan penegakan hukum yang wajar bagi industri dalam negeri terhadap kegiatan-kegiatan industri dan perdagangan luar negeri yang bertentangan dengan kepentingan nasional pada umumnya serta kepentingan perkembangan industri dalam negeri pada khususnya. industri dalam negeri diarahkan untuk secepatnya mampu membina dirinya agar memiliki daya guna kerja serta produktivitas yang tinggi, sehingga hasil produksinya mampu bersaing dengan barang-barang impor di pasaran dalam negeri dan di pasaran internasional. Untuk itu dalam tahap pertumbuhannya Pemerintah dalam batas-batas yang wajar dapat memberikan perlindungan kepada industri dalam negeri” (C. S. T. Kansil : 1997 : 412). Lebih lanjut Kansil mengatakan “ di lain pihak, perlindungan yang diberikan itu harus tetap menjamin agar konsumen dalam negeri juga tidak dirugikan”.
Pemerintah baik pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan masing-masing memberikan insentif dan kemudahan serta perlindungan dan penegakan hukum terhadap kegiatan dan hasil karya penelitian dan pengembangan teknologi di bidang industri serta kegiatan peningkatan kemampuan dan kompetensi sumber daya manusia. “Pemerintah dapat menolak pendaftaran hasil karya Hak Kekayaan Intelektual warga negara asing yang terdaftar di luar negeri apabila hasil karya tersebut terbukti merupakan hasil karya Hak Kekayaan Intelektual warga negara/bangsa Indonesia” (Pasal 22 : 1 RUU Perind)
Perlindungan dan penegakan hukum dari pemerintah dimaksud agar hasil karya warga negara/bangsa Indoensia tidak dapat ditiru, digunakan, dikomersialisasikan oleh pihak lain tanpa seizin penemu, pemilik hak tersebut yang dilindungi oleh hukum. Diantara perlindungan dan penegakan hukum tersebut dapat berupa bantuan hukum dan sosialisasi Hak Kekayaan Intelektual.
Pengalihan hak Desain Industri tidak menghilangkan hak Pendesain untuk tetap dicantumkan nama dan identitasnya, baik dalam Sertifikat Desain Industri , Berita Resmi Desain Industri maupun dalam Daftar Umum Desain Industri. Pemegang Hak Desain Industri berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi untuk melaksanakan perbuatan membuat, memakai, menjual mengimpor, mengekspor dan/atau mengedarkan barang yang diberikan Hak Desain Industri, kecuali jika diperjanjikan lain. (Pasal 33 UUDI)
Khusus tentang perlindungan Paten hasil invensi di bidang teknologi memiliki hak eksklusif yang diberikan oleh Negara (yang menurut hemat penulis merupakan hak yang dilindungi secara hukum) yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri hasil invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Paten diberikan untuk invensi yang baru dan mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri.
Paten hasil karya teknologi yang diperoleh penemunya dapat diberikan untuk invensi yang baru dan mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri dan teknologi. “Suatu invensi mengandung langkah inventif jika invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan permohonan pertama dalam hal permohonan itu diajukan dengan Hak Prioritas” (Pasal 2 UUP). “Hasil invensi tersebut dianggap baru jika pada tanggal penerimaan invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diajukan sebelumnya”. (Pasal 3 UUP).
Teknonologi yang diungkap sebelumnya, adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan melalui peragaan atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan invensi tersebut sebelum (a) tanggal penerimaan; atau (b) tanggal prioritas. Teknologi yang diungkapkan sebelumnya mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia yang dipublikasi pada atau setelaah tanggal penerimaan yang pemeriksaan substantifnya sedang dilakukan, tetapi tanggal penerimaan tersebut lebih awal daripada tanggal penerimaan atau tanggal prioritas permohonan (Pasal 3 : 1, 2, 3 UUP)
Perlindungan dan penegakan hukum kekayaan perindustrian Desain Industri dan Paten dari suatu invensi dapat mendorong akselerasi pembangunan dan etos kerja produktif. Secara mikro perlinduingan dan penegakan hukum haktersebut mendorong motivasi bagi semua pihak sesuai dengan bidang tugas dan profesinya masing-masing untuk tumbuh dan berkembang sebagai manusia kreatif dan inovatif.