Pengertian Feminisme Dan Sejarahnya
“Feminisme adalah gerakan untuk mencapai kesetaraan politik, sosial, dan pendidikan antara perempuan dan laki-laki.”(Sulaeman, 2009). Feminisme merupakan suatu gerakan emansipasi wanita dan gerakan ini bukanlah sesuatu hal baru di dunia ( Chusniaty, 2010). Gerakan yang dimunculkan oleh Marry Wallstonecraff, seorang wanita yang telah berhasil mendobrak dunia lewat bukunya The Right of Woman pada tahun 1972 dengan lantang menyuarakan tentang perbaikan kedudukan wanita dan menolak perbedaan derajat antara laki-laki dan wanita. Gaung feminisme inipun disambut hangat di beberapa kalangan di dunia Barat, termasuk negara-negara Timur Tengah pun turut serta dalam memperjuangkan perbaikan kedudukan kaum wanita.
Dengan cepat gerakan feminisme ini berkembang pesat di negara-negara Timur Tengah dan tak pelak gerakan ini telah banyak memberikan kamajuan dan kemodernan di negara-negara tersebut di akhir abad ke 10-an. Kesuksesan gerakan feminisme ini tak luput dari tunjangan beberapa faktor dan serangan: pertama, imperialisme Barat ke negara Timur Tengah banyak memberikan pengaruh terhadap adanya feminisme. Seperti penyerbuan Napoleon Bonaparte atas Mesir telah banyak merubah peradaban mereka dan menggantinya dengan peradaban dari Barat. M. Ali Pasha, salah seorang tokoh feminisme Mesir bertekad untuk meninggalkan tradisi mereka dan berusaha menggantinya dengan tradisi modern ala Barat dengan mengirimkan sanak keluarganya ke universitas-universitas di Eropa.
Kedua, pengaruh misionaris kristen. Peradaban Barat yang telah berhasil merombak peradaban mereka, secara politis maupun materi, mengakibatkan mereka tak mampu menangkal serangan para misionaris. Sekitar abad ke-19 banyak didirikan lembaga-lembaga yang dikelola oleh para misionaris dan dikembangkan oleh para guru-guru senior dengan kualitas dan disiplin yang tinggi. Begitu banyak peminat yang memasuki lembaga-lembaga pendidikan tersebut termasuk murid-murid perempuan. Dari sini para misionaris mengubah ideologi mereka dengan ideologi Barat. Lebih dari itu juga di utamakan bahasa Eropa sebagai bahasa pengantar untuk memudahkan pelajar dalam berfikir secara Barat.
Ketiga, bertambahnya pelajar muslim yang belajar ke universitas-universitas di Barat. Kesuksesan dan kemodernan Barat talah memikat pelajar muslim untuk menimba ilmu di sana. Dengan menawarkan berbagai macam ilmu dan teknologi, para pelajar muslim berbondong-bondong mendatangi universitas-universitas di Eropa. Hal ini dipelopori oleh M. Ali Pasha yang kemudian diikuti oleh negara-negara di sekitarnya. Sejak mereka diajari berbagai ilmu dan teknologi modern, mereka mulai melupakan tradisi-tradisi mereka yang lama yang merupakan budaya timur, karena mereka telah banyak menyadap ilmu-ilmu dari Barat tanpa adanya filter yang bijaksana. Mereka inilah yang kelak menjadi pelopor modernisasi setelah kembali ke negara-negara asal mereka.
Keempat, dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 yang banyak mengilhami kemajuan daerah-daerah di sekitarnya. Daerah yang dahulu sepi disulap menjadi kota metropolitan. Negara Timur Tengah pun mendapat keuntungan yang besar dalam pemasukan devisa negara dan materi-materi lainnya. Namun konsekuensinya, masuknya kebudayaan Barat tak dapat dielakkan.
Konsep-konsep feminisme mulai bersentuhan dengan dunia Islam sejak abad ke-19, seiring dengan menyebarnya imperialisme Barat di negara-negara Arab. Pada tahun 1892, pers perempuan Mesir mulai menyuarakan isu-isu feminisme. Sejak satu dekade sebelumnya, kaum perempuan Mesir, Suriah, dan Lebanon telah membaca berbagai majalah Eropa berkenaan dengan feminisme dan mendiskusikan relevansinya terhadap situasi di Timur Tengah.
Pada tahun 1899, Qasim Amin dari Mesir menerbitkan buku pertama mengenai feminisme berjudul Tahrirul Mar’ah (Pembebasan Perempuan) sehingga dia disebut sebagai Bapak Feminisme Arab. Dalam bukunya tersebut, Amin mengkritik sebagian praktek yang menyebar dalam masyarakat dengan atas nama Islam, misalnya, poligami, hijab, dan pengasingan perempuan. Dalam berbagai karyanya, Amin mengecam praktek-praktek tersebut sekaligus menyebutnya sebagai tidak Islami dan bertentangan dengan spirit Islam. Sebagai contoh, Qasim menyatakan bahwa kaum perempuan yang berhijab akan lebih terisolir dari pada kaum perempuan yang menanggalkan hijabnya. Karya-karya Qasim Amin sangat berpengaruh besar dalam gerakan politik perempuan di dunia Arab dan Islam. Bahkan, hingga hari ini, karya Qasim Amin masih terus disebut-sebut dan dijadikan rujukan oleh para feminis muslim.
Qasim Amin menyatakan bahwa akar dari penindasan perempuan dalam masyarakat muslim adalah bercokolnya pemerintahan yang zalim dan despotik. Menurutnya, di zaman ketika penguasa zalim berkuasa, kezaliman itu tidak hanya akan dilakukan oleh sang raja, melainkan akan diikuti oleh orang-orang sekitarnya, dan seterusnya, sampai ke masyarakat kelas bawah. Proses ini akan berlanjut ke seluruh sendiri masyarakat, sehingga orang yang kuat akan menindas orang yang lemah. Salah satu korban terbesar dalam pemerintahan seperti ini adalah kaum perempuan karena laki-laki memiliki kekuatan fisik yang lebih besar, sehingga dengan leluasa merendahkan perempuan.
Para feminis Arab lain (yang banyak menjadi rujukan kaum feminis Indonesia) adalah Nawal Sa’dawi dan Fatima Mernissi, umumnya juga tidak memandang agama sebagai satu-satunya faktor penyebab penindasan terhadap perempuan. Sa’dawi menyamakan persoalan wanita dengan masalah keterbelakangan. Menurut Sa’dawi: “Keduanya bukan masalah agama sebagaimana yang selalu dikatakan oleh kalangan fundamentalis, tetapi masalahnya berkaitan erat dengan masalah ekonomi dan politik negara. Sementara itu, Mernisi menilai struktur sosial-lah yang berperan dalam menyengsarakan nasib perempuan. Yang dimaksud struktur sosial oleh Mernissi adalah termasuk juga doktrin dan ajaran agama yang menjadi salah satu fondasi penting sebuah masyarakat.
Namun demikian, di dalam tubuh gerakan feminisme sendiri ada banyak paham, versi, atau sudut pandang. Ada berbagai aliran feminisme, misalnya feminisme liberal yang bertujuan mencapai kesamaan status antara perempuan dan laki-laki dalam ekonomi dan politik (dalam konteks kapitalisme); feminisme radikal yang arus utama gerakannya menentang patriarki dan menganggapnya sebagai sumber penindasan terhadap perempuan; dan adapula gerakan feminisme marxist yang berusaha mengaplikasikan teori Marxisme untuk memahami sumber penindasan terhadap perempuan dalam sistem kapitalis(Gimenez, www.cddc.vt.edu). Belum lagi bila kita sebut, individual feminism (i-feminism), feminisme sosialis, feminisme borjuis, atau bahkan feminisme Islam.
Di Indonesia pun, gerakan feminisme memiliki beragam bentuk, mulai dari perlindungan terhadap buruh perempuan, hingga yang ekstrim, hak untuk mempergunakan tubuh secara bebas. Namun, yang paling sering menimbulkan kontroversi adalah gerakan untuk membebaskan perempuan muslim dari “ketidakadilan” fiqih Islam. Salah satu contoh nyata dari gerakan ini adalah diluncurkannya Draft KHI(Kompilasi Hukum Islam) oleh Departemen Agama RI yang dibiayai oleh The Asia Foundation (terakhir diketahui berhubungan dengan zionis internasional), di antara pasal-pasal “pembaharuan” yang mereka susun adalah: asas perkawinan adalah monogami (pasal 3 ayat 1), perempuan bisa menjadi saksi sebagaimana laki-laki (pasal 11), calon istri bisa memberikan mahar (pasal 16), perkawinan beda agama diperbolehkan (pasal 54), bagian warisan untuk anak laki-laki dan anak perempuan sama (pasal 8 ayat 3), dan anak di luar nikah (zina) yang diketahui secara pasti ayah biologisnya tetap mendapatkan hak warisan dari ayahnya (pasal 16 ayat 2).
Bahkan, para aktivis feminisme muslim Indonesia membuat sebuah istilah atau wacana baru, yaitu “fiqih perempuan”. Fiqih perempuan yang dimaksud di sini bukanlah fiqhunn-nisaa yang berbicara seputar jenis-jenis air, cara bersuci, haid, istihadhah, dll, melainkan rekonstruksi fiqih agar sesuai dengan kepentingan perempuan. Dengan kata lain, mereka berusaha mengkritisi berbagai masalah fiqih yang dianggap merugikan atau tidak adil terhadap perempuan, antara lain, apakah perempuan wajib berjilbab, mengapa perempuan hak warisnya setengah, mengapa perempuan tidak boleh menikahkan diri sendiri, mengapa perempuan muslim tidak boleh menikah dengan non-muslim, dsb.